Share

Bab 3

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:45:59

Kembali ke hotel ....

Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."

Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose.

Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata.

Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."

Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belum terisi apapun sejak siang tadi. Begitu kepalanya menyentuh bantal, air matanya mengalir deras. Isakan tertahan lolos dari bibirnya.

"Maafkan aku, Yah ...," bisiknya lirih sebelum jatuh tertidur karena kelelahan.

***

Mentari pagi menyusup melalui celah gorden kusam ketika Livia terbangun. Tubuhnya seolah remuk dan rasa perih masih terasa pada area intinya, tapi ia memaksakan diri bangkit. Ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus pembayaran operasi ayahnya.

Dengan langkah terseok, ia berjalan menuju kamar Rita untuk membicarakan rencana mereka. Namun, begitu membuka pintu kamar, Livia langsung membeku.

Kamar itu kosong. Benar-benar kosong.

Lemari pakaian yang biasanya penuh dengan baju-baju mahal Rita kini terbuka lebar tanpa isi. Meja rias yang biasanya dipenuhi kosmetik, kini bersih. Bahkan bingkai foto Sandra yang selalu tergantung di dinding pun raib.

Jantung Livia berdegup kencang. Dengan panik ia berlari ke kamar Sandra. Pemandangan yang sama menyambutnya, kamar yang kosong melompong.

"Tidak ... tidak mungkin ...." Livia menggeleng, mundur dengan tubuh gemetar.

Livia kembali masuk ke dalam kamarnya, meraih tas. Dengan tangan bergetar hebat, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Madam Rose.

"Halo, Madam ...." suara Livia tercekat. "Saya Livia ... yang semalam ...."

"Ah, ya. Ada apa, Sayang?"

"Pembayarannya? Uang untuk operasi ayah saya ... seharusnya ditransfer kemana?"

Terdengar bunyi hembusan rokok sebelum Madam Rose menjawab, "Sudah ditransfer semua ke rekening yang diminta Rita tadi malam. Lima ratus juta rupiah, sesuai kesepakatan."

Tubuh Livia merosot ke lantai. "Ti-tidak ... Mama Rita sudah pergi ... dia mengosongkan kamarnya."

"Apa?!" Nada suara Madam Rose berubah terkejut. "Astaga, Sayang ... sepertinya kamu sudah ditipu."

Air mata Livia mengalir deras. Ponsel di tangannya terjatuh. Ia terisak keras, memeluk lututnya sendiri.

Bukan hanya kehormatannya yang telah hilang, tapi kini uang untuk operasi ayahnya pun raib dibawa kabur Rita dan Sandra. Entah kemana mereka menghilang dengan uang sebanyak itu.

Di tengah isak tangisnya, ponsel Livia bergetar. Nomor rumah sakit.

"Ha-halo ...." Livia menjawab dengan suara serak.

"Selamat pagi, dengan keluarga Pak Pedro? Kami ingin memberitahu bahwa kondisi pasien semakin memburuk. Operasi harus dilakukan hari ini juga."

Livia menatap kosong ke depan. Dunianya benar-benar hancur dalam semalam.

"Ba-baik, Sus. Saya akan segera ke rumah sakit."

Dengan tangan gemetar, Livia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi sempit di kontrakannya. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tak mampu menghapus rasa kotor yang ia rasakan, tak juga mampu membasuh kehancuran hatinya. Isakan tertahan masih lolos dari bibirnya, sementara ia menggosok tubuhnya dengan kasar, seolah ingin menghapus jejak-jejak sentuhan Gavin semalam.

Berulang kali ia membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan mata sembabnya. Ayahnya tidak boleh tahu apa yang telah ia lakukan. Tidak boleh tahu pengorbanannya yang sia-sia.

Livia berpakaian secepat yang ia bisa, kemeja putih kusut dan rok hitam yang sudah agak pudar menjadi pilihannya. Tangannya masih gemetaran saat mengancingkan bajunya, membuat proses sederhana itu terasa begitu sulit. Rambutnya yang masih basah, ia ikat asal-asalan.

"Bang!" Livia berteriak panik pada tukang ojek yang mangkal di ujung gang. "Ke Rumah Sakit Medika, ya! Cepat!"

Sepanjang perjalanan, Livia tak henti-hentinya berdoa. Air matanya mengalir tanpa suara, tersapu angin Jakarta yang panas. Beberapa kali ia hampir terjatuh saat ojek yang ditumpanginya menyalip kendaraan lain dengan nekat.

"Lebih cepat, Bang!" pintanya putus asa. "Ayah saya kritis!"

Begitu sampai di rumah sakit, Livia berlari sekuat tenaga menuju ruang ICU. Napasnya tersengal, kakinya gemetar, tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya kondisi ayahnya.

Di depan ruangan ICU, seorang perawat langsung menghampirinya. "Anda keluarga Pak Pedro?"

Livia mengangguk cepat. "Bagaimana kondisi ayah saya?"

"Kondisinya semakin kritis. Operasi harus dilakukan sekarang juga. Dokter sudah siap di ruang operasi. Anda sudah siapkan pembayarannya?"

Pertanyaan itu menghantam Livia bagai ribuan jarum. Kakinya lemas. "Sa-saya ... belum punya uangnya."

Perawat itu menghela napas. "Maaf, tapi tanpa pembayaran di muka, kami tidak bisa melakukan operasi. Ini prosedur rumah sakit."

"Tolong ...." Livia jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Saya mohon ... selamatkan ayah saya dulu. Nanti pasti saya bayar ... saya janji."

"Maaf, Mbak. Tidak bisa." Perawat itu menggeleng tegas. "Silakan cari pinjaman dulu atau—"

"TIDAK!" Livia menjerit, membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh. "Saya mohon ... dia satu-satunya yang saya punya. Tolong selamatkan dia!"

Perawat itu membantu Livia berdiri. "Maaf, Mbak. Ini sudah prosedur. Tanpa uang muka, operasi tidak bisa dilakukan."

Tepat saat itu, alat monitor di ruang ICU berbunyi nyaring. Para perawat bergegas masuk. Livia ikut menerobos, berlari ke sisi ranjang ayahnya.

"Ayah!" Livia menggenggam tangan Pedro yang dingin. "Ayah, bertahanlah ... Livia mohon."

Pedro membuka matanya yang sayu. Bibirnya yang pucat bergerak lemah. "Li ... via ...."

"Ayah ... maafkan Livia." Livia terisak. "Livia gagal ... Livia tidak bisa ...."

Pedro tersenyum lemah. Tangannya yang bergetar mengusap pipi Livia dengan lembut. "Jangan menangis ... Kamu ... sudah ... jadi anak ... yang ... baik ...."

"Tidak, Yah. Livia anak yang gagal. Livia tidak bisa menyelamatkan Ayah."

"Carilah Evita ...." Nafas Pedro semakin lemah. "Maaf ... Ayah ... harus ... pergi ...."

"TIDAK!" Livia menjerit histeris saat alat monitor menunjukkan garis lurus. "AYAH! BANGUN, YAH! JANGAN TINGGALKAN LIVIA!"

Para perawat berusaha melakukan resusitasi, tapi sia-sia. Pedro telah pergi dengan senyum damai di wajahnya. Meninggalkan Livia yang menangis histeris di sisi ranjangnya.

"AYAAAAH!" Jeritan pilu Livia memenuhi ruang ICU. Tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai dingin rumah sakit. "Maafkan Livia ... maafkan Livia ...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
ibu tiri lucnut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 4

    "Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 5

    "Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 7

    Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 8

    Mobil sedan silver milik Elena memasuki area basement apartemen yang cukup luas, tetapi sudah hampir penuh. Elena mengedarkan pandangan, mencari-cari celah untuk parkir."Sepertinya kita agak telat," ujar Elena sambil perlahan memutar setir. "Biasanya jam segini masih banyak yang kosong."Livia hanya diam memperhatikan, jemarinya meremas tali ransel yang ia pangku. Basement ini terasa begitu berbeda dengan lingkungan kontrakannya yang sempit dan pengap. Di sini, meski remang, udara terasa lebih sejuk dengan sistem ventilasi yang baik."Nah, itu dia!" Elena berseru riang saat menemukan spot parkir di sudut basement. Dengan cekatan, ia mengarahkan mobilnya ke tempat kosong tersebut. "Home sweet home, Liv."Setelah mematikan mesin, Elena membuka bagasi dan mengeluarkan koper Livia. Livia sendiri menggendong ranselnya, berdiri canggung di samping mobil."Jangan khawatir," Elena menepuk pundak sahabatnya penuh pengertian. "Apartemennya tidak mewah, tapi nyaman, kok."Mereka berjalan beriri

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 9

    Livia berusaha menghentikan langkah Evan. Namun, lima menit lagi absensi akan di tutup. "Tidak jadi. Nanti saja, aku sudah kesiangan."Dengan langkah cepat, nyaris berlari, Livia menuju gedung perkantoran yang menjulang tinggi."Pagi, Pak Satpam!" Livia tersenyum sekilas pada petugas keamanan yang berjaga di pintu masuk."Pagi, Mbak Livia," satpam itu mengangguk ramah. Pagi itu, Livia langsung bekerja seperti biasanya. ****Jam makan siang akhirnya tiba. Setelah membersihkan seluruh ruangan di lantai 15—termasuk toilet, pantry, dan ruang rapat—Livia merasa perutnya mulai keroncongan. Ia menyelesaikan tugas terakhirnya, menyemprot pewangi ruangan di sudut-sudut strategis, sebelum mendorong trolinya kembali ke ruang penyimpanan di lantai tersebut."Mau makan siang, Livia?" tanya Mba Yuni, rekan sesama petugas kebersihan yang bertugas di lantai yang sama.Livia mengangguk. "Iya, Mba. Rasanya lapar sekali hari ini.""Mau bareng? Saya bawa bekal dari rumah."Sejenak Livia tergoda, tetapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 10

    Livia berdiri mematung di taman, memandangi sosok Evan yang menjauh. Hatinya terasa kosong. Bahkan Evan, orang yang dulu begitu dekat dengannya, kini seolah asing.Dengan langkah gontai, Livia kembali menuju gedung kantornya. Jam istirahat hampir berakhir, sementara ia belum sempat makan apapun. Perutnya berbunyi memprotes, mengingatkan bahwa sejak sarapan pagi bersama Elena, ia belum memasukkan makanan ke dalam tubuhnya lagi.Di lobi, Livia menengok ke jam dinding—tinggal lima belas menit sebelum masuk kerja kembali. Ia memutuskan untuk mampir ke kantin karyawan di lantai dasar. Meski begitu, ia tahu tak akan sempat makan di sana."Mba Ida," Livia mendekati salah satu penjual di kantin, "nasi bungkus paket ayam satu, ya. Dibungkus.""Siap, Mbak Livia," Mba Ida dengan sigap menyiapkan pesanannya. "Tumben makan siang telat?"Livia tersenyum lemah. "Ada urusan penting tadi."Setelah membayar, Livia bergegas kembali ke lantai 15, membawa bungkusan nasi yang masih hangat. Ia melihat sekel

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 11

    Sandra adalah yang pertama berbalik. Matanya melebar kaget melihat Livia. "Kamu? Bagaimana bisa—" "Kamu berbohong padaku, Evan!" Livia mengalihkan tatapannya pada pria itu, yang kini berdiri dengan wajah pucat. "Kamu bilang tidak tahu di mana Sandra!" "Li-Livia, aku bisa jelaskan," Evan tergagap, melangkah mundur. "Tidak perlu!" Livia mengalihkan tatapannya pada Sandra. "Aku datang untuk menuntut hakku, Sandra. Uang yang kamu dan ibumu ambil dariku!" Sandra menyilangkan tangannya defensif. "Uang apa? Aku tidak mengerti maksudmu." "Jangan pura-pura!" suara Livia meninggi, menarik perhatian beberapa pengunjung taman. "Uang yang ditransfer Madam Rose melalui rekeningmu! Uang yang seharusnya untuk operasi Ayah!" Wajah Sandra mengeras. "Oh, uang hasil 'pekerjaan khusus'mu itu?" ia melirik Evan dengan tatapan penuh arti. "Ya, uang yang kudapatkan dengan mengorbankan diriku!" Livia merasakan air mata mulai menggenang. "Uang yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa Ayahku, tapi kamu dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 76

    Setelah menutup telepon, Livia masih duduk termenung di tepi tempat tidur. Perubahan hidupnya begitu drastis dan tiba-tiba, membuatnya kadang merasa seperti sedang bermimpi.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Liv? Boleh aku masuk?" suara Elena terdengar dari balik pintu."Tentu, El. Masuklah."Elena masuk dengan menenteng dua cangkir teh hangat. "Barusan Mbak Amina membuatkan kita ini." Ia menyodorkan salah satu cangkir kepada Livia."Terima kasih," Livia menerima cangkir itu, menghirup aromanya yang menenangkan. "Sudah mencoba kasurmu? Empuk sekali, kan?"Elena terkekeh, duduk di sebelah Livia. "Seperti tidur di atas awan," jawabnya sambil menyeruput tehnya perlahan. "Tadi kamu menelepon Gavin?"Livia mengangguk. "Dia menyarankan agar aku berhenti bekerja, tapi aku bilang aku ingin tetap bekerja sampai kandunganku berusia enam bulan.""Dan dia setuju?""Iya, meski tampak sedikit khawatir."Elena menatap sekeliling kamar mewah itu, lalu kembali menatap Livia dengan senyum

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 75

    Belum sempat Livia dan Elena menjelajahi rumah baru mereka, sebuah suara lembut mengalihkan perhatian keduanya."Selamat malam, Nona."Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah berdiri di ambang pintu ruang tengah. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna abu-abu dengan celemek putih bersih. Rambutnya yang mulai beruban diikat rapi ke belakang."Tuan Gavin sudah memberitahu kedatangan Nona-nona malam ini," wanita itu membungkuk sopan. "Mari, saya tunjukkan kamar yang sudah saya persiapkan untuk Nona-nona."Elena melirik Livia, alisnya terangkat takjub. "Kita bahkan punya pelayan pribadi?" bisiknya.Amina menuntun mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Koridor dengan dinding putih bersih dan beberapa lukisan pemandangan terbentang di hadapan mereka. "Ada empat kamar tidur di lantai ini," jelas Amina sembari berjalan. "Dua kamar menghadap ke depan dengan pemandangan taman depan dan samping, dua lainnya menghadap ke belakang dengan pemandangan taman belakang. Semua kamar memiliki ka

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 74

    Jemari Livia sedikit bergetar saat mencari kontak Gavin. Haruskah ia menceritakan tentang Bella yang melabraknya? Tapi itu hanya akan menambah beban pikiran Gavin yang sedang sibuk dengan perusahaannya di Singapura."Halo?" suara Gavin terdengar dari seberang. "Livia?""Hai, Gavin," Livia berusaha terdengar normal, meski hatinya masih berdebar kencang mengingat kejadian tadi. "Maaf mengganggumu. Apa kamu sedang sibuk?""Tidak, aku baru selesai makan malam. Ada apa?"Livia menarik napas dalam-dalam. "Aku ... aku sudah memutuskan untuk menerima tawaranmu. Aku dan Elena akan menempati rumah itu, kalau masih boleh."Ada jeda sejenak, kemudian Livia bisa mendengar senyum dalam suara Gavin."Tentu saja boleh," jawab Gavin, nada suaranya terdengar lega dan gembira. "Kapan kalian akan pindah?""Mungkin malam ini juga, kalau tidak keberatan.""Malam ini?" Gavin terdengar terkejut. "Keputusan yang sangat mendadak?"Livia melirik Elena yang mengangguk memberi dukungan. "Tidak ada alasan khusus.

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 73

    Jam kerja berakhir, lampu-lampu ruangan satu per satu dimatikan. Livia membereskan pekerjaannya dengan gerakan lambat, masih memikirkan gosip yang ia dengar siang tadi. Sementara Elena menunggunya di pintu, seperti biasa."Siap pulang?" tanya Elena sembari tersenyum hangat.Livia mengangguk, menyelempangkan tasnya. "Ayo kita pulang tuan putri," Elena tertawa kecil, mengaitkan lengannya pada lengan Livia. Mereka melangkah meninggalkan gedung perkantoran. Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat pada jalanan kota yang mulai padat dengan kendaraan jam pulang kerja. Livia dan Elena berjalan berdampingan, sesekali tertawa kecil membicarakan hal-hal ringan, berusaha melupakan gosip yang menggelisahkan."Jadi, kamu sudah memikirkan tawaran dia soal rumah itu?" tanya Elena."Hmm, aku—""HEI, PELACUR!"Teriakan itu membekukan langkah Livia dan Elena. Keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang wanita cantik melangkah cepat ke arah mereka dengan wajah merah padam penuh a

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 72

    Kantin kantor selalu ramai saat jam makan siang. Livia mengambil nampan, mengantri di belakang puluhan karyawan lainnya. Matanya mencari-cari sosok Elena, dan menemukan sahabatnya itu sudah duduk di meja pojok dekat jendela."Maaf, aku telat, keasyikan berbincang di telepon," kata Livia, meletakkan nampan berisi nasi, sayur asem, dan ayam goreng di meja.Elena mengibaskan tangannya santai. "Tidak apa-apa. Memangnya telepon dari siapa? Kelihatannya penting sekali sampai kamu terlambat makan siang."Wajah Livia merona, ia menunduk, berpura-pura sibuk dengan makanannya. "Gavin," bisiknya pelan.Mata Elena melebar. "Wow! CEO kita yang sedang di Singapura itu menyempatkan diri meneleponmu di tengah kesibukannya? Manis sekali!""Ssst! Jangan keras-keras!" Livia menyikut lengan Elena, matanya waspada melirik ke sekitar. "Dia hanya menanyakan kabar dan mengingatkanku untuk makan dan minum vitamin.""Ya, ya, tentu saja," goda Elena, menyendokkan nasi ke mulutnya. "Kalian seperti pasangan yang

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 71

    Livia menekan tombol lift menuju lantai 25, tempat ruangan Gavin berada. Jam tangannya menunjukkan pukul 7:30—tiga puluh menit lebih awal dari jam masuk normal. Entah mengapa, pagi ini ia bangun lebih pagi dari biasanya, mungkin karena kegembiraan tentang rumah barunya masih menggelayuti pikirannya.Saat pintu lift terbuka, lorong masih sepi. Langkah kakinya bergema di lantai yang mengkilap. Livia berhenti sejenak di depan pintu kaca yang memisahkan area eksekutif—tempat ruangan Gavin berada—dengan area staff lainnya. Matanya secara otomatis mencari ke arah pintu berplakat "Direktur Utama" di ujung koridor."Apa dia sudah berangkat?" bisiknya pada diri sendiri, melangkah perlahan mendekati ruangan Gavin.Dengan hati-hati, Livia mengintip melalui jendela kaca yang sedikit tertutup tirai. Ruangan tampak gelap dan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Meja kerja yang biasanya dipenuhi dokumen kini tertata rapi, komputer dalam keadaan mati, dan kursi kerja Gavin kosong.Li

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 70

    Di dalam kamar, Livia mengganti dress putihnya dengan piyama bermotif bunga-bunga. Ia duduk di tepi ranjang, mata menerawang ke arah langit-langit kamar. Tangannya masih menggenggam kunci rumah pemberian Gavin, jemarinya mengelus permukaan logam itu dengan penuh kehati-hatian."Apakah ini mimpi?" gumamnya pada diri sendiri.Livia berbaring, menarik selimut tipis hingga sebatas dada. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu—wajah Gavin yang tersenyum lembut padanya, tatapan matanya yang penuh perhatian, genggaman tangannya yang hangat. Jantungnya berdebar kencang hanya dengan mengingat semua itu."Ah, tapi aku harus sadar diri dan tidak boleh ke-ge-er-an," bisiknya, memperingatkan diri sendiri. "Gavin melakukan semua ini hanya karena aku mengandung anaknya, bukan karena dia menyukaiku."Livia memiringkan tubuhnya, memandang tembok kamar yang sudah menguning. Matanya mulai terasa berat."Tentu saja itu tidak mungkin terjadi," bisiknya lagi, suaranya semakin pelan. "Pria seper

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 69

    Setelah berbincang kesana kemari, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Livia memutuskan untuk pulang. Mereka masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Sesekali Livia melirik ke arah Gavin yang fokus menyetir, senyum tipis tersungging di bibirnya saat mengingat kejadian beberapa jam lalu.Setelah 40 menit, mobil Gavin tiba di area basement. Gavin menghentikan mobilnya di tempat parkir yang sepi. Lampu basement yang temaram menyinari wajah keduanya. Sebelum Livia turun, Gavin meraih tangannya dengan lembut."Livia," suaranya dalam dan penuh keyakinan, "kumohon pertimbangkan lagi untuk menempati rumah itu. Aku benar-benar ingin kamu dan bayi kita tinggal di tempat yang aman dan layak."Livia menghela napas panjang, mata hazelnya bertemu dengan mata cokelat Gavin. Jemarinya memainkan ujung dress putihnya dengan gugup."Terima kasih banyak, Gavin. Sungguh, ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi kalau hanya untuk menempati ... kurasa aku

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 68

    Begitu pintu utama terbuka, Livia disambut oleh interior yang elegan—perpaduan gaya klasik dan modern, dengan cat dinding cream yang hangat dan lantai marmer putih yang mengkilap."Ini rumah siapa?" tanya Livia sekali lagi, matanya berkeliling takjub melihat lukisan-lukisan mahal yang terpajang di dinding.Gavin hanya tersenyum misterius, tidak menjawab pertanyaan Livia. Ia menuntun Livia melalui lorong pendek menuju ruang makan. Dua orang pelayan berseragam rapi langsung membungkuk hormat begitu melihat kedatangan mereka."Selamat malam, Tuan Lysandros," sapa salah satu pelayan. "Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Anda.""Terima kasih, Amina," jawab Gavin singkat.Ruang makan itu tidak terlalu besar namun sangat mengesankan. Meja makan untuk dua orang terletak di tengah, dihiasi dengan lilin-lilin kecil dan rangkaian bunga lily putih—menciptakan suasana romantis yang sempurna. Jendela-jendela besar menghadap ke taman belakang yang diterangi lampu-lampu taman."Silakan duduk," Pe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status