"Aku hamil, El," Livia berkata, seolah masih tidak percaya. "Aku mengandung anak entah siapa." Elena menghentikan langkahnya, memutar tubuh Livia agar menghadapnya. "Dengar, Liv. Ini memang kejutan besar. Tapi kamu tidak sendirian, oke? Aku di sini. Kita akan hadapi ini bersama." Livia menatap sahabatnya dengan linangan air mata. "Apa yang harus kulakukan, El? Aku bahkan tidak kenal siapa ayahnya. Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti?" Setelah keluar dari klinik, Elena mengantar Livia kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan, Livia hanya terdiam, tangannya gemetar memegangi perutnya yang masih rata. Tatapannya kosong menatap jalanan Jakarta yang mulai padat. Elena sesekali menggenggam tangannya, mencoba memberikan kekuatan meski ia sendiri masih terkejut dengan berita ini. "Sudah sampai," kata Elena ketika mereka tiba di basement apartemen. Livia turun dari mobil dengan langkah gontai. Tubuhnya seolah tidak bertenaga, seperti boneka yang digerakkan tanpa nyawa. Di lobi
Matahari mulai condong ke barat ketika Livia terbangun dari tidur singkatnya. Matanya sembab dan bengkak, tenggorokannya kering. Ia beranjak ke dapur untuk minum, tapi perutnya kembali mual. Tidak ada yang dimuntahkan selain cairan empedu yang pahit."Bahkan sekarang kamu menyiksaku," Livia berbisik pada perutnya. "Apa salahku sampai hidup seperti ini?"Suara kunci diputar di pintu depan mengejutkannya. Elena muncul dengan napas terengah-engah, wajahnya memancarkan kekhawatiran. Ia pasti berlari dari kantornya."Liv? Kamu baik-baik saja?" Elena langsung menghampiri Livia yang terduduk di lantai dapur.Livia mendongak, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. "Seperti yang kamu lihat," jawabnya lemah.Elena melirik ke meja makan, piring dan gelas masih teratur seperti pagi tadi. "Kamu belum makan seharian?" tanyanya cemas.Livia hanya menggeleng lemah."Astaga, Liv!" Elena membantunya berdiri. "Kamu harus makan, apalagi sekarang kamu—" ia tidak melanjutkan kata-katanya, takut menyinggun
Ketika Livia sedang menangis di atas kasur, ponselnya tiba-tiba berdering. Ada pesan dari Elena."Liv, aku lembur hari ini. Pulang malam. Kalau mau, kamu bisa datang ke kantorku setelah jam kerja. Ada ruang istirahat, atau naik saja ke rooftop, pemandangannya bagus. Ada taman kecil juga di atas. Kamu bisa lihat Jakarta dari sana. Mungkin bisa menghiburmu sedikit."Livia membaca pesan itu berulang kali. Ide untuk keluar dari apartemen dan menikmati udara segar terdengar begitu menggiurkan daripada harus terkungkung dalam kesedihannya.Jam menunjukkan pukul 7 malam ketika Livia akhirnya memutuskan untuk pergi. Ia mengenakan cardigan tipis untuk melindungi dari angin malam, lalu melangkah keluar dari apartemen.Gedung tempat Elena bekerja hanya berjarak sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Livia menunjukkan kartu identitasnya pada petugas keamanan dan menjelaskan bahwa ia teman Elena."Mbak Elena ada di lantai 14, sedang lembur," kata petugas itu ramah. "Tapi kalau Mbak mau ke rooftop du
Masih di rooftop, ponsel Livia tiba-tiba bergetar. Nama Elena muncul pada layar."Liv? Kamu di mana?" suara Elena terdengar sedikit cemas."Aku di rooftop kantormu, El," jawab Livia sambil menghapus sisa air mata di pipinya. "Tadi aku lihat pesanmu, jadi kuputuskan untuk ke sini.""Oh, syukurlah. Mau turun ke ruanganku? Aku sudah hampir selesai, kok."Livia menatap langit malam Jakarta. "Tidak usah, El. Aku tunggu di sini saja. Pemandangannya bagus, dan ... aku butuh waktu sendirian sebentar.""Kamu baik-baik saja, kan?" terdengar keraguan dalam suara Elena."Tidak apa-apa. Kamu selesaikan saja dulu pekerjaanmu. Aku tidak mau mengganggu.""Baiklah. Aku akan ke sana setengah jam lagi, oke?""Oke," Livia mengakhiri panggilan dan kembali menatap gemerlap kota dari ketinggian.Empat puluh menit kemudian, pintu rooftop terbuka. Elena muncul dengan wajah lelah tapi tetap tersenyum hangat. Ia menghampiri Livia yang duduk di salah satu bangku kayu."Maaf ya, agak lama. Ada beberapa laporan ya
"Ayo, kita ke minimarket saja. Beli roti dan susu," Elena memapah Livia menjauh dari warung.Setelah membeli beberapa makanan ringan dan susu di minimarket terdekat, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya di apartemen, Livia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Wajahnya masih pucat, dan tubuhnya gemetar sedikit.Elena menyiapkan makanan di meja. Ia memanaskan sedikit tuna kaleng dan meletakkannya di mangkuk. "Liv, makanlah dulu. Paling tidak sedikit," pintanya saat Livia keluar dari kamar mandi."Aku tidak yakin bisa makan, El," Livia duduk di meja makan dengan lesu."Cobalah. Lihat wajahmu sudah pucat begitu. Kalau begini terus, nanti kamu bisa sakit dan bayimu bisa kekurangan nutrisi." Elena mendorong mangkuk tuna dan roti ke arah Livia. "Hanya beberapa roti saja."Dengan enggan, Livia mengambil sendok dan mulai menyapukan tuna ke atas roti kemudian memasukkan ke mulutnya dengan sangat perlahan. Ia mengunyah dan menelan dengan hati-hati, seolah setiap gerakan b
Pagi itu, Livia bangun dengan perasaan campur aduk. Hari ini, ia akan berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya di PT Adi Jaya. Ia mengenakan seragam cleaning service-nya untuk yang terakhir kali, merapikan kerah bajunya di depan cermin. Matanya menatap pantulan dirinya yang masih tampak pucat.Seperti mimpi. Ini adalah hari terakhir setelah empat tahun bekerja di perusahaan yang mempertemukannya dengan Evan. Namun, ia tak lagi sedih seperti kemarin, sudah ada perusahaan baru yang menantinya untuk bekerja. Livia sampai di perusahaan tempatnya bekerja tepat pada waktunya. Beberapa rekan sesama cleaning service menyapanya dengan hangat, beberapa menatapnya dengan iba karena kontraknya tidak diperpanjang. Bu Marta, seperti biasa, hanya meliriknya sekilas tanpa berkata-kata."Livia, kamu dipanggil ke HRD," seorang petugas keamanan memberitahunya.Di ruang HRD, wanita berkacamata yang sama menyodorkan amplop coklat ke arahnya."Ini pesangon Mbak Livia. Silakan dihitung dulu," ucapnya dengan
"Nyonya Livia?" seorang perawat memanggil namanya. Livia bangkit dari duduknya, diikuti Elena. "Saya sendiri yang masuk atau—" "Temannya boleh ikut," perawat itu tersenyum ramah. Di dalam ruangan, wanita yang mengenakan jubah putih berusia sekitar 40-an menyambut mereka dengan senyuman. "Selamat pagi. Saya Dokter Maria," dokter itu memperkenalkan diri. "Jadi, Ibu Livia, ini kehamilan pertama?" Livia mengangguk gugup. "Iya, Dok." "Sudah berapa minggu?" "Saya tidak tahu pasti. Mungkin sekitar 6 minggu? Saya baru mengetahuinya sekitar satu minggu yang lalu." Dokter Maria mencatat di komputernya. "Baik, kita akan lakukan pemeriksaan fisik dulu, kemudian USG untuk memastikan usia kehamilan dan kesehatan janin." Setelah pemeriksaan fisik singkat, Livia diminta berbaring di ranjang untuk USG. Elena berdiri di sampingnya, memberikan dukungan moral. Dokter Maria mengoleskan gel dingin di perut Livia, lalu mulai menggerakkan alat USG. "Nah, ini dia," Dokter Maria menunjuk ke
Senin pagi, Livia berdiri di depan cermin kamarnya, jemarinya dengan teliti mengancingkan kemeja putih yang dipinjamnya dari Elena. Kemeja itu sedikit longgar di bagian perutnya, yang mungkin akan berguna beberapa bulan ke depan, pikirnya. Ia merapikan rok hitam selutut yang sudah disetrika rapi sejak semalam. Berusaha tampil profesional di hari pertama bekerja, meskipun hanya sebagai cleaning service."Kamu bisa melakukan ini," Livia berbisik pada bayangannya sendiri, tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang masih rata. "Kita bisa melakukan ini."Sentuhan terakhir, Livia mengikat rambutnya menjadi sanggul rapi lalu memoleskan lipstik berwarna nude. Meskipun bekerja sebagai cleaning service, ia tidak ingin tampil sembarangan. "Liv, sudah siap?" suara Elena terdengar dari luar kamar. "Kita harus berangkat lima belas menit lagi kalau tidak mau terlambat.""Sebentar lagi!" Livia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan tidak ada yang terlewat. Sempurna, setidaknya untuk stand
Gavin berjalan cepat melewati lobi gedung Lysandros Group Singapura. Beberapa karyawan mengangguk hormat padanya, tapi tatapan mereka jelas dipenuhi kekhawatiran dan bisik-bisik yang terhenti ketika ia mendekat. Gavin mengabaikan semua itu. Saat ini fokusnnya hanya satu, yaitu menyelamatkan perusahaan yang telah ia bangun dengan segenap jiwa dan raganya."Semua sudah menunggu di ruang rapat utama," kata Kevin, berusaha mengimbangi langkah cepat Gavin.Gavin mengecek arlojinya. "Baik. Aku akan langsung ke sana."Begitu sampai di ruang rapat, suasana tegang langsung terasa. Lima belas anggota direksi dan kepala departemen duduk mengelilingi meja oval besar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Percakapan terhenti saat Gavin melangkah masuk."Selamat pagi," sapa Gavin, suaranya tegas dan terkendali meskipun ia tahu seluruh ruangan bisa merasakan kecemasannya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Saya yakin kita semua sudah mengetahui situasi
Malam semakin larut, tapi Gavin masih berada di kantornya. Gedung yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa petugas keamanan dan staff yang lembur. Jas hitamnya sudah tersampir di sandaran kursi, dasinya dilonggarkan, dan dua kancing teratas kemejanya dibuka—sebuah pemandangan langka bagi siapapun yang mengenal Gavin sebagai pria yang selalu menjaga penampilan sempurna.Layar komputernya menunjukkan penurunan saham yang semakin dalam. Tidak hanya itu, email dari beberapa mitra bisnis yang membatalkan pertemuan atau perjanjian kerja sama juga terus bermunculan di inbox-nya.Ponselnya berdering lagi. Nama "Mama" muncul di layar. Gavin menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma," sapanya, berusaha terdengar normal."Gavin," suara Bu Lina terdengar cemas. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?""Baik, Ma," jawab Gavin, berbohong."Jangan bohong pada Mama," tegur Bu Lina. "Mama sudah melihat konferensi persmu. Apa yang kau pikirkan, mengakui semuanya begitu saja?"Gavin menghel
Livia mengangguk cepat, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Bu Lina masuk ke ruang tengah yang tertata rapi."Silakan duduk, Bu. Mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Livia."Teh saja," jawab Bu Lina singkat, matanya mengamati sekitar—semua perabotan tampak modern dan minimalis. Livia bergegas ke dapur dan memerintahkan Amina untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Amina datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silahkan diminum, Bu," kata Livia dengan sopan. Bu Lina menyeruput tehnya. "Kita perlu bicara."Livia duduk di hadapan Bu Lina, matanya tidak berani menatap langsung pada Bu Lina. Suasana canggung menyelimuti ruangan. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Bu Lina, memecah keheningan."Delapan bulan, Bu," jawab Livia pelan.Bu Lina mengangguk. "Dan bagaimana dengan kesehatanmu? Apa kau rutin memeriksakan kandungan?"Livia mengangguk. "Gavin memastikan saya mendapat perawatan yang baik." Belum sempat Bu Lina melanjutkan pertanyaannya, suara presenter berita di televisi yan
Gavin menatap wartawan itu dengan tatapan dingin, tapi tetap menjaga nada suaranya tetap terkontrol. "Saya tidak akan membahas detail privasinya, tapi ya, seorang wanita bernama Livia sedang mengandung anak saya." Gavin melihat wajah-wajah wartawan yang terkejut—mereka tidak menyangka akan mendapat pengakuan langsung."Tapi apakah ini terjadi saat Anda masih berstatus suami dari Bella Lysandros?" tanya wartawan lain.Gavin menggeleng tegas. "Tidak. Hubungan saya dengan Bella sebenarnya sudah lama berakhir, sebelum saya mengenal Livia.""Lalu bagaimana dengan pernyataan Bella yang mengatakan bahwa Anda telah berselingkuh selama bertahun-tahun?" Rahang Gavin mengeras, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Saya di sini tidak untuk menjelekkan siapapun, termasuk mantan istri saya. Yang perlu diketahui adalah bahwa perceraian kami terjadi karena ketidakcocokan yang sudah berlangsung lama. Bukan karena saya berselingkuh.""Tapi foto-foto yang beredar menunjukkan Anda dan Livia bersama
Di apartemen Daniel, Bella masih menikmati kemenangannya. Ia baru saja selesai melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu stasiun televisi nasional, di mana ia berperan sebagai korban yang tersakiti. Air mata buaya mengalir sempurna di pipinya yang dipoles makeup natural, menciptakan simpati dari pemirsa yang tidak tahu kebenaran di balik perceraiannya."Bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Bella pada Daniel yang duduk di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan."Sempurna," jawab Daniel datar. "Tapi aku masih berpikir kamu sudah sangat keterlaluan."Bella memutar bola matanya. "Oh, ayolah, Daniel. Ini baru permulaan. Tunggu saja sampai Lysandros Group benar-benar jatuh, dan Gavin akan merangkak memohon padaku." Ia tertawa kecil, suara tawanya terdengar dingin dan kejam.Daniel menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kasihan dan ngeri. Wanita cantik di hadapannya ini telah berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal, dikuasai oleh dendam dan kes
Ponsel Gavin di atas meja berdering nyaring, menampilkan nama Livia di layar. Dengan jari sedikit gemetar, ia menggeser layar untuk menjawab."Gavin?" suara Livia terdengar cemas di ujung telepon. "Apa kamu baik-baik saja?"Gavin tersenyum getir. Di tengah badai yang menghantam hidupnya, Livia masih sempat mengkhawatirkan keadaannya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabnya, berusaha terdengar tegar meski suaranya sedikit parau. "Bagaimana keadaanmu dan bayi kita?""Kami baik," jawab Livia dengan nada lembut. "Tapi berita itu ... foto-foto itu ....""Aku akan menyelesaikan ini semua," potong Gavin dengan nada tegas, jarinya menggenggam ponsel dengan erat. "Aku bisa mengatasi semua ini. Yang penting kamu tetap di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu. Wartawan pasti sedang mencarimu.""Baiklah," sahut Livia, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Aku ... aku takut semua ini karena aku.""Ini bukan salahmu," tegas Gavin. "Ini strategi Bella. M
Gavin menghela napas berat, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat."Jangan menyangkal," perintah Gavin dengan suara tegas namun terdengar lelah. "Tapi juga jangan memberikan detail apapun. Katakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.""Tapi, Tuan, mereka menuntut penjelasan lebih. Beberapa investor sudah mengisyaratkan akan menarik investasi mereka jika tidak ada klarifikasi resmi," jelas Kevin, suaranya terdengar frustrasi."Katakan pada mereka untuk tetap tenang," tegas Gavin. "Aku akan terbang ke Singapura besok pagi untuk berbicara langsung dengan mereka. Sekarang, pastikan semua staf kita menyiapkan strategi untuk menghadapi media."Gavin menutup telepon dan menatap langit-langit kantornya, pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin rumor ini bisa menyebar begitu cepat dan luas? Ia yakin bahwa Bella adalah dalang di balik semua ini. Gavin menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Grafik merah yang terus menukik tajam seakan m
Jemari Livia gemetar saat ia menggeser layarnya, membaca artikel yang memuat namanya dengan jelas—Livia, seorang cleaning service yang bekerja di Lysandros Group, disebutkan sebagai penyebab perceraian Gavin Lysandros dengan Bella setelah mengandung anak sang CEO.Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa foto dirinya tersebar—termasuk foto saat ia dan Gavin di rumah sakit dulu, ketika Gavin mengantarnya untuk check-up kehamilan. Foto yang sangat pribadi itu kini menjadi konsumsi publik.Air mata Livia mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mematikan ponselnya, namun berita itu terus bermunculan di televisi yang kebetulan sedang dinyalakan di ruang tengah."Berita ini menjadi viral tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara Asia lainnya," ucap presenter berita itu dengan nada sensasional. "Saham Lysandros Group dikabarkan langsung anjlok setelah berita ini tersebar."Livia terduduk lemas di sofa, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin berita pribadi mereka bi
Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan Livia. Matanya menatap lembut wanita yang tengah mengandung anaknya itu, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya perlahan. Ketimbang melanjutkan pembicaraan serius itu, Gavin memilih mengalihkan topik."Aku ingin melihat kamar anak kita," ujarnya sambil beranjak dari sofa, mengulurkan tangannya pada Livia.Livia, masih dengan jantung berdebar, menerima uluran tangan Gavin dan bangkit dari sofa dengan sedikit susah payah. Saat Gavin dengan natural meletakkan tangannya di pinggang Livia untuk membantunya berdiri, wanita itu bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik kontak mereka."Aku sudah memilih kamar yang paling dekat dengan kamarku."Mereka melangkah bersama, dengan langkah Gavin yang menyesuaikan kecepatan Livia. Setibanya di depan pintu kamar yang di tuju, Livia menghentikan langkahnya. "Ini kamarnya," ucapnya, lalu membuka pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, Gavin disambut pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Kamar berukura