Senin pagi, Livia berdiri di depan cermin kamarnya, jemarinya dengan teliti mengancingkan kemeja putih yang dipinjamnya dari Elena. Kemeja itu sedikit longgar di bagian perutnya, yang mungkin akan berguna beberapa bulan ke depan, pikirnya. Ia merapikan rok hitam selutut yang sudah disetrika rapi sejak semalam. Berusaha tampil profesional di hari pertama bekerja, meskipun hanya sebagai cleaning service."Kamu bisa melakukan ini," Livia berbisik pada bayangannya sendiri, tangannya tanpa sadar mengusap perutnya yang masih rata. "Kita bisa melakukan ini."Sentuhan terakhir, Livia mengikat rambutnya menjadi sanggul rapi lalu memoleskan lipstik berwarna nude. Meskipun bekerja sebagai cleaning service, ia tidak ingin tampil sembarangan. "Liv, sudah siap?" suara Elena terdengar dari luar kamar. "Kita harus berangkat lima belas menit lagi kalau tidak mau terlambat.""Sebentar lagi!" Livia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan tidak ada yang terlewat. Sempurna, setidaknya untuk stand
"Permisi, Bu. Saya Livia, cleaning service baru yang mulai bekerja hari ini," Livia memperkenalkan diri dengan sopan.Bu Ratna mendongak, mengamati Livia dari atas ke bawah. "Ah, Livia. Iya, HRD sudah memberitahu saya. Tepat waktu, bagus," ia mengangguk puas. "Saya Bu Ratna, kepala cleaning service di gedung ini.""Senang bertemu dengan Ibu," Livia tersenyum sopan."Duduklah," Bu Ratna menunjuk kursi di depan mejanya. "Saya akan menjelaskan beberapa hal penting tentang pekerjaan dan peraturan di sini."Selama lima belas menit berikutnya, Bu Ratna menjelaskan dengan rinci tentang jadwal kerja, area yang menjadi tanggung jawab Livia, standar kebersihan yang diterapkan, dan berbagai peraturan yang harus dipatuhi. Livia mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat poin-poin penting di buku kecil yang selalu dibawanya."PT Lysandros bukan perusahaan biasa," Bu Ratna menekankan. "Klien kami adalah orang-orang penting. Jadi kebersihan dan kerapian adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar.
Gavin menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam seketika melebar saat mengenali sosok Livia. Ia terlihat begitu terkejut, seolah melihat hantu. Mulutnya sedikit terbuka, nyaris mengucapkan sesuatu, tapi kemudian tertutup kembali.Livia menunduk dalam-dalam, berpura-pura sibuk membereskan kekacauan yang dibuatnya. Tangannya bergerak cepat mengambil kain pel dan mengelap air yang tumpah, tapi pikirannya benar-benar kosong. Ia bisa merasakan tatapan Gavin yang tertuju padanya, rasanya menusuk hingga ke tulang sumsum.Jangan lihat ke atas. Jangan lihat ke atas. Berpura-puralah tidak mengenalinya. "Maafkan saya," Livia bergumam kepada lantai dengan suara bergetar. "Saya akan segera membereskan ini."Dari sudut matanya, Livia bisa melihat sepatu hitam mengkilap Gavin yang kini berdiri diam tidak jauh dari tempatnya berlutut. Sepatu itu tidak bergerak, seolah pemiliknya sedang mempertimbangkan sesuatu.Suara langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat. Ternyata Bu Ratna yang sedari tadi
Lift mendesing naik menuju lantai 25, membawa Livia yang berdiri kaku dengan satu tangan mencengkeram pegangan di dinding lift dan satunya lagi tanpa sadar menyentuh perutnya yang masih rata. Angka digital pada layar lift bergerak naik perlahan, menghitung setiap lantai yang terlewati. 22 ... 23 ... 24 ...Livia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin tidak karuan.25 ...Pintu lift akhirnya terbuka. Livia melangkah keluar dengan kaki gemetar, memasuki area resepsionis yang mewah. Berbeda dengan lantai-lantai lain, lantai 25 dirancang dengan gaya yang jauh lebih elegan.Di balik meja resepsionis, seorang wanita cantik dengan rambut disanggul rapi tersenyum profesional padanya."Permisi," Livia menyapa dengan suara kecil. "Saya Livia. Saya dipanggil untuk bertemu dengan Pak Gavin."Mata resepsionis itu melebar sejenak, seolah terkejut melihat siapa yang dipanggil bos besarnya. "Ah, Anda Livia. Pak Gavin sudah menunggu. Silakan lewat sini."Resepsi
"Maaf, saya bukan wanita seperti itu lagi," Livia menggeleng pelan. "Malam itu ... hanya malam itu saja. Saya bekerja di sini sebagai cleaning service, tidak ada hubungannya dengan masa lalu." Gavin terdiam sejenak, memperhatikan Livia dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis di hadapannya dibandingkan dengan gadis yang ia temui dua bulan lalu. Sebuah perubahan halus yang sulit ia jelaskan. "Kenapa kau memilih bekerja di sini?" tanya Gavin tiba-tiba. "Dari semua tempat di Jakarta, kenapa kau memilih perusahaanku?" "Saya tidak tahu ini perusahaan Anda," Livia menegaskan sekali lagi. "Teman saya yang mencarikan pekerjaan ini. Saya hanya tahu ini adalah PT Lysandros, saya tidak tahu Anda pemiliknya." Gavin mengangguk pelan, tampak mempercayai jawaban Livia. Kemudian, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja, tatapannya semakin intens. "Ada satu hal yang membuatku penasaran, Livia," suaranya kini lebih tenang namun penuh tekanan. "Apakah kau hamil
Suara yang sangat tidak asing melegakan hatinya seketika. Elena berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran dan rasa ingin tahu."Elena ...," Livia mencoba tersenyum, tapi bibirnya hanya mampu bergetar lemah.Elena cepat-cepat masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Ya ampun, Liv! Semua orang membicarakanmu!" bisiknya dengan nada urgent. "Apa yang terjadi? Apa benar kamu dipanggil ke ruangan Pak Gavin? Apa dia memarahimu?"Livia melirik ke sekitar ruangan. Ada dua petugas kebersihan lain yang sedang beristirahat di sudut, sibuk mengobrol namun sesekali mencuri pandang ke arah mereka."Nanti akan kuceritakan," jawab Livia pelan, "tapi tidak di sini."Elena mengangguk paham. "Ini jam makan siang. Kita ke warung nasi dekat kantor saja? Aku lapar, dan kamu juga pasti butuh makan."Livia mengangguk lemah. "Tunggu sebentar, aku bereskan ini dulu."****Warung nasi kecil tak jauh dari gedung Lysandros Group selalu ramai di jam makan siang. Aroma rempah yang menggugah selera menguar
Di ruangannya yang luas, Gavin Lysandros menatap layar komputer dengan dahi berkerut. Sejak Livia meninggalkan ruangannya, pikirannya tak bisa lepas dari gadis itu. Ada sesuatu yang mengusiknya, sebuah intuisi yang selama ini jarang keliru. Tangannya meraih telepon di meja. "Nadia, bisa ke ruangan saya sebentar?" Tak lama kemudian, pintu ruangannya diketuk. Sekretarisnya, wanita berusia tiga puluhan dengan penampilan selalu rapi dan profesional, masuk dengan notes di tangan. "Ya, Pak Gavin?" "Tolong carikan saya data lengkap dan CV Livia, cleaning service baru di lantai dasar," pinta Gavin langsung. "Saya ingin tahu latar belakangnya, pendidikan, keluarga, alamat, semuanya." Nadia terlihat sedikit terkejut, namun dengan cepat kembali ke ekspresi profesionalnya. "Baik, Pak. Ada hal lain yang Bapak butuhkan?" "Tidak, itu saja untuk sekarang. Terima kasih." Setelah Nadia keluar, Gavin bersandar di kursinya, memutar-mutar pena di tangannya. Pikirannya melayang kembali ke mala
Malam telah menyelimuti Jakarta ketika mobil Mercedes hitam Gavin memasuki pelataran rumah megahnya di kawasan elite Menteng. Rumah bergaya mediterania itu berdiri angkuh dengan taman luas yang tertata apik, lampu-lampu taman menyala lembut menerangi jalan setapak menuju pintu utama.Begitu mobil berhenti, seorang pelayan bergegas membukakan pintu. Gavin melangkah keluar dengan wajah lelah. Jas mahalnya sedikit kusut setelah seharian bekerja. Deru mesin mobil perlahan menghilang saat sopir pribadinya mengarahkan kendaraan itu menuju garasi belakang."Selamat malam, Pak," sapa pelayan itu sopan.Gavin hanya mengangguk singkat sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah penat seharian, yang dia inginkan hanyalah ketenangan. Namun, begitu pintu utama terbuka, suara wanita yang sudah tidak asing menyambutnya dengan nada yang dibuat-buat riang."Sayang, kau sudah pulang!"Bella, dengan gaun rumahan yang tetap terlihat elegan, berjalan anggun menghampiri suaminya. Rambut pirang panjangn
Gavin berjalan cepat melewati lobi gedung Lysandros Group Singapura. Beberapa karyawan mengangguk hormat padanya, tapi tatapan mereka jelas dipenuhi kekhawatiran dan bisik-bisik yang terhenti ketika ia mendekat. Gavin mengabaikan semua itu. Saat ini fokusnnya hanya satu, yaitu menyelamatkan perusahaan yang telah ia bangun dengan segenap jiwa dan raganya."Semua sudah menunggu di ruang rapat utama," kata Kevin, berusaha mengimbangi langkah cepat Gavin.Gavin mengecek arlojinya. "Baik. Aku akan langsung ke sana."Begitu sampai di ruang rapat, suasana tegang langsung terasa. Lima belas anggota direksi dan kepala departemen duduk mengelilingi meja oval besar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Percakapan terhenti saat Gavin melangkah masuk."Selamat pagi," sapa Gavin, suaranya tegas dan terkendali meskipun ia tahu seluruh ruangan bisa merasakan kecemasannya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Saya yakin kita semua sudah mengetahui situasi
Malam semakin larut, tapi Gavin masih berada di kantornya. Gedung yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa petugas keamanan dan staff yang lembur. Jas hitamnya sudah tersampir di sandaran kursi, dasinya dilonggarkan, dan dua kancing teratas kemejanya dibuka—sebuah pemandangan langka bagi siapapun yang mengenal Gavin sebagai pria yang selalu menjaga penampilan sempurna.Layar komputernya menunjukkan penurunan saham yang semakin dalam. Tidak hanya itu, email dari beberapa mitra bisnis yang membatalkan pertemuan atau perjanjian kerja sama juga terus bermunculan di inbox-nya.Ponselnya berdering lagi. Nama "Mama" muncul di layar. Gavin menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma," sapanya, berusaha terdengar normal."Gavin," suara Bu Lina terdengar cemas. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?""Baik, Ma," jawab Gavin, berbohong."Jangan bohong pada Mama," tegur Bu Lina. "Mama sudah melihat konferensi persmu. Apa yang kau pikirkan, mengakui semuanya begitu saja?"Gavin menghel
Livia mengangguk cepat, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Bu Lina masuk ke ruang tengah yang tertata rapi."Silakan duduk, Bu. Mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Livia."Teh saja," jawab Bu Lina singkat, matanya mengamati sekitar—semua perabotan tampak modern dan minimalis. Livia bergegas ke dapur dan memerintahkan Amina untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Amina datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silahkan diminum, Bu," kata Livia dengan sopan. Bu Lina menyeruput tehnya. "Kita perlu bicara."Livia duduk di hadapan Bu Lina, matanya tidak berani menatap langsung pada Bu Lina. Suasana canggung menyelimuti ruangan. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Bu Lina, memecah keheningan."Delapan bulan, Bu," jawab Livia pelan.Bu Lina mengangguk. "Dan bagaimana dengan kesehatanmu? Apa kau rutin memeriksakan kandungan?"Livia mengangguk. "Gavin memastikan saya mendapat perawatan yang baik." Belum sempat Bu Lina melanjutkan pertanyaannya, suara presenter berita di televisi yan
Gavin menatap wartawan itu dengan tatapan dingin, tapi tetap menjaga nada suaranya tetap terkontrol. "Saya tidak akan membahas detail privasinya, tapi ya, seorang wanita bernama Livia sedang mengandung anak saya." Gavin melihat wajah-wajah wartawan yang terkejut—mereka tidak menyangka akan mendapat pengakuan langsung."Tapi apakah ini terjadi saat Anda masih berstatus suami dari Bella Lysandros?" tanya wartawan lain.Gavin menggeleng tegas. "Tidak. Hubungan saya dengan Bella sebenarnya sudah lama berakhir, sebelum saya mengenal Livia.""Lalu bagaimana dengan pernyataan Bella yang mengatakan bahwa Anda telah berselingkuh selama bertahun-tahun?" Rahang Gavin mengeras, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Saya di sini tidak untuk menjelekkan siapapun, termasuk mantan istri saya. Yang perlu diketahui adalah bahwa perceraian kami terjadi karena ketidakcocokan yang sudah berlangsung lama. Bukan karena saya berselingkuh.""Tapi foto-foto yang beredar menunjukkan Anda dan Livia bersama
Di apartemen Daniel, Bella masih menikmati kemenangannya. Ia baru saja selesai melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu stasiun televisi nasional, di mana ia berperan sebagai korban yang tersakiti. Air mata buaya mengalir sempurna di pipinya yang dipoles makeup natural, menciptakan simpati dari pemirsa yang tidak tahu kebenaran di balik perceraiannya."Bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Bella pada Daniel yang duduk di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan."Sempurna," jawab Daniel datar. "Tapi aku masih berpikir kamu sudah sangat keterlaluan."Bella memutar bola matanya. "Oh, ayolah, Daniel. Ini baru permulaan. Tunggu saja sampai Lysandros Group benar-benar jatuh, dan Gavin akan merangkak memohon padaku." Ia tertawa kecil, suara tawanya terdengar dingin dan kejam.Daniel menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kasihan dan ngeri. Wanita cantik di hadapannya ini telah berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal, dikuasai oleh dendam dan kes
Ponsel Gavin di atas meja berdering nyaring, menampilkan nama Livia di layar. Dengan jari sedikit gemetar, ia menggeser layar untuk menjawab."Gavin?" suara Livia terdengar cemas di ujung telepon. "Apa kamu baik-baik saja?"Gavin tersenyum getir. Di tengah badai yang menghantam hidupnya, Livia masih sempat mengkhawatirkan keadaannya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabnya, berusaha terdengar tegar meski suaranya sedikit parau. "Bagaimana keadaanmu dan bayi kita?""Kami baik," jawab Livia dengan nada lembut. "Tapi berita itu ... foto-foto itu ....""Aku akan menyelesaikan ini semua," potong Gavin dengan nada tegas, jarinya menggenggam ponsel dengan erat. "Aku bisa mengatasi semua ini. Yang penting kamu tetap di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu. Wartawan pasti sedang mencarimu.""Baiklah," sahut Livia, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Aku ... aku takut semua ini karena aku.""Ini bukan salahmu," tegas Gavin. "Ini strategi Bella. M
Gavin menghela napas berat, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat."Jangan menyangkal," perintah Gavin dengan suara tegas namun terdengar lelah. "Tapi juga jangan memberikan detail apapun. Katakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.""Tapi, Tuan, mereka menuntut penjelasan lebih. Beberapa investor sudah mengisyaratkan akan menarik investasi mereka jika tidak ada klarifikasi resmi," jelas Kevin, suaranya terdengar frustrasi."Katakan pada mereka untuk tetap tenang," tegas Gavin. "Aku akan terbang ke Singapura besok pagi untuk berbicara langsung dengan mereka. Sekarang, pastikan semua staf kita menyiapkan strategi untuk menghadapi media."Gavin menutup telepon dan menatap langit-langit kantornya, pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin rumor ini bisa menyebar begitu cepat dan luas? Ia yakin bahwa Bella adalah dalang di balik semua ini. Gavin menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Grafik merah yang terus menukik tajam seakan m
Jemari Livia gemetar saat ia menggeser layarnya, membaca artikel yang memuat namanya dengan jelas—Livia, seorang cleaning service yang bekerja di Lysandros Group, disebutkan sebagai penyebab perceraian Gavin Lysandros dengan Bella setelah mengandung anak sang CEO.Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa foto dirinya tersebar—termasuk foto saat ia dan Gavin di rumah sakit dulu, ketika Gavin mengantarnya untuk check-up kehamilan. Foto yang sangat pribadi itu kini menjadi konsumsi publik.Air mata Livia mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mematikan ponselnya, namun berita itu terus bermunculan di televisi yang kebetulan sedang dinyalakan di ruang tengah."Berita ini menjadi viral tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara Asia lainnya," ucap presenter berita itu dengan nada sensasional. "Saham Lysandros Group dikabarkan langsung anjlok setelah berita ini tersebar."Livia terduduk lemas di sofa, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin berita pribadi mereka bi
Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan Livia. Matanya menatap lembut wanita yang tengah mengandung anaknya itu, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya perlahan. Ketimbang melanjutkan pembicaraan serius itu, Gavin memilih mengalihkan topik."Aku ingin melihat kamar anak kita," ujarnya sambil beranjak dari sofa, mengulurkan tangannya pada Livia.Livia, masih dengan jantung berdebar, menerima uluran tangan Gavin dan bangkit dari sofa dengan sedikit susah payah. Saat Gavin dengan natural meletakkan tangannya di pinggang Livia untuk membantunya berdiri, wanita itu bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik kontak mereka."Aku sudah memilih kamar yang paling dekat dengan kamarku."Mereka melangkah bersama, dengan langkah Gavin yang menyesuaikan kecepatan Livia. Setibanya di depan pintu kamar yang di tuju, Livia menghentikan langkahnya. "Ini kamarnya," ucapnya, lalu membuka pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, Gavin disambut pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Kamar berukura