Sehari sebelumnya ...
Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka. "Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...." Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu. Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menindih tubuh seorang wanita. Bukan wanita sembarangan, melainkan Sandra, saudara tirinya. "EVAN!" Teriakan Livia memecah pergumulan mereka. Evan dan Sandra terlonjak kaget, buru-buru membenahi pakaian mereka yang berantakan. Wajah Evan yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi amarah karena terganggu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" bentaknya kasar, sangat berbeda dengan Evan yang Livia kenal selama ini. "Apa yang kulakukan? Harusnya aku yang bertanya padamu!" Air mata Livia mulai mengalir deras. "Kenapa? Kenapa kalian lakukan ini padaku?" Sandra, bukannya merasa bersalah, justru tersenyum sinis sambil merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Siapa suruh tidak bisa memuaskan Evan?" Livia tersentak. Matanya menatap Evan, meminta penjelasan. "Ya, dan sekarang kamu tahu alasannya," jawab Evan dingin. "Kamu terlalu kuno, Liv. Selalu menolak setiap kali aku ingin lebih dekat denganmu. 'Tunggu sampai menikah', 'Ini tidak benar', bla bla bla .... Sandra berbeda. Dia tahu cara membuatku bahagia." "Tapi ... tapi kita akan menikah tiga bulan lagi." Livia terisak. Evan mendengus. "Pernikahan dibatalkan. Aku tidak bisa menikahi wanita membosankan sepertimu. Ambil saja cincin itu. Jual, dan gunakan uangnya untuk berobat ayahmu yang sekarat itu." Kata-kata kejam itu menusuk tepat ke jantung Livia. Kakinya lemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Di sela-sela tangisnya, ia bisa mendengar tawa mengejek Sandra. "Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia. Kita lanjutkan yang tadi ...." Sandra berbisik manja pada Evan. Livia bangkit dengan sisa-sisa harga dirinya yang masih tersisa. Tangannya gemetar saat melepas cincin pertunangan dari jarinya. Cincin yang selama ini ia jaga dan banggakan, kini terasa seperti membakar kulitnya. "Terima kasih sudah menunjukkan wajah aslimu sebelum kita menikah," ucap Livia dengan suara bergetar namun penuh ketegaran. Ia melempar cincin itu ke arah Evan. "Semoga kalian berdua bahagia dengan pengkhianatan ini." Dengan langkah tertatih, Livia berjalan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan serpihan hatinya yang hancur berkeping-keping. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi seragam cleaning service yang masih ia kenakan. Di belakangnya, suara tawa dan desahan kembali terdengar, seolah kehadirannya tak pernah ada. **** Livia terduduk di kursi, di samping ranjang rumah sakit. Matanya sembab. Namun, air matanya sudah mengering. Ia tak bisa lagi menangisi pengkhianatan Evan saat melihat kondisi ayahnya yang terbaring lemah dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. "Mana Evan? Sudah dua hari dia tidak menjenguk Ayah," tanya Pedro dengan suara serak. Pertanyaan itu menghujam tepat ke luka yang masih menganga di hati Livia. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mengancam akan tumpah lagi. "Evan ... dia sedang sibuk kerja, Yah." Di sudut ruangan, Rita, ibu tirinya, mendengus keras. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. "Sibuk kerja atau sibuk selingkuh?" bisiknya di telinga Livia. Livia hanya menunduk dalam. Ia tak ingin ayahnya tahu kalau calon menantunya itu berselingkuh dengan saudara tirinya. Rita kemudian menarik tangan Livia keluar dari ruangan, menatap gadis berwajah mungil itu dengan tatapan dingin "Tagihan rumah sakit semakin menumpuk, dan sekarang Dokter bilang ayahmu butuh operasi. Dari mana kita dapat uang sebanyak itu?" Pertanyaan Rita menohok tepat ke titik terlemahnya. Gaji cleaning service-nya tak akan cukup untuk membiayai operasi ayahnya. Tabungannya sudah terkuras habis untuk biaya rumah sakit selama ini. "Aku ... aku akan cari pinjaman," jawab Livia lirih. "Pinjaman?" Rita tertawa sinis. "Siapa yang mau meminjamkan uang pada cleaning service sepertimu? Bank? Dengan gaji sekecil itu? Jangan mimpi!" "Lalu aku harus bagaimana?" Suara Livia bergetar menahan amarah dan putus asa. Rita mendekatkan wajahnya, berbisik tajam, "Aku punya kenalan yang bisa membantumu dapat uang cepat. Tapi ... kamu harus rela mengorbankan sesuatu." "Apa maksud Mama?" "Temui aku di cafetaria nanti malam. Akan kujelaskan caranya." Rita tersenyum misterius, lalu berjalan menuju lift, meninggalkan Livia yang berdiri kaku dengan sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Livia kembali masuk ke ruangan dan duduk di samping ayahnya. Tangannya menggenggam jemari Pedro yang dingin. Air matanya menetes tanpa suara. "Maafkan Livia, Yah ...," ucapnya dalam hati. "Livia gagal jadi anak yang baik. Gagal dapat suami yang bertanggung jawab. Tapi Livia janji ... Livia akan lakukan apa saja untuk menyembuhkan Ayah." Di luar ruangan, langit senja mulai menggelap. Cafetaria rumah sakit nyaris kosong saat Livia melangkah masuk. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rita sudah menunggu di meja paling pojok, ditemani seorang wanita paruh baya berpenampilan mencolok. "Duduk," perintah Rita singkat saat Livia mendekat. "Kenalkan, ini Madam Rose." Wanita itu mengamati Livia dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala. "Hmm ... cantik, masih muda, tubuh bagus. Sempurna." Livia mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan cara Madam Rose memandangnya seperti barang dagangan. "Langsung saja," Rita berdeham. "Madam Rose bisa membantumu mendapatkan uang untuk operasi ayahmu. Lima ratus juta. Dalam semalam." Mata Livia membelalak. "Li-lima ratus juta? Bagaimana caranya?" Madam Rose mengeluarkan sebatang rokok dari tas mahalnya, tetapi tidak menyalakannya karena berada di rumah sakit. "Mudah saja, Sayang. Aku punya banyak klien, pengusaha kaya yang sedang mencari ... hiburan. Mereka siap membayar mahal untuk gadis secantik dirimu." Seketika Livia paham apa yang mereka bicarakan. Wajahnya memucat. "Tidak! Aku tidak mungkin—" "Jangan munafik!" Rita memotong tajam. "Kau bilang akan melakukan apa saja untuk ayahmu. Sekarang kesempatannya ada di depan mata. Lima ratus juta, Livia. Lebih dari cukup untuk operasi dan perawatan ayahmu." "Tapi ... tapi ini ..." "Hanya satu malam," Madam Rose tersenyum tenang. "Klienku-klienku orang terpandang, bukan sembarang orang. Dia akan memperlakukanmu dengan baik." Livia menggeleng kuat-kuat. Air matanya mulai menggenang. "Aku tidak bisa. Pasti ada cara lain!" "Cara lain apa?" Rita mendesis. "Mau tunggu sampai ayahmu mati dulu? Dokter bilang operasinya harus dilakukan minggu ini! Kamu mau dapat uang dari mana dalam waktu secepat itu?" Livia terdiam. Bayangan ayahnya yang terbaring lemah memenuhi benaknya. Suara Dokter yang mengatakan kondisi Pedro semakin memburuk terngiang-ngiang di telinganya. Madam Rose mengeluarkan kartu nama dan meletakkannya di meja. "Kalau kau berubah pikiran, hubungi aku. Tapi ingat, tawaran ini tidak berlaku lama." Madam Rose bangkit dan melenggang pergi, meninggalkan aroma parfum mahalnya yang menyengat. Rita menatap Livia dengan pandangan mencela. "Kesucianmu itu tidak ada gunanya, Livia. Yang ada gunanya adalah uang." Rita berdiri, menepuk bahu Livia dengan kasar. "Pikirkan baik-baik. Nyawa ayahmu atau harga dirimu yang tidak berguna itu?" Sepeninggal Rita, Livia masih terpaku di kursinya. Kartu nama Madam Rose seolah mengejeknya, menantangnya untuk segera mengambil keputusan. Bayangan kondisi Pedro, satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya semakin memburuk. Dengan tangan bergetar, Livia meraih kartu nama itu dan memandanginya. "Baiklah. Aku bersedia!"Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu
"Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal
"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb
Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.
Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra
Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku
Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra
Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.
"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb
"Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal
Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu
Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin
Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku