"Maafkan Livia ...."
Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembali mengalir deras. "Aku di sini ...," Elena mengeratkan pelukannya. "Maaf, aku baru bisa datang." Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Hujan rintik mulai turun, seolah langit pun ikut berduka. Elena membuka payung, melindungi mereka berdua. "Ayo, pulang," bisik Elena lembut. "Kamu butuh istirahat." Livia menggeleng lemah. "Aku tidak mau meninggalkan Ayah sendirian." "Liv ...." Elena mengusap air mata di pipi sahabatnya. "Ayahmu sudah tenang di sana. Dia tidak akan senang melihatmu seperti ini." Dengan lembut, Elena menuntun Livia meninggalkan area pemakaman. Sepanjang perjalanan pulang, Livia hanya diam, tatapannya kosong ke depan. Di kontrakan Livia yang sempit, Elena membuatkan teh hangat untuk sahabatnya itu. Livia duduk meringkuk di sudut tempat tidur, masih mengenakan gaun hitam berkabungnya. "Minum dulu," Elena menyodorkan cangkir teh. "Kamu belum makan sejak tadi pagi, kan?" Livia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. "El ... aku ... aku sudah melakukan hal yang sangat buruk." Elena duduk di sebelah Livia, menggenggam tangannya dengan erat. "Ceritakan padaku." Air mata Livia kembali menetes. "Aku ... aku menjual diriku untuk mendapatkan uang operasi Ayah." Elena terkesiap, tapi ia tetap menggenggam tangan Livia. "Liv ...?" "Saat itu, aku tidak punya pilihan lain," Livia terisak. "Mama Rita bilang, hanya itu satu-satunya cara. Tapi dia menipuku. Dia membawa kabur uangnya bersama Sandra." "Sandra? Anak Mama Rita?" Livia mengangguk lemah. "Dia ... dia juga yang merebut Evan dariku, dan sekarang ... mereka kabur dengan membawa uang itu." Elena memeluk Livia erat. "Ya Tuhan, Liv ... tega sekali mereka. Kenapa kamu tidak menghubungiku?" "Aku malu." Livia membenamkan wajahnya di bahu Elena. "Aku kotor ... aku hina ...." "Sshhh ...." Elena mengusap punggung Livia yang bergetar. "Kamu tidak kotor. Kamu hanya anak yang berusaha menyelamatkan nyawa ayahnya." "Tapi aku gagal," Livia terisak semakin keras. "Ayah tetap pergi, dan pengorbananku sia-sia." "Dengar," Elena menatap mata Livia yang sembab. "Kamu korban di sini. Rita dan Sandra yang harus bertanggung jawab. Mereka harus dilaporkan ke polisi." Livia menggeleng lemah. "Percuma. Mereka sudah menghilang. Aku bahkan tidak tahu mereka pergi kemana." Elena menghela napas panjang. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu tinggal denganku saja. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri." "Tapi pekerjaanmu di Surabaya ...?" "Tugasku di Surabaya sudah selesai, dan mulai besok kembali ke kantor cabang Jakarta." Elena tersenyum lembut. "Kita cari apartemen yang lebih besar. Kamu tidak perlu tinggal di tempat yang penuh kenangan buruk ini." Air mata Livia kembali menetes, kali ini karena terharu. "El ... aku tidak pantas mendapatkan kebaikanmu." "Hei," Elena menghapus air mata di pipi Livia. "Kita sahabat, ingat? Dalam susah maupun senang. Aku tidak akan meninggalkanmu." **** Sementara itu, di kamar hotel .... Gavin terbangun dengan kepala berdenyut. Efek alkohol semalam masih terasa. Ia mengerjapkan mata, membiasakan diri dengan cahaya matahari yang menembus tirai. Matanya tertumbuk pada noda merah di sprei putih. Bukti keperawanan yang ia renggut semalam. Mendadak, bayangan wajah cantik yang basah air mata itu memenuhi benaknya. "Siapa Nama wanita itu?" Gavin berusaha mengingatnya. Namun, efek alkohol membuatnya lupa. Gavin bangkit dan berjalan ke jendela. Jakarta tampak sibuk di bawah sana. Ia merogoh saku jasnya yang tersampir di sofa lalu mengeluarkan ponsel. [Sayang ... pulanglah, aku mohon.] Pria yang hanya mengenakan celana hitam panjangnya itu kemudian melempar ponsel ke atas tempat tidur setelah membaca pesan dari Bella. "Istri sialan!" Gavin keluar dari kamar, menatap pantulan dirinya di cermin lift hotel. Rambutnya berantakan, kemeja kusut dengan dasi yang tergantung asal. Mata merahnya memperlihatkan efek alkohol dan kurang tidur. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba mengumpulkan kesadaran sebelum melangkah ke lobi. Petugas resepsionis meliriknya dengan tatapan penuh selidik saat check out, tapi Gavin tak peduli. Pikirannya campur aduk antara amarah pada Bella, rasa bersalah pada dirinya sendiri, dan bayangan wajah sendu gadis semalam yang tidur dengannya. Mobilnya melaju pelan di jalanan Jakarta yang mulai padat. Sesekali ia memijat pelipisnya yang berdenyut. Ponselnya terus bergetar, dipenuhi oleh pesan dan panggilan dari Bella yang ia abaikan. Saat mobilnya memasuki halaman rumah, Gavin melihat Bella sudah menunggunya di teras. Wanita itu mengenakan dress biru muda di atas lutut dengan riasan make up flawless. "Sayang ...." Bella bergegas menghampiri. "Kamu kemana saja? Aku khawatir." "Khawatir?" Gavin tertawa getir. "Sayang, dengarkan aku ...." Bella mencoba meraih tangan Gavin, tapi pria itu langsung menepisnya. "Jangan sentuh aku. Aku tidak sudi disentuh oleh tangan kotor." "Sayang ... aku menyesal. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Kita bisa mulai dari awal." "Mulai dari awal?" Gavin menghentikan langkah dan menatapnya tajam. "Setelah kau tidur dengan sopir kita? Di ranjang kita?" "Itu kesalahan! Aku frustasi karena program hamil kita tidak berhasil-berhasil." Air mata buaya Bella mengalir. "Aku juga kesepian. Kamu selalu sibuk." "Dan kau pikir aku tidak frustasi?" Suara Gavin meninggi. "Aku sibuk bekerja keras agar bisa memenuhi semua keinginanmu!" "Aku tahu ... maafkan aku, Sayang" Bella terisak. "Tapi kumohon jangan cerai. Mama dan Papa akan kecewa." "Kau hanya memikirkan orang tua kita? Bagaimana dengan kepercayaanku yang sudah kau hancurkan?" Perdebatan mereka terhenti oleh suara mobil yang memasuki halaman. Mercy hitam mengkilap berhenti di depan teras. Pak Hendro dan Bu Lina, orangtua Gavin, keluar dengan anggun. "Mama! Papa!" Bella langsung menghapus air matanya, berlari memeluk mertuanya dengan senyum cerah yang kontras dengan suasana tegang sebelumnya. "Bella sayang." Bu Lina mengelus rambut menantunya dengan sayang. "Bagaimana program kehamilanmu? Mama baru dapat info dokter spesialis bagus di Singapura." "Iya, Ma, minggu depan kami ada jadwal konsultasi lagi." Bella melirik Gavin yang masih berdiri kaku. "Gavin, kenapa penampilanmu berantakan begini?" Pak Hendro mengerutkan kening. "Dan kenapa matamu merah?" "Maaf, Pa, saya kurang tidur dan kurang sehat." Gavin mencoba tersenyum. "Saya permisi ganti baju dulu." "Ayo masuk, Ma, Pa." Bella menggandeng kedua mertuanya. "Saya sudah siapkan teh melati kesukaan Mama." Di ruang keluarga, Bella duduk mengobrol akrab dengan mertuanya. Ia memang pandai mengambil hati pasangan Hendro dan Lina sejak sebelum pernikahan. "Gavin terlalu sibuk dengan perusahaan." Bu Lina menghela nafas. "Mama khawatir ini mempengaruhi program kehamilan kalian." "Iya, Ma. Tapi saya mengerti, kok." Bella tersenyum manis. "Gavin bekerja keras untuk aku." Gavin yang baru saja turun setelah mandi, mendengar percakapan itu dari tangga. Dadanya sesak menahan amarah melihat kemunafikan Bella. Semalam, wanita itu menghina dan mengkhianatinya, sekarang berpura-pura menjadi istri pengertian di depan orangtuanya. "Duduklah, Gavin." Pak Hendro menepuk sofa di sebelahnya. "Luangkan sedikit saja waktumu untuk fokus pada program kehamilan. Sebelum Papa mati, Papa ingin menimang cucu." Belum sempat Gavin menjawab, telepon rumah berbunyi nyaring. Seorang pelayan menjawab panggilan. "Halo ... Dengan kediaman Tuan Gavin, ada yang bisa dibantu?" "Saya Dokter Douglas. Apakah Tuan Gavin ada di rumah?" Pelayan yang bernama Nita itu menoleh. "Maaf, Tuan Gavin. Dari Dokter Douglas." Gavin meraih gagang telepon. "Ya, Dok." "Maaf, Tuan Gavin. Saya ingin memberitahukan bahwa hasil tes kesuburan Anda tertukar. Bisa segera datang?" "Maksud Anda?!" Gavin tersentak."Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb
Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.
Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra
Mobil sedan silver milik Elena memasuki area basement apartemen yang cukup luas, tetapi sudah hampir penuh. Elena mengedarkan pandangan, mencari-cari celah untuk parkir."Sepertinya kita agak telat," ujar Elena sambil perlahan memutar setir. "Biasanya jam segini masih banyak yang kosong."Livia hanya diam memperhatikan, jemarinya meremas tali ransel yang ia pangku. Basement ini terasa begitu berbeda dengan lingkungan kontrakannya yang sempit dan pengap. Di sini, meski remang, udara terasa lebih sejuk dengan sistem ventilasi yang baik."Nah, itu dia!" Elena berseru riang saat menemukan spot parkir di sudut basement. Dengan cekatan, ia mengarahkan mobilnya ke tempat kosong tersebut. "Home sweet home, Liv."Setelah mematikan mesin, Elena membuka bagasi dan mengeluarkan koper Livia. Livia sendiri menggendong ranselnya, berdiri canggung di samping mobil."Jangan khawatir," Elena menepuk pundak sahabatnya penuh pengertian. "Apartemennya tidak mewah, tapi nyaman, kok."Mereka berjalan beriri
Livia berusaha menghentikan langkah Evan. Namun, lima menit lagi absensi akan di tutup. "Tidak jadi. Nanti saja, aku sudah kesiangan."Dengan langkah cepat, nyaris berlari, Livia menuju gedung perkantoran yang menjulang tinggi."Pagi, Pak Satpam!" Livia tersenyum sekilas pada petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk."Pagi, Mbak Livia," satpam itu mengangguk ramah. Pagi itu, Livia langsung bekerja seperti biasanya. ****Jam makan siang akhirnya tiba. Setelah membersihkan seluruh ruangan di lantai 15—termasuk toilet, pantry, dan ruang rapat—Livia merasa perutnya mulai keroncongan. Ia menyelesaikan tugas terakhirnya, menyemprot pewangi ruangan di sudut-sudut strategis, sebelum mendorong trolinya kembali ke ruang penyimpanan di lantai tersebut."Mau makan siang, Livia?" tanya Mba Yuni, rekan sesama petugas kebersihan yang bertugas di lantai yang sama.Livia mengangguk. "Iya, Mba. Rasanya lapar sekali hari ini.""Mau bareng? Saya bawa bekal dari rumah."Sejenak Livia tergoda, tetapi
Livia berdiri mematung di taman, memandangi sosok Evan yang menjauh. Hatinya terasa kosong. Bahkan Evan, orang yang dulu begitu dekat dengannya, kini seolah asing.Dengan langkah gontai, Livia kembali menuju gedung kantornya. Jam istirahat hampir berakhir, sementara ia belum sempat makan apapun. Perutnya berbunyi memprotes, mengingatkan bahwa sejak sarapan pagi bersama Elena, ia belum memasukkan makanan ke dalam tubuhnya lagi.Di lobi, Livia menengok ke jam dinding—tinggal lima belas menit sebelum masuk kerja kembali. Ia memutuskan untuk mampir ke kantin karyawan di lantai dasar. Meski begitu, ia tahu tak akan sempat makan di sana."Mba Ida," Livia mendekati salah satu penjual di kantin, "nasi bungkus paket ayam satu, ya. Dibungkus.""Siap, Mbak Livia," Mba Ida dengan sigap menyiapkan pesanannya. "Tumben makan siang telat?"Livia tersenyum lemah. "Ada urusan penting tadi."Setelah membayar, Livia bergegas kembali ke lantai 15, membawa bungkusan nasi yang masih hangat. Ia melihat sekel
Sandra adalah yang pertama berbalik. Matanya melebar kaget melihat Livia. "Kamu? Bagaimana bisa—" "Kamu berbohong padaku, Evan!" Livia mengalihkan tatapannya pada pria itu, yang kini berdiri dengan wajah pucat. "Kamu bilang tidak tahu di mana Sandra!" "Li-Livia, aku bisa jelaskan," Evan tergagap, melangkah mundur. "Tidak perlu!" Livia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Aku datang untuk menuntut hakku, Sandra. Uang yang kamu dan ibumu ambil dariku!" Sandra menyilangkan tangannya defensif. "Uang apa? Aku tidak mengerti maksudmu." "Jangan pura-pura!" suara Livia meninggi, menarik perhatian beberapa pengunjung taman. "Uang yang ditransfer Madam Rose melalui rekeningmu! Uang yang seharusnya untuk operasi Ayah!" Wajah Sandra mengeras. "Oh, uang hasil 'pekerjaan khusus'mu itu?" ia melirik Evan dengan tatapan penuh arti. "Ya, uang yang kudapatkan dengan mengorbankan diriku!" Livia merasakan air mata mulai menggenang. "Uang yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa Ayahku, tapi kamu dan
Satu bulan berlalu sejak peristiwa di taman itu. Livia mencoba menata kembali hidupnya perlahan-perlahan. Ia tetap bekerja sebagai cleaning service, meski harus berhadapan dengan Bu Marta yang semakin keras padanya sejak insiden di ruang penyimpanan. Beruntung, Livia hanya mendapat surat peringatan, bukan pemecatan. Pagi itu, seperti biasa, Livia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun, begitu ia mencium aroma telur yang sedang digoreng, perutnya terasa mual. Dengan tergesa-gesa, ia berlari ke kamar mandi."Hoek! Hoek!" Livia muntah-muntah, padahal perutnya kosong. Hanya cairan bening yang keluar.Elena yang mendengar suara itu bergegas menuju kamar mandi. "Liv? Kamu kenapa?" ia mengetuk pintu dengan cemas.Livia keluar dengan wajah pucat. "Entahlah, mungkin masuk angin. Tiba-tiba saja perutku mual mencium bau telur."Elena menatapnya lekat-lekat, merasa ada yang aneh. "Sudah berapa lama kamu seperti ini?""Baru pagi ini," Livia menjawab sambil berjalan gontai menuju dapur.
Malam semakin larut, tapi Gavin masih berada di kantornya. Gedung yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa petugas keamanan dan staff yang lembur. Jas hitamnya sudah tersampir di sandaran kursi, dasinya dilonggarkan, dan dua kancing teratas kemejanya dibuka—sebuah pemandangan langka bagi siapapun yang mengenal Gavin sebagai pria yang selalu menjaga penampilan sempurna.Layar komputernya menunjukkan penurunan saham yang semakin dalam. Tidak hanya itu, email dari beberapa mitra bisnis yang membatalkan pertemuan atau perjanjian kerja sama juga terus bermunculan di inbox-nya.Ponselnya berdering lagi. Nama "Mama" muncul di layar. Gavin menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma," sapanya, berusaha terdengar normal."Gavin," suara Bu Lina terdengar cemas. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?""Baik, Ma," jawab Gavin, berbohong."Jangan bohong pada Mama," tegur Bu Lina. "Mama sudah melihat konferensi persmu. Apa yang kau pikirkan, mengakui semuanya begitu saja?"Gavin menghel
Livia mengangguk cepat, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Bu Lina masuk ke ruang tengah yang tertata rapi."Silakan duduk, Bu. Mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Livia."Teh saja," jawab Bu Lina singkat, matanya mengamati sekitar—semua perabotan tampak modern dan minimalis. Livia bergegas ke dapur dan memerintahkan Amina untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Amina datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silahkan diminum, Bu," kata Livia dengan sopan. Bu Lina menyeruput tehnya. "Kita perlu bicara."Livia duduk di hadapan Bu Lina, matanya tidak berani menatap langsung pada Bu Lina. Suasana canggung menyelimuti ruangan. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Bu Lina, memecah keheningan."Delapan bulan, Bu," jawab Livia pelan.Bu Lina mengangguk. "Dan bagaimana dengan kesehatanmu? Apa kau rutin memeriksakan kandungan?"Livia mengangguk. "Gavin memastikan saya mendapat perawatan yang baik." Belum sempat Bu Lina melanjutkan pertanyaannya, suara presenter berita di televisi yan
Gavin menatap wartawan itu dengan tatapan dingin, tapi tetap menjaga nada suaranya tetap terkontrol. "Saya tidak akan membahas detail privasinya, tapi ya, seorang wanita bernama Livia sedang mengandung anak saya." Gavin melihat wajah-wajah wartawan yang terkejut—mereka tidak menyangka akan mendapat pengakuan langsung."Tapi apakah ini terjadi saat Anda masih berstatus suami dari Bella Lysandros?" tanya wartawan lain.Gavin menggeleng tegas. "Tidak. Hubungan saya dengan Bella sebenarnya sudah lama berakhir, sebelum saya mengenal Livia.""Lalu bagaimana dengan pernyataan Bella yang mengatakan bahwa Anda telah berselingkuh selama bertahun-tahun?" Rahang Gavin mengeras, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Saya di sini tidak untuk menjelekkan siapapun, termasuk mantan istri saya. Yang perlu diketahui adalah bahwa perceraian kami terjadi karena ketidakcocokan yang sudah berlangsung lama. Bukan karena saya berselingkuh.""Tapi foto-foto yang beredar menunjukkan Anda dan Livia bersama
Di apartemen Daniel, Bella masih menikmati kemenangannya. Ia baru saja selesai melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu stasiun televisi nasional, di mana ia berperan sebagai korban yang tersakiti. Air mata buaya mengalir sempurna di pipinya yang dipoles makeup natural, menciptakan simpati dari pemirsa yang tidak tahu kebenaran di balik perceraiannya."Bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Bella pada Daniel yang duduk di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan."Sempurna," jawab Daniel datar. "Tapi aku masih berpikir kamu sudah sangat keterlaluan."Bella memutar bola matanya. "Oh, ayolah, Daniel. Ini baru permulaan. Tunggu saja sampai Lysandros Group benar-benar jatuh, dan Gavin akan merangkak memohon padaku." Ia tertawa kecil, suara tawanya terdengar dingin dan kejam.Daniel menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kasihan dan ngeri. Wanita cantik di hadapannya ini telah berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal, dikuasai oleh dendam dan kes
Ponsel Gavin di atas meja berdering nyaring, menampilkan nama Livia di layar. Dengan jari sedikit gemetar, ia menggeser layar untuk menjawab."Gavin?" suara Livia terdengar cemas di ujung telepon. "Apa kamu baik-baik saja?"Gavin tersenyum getir. Di tengah badai yang menghantam hidupnya, Livia masih sempat mengkhawatirkan keadaannya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabnya, berusaha terdengar tegar meski suaranya sedikit parau. "Bagaimana keadaanmu dan bayi kita?""Kami baik," jawab Livia dengan nada lembut. "Tapi berita itu ... foto-foto itu ....""Aku akan menyelesaikan ini semua," potong Gavin dengan nada tegas, jarinya menggenggam ponsel dengan erat. "Aku bisa mengatasi semua ini. Yang penting kamu tetap di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu. Wartawan pasti sedang mencarimu.""Baiklah," sahut Livia, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Aku ... aku takut semua ini karena aku.""Ini bukan salahmu," tegas Gavin. "Ini strategi Bella. M
Gavin menghela napas berat, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat."Jangan menyangkal," perintah Gavin dengan suara tegas namun terdengar lelah. "Tapi juga jangan memberikan detail apapun. Katakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.""Tapi, Tuan, mereka menuntut penjelasan lebih. Beberapa investor sudah mengisyaratkan akan menarik investasi mereka jika tidak ada klarifikasi resmi," jelas Kevin, suaranya terdengar frustrasi."Katakan pada mereka untuk tetap tenang," tegas Gavin. "Aku akan terbang ke Singapura besok pagi untuk berbicara langsung dengan mereka. Sekarang, pastikan semua staf kita menyiapkan strategi untuk menghadapi media."Gavin menutup telepon dan menatap langit-langit kantornya, pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin rumor ini bisa menyebar begitu cepat dan luas? Ia yakin bahwa Bella adalah dalang di balik semua ini. Gavin menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Grafik merah yang terus menukik tajam seakan m
Jemari Livia gemetar saat ia menggeser layarnya, membaca artikel yang memuat namanya dengan jelas—Livia, seorang cleaning service yang bekerja di Lysandros Group, disebutkan sebagai penyebab perceraian Gavin Lysandros dengan Bella setelah mengandung anak sang CEO.Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa foto dirinya tersebar—termasuk foto saat ia dan Gavin di rumah sakit dulu, ketika Gavin mengantarnya untuk check-up kehamilan. Foto yang sangat pribadi itu kini menjadi konsumsi publik.Air mata Livia mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mematikan ponselnya, namun berita itu terus bermunculan di televisi yang kebetulan sedang dinyalakan di ruang tengah."Berita ini menjadi viral tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara Asia lainnya," ucap presenter berita itu dengan nada sensasional. "Saham Lysandros Group dikabarkan langsung anjlok setelah berita ini tersebar."Livia terduduk lemas di sofa, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin berita pribadi mereka bi
Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan Livia. Matanya menatap lembut wanita yang tengah mengandung anaknya itu, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya perlahan. Ketimbang melanjutkan pembicaraan serius itu, Gavin memilih mengalihkan topik."Aku ingin melihat kamar anak kita," ujarnya sambil beranjak dari sofa, mengulurkan tangannya pada Livia.Livia, masih dengan jantung berdebar, menerima uluran tangan Gavin dan bangkit dari sofa dengan sedikit susah payah. Saat Gavin dengan natural meletakkan tangannya di pinggang Livia untuk membantunya berdiri, wanita itu bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik kontak mereka."Aku sudah memilih kamar yang paling dekat dengan kamarku."Mereka melangkah bersama, dengan langkah Gavin yang menyesuaikan kecepatan Livia. Setibanya di depan pintu kamar yang di tuju, Livia menghentikan langkahnya. "Ini kamarnya," ucapnya, lalu membuka pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, Gavin disambut pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Kamar berukura
Gavin menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis—bukan senyum ejekan, melainkan senyum seseorang yang akhirnya merasa bebas."Terserah," jawabnya tenang. "Yang jelas sekarang kamu sudah tidak punya hak dan kamu sudah bukan istriku lagi."Jawaban singkat itu membuat Bella semakin emosi. "Aku tidak rela, Gavin! Kamu pikir kamu bisa begitu saja meninggalkanku dan hidup bahagia dengan wanita murahan itu? Aku akan—"Gavin tidak menunggu Bella menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat pada sopirnya untuk segera meninggalkan tempat itu. Mobil melaju perlahan, meninggalkan Bella yang masih berdiri dengan wajah penuh amarah.Di dalam mobil, Gavin menghembuskan napas panjang. Sebuah beban berat seolah terangkat dari pundaknya. Ia mengecek ponselnya, lalu meminta sopir untuk langsung menuju rumah Livia.©©©Setibanya di depan rumah Livia, sekuriti yang berjaga langsung membuka pintu gerbang dan memberi salam hormat pada Gavin. Mobil melaju pelan memasuki halama