Share

Bab 3

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:45:59

Kembali ke hotel ....

Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."

Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose.

Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata.

Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."

Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belum terisi apapun sejak siang tadi. Begitu kepalanya menyentuh bantal, air matanya mengalir deras. Isakan tertahan lolos dari bibirnya.

"Maafkan aku, Yah ...," bisiknya lirih sebelum jatuh tertidur karena kelelahan.

***

Mentari pagi menyusup melalui celah gorden kusam ketika Livia terbangun. Tubuhnya seolah remuk dan rasa perih masih terasa pada area intinya, tapi ia memaksakan diri bangkit. Ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus pembayaran operasi ayahnya.

Dengan langkah terseok, ia berjalan menuju kamar Rita untuk membicarakan rencana mereka. Namun, begitu membuka pintu kamar, Livia langsung membeku.

Kamar itu kosong. Benar-benar kosong.

Lemari pakaian yang biasanya penuh dengan baju-baju mahal Rita kini terbuka lebar tanpa isi. Meja rias yang biasanya dipenuhi kosmetik, kini bersih. Bahkan bingkai foto Sandra yang selalu tergantung di dinding pun raib.

Jantung Livia berdegup kencang. Dengan panik ia berlari ke kamar Sandra. Pemandangan yang sama menyambutnya, kamar yang kosong melompong.

"Tidak ... tidak mungkin ...." Livia menggeleng, mundur dengan tubuh gemetar.

Livia kembali masuk ke dalam kamarnya, meraih tas. Dengan tangan bergetar hebat, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Madam Rose.

"Halo, Madam ...." suara Livia tercekat. "Saya Livia ... yang semalam ...."

"Ah, ya. Ada apa, Sayang?"

"Pembayarannya? Uang untuk operasi ayah saya ... seharusnya ditransfer kemana?"

Terdengar bunyi hembusan rokok sebelum Madam Rose menjawab, "Sudah ditransfer semua ke rekening yang diminta Rita tadi malam. Lima ratus juta rupiah, sesuai kesepakatan."

Tubuh Livia merosot ke lantai. "Ti-tidak ... Mama Rita sudah pergi ... dia mengosongkan kamarnya."

"Apa?!" Nada suara Madam Rose berubah terkejut. "Astaga, Sayang ... sepertinya kamu sudah ditipu."

Air mata Livia mengalir deras. Ponsel di tangannya terjatuh. Ia terisak keras, memeluk lututnya sendiri.

Bukan hanya kehormatannya yang telah hilang, tapi kini uang untuk operasi ayahnya pun raib dibawa kabur Rita dan Sandra. Entah kemana mereka menghilang dengan uang sebanyak itu.

Di tengah isak tangisnya, ponsel Livia bergetar. Nomor rumah sakit.

"Ha-halo ...." Livia menjawab dengan suara serak.

"Selamat pagi, dengan keluarga Pak Pedro? Kami ingin memberitahu bahwa kondisi pasien semakin memburuk. Operasi harus dilakukan hari ini juga."

Livia menatap kosong ke depan. Dunianya benar-benar hancur dalam semalam.

"Ba-baik, Sus. Saya akan segera ke rumah sakit."

Dengan tangan gemetar, Livia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi sempit di kontrakannya. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tak mampu menghapus rasa kotor yang ia rasakan, tak juga mampu membasuh kehancuran hatinya. Isakan tertahan masih lolos dari bibirnya, sementara ia menggosok tubuhnya dengan kasar, seolah ingin menghapus jejak-jejak sentuhan Gavin semalam.

Berulang kali ia membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan mata sembabnya. Ayahnya tidak boleh tahu apa yang telah ia lakukan. Tidak boleh tahu pengorbanannya yang sia-sia.

Livia berpakaian secepat yang ia bisa, kemeja putih kusut dan rok hitam yang sudah agak pudar menjadi pilihannya. Tangannya masih gemetaran saat mengancingkan bajunya, membuat proses sederhana itu terasa begitu sulit. Rambutnya yang masih basah, ia ikat asal-asalan.

"Bang!" Livia berteriak panik pada tukang ojek yang mangkal di ujung gang. "Ke Rumah Sakit Medika, ya! Cepat!"

Sepanjang perjalanan, Livia tak henti-hentinya berdoa. Air matanya mengalir tanpa suara, tersapu angin Jakarta yang panas. Beberapa kali ia hampir terjatuh saat ojek yang ditumpanginya menyalip kendaraan lain dengan nekat.

"Lebih cepat, Bang!" pintanya putus asa. "Ayah saya kritis!"

Begitu sampai di rumah sakit, Livia berlari sekuat tenaga menuju ruang ICU. Napasnya tersengal, kakinya gemetar, tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya kondisi ayahnya.

Di depan ruangan ICU, seorang perawat langsung menghampirinya. "Anda keluarga Pak Pedro?"

Livia mengangguk cepat. "Bagaimana kondisi ayah saya?"

"Kondisinya semakin kritis. Operasi harus dilakukan sekarang juga. Dokter sudah siap di ruang operasi. Anda sudah siapkan pembayarannya?"

Pertanyaan itu menghantam Livia bagai ribuan jarum. Kakinya lemas. "Sa-saya ... belum punya uangnya."

Perawat itu menghela napas. "Maaf, tapi tanpa pembayaran di muka, kami tidak bisa melakukan operasi. Ini prosedur rumah sakit."

"Tolong ...." Livia jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Saya mohon ... selamatkan ayah saya dulu. Nanti pasti saya bayar ... saya janji."

"Maaf, Mbak. Tidak bisa." Perawat itu menggeleng tegas. "Silakan cari pinjaman dulu atau—"

"TIDAK!" Livia menjerit, membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh. "Saya mohon ... dia satu-satunya yang saya punya. Tolong selamatkan dia!"

Perawat itu membantu Livia berdiri. "Maaf, Mbak. Ini sudah prosedur. Tanpa uang muka, operasi tidak bisa dilakukan."

Tepat saat itu, alat monitor di ruang ICU berbunyi nyaring. Para perawat bergegas masuk. Livia ikut menerobos, berlari ke sisi ranjang ayahnya.

"Ayah!" Livia menggenggam tangan Pedro yang dingin. "Ayah, bertahanlah ... Livia mohon."

Pedro membuka matanya yang sayu. Bibirnya yang pucat bergerak lemah. "Li ... via ...."

"Ayah ... maafkan Livia." Livia terisak. "Livia gagal ... Livia tidak bisa ...."

Pedro tersenyum lemah. Tangannya yang bergetar mengusap pipi Livia dengan lembut. "Jangan menangis ... Kamu ... sudah ... jadi anak ... yang ... baik ...."

"Tidak, Yah. Livia anak yang gagal. Livia tidak bisa menyelamatkan Ayah."

"Carilah Evita ...." Nafas Pedro semakin lemah. "Maaf ... Ayah ... harus ... pergi ...."

"TIDAK!" Livia menjerit histeris saat alat monitor menunjukkan garis lurus. "AYAH! BANGUN, YAH! JANGAN TINGGALKAN LIVIA!"

Para perawat berusaha melakukan resusitasi, tapi sia-sia. Pedro telah pergi dengan senyum damai di wajahnya. Meninggalkan Livia yang menangis histeris di sisi ranjangnya.

"AYAAAAH!" Jeritan pilu Livia memenuhi ruang ICU. Tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai dingin rumah sakit. "Maafkan Livia ... maafkan Livia ...."

Bab terkait

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 4

    "Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 5

    "Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 7

    Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 1

    Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 2

    Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 7

    Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel."Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis."Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu."Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontra

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 6

    Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella. "Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh.""Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam."Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan.""Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya.

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 5

    "Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 4

    "Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 3

    Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 2

    Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 1

    Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya."Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam."Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin."Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih."Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?"Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya."Mendekatlah."Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya."Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak."Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status