"Maaf, saya bukan wanita seperti itu lagi," Livia menggeleng pelan. "Malam itu ... hanya malam itu saja. Saya bekerja di sini sebagai cleaning service, tidak ada hubungannya dengan masa lalu." Gavin terdiam sejenak, memperhatikan Livia dengan seksama. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis di hadapannya dibandingkan dengan gadis yang ia temui dua bulan lalu. Sebuah perubahan halus yang sulit ia jelaskan. "Kenapa kau memilih bekerja di sini?" tanya Gavin tiba-tiba. "Dari semua tempat di Jakarta, kenapa kau memilih perusahaanku?" "Saya tidak tahu ini perusahaan Anda," Livia menegaskan sekali lagi. "Teman saya yang mencarikan pekerjaan ini. Saya hanya tahu ini adalah PT Lysandros, saya tidak tahu Anda pemiliknya." Gavin mengangguk pelan, tampak mempercayai jawaban Livia. Kemudian, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada meja, tatapannya semakin intens. "Ada satu hal yang membuatku penasaran, Livia," suaranya kini lebih tenang namun penuh tekanan. "Apakah kau hamil
Suara yang sangat tidak asing melegakan hatinya seketika. Elena berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kekhawatiran dan rasa ingin tahu."Elena ...," Livia mencoba tersenyum, tapi bibirnya hanya mampu bergetar lemah.Elena cepat-cepat masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Ya ampun, Liv! Semua orang membicarakanmu!" bisiknya dengan nada urgent. "Apa yang terjadi? Apa benar kamu dipanggil ke ruangan Pak Gavin? Apa dia memarahimu?"Livia melirik ke sekitar ruangan. Ada dua petugas kebersihan lain yang sedang beristirahat di sudut, sibuk mengobrol namun sesekali mencuri pandang ke arah mereka."Nanti akan kuceritakan," jawab Livia pelan, "tapi tidak di sini."Elena mengangguk paham. "Ini jam makan siang. Kita ke warung nasi dekat kantor saja? Aku lapar, dan kamu juga pasti butuh makan."Livia mengangguk lemah. "Tunggu sebentar, aku bereskan ini dulu."****Warung nasi kecil tak jauh dari gedung Lysandros Group selalu ramai di jam makan siang. Aroma rempah yang menggugah selera menguar
Di ruangannya yang luas, Gavin Lysandros menatap layar komputer dengan dahi berkerut. Sejak Livia meninggalkan ruangannya, pikirannya tak bisa lepas dari gadis itu. Ada sesuatu yang mengusiknya, sebuah intuisi yang selama ini jarang keliru. Tangannya meraih telepon di meja. "Nadia, bisa ke ruangan saya sebentar?" Tak lama kemudian, pintu ruangannya diketuk. Sekretarisnya, wanita berusia tiga puluhan dengan penampilan selalu rapi dan profesional, masuk dengan notes di tangan. "Ya, Pak Gavin?" "Tolong carikan saya data lengkap dan CV Livia, cleaning service baru di lantai dasar," pinta Gavin langsung. "Saya ingin tahu latar belakangnya, pendidikan, keluarga, alamat, semuanya." Nadia terlihat sedikit terkejut, namun dengan cepat kembali ke ekspresi profesionalnya. "Baik, Pak. Ada hal lain yang Bapak butuhkan?" "Tidak, itu saja untuk sekarang. Terima kasih." Setelah Nadia keluar, Gavin bersandar di kursinya, memutar-mutar pena di tangannya. Pikirannya melayang kembali ke mala
Malam telah menyelimuti Jakarta ketika mobil Mercedes hitam Gavin memasuki pelataran rumah megahnya di kawasan elite Menteng. Rumah bergaya mediterania itu berdiri angkuh dengan taman luas yang tertata apik, lampu-lampu taman menyala lembut menerangi jalan setapak menuju pintu utama.Begitu mobil berhenti, seorang pelayan bergegas membukakan pintu. Gavin melangkah keluar dengan wajah lelah. Jas mahalnya sedikit kusut setelah seharian bekerja. Deru mesin mobil perlahan menghilang saat sopir pribadinya mengarahkan kendaraan itu menuju garasi belakang."Selamat malam, Pak," sapa pelayan itu sopan.Gavin hanya mengangguk singkat sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah penat seharian, yang dia inginkan hanyalah ketenangan. Namun, begitu pintu utama terbuka, suara wanita yang sudah tidak asing menyambutnya dengan nada yang dibuat-buat riang."Sayang, kau sudah pulang!"Bella, dengan gaun rumahan yang tetap terlihat elegan, berjalan anggun menghampiri suaminya. Rambut pirang panjangn
Namun alih-alih tergoda, tatapan Gavin justru semakin dingin dan menusuk. Ekspresi jijik tergambar jelas di wajahnya. Bayangan istrinya bersama pria lain di ranjang kamar utama, kembali berputar di kepalanya seperti film horor yang tak bisa dihentikan."Pakai kembali pakaianmu dan keluar dari kamarku," ucap Gavin dengan suara rendah penuh ancaman. "Atau aku akan memastikan pengacaraku mengirimkan surat cerai besok pagi."Bella tersentak, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia menarik kembali gaun tidurnya, menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Air mata buaya mengalir semakin deras."Kamu tidak bisa selamanya seperti ini, Gavin," bisiknya sebelum berbalik menuju pintu. "Suatu hari kamu akan sadar bahwa kamu juga membutuhkanku."Begitu Bella keluar, Gavin membanting pintu dan menguncinya rapat. Nafasnya memburu, amarah dan rasa muak bercampur menjadi satu. Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan diri.Di cermin, ia menatap re
Siang itu, di gedung pencakar langit tempat Livia bekerja, udara dingin AC tidak mengurangi perasaan lelah yang dirasakannya. Sudah lima jam ia mondar-mandir membersihkan toilet, menyeka kaca, dan menyapu lantai tanpa henti. Keringat dingin membasahi keningnya meski ruangan terasa sejuk.Bu Ratna, supervisor cleaning service terus mengikutinya sejak pagi. Mata wanita paruh baya itu tak lepas memperhatikan setiap gerakan Livia, sesekali berdecak saat menemukan area yang menurutnya belum cukup bersih."Livia, ini masih kotor! Pel ulang!" bentak Bu Ratna sambil menunjuk sudut lantai yang menurut Livia sudah cukup bersih. "Saya tidak mau ya kamu teledor seperti hari pertama bekerja!" "Baik, Bu," jawab Livia lirih, menahan rasa pusing yang mulai menyerang. Ia membungkuk untuk mengambil kembali alat pel, merasakan nyeri tajam di perutnya. Refleks, tangannya menyentuh perutnya yang masih rata.Bu Ratna memperhatikan dengan mata menyipit. "Kenapa? Sakit?""Tidak, Bu. Saya baik-baik saja," Li
Suara pintu terbuka dengan keras terdengar dari ujung lorong. Gavin Lysandros keluar dari ruangannya dengan wajah kesal, jelas terganggu oleh keributan."Ada apa ini?" tanyanya dengan suara dingin dan tegas.Namun, begitu mata Gavin menangkap sosok Livia yang meringkuk kesakitan dengan darah di celana kerjanya, ekspresinya berubah drastis. Wajahnya yang biasanya tegas dan terkontrol kini dipenuhi keterkejutan dan kekhawatiran."Livia?" Suaranya terdengar tidak percaya.Tanpa pikir panjang, Gavin bergegas menghampiri, berlutut di sisi Livia yang kini semakin pucat. "Apa yang terjadi?""Sa-sakit ...," Livia hanya mampu berbisik di antara isak tangisnya.Gavin tampak terguncang. Matanya menatap darah yang merembes di celana Livia, lalu beralih ke wajah gadis itu yang pucat dan ketakutan. "Nadia, telepon ambulans sekarang!" perintahnya tegas. "Dan kamu," ia menunjuk resepsionis, "ambilkan selimut atau jaket, apapun untuk menutupinya!"Livia menatap Gavin dengan mata berkabut, sakit dan t
"Jadi ... dia benar hamil?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.Dokter itu mengangguk. "Ya, sekitar 7-8 minggu. Untungnya, janin masih bisa diselamatkan. Tapi Nona Livia membutuhkan istirahat total setidaknya satu bulan ke depan, dan nutrisi yang jauh lebih baik."Gavin terdiam, mencerna informasi itu. Delapan minggu ... waktunya tepat sesuai dengan malam itu. Bayi itu ... kemungkinan besar adalah anaknya."Apa dia bisa pulang hari ini?" tanya Gavin akhirnya."Tidak, Tuan. Kami perlu memantau kondisinya setidaknya 24 jam ke depan untuk memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut. Jika semua stabil, besok sore ia baru bisa pulang."Gavin mengangguk pelan. "Terima kasih, Dokter. Bisakah saya menemuinya sekarang?""Tentu, tapi jangan terlalu lama. Dia butuh istirahat," jawab Dokter itu sebelum berlalu.Gavin mendorong pintu ruangan dengan hati-hati. Di dalam, Livia terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang infus terpasang di tangannya. Wajahnya yang pucat tampak kont
Gavin berjalan cepat melewati lobi gedung Lysandros Group Singapura. Beberapa karyawan mengangguk hormat padanya, tapi tatapan mereka jelas dipenuhi kekhawatiran dan bisik-bisik yang terhenti ketika ia mendekat. Gavin mengabaikan semua itu. Saat ini fokusnnya hanya satu, yaitu menyelamatkan perusahaan yang telah ia bangun dengan segenap jiwa dan raganya."Semua sudah menunggu di ruang rapat utama," kata Kevin, berusaha mengimbangi langkah cepat Gavin.Gavin mengecek arlojinya. "Baik. Aku akan langsung ke sana."Begitu sampai di ruang rapat, suasana tegang langsung terasa. Lima belas anggota direksi dan kepala departemen duduk mengelilingi meja oval besar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Percakapan terhenti saat Gavin melangkah masuk."Selamat pagi," sapa Gavin, suaranya tegas dan terkendali meskipun ia tahu seluruh ruangan bisa merasakan kecemasannya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Saya yakin kita semua sudah mengetahui situasi
Malam semakin larut, tapi Gavin masih berada di kantornya. Gedung yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa petugas keamanan dan staff yang lembur. Jas hitamnya sudah tersampir di sandaran kursi, dasinya dilonggarkan, dan dua kancing teratas kemejanya dibuka—sebuah pemandangan langka bagi siapapun yang mengenal Gavin sebagai pria yang selalu menjaga penampilan sempurna.Layar komputernya menunjukkan penurunan saham yang semakin dalam. Tidak hanya itu, email dari beberapa mitra bisnis yang membatalkan pertemuan atau perjanjian kerja sama juga terus bermunculan di inbox-nya.Ponselnya berdering lagi. Nama "Mama" muncul di layar. Gavin menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma," sapanya, berusaha terdengar normal."Gavin," suara Bu Lina terdengar cemas. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?""Baik, Ma," jawab Gavin, berbohong."Jangan bohong pada Mama," tegur Bu Lina. "Mama sudah melihat konferensi persmu. Apa yang kau pikirkan, mengakui semuanya begitu saja?"Gavin menghel
Livia mengangguk cepat, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Bu Lina masuk ke ruang tengah yang tertata rapi."Silakan duduk, Bu. Mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Livia."Teh saja," jawab Bu Lina singkat, matanya mengamati sekitar—semua perabotan tampak modern dan minimalis. Livia bergegas ke dapur dan memerintahkan Amina untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Amina datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silahkan diminum, Bu," kata Livia dengan sopan. Bu Lina menyeruput tehnya. "Kita perlu bicara."Livia duduk di hadapan Bu Lina, matanya tidak berani menatap langsung pada Bu Lina. Suasana canggung menyelimuti ruangan. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Bu Lina, memecah keheningan."Delapan bulan, Bu," jawab Livia pelan.Bu Lina mengangguk. "Dan bagaimana dengan kesehatanmu? Apa kau rutin memeriksakan kandungan?"Livia mengangguk. "Gavin memastikan saya mendapat perawatan yang baik." Belum sempat Bu Lina melanjutkan pertanyaannya, suara presenter berita di televisi yan
Gavin menatap wartawan itu dengan tatapan dingin, tapi tetap menjaga nada suaranya tetap terkontrol. "Saya tidak akan membahas detail privasinya, tapi ya, seorang wanita bernama Livia sedang mengandung anak saya." Gavin melihat wajah-wajah wartawan yang terkejut—mereka tidak menyangka akan mendapat pengakuan langsung."Tapi apakah ini terjadi saat Anda masih berstatus suami dari Bella Lysandros?" tanya wartawan lain.Gavin menggeleng tegas. "Tidak. Hubungan saya dengan Bella sebenarnya sudah lama berakhir, sebelum saya mengenal Livia.""Lalu bagaimana dengan pernyataan Bella yang mengatakan bahwa Anda telah berselingkuh selama bertahun-tahun?" Rahang Gavin mengeras, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Saya di sini tidak untuk menjelekkan siapapun, termasuk mantan istri saya. Yang perlu diketahui adalah bahwa perceraian kami terjadi karena ketidakcocokan yang sudah berlangsung lama. Bukan karena saya berselingkuh.""Tapi foto-foto yang beredar menunjukkan Anda dan Livia bersama
Di apartemen Daniel, Bella masih menikmati kemenangannya. Ia baru saja selesai melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu stasiun televisi nasional, di mana ia berperan sebagai korban yang tersakiti. Air mata buaya mengalir sempurna di pipinya yang dipoles makeup natural, menciptakan simpati dari pemirsa yang tidak tahu kebenaran di balik perceraiannya."Bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Bella pada Daniel yang duduk di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan."Sempurna," jawab Daniel datar. "Tapi aku masih berpikir kamu sudah sangat keterlaluan."Bella memutar bola matanya. "Oh, ayolah, Daniel. Ini baru permulaan. Tunggu saja sampai Lysandros Group benar-benar jatuh, dan Gavin akan merangkak memohon padaku." Ia tertawa kecil, suara tawanya terdengar dingin dan kejam.Daniel menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kasihan dan ngeri. Wanita cantik di hadapannya ini telah berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal, dikuasai oleh dendam dan kes
Ponsel Gavin di atas meja berdering nyaring, menampilkan nama Livia di layar. Dengan jari sedikit gemetar, ia menggeser layar untuk menjawab."Gavin?" suara Livia terdengar cemas di ujung telepon. "Apa kamu baik-baik saja?"Gavin tersenyum getir. Di tengah badai yang menghantam hidupnya, Livia masih sempat mengkhawatirkan keadaannya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabnya, berusaha terdengar tegar meski suaranya sedikit parau. "Bagaimana keadaanmu dan bayi kita?""Kami baik," jawab Livia dengan nada lembut. "Tapi berita itu ... foto-foto itu ....""Aku akan menyelesaikan ini semua," potong Gavin dengan nada tegas, jarinya menggenggam ponsel dengan erat. "Aku bisa mengatasi semua ini. Yang penting kamu tetap di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu. Wartawan pasti sedang mencarimu.""Baiklah," sahut Livia, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Aku ... aku takut semua ini karena aku.""Ini bukan salahmu," tegas Gavin. "Ini strategi Bella. M
Gavin menghela napas berat, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat."Jangan menyangkal," perintah Gavin dengan suara tegas namun terdengar lelah. "Tapi juga jangan memberikan detail apapun. Katakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.""Tapi, Tuan, mereka menuntut penjelasan lebih. Beberapa investor sudah mengisyaratkan akan menarik investasi mereka jika tidak ada klarifikasi resmi," jelas Kevin, suaranya terdengar frustrasi."Katakan pada mereka untuk tetap tenang," tegas Gavin. "Aku akan terbang ke Singapura besok pagi untuk berbicara langsung dengan mereka. Sekarang, pastikan semua staf kita menyiapkan strategi untuk menghadapi media."Gavin menutup telepon dan menatap langit-langit kantornya, pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin rumor ini bisa menyebar begitu cepat dan luas? Ia yakin bahwa Bella adalah dalang di balik semua ini. Gavin menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Grafik merah yang terus menukik tajam seakan m
Jemari Livia gemetar saat ia menggeser layarnya, membaca artikel yang memuat namanya dengan jelas—Livia, seorang cleaning service yang bekerja di Lysandros Group, disebutkan sebagai penyebab perceraian Gavin Lysandros dengan Bella setelah mengandung anak sang CEO.Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa foto dirinya tersebar—termasuk foto saat ia dan Gavin di rumah sakit dulu, ketika Gavin mengantarnya untuk check-up kehamilan. Foto yang sangat pribadi itu kini menjadi konsumsi publik.Air mata Livia mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mematikan ponselnya, namun berita itu terus bermunculan di televisi yang kebetulan sedang dinyalakan di ruang tengah."Berita ini menjadi viral tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara Asia lainnya," ucap presenter berita itu dengan nada sensasional. "Saham Lysandros Group dikabarkan langsung anjlok setelah berita ini tersebar."Livia terduduk lemas di sofa, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin berita pribadi mereka bi
Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan Livia. Matanya menatap lembut wanita yang tengah mengandung anaknya itu, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya perlahan. Ketimbang melanjutkan pembicaraan serius itu, Gavin memilih mengalihkan topik."Aku ingin melihat kamar anak kita," ujarnya sambil beranjak dari sofa, mengulurkan tangannya pada Livia.Livia, masih dengan jantung berdebar, menerima uluran tangan Gavin dan bangkit dari sofa dengan sedikit susah payah. Saat Gavin dengan natural meletakkan tangannya di pinggang Livia untuk membantunya berdiri, wanita itu bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik kontak mereka."Aku sudah memilih kamar yang paling dekat dengan kamarku."Mereka melangkah bersama, dengan langkah Gavin yang menyesuaikan kecepatan Livia. Setibanya di depan pintu kamar yang di tuju, Livia menghentikan langkahnya. "Ini kamarnya," ucapnya, lalu membuka pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, Gavin disambut pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Kamar berukura