Share

Bab 7

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-28 23:22:38

Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel.

"Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.

Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis.

"Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu.

"Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontrakan yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.

Elena membuka bagasi, mengangkat koper Livia dengan mudah ke dalamnya. "Ringan sekali."

"Baju-bajuku tidak banyak, El. Kamu tahu sendiri." Livia tersenyum getir, membantu memasukkan ranselnya.

Setelah berpamitan pada Ibu pemilik kontrakan, keduanya masuk ke dalam mobil.

"Enak ya kamu, sudah punya kendaraan sendiri," Livia memecah keheningan saat Elena mulai menyalakan mesin. "Aku motor saja tidak punya."

Elena melirik sahabatnya sambil tersenyum hangat, tangannya menepuk pelan lutut Livia. "Hey, ini masih kredit dua tahun lagi, loh."

"Tetap saja itu pencapaian yang luar biasa," Livia menatap keluar jendela, memperhatikan kontrakan tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya perlahan menjauh dari pandangan.

"Tapi setidaknya kamu sudah berbakti pada orang tuamu," Elena berkata lembut sambil fokus menyetir. "Kamu membiayai mereka bahkan hingga perjuangan terakhir dengan menjual ...." Elena tersendat, "Sorry ...."

Livia memejamkan mata, menelan ludah dengan susah payah. Peristiwa malam itu masih terasa sangat nyata. Bagaimana ia harus merelakan kesuciannya demi uang untuk pengobatan sang ayah yang divonis radang otak.

"Iya, tapi semuanya sia-sia," suara Livia bergetar menahan tangis. "Ayah tetap tidak tertolong karena uangnya dicuri Mama Rita. Dia malah kabur bersama Sandra."

Elena menghela napas panjang, tangannya menggenggam tangan Livia yang dingin. "Setidaknya kamu sudah berusaha, Liv. Kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Aku bahkan tidak sempat membeli penghilang rasa sakit yang layak untuk Ayah," suara Livia pecah, air mata mulai mengalir di pipinya. "Di hari-hari terakhirnya, Ayah kesakitan dan aku ... aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"Hey, Liv, dengarkan aku," Elena menepikan mobilnya sejenak, menatap Livia dengan sungguh-sungguh. "Ayahmu tahu kamu mencintainya. Dia tahu kamu sudah berjuang sekuat tenaga. Kamu tidak pernah meninggalkannya seperti Mama Rita dan Sandra. Kamu ada di sisinya sampai akhir."

Livia hanya mengangguk lemah, menyeka air matanya dengan punggung tangan.

"Dan sekarang saatnya kamu hidup untuk dirimu sendiri, oke?" Elena menyalakan lagi mobilnya, kembali melaju membelah jalanan Jakarta yang mulai lengang. "Mulai hari ini, kita akan memulai halaman baru. Aku dan kamu, berbagi apartemen kecil, bekerja keras, dan mungkin suatu hari kita bisa membuka bisnis kecil-kecilan bersama. Bukankah itu mimpi kita sejak SMA?"

Livia tersenyum tipis, mengingat bagaimana mereka berdua dulu sering membicarakan impian membuka kafe kecil yang nyaman. "Masih jauh, El."

"Tapi tidak mustahil," Elena mengedipkan sebelah matanya. "Lihat saja mobilku ini. Dulu juga cuma mimpi, kan?"

Mobil mereka berhenti di lampu merah. Tak jauh dari mobil Elena, sebuah porsche hitam mengilat berhenti tepat di sebelah kanan mereka. Pengendaranya adalah Gavin yang tampak gelisah. Matanya menatap lurus ke depan, sesekali melirik ponselnya yang tergeletak di dashboard. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada mobil di sebelah kirinya.

Gavin menajamkan penglihatannya. Jantungnya berdegup kencang saat mengenali profil wajah yang terlihat dari samping. Wanita itu?

"Gadis yang tidur denganku?" bisiknya tak percaya, mencondongkan tubuhnya ke arah jendela untuk memastikan. Ia hampir membuka jendela mobilnya untuk memanggil, tetapi lampu lalu lintas telah berubah hijau.

Elena yang sudah memberi sein kiri, langsung melaju dan berbelok ke jalur kiri. Sementara Gavin yang terlanjur memberi sein kanan terpaksa mengambil jalur kanan. Ia mengumpat pelan, matanya masih mengikuti mobil silver itu hingga menghilang di tikungan.

"Sial!" Gavin memukul setir dengan keras. Tanpa pikir panjang, ia memutar mobilnya di pertigaan terdekat, berniat mengejar mobil Elena. Namun, beberapa mobil yang menghalangi membuatnya kehilangan jejak.

"Itu pasti dia," Gavin bergumam pada dirinya sendiri, matanya masih menyapu jalanan mencari mobil silver itu. "Aku yakin dia gadis itu."

Setelah hampir setengah jam berputar-putar tanpa hasil, Gavin akhirnya menyerah. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan frustasi. Pikirannya kacau. Bagaimana jika wanita itu hamil anaknya?

Dengan tangan sedikit gemetar, Gavin merogoh ponselnya, mencari kontak Madame Rose. Ia menekan tombol panggil, menunggu dengan tidak sabar.

"Ya ...," suara wanita di seberang terdengar datar.

"Ini Gavin," ia menjawab cepat, penuh urgensi.

"Ah, Tuan Gavin. Ada apa menelepon?"

"Saya harus bertemu dengannya!" kata Gavin penuh penekanan. "Jika dia available, segera kabari saya. Saya akan membayar berapa pun!"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Maaf, Tuan. Sepertinya dia tidak akan available lagi."

"Apa maksudmu?" Gavin mencengkeram ponselnya erat-erat.

"Dia sudah tidak dapat dihubungi," jawab Madame Rose datar. "Menghilang entah kemana. Ponselnya tidak aktif, dan dia tidak mungkin lagi muncul di tempat kami."

"Berikan alamatnya! Saya mohon ...."

"Tuan Gavin," Madame Rose memotong dengan tegas. "Bukankah sudah saya katakan, kami tidak memberikan informasi pribadi para gadis. Lagipula, kami pun tidak tahu sekarang dia ada dimana."

"Saya tidak ingin dia tidur dengan lelaki lain!" Gavin hampir berteriak, rahangnya mengeras menahan amarah. "Ini penting, Madame."

Keheningan sejenak menggantung di udara. "Tuan," Madame Rose akhirnya bersuara, kali ini nadanya lebih lunak. "Saya tidak tahu apa yang terjadi antara Anda dan gadis itu, tapi dia ... dia bukan pekerja tetap. Jadi Anda tidak akan menemukannya lagi di tempatku"

Mendengar itu, Gavin langsung memutus panggilannya. Rasanya percuma saja ia menghubungi mucikari itu.

Gavin mengusap wajahnya kasar. "Bagaimanapun caranya, aku harus menemukannya!

Bab terkait

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 1

    Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 2

    Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 3

    Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 4

    "Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 5

    "Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 7

    Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 5

    "Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 4

    "Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 3

    Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 2

    Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 1

    Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status