Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella.
"Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh." "Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam." Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan." "Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya." Bu Lina memeluk Bella dengan erat sebelum pergi. "Terima kasih, Sayang. Mama dan Papa pulang dulu." Bella mengantar mertuanya hingga ke depan pintu utama. Supir pribadi keluarga Hendro sudah membukakan pintu Mercedes hitam dengan sigap. Pak Hendro melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil, diikuti Bu Lina yang masih tersenyum hangat pada Bella. Senyum di wajah Bella perlahan memudar seiring dengan mobil hitam yang menjauh dari pekarangan rumahnya. Raut wajahnya berubah datar, tanpa ekspresi. Ia berbalik badan dengan cepat menaiki tangga menuju kamar. Begitu sampai, ia langsung mengunci pintu dan bergegas menuju lemari pakaiannya. Tangan Bella merogoh tumpukan pakaian dalam di sudut lemari, mengeluarkan sebuah ponsel rahasia yang ia sembunyikan. Layarnya berkedip menandakan adanya pesan masuk. [Saya ingin bertemu denganmu, Nyonya.] Pesan dari Daniel membuat matanya sedikit membelalak. Jemarinya lincah mengetik sebuah balasan. [Nanti saja kalau situasinya sudah kondusif!] Bella merebahkan tubuhnya di ranjang king size, matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin kehilangan Gavin. Suaminya itu bukan hanya seorang pria mapan dengan perusahaan yang terus berkembang, tapi juga aset berharga untuk kemajuan bisnis keluarganya. Tapi Daniel, sopir pribadi yang selalu siap melayaninya, adalah pria yang mampu memuaskan hasratnya yang tak pernah bisa dipenuhi oleh Gavin. Tubuh atletis Daniel, dengan kulit kecoklatan dan otot-otot yang terbentuk sempurna, selalu berhasil membuatnya merasa menjadi wanita seutuhnya. Bella tersenyum kecut. Jika saja Gavin tidak terlalu sibuk dengan perusahaannya, tidak terlalu lemah lembut di ranjang, mungkin saat ini ia tidak akan selingkuh dengan Daniel. Ponselnya kembali bergetar. Pesan baru dari Daniel. [Tapi ini penting, Nyonya.] Bella menggigit bibir bawahnya. Kali ini, ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh membuat kesalahan lagi. Setidaknya, sampai program kehamilan berhasil dan posisinya sebagai Nyonya Gavin aman sepenuhnya. *** Dua hari berlalu dengan lambat. Di kontrakannya yang sempit dengan cat kusam yang mulai mengelupas, Livia duduk meringkuk di tepi tempat tidur saat ponselnya berdering. Nama Elena muncul di layar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menggeser ikon hijau. "Halo, El ...?" "Liv! Aku baru saja mendapatkan apartemen yang cocok!" Suara Elena terdengar bersemangat di seberang sana. "Lokasinya dekat dengan kantorku. Kira-kira hanya sekitar sepuluh menitan jika jalan kaki." Livia tersenyum tipis, setitik kehangatan meresap di hatinya yang beku. "Benarkah?" "Iya! Apartemennya tidak besar, tapi cukup nyaman. Ada dua kamar, jadi kita masing-masing punya privasi. Oh, ya, dan ada balkon kecil yang menghadap ke arah timur. Kamu bisa menikmati matahari terbit sambil minum kopi. Gimana? Asik, kan?" "Kedengarannya bagus, El ...." "Ayo, mulai berkemas. Aku akan menjemputmu nanti malam." Suara Elena terdengar antusias. "Aku tidak ingin kamu terus-terusan sedih karena tinggal di rumah yang penuh kenangan buruk itu." Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Livia. "Terima kasih, El. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu." "Hey, itu gunanya sahabat, kan?" Elena tersenyum, suaranya menenangkan. "Mulai sekarang, kita akan menghadapi semuanya bersama-sama. Oke?." Setelah menutup telepon, Livia bangkit perlahan. Matanya menyapu seisi kontrakan yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Tempat ini penuh kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Terutama kenangan bersama sang ayah, satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya setelah ibunya meninggal. Dengan langkah tertatih, Livia mengeluarkan koper usang dari bawah tempat tidur. Membukanya lebar-lebar, ia mulai melipat pakaiannya satu per satu. Untunglah, barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya beberapa helai pakaian, dua pasang sepatu, sebuah tas, dan sedikit pernak-pernik. Selama ini, Livia jarang sekali berbelanja. Uang gajinya sebagai cleaning service selalu habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, terutama setelah sang ayah sakit dan harus rutin kontrol ke rumah sakit, ditambah Rita dan Sandra yang banyak menuntut membuat beban finansial Livia semakin berat. Setelah hampir selesai berkemas, Livia terdiam sejenak. Masih ada satu ruangan yang belum ia kunjungi, yaitu kamar mendiang ayahnya. Dengan langkah berat, ia mendorong pintu kayu yang sedikit berderit. Aroma khas sang ayah langsung menyeruak, membuat dadanya sesak oleh rindu. Kamar itu sangat sederhana, hanya ada sebuah ranjang single, lemari pakaian kecil, dan meja kecil di sudut ruangan. Semenjak ayahnya sakit, ibu tirinya itu memang tidak mau tidur sekamar lagi dengannya karena tidak mau terganggu dengan rintihan kesakitan di tengah malam. "Ayah ... aku akan pindah," bisiknya, seolah sang ayah masih bisa mendengar. "Tapi aku janji akan sering mengunjungi makam Ayah." Livia bangkit, membuka lemari pakaian sang ayah. Baju-baju sederhana berjajar rapi—beberapa kemeja kerja, celana kain, dan dua sweater tua. Ia memilih beberapa helai, bermaksud membawanya sebagai kenang-kenangan. Saat melipat sebuah kemeja biru tua—kemeja favorit ayahnya—Livia merasakan sesuatu yang mengganjal di saku. Jemarinya merogoh ke dalam, mengeluarkan sebuah foto usang yang sudah menguning. Seorang wanita muda tersenyum ke arah kamera, rambutnya panjang tergerai, wajahnya cantik dan lembut. Di balik foto itu, tertulis satu nama dengan tinta biru "Evita". Livia menatap foto itu lekat-lekat, dahinya berkerut. Ia sama sekali tidak mengenal wanita ini. Tapi, ia ingat kata-kata terakhir sebelum sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya. "Carilah Evita!" "Siapa dia?" Livia bermonolog, jemarinya mengusap wajah wanita misterius yang tersenyum dalam bingkai kertas usang. "Dan apa artinya bagi Ayah? Mengapa Ayah menyimpan foto ini?" Livia memasukkan foto itu ke dalam dompetnya. Mungkin ia akan mencari tahu tentang Evita suatu hari nanti.Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra
Mobil sedan silver milik Elena memasuki area basement apartemen yang cukup luas, tetapi sudah hampir penuh. Elena mengedarkan pandangan, mencari-cari celah untuk parkir."Sepertinya kita agak telat," ujar Elena sambil perlahan memutar setir. "Biasanya jam segini masih banyak yang kosong."Livia hanya diam memperhatikan, jemarinya meremas tali ransel yang ia pangku. Basement ini terasa begitu berbeda dengan lingkungan kontrakannya yang sempit dan pengap. Di sini, meski remang, udara terasa lebih sejuk dengan sistem ventilasi yang baik."Nah, itu dia!" Elena berseru riang saat menemukan spot parkir di sudut basement. Dengan cekatan, ia mengarahkan mobilnya ke tempat kosong tersebut. "Home sweet home, Liv."Setelah mematikan mesin, Elena membuka bagasi dan mengeluarkan koper Livia. Livia sendiri menggendong ranselnya, berdiri canggung di samping mobil."Jangan khawatir," Elena menepuk pundak sahabatnya penuh pengertian. "Apartemennya tidak mewah, tapi nyaman, kok."Mereka berjalan beriri
Livia berusaha menghentikan langkah Evan. Namun, lima menit lagi absensi akan di tutup. "Tidak jadi. Nanti saja, aku sudah kesiangan."Dengan langkah cepat, nyaris berlari, Livia menuju gedung perkantoran yang menjulang tinggi."Pagi, Pak Satpam!" Livia tersenyum sekilas pada petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk."Pagi, Mbak Livia," satpam itu mengangguk ramah. Pagi itu, Livia langsung bekerja seperti biasanya. ****Jam makan siang akhirnya tiba. Setelah membersihkan seluruh ruangan di lantai 15—termasuk toilet, pantry, dan ruang rapat—Livia merasa perutnya mulai keroncongan. Ia menyelesaikan tugas terakhirnya, menyemprot pewangi ruangan di sudut-sudut strategis, sebelum mendorong trolinya kembali ke ruang penyimpanan di lantai tersebut."Mau makan siang, Livia?" tanya Mba Yuni, rekan sesama petugas kebersihan yang bertugas di lantai yang sama.Livia mengangguk. "Iya, Mba. Rasanya lapar sekali hari ini.""Mau bareng? Saya bawa bekal dari rumah."Sejenak Livia tergoda, tetapi
Livia berdiri mematung di taman, memandangi sosok Evan yang menjauh. Hatinya terasa kosong. Bahkan Evan, orang yang dulu begitu dekat dengannya, kini seolah asing.Dengan langkah gontai, Livia kembali menuju gedung kantornya. Jam istirahat hampir berakhir, sementara ia belum sempat makan apapun. Perutnya berbunyi memprotes, mengingatkan bahwa sejak sarapan pagi bersama Elena, ia belum memasukkan makanan ke dalam tubuhnya lagi.Di lobi, Livia menengok ke jam dinding—tinggal lima belas menit sebelum masuk kerja kembali. Ia memutuskan untuk mampir ke kantin karyawan di lantai dasar. Meski begitu, ia tahu tak akan sempat makan di sana."Mba Ida," Livia mendekati salah satu penjual di kantin, "nasi bungkus paket ayam satu, ya. Dibungkus.""Siap, Mbak Livia," Mba Ida dengan sigap menyiapkan pesanannya. "Tumben makan siang telat?"Livia tersenyum lemah. "Ada urusan penting tadi."Setelah membayar, Livia bergegas kembali ke lantai 15, membawa bungkusan nasi yang masih hangat. Ia melihat sekel
Sandra adalah yang pertama berbalik. Matanya melebar kaget melihat Livia. "Kamu? Bagaimana bisa—" "Kamu berbohong padaku, Evan!" Livia mengalihkan tatapannya pada pria itu, yang kini berdiri dengan wajah pucat. "Kamu bilang tidak tahu di mana Sandra!" "Li-Livia, aku bisa jelaskan," Evan tergagap, melangkah mundur. "Tidak perlu!" Livia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Aku datang untuk menuntut hakku, Sandra. Uang yang kamu dan ibumu ambil dariku!" Sandra menyilangkan tangannya defensif. "Uang apa? Aku tidak mengerti maksudmu." "Jangan pura-pura!" suara Livia meninggi, menarik perhatian beberapa pengunjung taman. "Uang yang ditransfer Madam Rose melalui rekeningmu! Uang yang seharusnya untuk operasi Ayah!" Wajah Sandra mengeras. "Oh, uang hasil 'pekerjaan khusus'mu itu?" ia melirik Evan dengan tatapan penuh arti. "Ya, uang yang kudapatkan dengan mengorbankan diriku!" Livia merasakan air mata mulai menggenang. "Uang yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa Ayahku, tapi kamu dan
Satu bulan berlalu sejak peristiwa di taman itu. Livia mencoba menata kembali hidupnya perlahan-perlahan. Ia tetap bekerja sebagai cleaning service, meski harus berhadapan dengan Bu Marta yang semakin keras padanya sejak insiden di ruang penyimpanan. Beruntung, Livia hanya mendapat surat peringatan, bukan pemecatan. Pagi itu, seperti biasa, Livia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun, begitu ia mencium aroma telur yang sedang digoreng, perutnya terasa mual. Dengan tergesa-gesa, ia berlari ke kamar mandi."Hoek! Hoek!" Livia muntah-muntah, padahal perutnya kosong. Hanya cairan bening yang keluar.Elena yang mendengar suara itu bergegas menuju kamar mandi. "Liv? Kamu kenapa?" ia mengetuk pintu dengan cemas.Livia keluar dengan wajah pucat. "Entahlah, mungkin masuk angin. Tiba-tiba saja perutku mual mencium bau telur."Elena menatapnya lekat-lekat, merasa ada yang aneh. "Sudah berapa lama kamu seperti ini?""Baru pagi ini," Livia menjawab sambil berjalan gontai menuju dapur.
"Aku hamil, El," Livia berkata, seolah masih tidak percaya. "Aku mengandung anak entah siapa." Elena menghentikan langkahnya, memutar tubuh Livia agar menghadapnya. "Dengar, Liv. Ini memang kejutan besar. Tapi kamu tidak sendirian, oke? Aku di sini. Kita akan hadapi ini bersama." Livia menatap sahabatnya dengan linangan air mata. "Apa yang harus kulakukan, El? Aku bahkan tidak kenal siapa ayahnya. Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti?" Setelah keluar dari klinik, Elena mengantar Livia kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan, Livia hanya terdiam, tangannya gemetar memegangi perutnya yang masih rata. Tatapannya kosong menatap jalanan Jakarta yang mulai padat. Elena sesekali menggenggam tangannya, mencoba memberikan kekuatan meski ia sendiri masih terkejut dengan berita ini. "Sudah sampai," kata Elena ketika mereka tiba di basement apartemen. Livia turun dari mobil dengan langkah gontai. Tubuhnya seolah tidak bertenaga, seperti boneka yang digerakkan tanpa nyawa. Di lobi
Matahari mulai condong ke barat ketika Livia terbangun dari tidur singkatnya. Matanya sembab dan bengkak, tenggorokannya kering. Ia beranjak ke dapur untuk minum, tapi perutnya kembali mual. Tidak ada yang dimuntahkan selain cairan empedu yang pahit."Bahkan sekarang kamu menyiksaku," Livia berbisik pada perutnya. "Apa salahku sampai hidup seperti ini?"Suara kunci diputar di pintu depan mengejutkannya. Elena muncul dengan napas terengah-engah, wajahnya memancarkan kekhawatiran. Ia pasti berlari dari kantornya."Liv? Kamu baik-baik saja?" Elena langsung menghampiri Livia yang terduduk di lantai dapur.Livia mendongak, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. "Seperti yang kamu lihat," jawabnya lemah.Elena melirik ke meja makan, piring dan gelas masih teratur seperti pagi tadi. "Kamu belum makan seharian?" tanyanya cemas.Livia hanya menggeleng lemah."Astaga, Liv!" Elena membantunya berdiri. "Kamu harus makan, apalagi sekarang kamu—" ia tidak melanjutkan kata-katanya, takut menyinggun
Setelah menutup telepon, Livia masih duduk termenung di tepi tempat tidur. Perubahan hidupnya begitu drastis dan tiba-tiba, membuatnya kadang merasa seperti sedang bermimpi.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Liv? Boleh aku masuk?" suara Elena terdengar dari balik pintu."Tentu, El. Masuklah."Elena masuk dengan menenteng dua cangkir teh hangat. "Barusan Mbak Amina membuatkan kita ini." Ia menyodorkan salah satu cangkir kepada Livia."Terima kasih," Livia menerima cangkir itu, menghirup aromanya yang menenangkan. "Sudah mencoba kasurmu? Empuk sekali, kan?"Elena terkekeh, duduk di sebelah Livia. "Seperti tidur di atas awan," jawabnya sambil menyeruput tehnya perlahan. "Tadi kamu menelepon Gavin?"Livia mengangguk. "Dia menyarankan agar aku berhenti bekerja, tapi aku bilang aku ingin tetap bekerja sampai kandunganku berusia enam bulan.""Dan dia setuju?""Iya, meski tampak sedikit khawatir."Elena menatap sekeliling kamar mewah itu, lalu kembali menatap Livia dengan senyum
Belum sempat Livia dan Elena menjelajahi rumah baru mereka, sebuah suara lembut mengalihkan perhatian keduanya."Selamat malam, Nona."Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah berdiri di ambang pintu ruang tengah. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna abu-abu dengan celemek putih bersih. Rambutnya yang mulai beruban diikat rapi ke belakang."Tuan Gavin sudah memberitahu kedatangan Nona-nona malam ini," wanita itu membungkuk sopan. "Mari, saya tunjukkan kamar yang sudah saya persiapkan untuk Nona-nona."Elena melirik Livia, alisnya terangkat takjub. "Kita bahkan punya pelayan pribadi?" bisiknya.Amina menuntun mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Koridor dengan dinding putih bersih dan beberapa lukisan pemandangan terbentang di hadapan mereka. "Ada empat kamar tidur di lantai ini," jelas Amina sembari berjalan. "Dua kamar menghadap ke depan dengan pemandangan taman depan dan samping, dua lainnya menghadap ke belakang dengan pemandangan taman belakang. Semua kamar memiliki ka
Jemari Livia sedikit bergetar saat mencari kontak Gavin. Haruskah ia menceritakan tentang Bella yang melabraknya? Tapi itu hanya akan menambah beban pikiran Gavin yang sedang sibuk dengan perusahaannya di Singapura."Halo?" suara Gavin terdengar dari seberang. "Livia?""Hai, Gavin," Livia berusaha terdengar normal, meski hatinya masih berdebar kencang mengingat kejadian tadi. "Maaf mengganggumu. Apa kamu sedang sibuk?""Tidak, aku baru selesai makan malam. Ada apa?"Livia menarik napas dalam-dalam. "Aku ... aku sudah memutuskan untuk menerima tawaranmu. Aku dan Elena akan menempati rumah itu, kalau masih boleh."Ada jeda sejenak, kemudian Livia bisa mendengar senyum dalam suara Gavin."Tentu saja boleh," jawab Gavin, nada suaranya terdengar lega dan gembira. "Kapan kalian akan pindah?""Mungkin malam ini juga, kalau tidak keberatan.""Malam ini?" Gavin terdengar terkejut. "Keputusan yang sangat mendadak?"Livia melirik Elena yang mengangguk memberi dukungan. "Tidak ada alasan khusus.
Jam kerja berakhir, lampu-lampu ruangan satu per satu dimatikan. Livia membereskan pekerjaannya dengan gerakan lambat, masih memikirkan gosip yang ia dengar siang tadi. Sementara Elena menunggunya di pintu, seperti biasa."Siap pulang?" tanya Elena sembari tersenyum hangat.Livia mengangguk, menyelempangkan tasnya. "Ayo kita pulang tuan putri," Elena tertawa kecil, mengaitkan lengannya pada lengan Livia. Mereka melangkah meninggalkan gedung perkantoran. Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat pada jalanan kota yang mulai padat dengan kendaraan jam pulang kerja. Livia dan Elena berjalan berdampingan, sesekali tertawa kecil membicarakan hal-hal ringan, berusaha melupakan gosip yang menggelisahkan."Jadi, kamu sudah memikirkan tawaran dia soal rumah itu?" tanya Elena."Hmm, aku—""HEI, PELACUR!"Teriakan itu membekukan langkah Livia dan Elena. Keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita cantik melangkah cepat ke arah mereka dengan wajah merah padam penuh a
Kantin kantor selalu ramai saat jam makan siang. Livia mengambil nampan, mengantri di belakang puluhan karyawan lainnya. Matanya mencari-cari sosok Elena, dan menemukan sahabatnya itu sudah duduk di meja pojok dekat jendela."Maaf, aku telat, keasyikan berbincang di telepon," kata Livia, meletakkan nampan berisi nasi, sayur asem, dan ayam goreng di meja.Elena mengibaskan tangannya santai. "Tidak apa-apa. Memangnya telepon dari siapa? Kelihatannya penting sekali sampai kamu terlambat makan siang."Wajah Livia merona, ia menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanannya. "Gavin," bisiknya pelan.Mata Elena melebar. "Wow! CEO kita yang sedang di Singapura itu menyempatkan diri meneleponmu di tengah kesibukannya? Manis sekali!""Ssst! Jangan keras-keras!" Livia menyikut lengan Elena, matanya waspada melirik ke sekitar. "Dia hanya menanyakan kabar dan mengingatkanku untuk makan dan minum vitamin.""Ya, ya, tentu saja," goda Elena, menyendokkan nasi ke mulutnya. "Kalian seperti pasangan yang
Livia menekan tombol lift menuju lantai 25, tempat ruangan Gavin berada. Jam tangannya menunjukkan pukul 7:30—tiga puluh menit lebih awal dari jam masuk normal. Entah mengapa, pagi ini ia bangun lebih pagi dari biasanya, mungkin karena kegembiraan tentang rumah barunya masih menggelayuti pikirannya.Saat pintu lift terbuka, lorong masih sepi. Langkah kakinya bergema di lantai yang mengkilap. Livia berhenti sejenak di depan pintu kaca yang memisahkan area eksekutif—tempat ruangan Gavin berada—dengan area staff lainnya. Matanya secara otomatis mencari ke arah pintu berplakat "Direktur Utama" di ujung koridor."Apa dia sudah berangkat?" bisiknya pada diri sendiri, melangkah perlahan mendekati ruangan Gavin.Dengan hati-hati, Livia mengintip melalui jendela kaca yang sedikit tertutup tirai. Ruangan tampak gelap dan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Meja kerja yang biasanya dipenuhi dokumen kini tertata rapi, komputer dalam keadaan mati, dan kursi kerja Gavin kosong.Li
Di dalam kamar, Livia mengganti dress putihnya dengan piyama bermotif bunga-bunga. Ia duduk di tepi ranjang, mata menerawang ke arah langit-langit kamar. Tangannya masih menggenggam kunci rumah pemberian Gavin, jemarinya mengelus permukaan logam itu dengan penuh kehati-hatian."Apakah ini mimpi?" gumamnya pada diri sendiri.Livia berbaring, menarik selimut tipis hingga sebatas dada. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu—wajah Gavin yang tersenyum lembut padanya, tatapan matanya yang penuh perhatian, genggaman tangannya yang hangat. Jantungnya berdebar kencang hanya dengan mengingat semua itu."Ah, tapi aku harus sadar diri dan tidak boleh ke-ge-er-an," bisiknya, memperingatkan diri sendiri. "Gavin melakukan semua ini hanya karena aku mengandung anaknya, bukan karena dia menyukaiku."Livia memiringkan tubuhnya, memandang tembok kamar yang sudah menguning. Matanya mulai terasa berat."Tentu saja itu tidak mungkin terjadi," bisiknya lagi, suaranya semakin pelan. "Pria seper
Setelah berbincang kesana kemari, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Livia memutuskan untuk pulang. Mereka masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Sesekali Livia melirik ke arah Gavin yang fokus menyetir, senyum tipis tersungging di bibirnya saat mengingat kejadian beberapa jam lalu.Setelah 40 menit, mobil Gavin tiba di area basement. Gavin menghentikan mobilnya di tempat parkir yang sepi. Lampu basement yang temaram menyinari wajah keduanya. Sebelum Livia turun, Gavin meraih tangannya dengan lembut."Livia," suaranya dalam dan penuh keyakinan, "kumohon pertimbangkan lagi untuk menempati rumah itu. Aku benar-benar ingin kamu dan bayi kita tinggal di tempat yang aman dan layak."Livia menghela napas panjang, mata hazelnya bertemu dengan mata cokelat Gavin. Jemarinya memainkan ujung dress putihnya dengan gugup."Terima kasih banyak, Gavin. Sungguh, ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi kalau hanya untuk menempati ... kurasa aku
Begitu pintu utama terbuka, Livia disambut oleh interior yang elegan—perpaduan gaya klasik dan modern, dengan cat dinding cream yang hangat dan lantai marmer putih yang mengkilap."Ini rumah siapa?" tanya Livia sekali lagi, matanya berkeliling takjub melihat lukisan-lukisan mahal yang terpajang di dinding.Gavin hanya tersenyum misterius, tidak menjawab pertanyaan Livia. Ia menuntun Livia melalui lorong pendek menuju ruang makan. Dua orang pelayan berseragam rapi langsung membungkuk hormat begitu melihat kedatangan mereka."Selamat malam, Tuan Lysandros," sapa salah satu pelayan. "Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Anda.""Terima kasih, Amina," jawab Gavin singkat.Ruang makan itu tidak terlalu besar namun sangat mengesankan. Meja makan untuk dua orang terletak di tengah, dihiasi dengan lilin-lilin kecil dan rangkaian bunga lily putih—menciptakan suasana romantis yang sempurna. Jendela-jendela besar menghadap ke taman belakang yang diterangi lampu-lampu taman."Silakan duduk," Pe