Share

Bab 5

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:47:14

"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama.

"Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum.

"Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya."

Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya.

"Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis.

"Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu."

Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya.

"Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung."

"Iya, Ma, kebetulan minggu depan ada pembukaan proyek baru di Singapura," Bella melirik suaminya penuh harap. "Kita bisa sekalian konsultasi, kan, Sayang?"

"Saya masih banyak urusan di Jakarta, Ma," Gavin menjawab datar. "Meeting dengan investor untuk persiapan tender."

"Masa tidak bisa luangkan waktu sehari saja?" Bu Lina mengerutkan kening. "Ini demi cucu Mama, lho."

"Maaf Ma, jadwal saya benar-benar padat."

"Tidak apa-apa, Ma." Bella menggenggam tangan mertuanya, tersenyum pengertian. "Kita bisa atur jadwal lain."

Gavin mendorong mangkuknya yang masih penuh. "Saya permisi dulu, Pa, Ma. Mau menemui Dokter Douglas."

"Loh, harus sekarang?" Bu Lina menatap bingung.

"Tapi kamu belum makan, Sayang ...." Bella mencoba menahan.

"Saya tidak lapar." Gavin bangkit, mengabaikan tatapan kecewa ibunya.

Di mobil, Gavin memukul setir dengan frustasi. Ia merasa sangat kesal dan hampir tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya. Bella begitu lihai memainkan perannya sebagai menantu idaman.

Gavin mengusap wajahnya kasar. Mungkin ia harus bicara empat mata dengan Pak Hendro sebelum mengajukan gugatan cerai. Tapi bagaimana cara ia menjelaskan bahwa menantu kesayangannya telah berselingkuh dengan sopir?

Mobil Gavin melaju tak beraturan di jalanan Jakarta. Pikirannya bercampur aduk. Beberapa kali ia nyaris menabrak mobil di depannya karena tidak fokus. Klakson-klakson marah yang ditujukan padanya hanya terdengar samar di telinganya.

"Sial ... sial ...," gumamnya berulang kali, memukul setir dengan frustasi.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, Gavin duduk diam beberapa saat di dalam mobil. Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan wajah Bella yang tersenyum manis pada orangtuanya membuat darahnya kembali mendidih.

Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang sebenarnya sudah rapi, berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa perawat yang mengenalinya sebagai pasien rutin menyapa ramah, tapi ia hanya mengangguk singkat. Langkahnya terhenti di depan pintu dengan papan nama "Dr. Douglas SpOG".

"Masuk," terdengar suara dari dalam setelah Gavin mengetuk pintu.

Dr. Douglas, pria berkacamata itu langsung berdiri menyambut kedatangan Gavin. "Silakan duduk, Tuan Gavin. Maaf sudah membuat Anda datang mendadak."

"Langsung saja, Dok. Apa maksudnya hasil tes saya tertukar?"

Dokter Douglas membuka map di mejanya dengan hati-hati. "Begini ... ada kesalahan administrasi di lab. Hasil tes kesuburan Anda tertukar dengan pasien lain."

Gavin mencondongkan tubuhnya ke depan, jantungnya berdebar kencang.

"Setelah dicek ulang ...." Dokter Douglas mengeluarkan selembar kertas, "kondisi sperma Anda normal. Anda sangat fertile dan tidak ada masalah untuk memiliki keturunan. Justru, Nyonya Bella-lah yang bermasalah."

Gavin terhenyak di kursinya. Selama ini ia mengira dirinyalah penyebab mereka belum memiliki anak. Bella bahkan sering menyindirnya dengan halus tentang hal ini.

Mendadak wajah sendu Livia melintas di benaknya. Mereka berhubungan tanpa pengaman semalam. Jika benar ia fertile ...?

"Ya Tuhan ...." Gavin memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Tuan Gavin? Anda baik-baik saja?" Dokter Douglas menatapnya khawatir.

"Saya ... saya harus pergi, Dok." Gavin bangkit dengan tergesa. "Terima kasih informasinya."

Di lorong rumah sakit, langkah Gavin goyah. Ia bersandar ke dinding, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Bagaimana jika wanita itu hamil? Ia bahkan tidak ingat nama gadis itu.

Gavin melangkah ke area parkir, menghempaskan tubuhnya ke kursi kemudi, kepalanya bersandar lemas di setir. Tangannya yang gemetar merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok. Asap mengepul memenuhi mobil, tapi ia tak peduli. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan wajah sendu Livia dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Brengsek!" umpatnya sambil membuang puntung rokok ke luar jendela.

Pria tampan itu kemudian melajukan mobil hitamnya membelah jalanan Jakarta yang padat. Matahari sudah condong ke barat ketika ia sampai di kawasan Senopati. Bar tempat ia mabuk semalam masih tutup. Tentu saja, ini masih sore. Gavin memarkir mobilnya di seberang jalan, menunggu dengan gelisah.

Dua jam berlalu lambat. Gavin menghabiskan hampir sebungkus rokok, matanya tak lepas dari pintu bar yang masih tertutup rapat. Tepat pukul tujuh malam, lampu-lampu mulai menyala. Seorang pria berseragam security membuka gembok pintu utama.

Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang kusut. Kakinya melangkah mantap memasuki bar yang masih sepi.

"Maaf, kami baru buka, Tuan," sapa bartender yang sedang mengelap gelas.

"Saya mencari Madam Rose."

"Oh, tunggu sebentar."

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok muncul dari balik tirai beludru merah. Gaun merah marunnya menyapu lantai saat ia berjalan anggun menghampiri Gavin.

"Ah, Tuan yang semalam," Madame Rose tersenyum genit. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya perlu informasi tentang wanita yang semalam."

Madame Rose mengambil tempat di sofa, mempersilakan Gavin duduk di hadapannya. "Maaf, Tuan. Kami tidak memberikan informasi pribadi tentang para gadis."

"Ini penting," Gavin mengeluarkan dompetnya. "Saya akan bayar berapapun."

"Tuan," Madame Rose tersenyum dingin. "Di sini kami menjual jasa, bukan informasi pribadi. Jika Tuan ingin bertemu lagi dengannya, Tuan bisa memesannya seperti biasa."

"Saya harus bicara dengannya," Gavin menekan setiap kata. "Ini menyangkut hal serius."

"Saya mengerti." Madame Rose mengetuk-ngetuk meja dengan jari berkuku panjangnya. "Tapi ini adalah prosedur kami. Kerahasiaan adalah prioritas utama."

Gavin mengusap wajahnya kasar. "Kalau begitu, saya pesan dia untuk malam ini."

"Sayangnya dia sedang tidak available." Madame Rose bangkit dari sofa. "Mungkin Tuan bisa mencoba gadis lain? Amanda sangat cantik, atau Julie yang-"

"Saya hanya perlu dia!" Suara Gavin meninggi, membuat beberapa pelayan menoleh.

Madame Rose menatapnya tajam. "Tuan, jika Anda tidak bisa mengendalikan diri, saya terpaksa meminta Anda meninggalkan tempat ini."

Gavin mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah. "Kapan ... kapan dia akan available?"

"Saya tidak bisa memastikan." Madame Rose tersenyum tipis. "Mungkin Tuan bisa mencoba datang lagi minggu depan?"

Gavin bangkit dengan gusar. Ia tahu bahwa wanita licik ini tidak akan memberinya informasi apapun. Langkahnya berat meninggalkan bar, diiringi tatapan penuh selidik Madame Rose.

Di dalam mobil, Gavin memukul setir berkali-kali hingga tangannya memerah. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan Livia? Ia bahkan tidak tahu nama lengkapnya, atau dimana gadis itu tinggal. Yang ia ingat hanya wajah sendu dan mata yang berkaca-kaca itu.

"Maafkan aku ...," bisiknya parau, entah pada siapa. Mungkin pada Livia, mungkin juga pada dirinya sendiri yang telah berbuat fatal dalam kondisi mabuk.

Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan kawasan Senopati. Gavin tidak tahu harus mencari kemana lagi. Satu-satunya petunjuk tentang Livia ada di bar itu, tapi Madame Rose jelas tidak akan membantunya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
Livia hamil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 7

    Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 8

    Mobil sedan silver milik Elena memasuki area basement apartemen yang cukup luas, tetapi sudah hampir penuh. Elena mengedarkan pandangan, mencari-cari celah untuk parkir."Sepertinya kita agak telat," ujar Elena sambil perlahan memutar setir. "Biasanya jam segini masih banyak yang kosong."Livia hanya diam memperhatikan, jemarinya meremas tali ransel yang ia pangku. Basement ini terasa begitu berbeda dengan lingkungan kontrakannya yang sempit dan pengap. Di sini, meski remang, udara terasa lebih sejuk dengan sistem ventilasi yang baik."Nah, itu dia!" Elena berseru riang saat menemukan spot parkir di sudut basement. Dengan cekatan, ia mengarahkan mobilnya ke tempat kosong tersebut. "Home sweet home, Liv."Setelah mematikan mesin, Elena membuka bagasi dan mengeluarkan koper Livia. Livia sendiri menggendong ranselnya, berdiri canggung di samping mobil."Jangan khawatir," Elena menepuk pundak sahabatnya penuh pengertian. "Apartemennya tidak mewah, tapi nyaman, kok."Mereka berjalan beriri

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 9

    Livia berusaha menghentikan langkah Evan. Namun, lima menit lagi absensi akan di tutup. "Tidak jadi. Nanti saja, aku sudah kesiangan."Dengan langkah cepat, nyaris berlari, Livia menuju gedung perkantoran yang menjulang tinggi."Pagi, Pak Satpam!" Livia tersenyum sekilas pada petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk."Pagi, Mbak Livia," satpam itu mengangguk ramah. Pagi itu, Livia langsung bekerja seperti biasanya. ****Jam makan siang akhirnya tiba. Setelah membersihkan seluruh ruangan di lantai 15—termasuk toilet, pantry, dan ruang rapat—Livia merasa perutnya mulai keroncongan. Ia menyelesaikan tugas terakhirnya, menyemprot pewangi ruangan di sudut-sudut strategis, sebelum mendorong trolinya kembali ke ruang penyimpanan di lantai tersebut."Mau makan siang, Livia?" tanya Mba Yuni, rekan sesama petugas kebersihan yang bertugas di lantai yang sama.Livia mengangguk. "Iya, Mba. Rasanya lapar sekali hari ini.""Mau bareng? Saya bawa bekal dari rumah."Sejenak Livia tergoda, tetapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 10

    Livia berdiri mematung di taman, memandangi sosok Evan yang menjauh. Hatinya terasa kosong. Bahkan Evan, orang yang dulu begitu dekat dengannya, kini seolah asing.Dengan langkah gontai, Livia kembali menuju gedung kantornya. Jam istirahat hampir berakhir, sementara ia belum sempat makan apapun. Perutnya berbunyi memprotes, mengingatkan bahwa sejak sarapan pagi bersama Elena, ia belum memasukkan makanan ke dalam tubuhnya lagi.Di lobi, Livia menengok ke jam dinding—tinggal lima belas menit sebelum masuk kerja kembali. Ia memutuskan untuk mampir ke kantin karyawan di lantai dasar. Meski begitu, ia tahu tak akan sempat makan di sana."Mba Ida," Livia mendekati salah satu penjual di kantin, "nasi bungkus paket ayam satu, ya. Dibungkus.""Siap, Mbak Livia," Mba Ida dengan sigap menyiapkan pesanannya. "Tumben makan siang telat?"Livia tersenyum lemah. "Ada urusan penting tadi."Setelah membayar, Livia bergegas kembali ke lantai 15, membawa bungkusan nasi yang masih hangat. Ia melihat sekel

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 11

    Sandra adalah yang pertama berbalik. Matanya melebar kaget melihat Livia. "Kamu? Bagaimana bisa—" "Kamu berbohong padaku, Evan!" Livia mengalihkan tatapannya pada pria itu, yang kini berdiri dengan wajah pucat. "Kamu bilang tidak tahu di mana Sandra!" "Li-Livia, aku bisa jelaskan," Evan tergagap, melangkah mundur. "Tidak perlu!" Livia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Aku datang untuk menuntut hakku, Sandra. Uang yang kamu dan ibumu ambil dariku!" Sandra menyilangkan tangannya defensif. "Uang apa? Aku tidak mengerti maksudmu." "Jangan pura-pura!" suara Livia meninggi, menarik perhatian beberapa pengunjung taman. "Uang yang ditransfer Madam Rose melalui rekeningmu! Uang yang seharusnya untuk operasi Ayah!" Wajah Sandra mengeras. "Oh, uang hasil 'pekerjaan khusus'mu itu?" ia melirik Evan dengan tatapan penuh arti. "Ya, uang yang kudapatkan dengan mengorbankan diriku!" Livia merasakan air mata mulai menggenang. "Uang yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa Ayahku, tapi kamu dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 12

    Satu bulan berlalu sejak peristiwa di taman itu. Livia mencoba menata kembali hidupnya perlahan-perlahan. Ia tetap bekerja sebagai cleaning service, meski harus berhadapan dengan Bu Marta yang semakin keras padanya sejak insiden di ruang penyimpanan. Beruntung, Livia hanya mendapat surat peringatan, bukan pemecatan. Pagi itu, seperti biasa, Livia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun, begitu ia mencium aroma telur yang sedang digoreng, perutnya terasa mual. Dengan tergesa-gesa, ia berlari ke kamar mandi."Hoek! Hoek!" Livia muntah-muntah, padahal perutnya kosong. Hanya cairan bening yang keluar.Elena yang mendengar suara itu bergegas menuju kamar mandi. "Liv? Kamu kenapa?" ia mengetuk pintu dengan cemas.Livia keluar dengan wajah pucat. "Entahlah, mungkin masuk angin. Tiba-tiba saja perutku mual mencium bau telur."Elena menatapnya lekat-lekat, merasa ada yang aneh. "Sudah berapa lama kamu seperti ini?""Baru pagi ini," Livia menjawab sambil berjalan gontai menuju dapur.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 13

    "Aku hamil, El," Livia berkata, seolah masih tidak percaya. "Aku mengandung anak entah siapa." Elena menghentikan langkahnya, memutar tubuh Livia agar menghadapnya. "Dengar, Liv. Ini memang kejutan besar. Tapi kamu tidak sendirian, oke? Aku di sini. Kita akan hadapi ini bersama." Livia menatap sahabatnya dengan linangan air mata. "Apa yang harus kulakukan, El? Aku bahkan tidak kenal siapa ayahnya. Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti?" Setelah keluar dari klinik, Elena mengantar Livia kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan, Livia hanya terdiam, tangannya gemetar memegangi perutnya yang masih rata. Tatapannya kosong menatap jalanan Jakarta yang mulai padat. Elena sesekali menggenggam tangannya, mencoba memberikan kekuatan meski ia sendiri masih terkejut dengan berita ini. "Sudah sampai," kata Elena ketika mereka tiba di basement apartemen. Livia turun dari mobil dengan langkah gontai. Tubuhnya seolah tidak bertenaga, seperti boneka yang digerakkan tanpa nyawa. Di lobi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 76

    Setelah menutup telepon, Livia masih duduk termenung di tepi tempat tidur. Perubahan hidupnya begitu drastis dan tiba-tiba, membuatnya kadang merasa seperti sedang bermimpi.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Liv? Boleh aku masuk?" suara Elena terdengar dari balik pintu."Tentu, El. Masuklah."Elena masuk dengan menenteng dua cangkir teh hangat. "Barusan Mbak Amina membuatkan kita ini." Ia menyodorkan salah satu cangkir kepada Livia."Terima kasih," Livia menerima cangkir itu, menghirup aromanya yang menenangkan. "Sudah mencoba kasurmu? Empuk sekali, kan?"Elena terkekeh, duduk di sebelah Livia. "Seperti tidur di atas awan," jawabnya sambil menyeruput tehnya perlahan. "Tadi kamu menelepon Gavin?"Livia mengangguk. "Dia menyarankan agar aku berhenti bekerja, tapi aku bilang aku ingin tetap bekerja sampai kandunganku berusia enam bulan.""Dan dia setuju?""Iya, meski tampak sedikit khawatir."Elena menatap sekeliling kamar mewah itu, lalu kembali menatap Livia dengan senyum

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 75

    Belum sempat Livia dan Elena menjelajahi rumah baru mereka, sebuah suara lembut mengalihkan perhatian keduanya."Selamat malam, Nona."Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah berdiri di ambang pintu ruang tengah. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna abu-abu dengan celemek putih bersih. Rambutnya yang mulai beruban diikat rapi ke belakang."Tuan Gavin sudah memberitahu kedatangan Nona-nona malam ini," wanita itu membungkuk sopan. "Mari, saya tunjukkan kamar yang sudah saya persiapkan untuk Nona-nona."Elena melirik Livia, alisnya terangkat takjub. "Kita bahkan punya pelayan pribadi?" bisiknya.Amina menuntun mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Koridor dengan dinding putih bersih dan beberapa lukisan pemandangan terbentang di hadapan mereka. "Ada empat kamar tidur di lantai ini," jelas Amina sembari berjalan. "Dua kamar menghadap ke depan dengan pemandangan taman depan dan samping, dua lainnya menghadap ke belakang dengan pemandangan taman belakang. Semua kamar memiliki ka

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 74

    Jemari Livia sedikit bergetar saat mencari kontak Gavin. Haruskah ia menceritakan tentang Bella yang melabraknya? Tapi itu hanya akan menambah beban pikiran Gavin yang sedang sibuk dengan perusahaannya di Singapura."Halo?" suara Gavin terdengar dari seberang. "Livia?""Hai, Gavin," Livia berusaha terdengar normal, meski hatinya masih berdebar kencang mengingat kejadian tadi. "Maaf mengganggumu. Apa kamu sedang sibuk?""Tidak, aku baru selesai makan malam. Ada apa?"Livia menarik napas dalam-dalam. "Aku ... aku sudah memutuskan untuk menerima tawaranmu. Aku dan Elena akan menempati rumah itu, kalau masih boleh."Ada jeda sejenak, kemudian Livia bisa mendengar senyum dalam suara Gavin."Tentu saja boleh," jawab Gavin, nada suaranya terdengar lega dan gembira. "Kapan kalian akan pindah?""Mungkin malam ini juga, kalau tidak keberatan.""Malam ini?" Gavin terdengar terkejut. "Keputusan yang sangat mendadak?"Livia melirik Elena yang mengangguk memberi dukungan. "Tidak ada alasan khusus.

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 73

    Jam kerja berakhir, lampu-lampu ruangan satu per satu dimatikan. Livia membereskan pekerjaannya dengan gerakan lambat, masih memikirkan gosip yang ia dengar siang tadi. Sementara Elena menunggunya di pintu, seperti biasa."Siap pulang?" tanya Elena sembari tersenyum hangat.Livia mengangguk, menyelempangkan tasnya. "Ayo kita pulang tuan putri," Elena tertawa kecil, mengaitkan lengannya pada lengan Livia. Mereka melangkah meninggalkan gedung perkantoran. Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat pada jalanan kota yang mulai padat dengan kendaraan jam pulang kerja. Livia dan Elena berjalan berdampingan, sesekali tertawa kecil membicarakan hal-hal ringan, berusaha melupakan gosip yang menggelisahkan."Jadi, kamu sudah memikirkan tawaran dia soal rumah itu?" tanya Elena."Hmm, aku—""HEI, PELACUR!"Teriakan itu membekukan langkah Livia dan Elena. Keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita cantik melangkah cepat ke arah mereka dengan wajah merah padam penuh a

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 72

    Kantin kantor selalu ramai saat jam makan siang. Livia mengambil nampan, mengantri di belakang puluhan karyawan lainnya. Matanya mencari-cari sosok Elena, dan menemukan sahabatnya itu sudah duduk di meja pojok dekat jendela."Maaf, aku telat, keasyikan berbincang di telepon," kata Livia, meletakkan nampan berisi nasi, sayur asem, dan ayam goreng di meja.Elena mengibaskan tangannya santai. "Tidak apa-apa. Memangnya telepon dari siapa? Kelihatannya penting sekali sampai kamu terlambat makan siang."Wajah Livia merona, ia menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanannya. "Gavin," bisiknya pelan.Mata Elena melebar. "Wow! CEO kita yang sedang di Singapura itu menyempatkan diri meneleponmu di tengah kesibukannya? Manis sekali!""Ssst! Jangan keras-keras!" Livia menyikut lengan Elena, matanya waspada melirik ke sekitar. "Dia hanya menanyakan kabar dan mengingatkanku untuk makan dan minum vitamin.""Ya, ya, tentu saja," goda Elena, menyendokkan nasi ke mulutnya. "Kalian seperti pasangan yang

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 71

    Livia menekan tombol lift menuju lantai 25, tempat ruangan Gavin berada. Jam tangannya menunjukkan pukul 7:30—tiga puluh menit lebih awal dari jam masuk normal. Entah mengapa, pagi ini ia bangun lebih pagi dari biasanya, mungkin karena kegembiraan tentang rumah barunya masih menggelayuti pikirannya.Saat pintu lift terbuka, lorong masih sepi. Langkah kakinya bergema di lantai yang mengkilap. Livia berhenti sejenak di depan pintu kaca yang memisahkan area eksekutif—tempat ruangan Gavin berada—dengan area staff lainnya. Matanya secara otomatis mencari ke arah pintu berplakat "Direktur Utama" di ujung koridor."Apa dia sudah berangkat?" bisiknya pada diri sendiri, melangkah perlahan mendekati ruangan Gavin.Dengan hati-hati, Livia mengintip melalui jendela kaca yang sedikit tertutup tirai. Ruangan tampak gelap dan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Meja kerja yang biasanya dipenuhi dokumen kini tertata rapi, komputer dalam keadaan mati, dan kursi kerja Gavin kosong.Li

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 70

    Di dalam kamar, Livia mengganti dress putihnya dengan piyama bermotif bunga-bunga. Ia duduk di tepi ranjang, mata menerawang ke arah langit-langit kamar. Tangannya masih menggenggam kunci rumah pemberian Gavin, jemarinya mengelus permukaan logam itu dengan penuh kehati-hatian."Apakah ini mimpi?" gumamnya pada diri sendiri.Livia berbaring, menarik selimut tipis hingga sebatas dada. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu—wajah Gavin yang tersenyum lembut padanya, tatapan matanya yang penuh perhatian, genggaman tangannya yang hangat. Jantungnya berdebar kencang hanya dengan mengingat semua itu."Ah, tapi aku harus sadar diri dan tidak boleh ke-ge-er-an," bisiknya, memperingatkan diri sendiri. "Gavin melakukan semua ini hanya karena aku mengandung anaknya, bukan karena dia menyukaiku."Livia memiringkan tubuhnya, memandang tembok kamar yang sudah menguning. Matanya mulai terasa berat."Tentu saja itu tidak mungkin terjadi," bisiknya lagi, suaranya semakin pelan. "Pria seper

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 69

    Setelah berbincang kesana kemari, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Livia memutuskan untuk pulang. Mereka masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Sesekali Livia melirik ke arah Gavin yang fokus menyetir, senyum tipis tersungging di bibirnya saat mengingat kejadian beberapa jam lalu.Setelah 40 menit, mobil Gavin tiba di area basement. Gavin menghentikan mobilnya di tempat parkir yang sepi. Lampu basement yang temaram menyinari wajah keduanya. Sebelum Livia turun, Gavin meraih tangannya dengan lembut."Livia," suaranya dalam dan penuh keyakinan, "kumohon pertimbangkan lagi untuk menempati rumah itu. Aku benar-benar ingin kamu dan bayi kita tinggal di tempat yang aman dan layak."Livia menghela napas panjang, mata hazelnya bertemu dengan mata cokelat Gavin. Jemarinya memainkan ujung dress putihnya dengan gugup."Terima kasih banyak, Gavin. Sungguh, ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi kalau hanya untuk menempati ... kurasa aku

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 68

    Begitu pintu utama terbuka, Livia disambut oleh interior yang elegan—perpaduan gaya klasik dan modern, dengan cat dinding cream yang hangat dan lantai marmer putih yang mengkilap."Ini rumah siapa?" tanya Livia sekali lagi, matanya berkeliling takjub melihat lukisan-lukisan mahal yang terpajang di dinding.Gavin hanya tersenyum misterius, tidak menjawab pertanyaan Livia. Ia menuntun Livia melalui lorong pendek menuju ruang makan. Dua orang pelayan berseragam rapi langsung membungkuk hormat begitu melihat kedatangan mereka."Selamat malam, Tuan Lysandros," sapa salah satu pelayan. "Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Anda.""Terima kasih, Amina," jawab Gavin singkat.Ruang makan itu tidak terlalu besar namun sangat mengesankan. Meja makan untuk dua orang terletak di tengah, dihiasi dengan lilin-lilin kecil dan rangkaian bunga lily putih—menciptakan suasana romantis yang sempurna. Jendela-jendela besar menghadap ke taman belakang yang diterangi lampu-lampu taman."Silakan duduk," Pe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status