"Rumahmu? Kenapa harus rumahmu? Aku bahkan bisa menampung dia di rumahku," sengit Aaron. Dia tidak terima Dara berada di rumah pria aneh itu. Pria brutal yang sudah layak disebut dengan preman.
"Tampung? Kamu kira aku korban apa? Aaron— heh—" Dara lagi-lagi tersenyum kecut. Tidak adakah bahasa yang lebih pas? Lebih halus dari 'tampung?
Oke saat ini dia marah, dia cemburu dan kesal karena sikap— pertama Raka, kedua Abby, dan kembali pada Raka lagi, tetapi sungguh Dara tidak pernah merasa bahwa dia korban, yang harus ditampung oleh siapapun.
Dia hanya ingin menenangkan dirinya. Dara hanya butuh tempat yang jauh dari kehidupannya dulu. Dara ingin menata kembali hidupnya sebelum melewati lagi masa sulit. Entah seperti apa yang jelas saat ini Dara ingin me-refresh lagi suasana hatinya.
"Dara bukan maksudku. Tapi kenapa harus dia? Kamu bisa telepon aku bukan? Kamu bisa kembali padaku," sangkal Aaron mencari pembenaran dan pem
Dara memutuskan untuk pulang bersama dengan Aaron. Hal itu tentu saja membuat hati Abby merasa kecil. Dia yang membawanya dan dia pula yang mengusulkan untuk tinggal bersama dengan dirinya tetapi orang lain yang mendapatkan keputusan itu. Tidakkah Dara berpikir bagaimana sejujurnya perasaan pria itu? Benar— memang dalam hati tidak ada yang pernah tahu. Abby memang tidak ingin memberitahukan perasaannya kepada gadis itu.Dia tetap akan menjadi dirinya sendiri sampai kesempatannya datang, bahkan jika suatu hari Dara berhasil berada dalam pelukannya, tetapi ia tidak mau bermimpi lebih jauh. Jelas terlihat bahwa Dara memang sangat menyukai pria yang romatis, mungkin— karena Abby juga hanya menebak tanpa tahu kebenarannya.“Kamu yakin mau pergi bersama dengannya? Aku sudah katakan bahwa pria romantis tidak semuanya bisa membuat bahagia,” sindir Abby.Bahkan ada Aaron di sampingnya. Abby tidak merasa takut, hampir semua yang dia tahu tentang pr
Dalam perjalanan pulang Aaron terus memikirkan banyak hal. Semua hanya tentang Dara dan masalah yang kini dihadapi oleh gadis itu. Rasanya memang tidak mudah, terlebih untuk melakukan visum sudah sangat terlambat. Jejak-jejak kekerasan, kuku atau apa pun sudah tidak lagi nampak, lebam di wajah dan tubuh Dara sudah sembuh sepenuhnya. Tidak ada celah untuk menjebloskan Raka ke penjara untuk saat ini. Terlebih keberadaan Raka juga sudah tidak diketahui oleh Dara."Kenapa melamun?" Ucapan Dara mampu membuat pria itu tersadar dari kebimbangan, Aaron membawa tatapannya ke arah tempat Dara terduduk dengan tenang. Raut wajah itu benar-benar menghipnotis Aaron, dia tidak bisa berpaling walau hanya sekilas."Tidak ada, hanya memikirkan bagaimana cara agar aku bisa tetap bersamamu," ungkap Aaron.Dara tersenyum tipis. Dalam benaknya bertanya, apa yang membuat Aaron begitu yakin padanya? Mereka baru berkenalan belum lama dan Dara tahu cinta tidak secepat itu, tetapi cinta j
“Kita sudah sampai. Sebentar lagi kamu bisa istirahat dengan tenang, Dara. Tidak akan ada yang mengganggumu, tidak juga Raka,” papar Aaron. Menoleh memberikan senyum hangat pada gadis di sampingnya.Mobil itu melesak masuk dan pintu gerbang itu kembali tertutup. Aaron menghentikannya tepat di depan pintu utama. Di tengah halaman rumah ada sebuah air mancur dengan tiang putih yang besar.Air jernih di kelilingi bunga-bunga teratai, bisa dipastikan bahwa di dalam kolam bawah tepat jatuhnya air itu ada banyak ikan indah. Juga dengan berbagai warna yang sesekali mereka menampakkan diri kepermukaan untuk memakan makanan yang ada. Terkadang jentik-jentik yang menjadi perebutan.Aaron turun dan membukakan pintu untuk Dara. Mungkin gadis itu sudah berada di tangan yang tepat sehingga bisa menjadi ratu tidak lagi menjadi seorang babu.“Hati-hati, perhatikan langkahmu,” pesan Aaron.Mata Dara tentu membulat sempurna, bulu mata lentik
Aaron meminta Dara untuk duduk di sisinya. Mereka saling berhadapan dan saling tatap, menelisik bola mata lawan dengan intens. Dalam situasi seperti ini, di mana hanya ada dua orang dalam satu ruangan, orang ketiga adalah nafsu. Bukan setan, karena setan tidak akan pernah ada. Akan tetapi nafsu manusia melebihi setan.Aaron mengarahkan tangannya untuk membelai wajah Dara. Gadis itu terpejam sejenak menikmati belaian dari pria yang kini mengikis jarak di antara keduanya."Cloe," gumam Aaron. Sangat pelan bahkan Dara hampir tidak bisa mendengarnya.Namun, ternyata panggilan itu di dengar oleh Dara dan membuat perempuan itu membuka mata. Entah kenapa perasaannya berbeda saat Aaron menyerukan nama itu. Apa salahnya? Aaron memang suami Cloe bukan?Dara memundurkan wajah beberapa sentimeter, sampai hidung mereka kembali berjarak dan wanita itu bisa melihat netra Aaron. Ada banyak cinta di sana, ada kerinduan yang tidak terbendung di sana. Bola mata pria itu mem
Usai makan malam yang hening dengan suasana berbeda, dua insan yang seharusnya berbahagia— tadinya. Namun, kini hanya kesunyian yang merajai.Dara dengan segala rasa kesal dan kecewanya, sementara Aaron yang ingin tahu di mana letak kesalahan yang dia perbuat. Sungguh dia bahkan tidak ingat menyerukan nama istrinya.Akan tetapi, penilaian pertama sudah sangat melekat dalam diri Dara. Sekali Aaron melakukan hal itu, maka setiap saat bahkan jika hubungan ini diteruskan, Aaron tidak akan pernah bisa berubah.Di sisi Aaron, dia masih saja heran dengan sikap Dara yang tiba-tiba mendiamkan dirinya, seolah tanpa sebab. Padahal Aaron yakin bahwa Dara sangat ingin bercumbu sebelumnya. Melihat bagaimana sikap dan napasnya yang mulai menderu-deru serta leguhan yang berhasil keluar dari mulutnya. Namun, kali ini Dara justru menahan diri?"Dara—" Belum sempat Aaron melanjutkan apa yang ingin dia katakan. Aaron hanya ingin bertanya ada apa dengan dia? Akan
Berdiri di depan sebuah bangunan reyot yang tidak tampak layak untuk ditinggali. Sepasang suami istri yang baru saja resmi menikah itu saling beradu pandang.Kebaya putih dan wiru cokelat dengan belahan di sisi kiri masih melekat di tubuh sang pengantin wanita. Riasan di wajahnya terlihat memudar oleh keringat.“Sementara kita tinggal di sini dulu, ya? Sampai aku dapat kerja yang lebih baik,” tukas pria berpotongan rambut cepak itu. Tangannya bertaut menggenggam jemari lembut nan kecil milik Dara, istrinya.Perempuan itu mengangguk. “Kurasa ini sudah cukup baik untuk bernaung di bawah terik panas matahari dan badai saat hujan, Mas.” Tidak masalah di mana pun dia tinggal. Ia pernah tinggal di tempat yang lebih buruk dari tempat itu.Raka, pria itu mengembangkan senyum. Ia lantas menyeret langkah beriringan dengan sang istri guna memasuki bangunan yang tidak lebih dari enam kali lima meter2 itu.Tuas pintu didorong masuk dan suara derit menyedihkan mereka dengar. Aroma apak menyeruak me
Satu tahun terlewat. Bukan hal mudah bagi Dara menjalani kehidupan penuh dengan luapan emosi setiap harinya. Tidak sampai satu bulan hubungan harmonis yang menjanjikan itu. Nyatanya setiap waktu Dara dan Raka bisa saja memiliki pendapat yang bertentangan.“Kamu di mana, Mas? Ini sudah jam sembilan, kenapa belum pulang juga?” tanya Dara dengan suara lembut. Dia lelah bertengkar dan harus terus menunggu sang suami pulang larut sepanjang waktu 24x7.“Dua jam lagi aku balik, Da. Kamu tidur dulu saja, nggak usah nunggu aku balik.”“Tapi, Mas. Aku—” panggilan terputus tanpa Dara mampu menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengusap wajah gusar. Ada desir perih dalam perutnya. Ia kembali membuka dompet yang teronggok di meja. Sudah puluhan kali dia membukanya dan mendapati hal yang tidak akan berubah. Sama sekali tidak dilihat uang di sana. kecuali koin lima ratus rupiah untuk penunggu.“Ck! Sampai mata belekan juga nggak bakal beranak kan duit ini,” gerutunya. Ia kembali melempar dompet bewarna
“Besok tidak perlu datang, ya. Ibu ada pertemuan dengan kakak Bina Karya, jadi kalian libur kalau ada kesulitan bisa langsung chat ibu,” tutur Dara.Ia menatap satu persatu anak didiknya. “Baik, Bu.” Serempak. Sepuluh murid remaja tanggung itu mengemas semua buku dan bersiap pamit mencium punggung tangan Dara.Memberikan jam tambahan belajar bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Pekerjaan sampingan yang— apa saja dia lakoni demi menunjang kehidupan bersama dengan Raka.Gadis itu melirik jam yang lekat di dinding. Senja sudah menyambutnya. Ia mengintip di balik kaca buram yang ada di kanan pintu, melihat apakah hari ini ada keajaiban untuk Raka?Desahan kecewa kudu ditelan gadis dua puluh enam tahun itu. Berjalan ke kursi kayu dan memutuskan untuk mengetik naskah yang dia garap. Melupakan pertengkaran yang semalam seperti berputar dalam ingatan.“Kamu menamparku, Mas? Sejak kapan, kamu tega lakukan ini?” Suara Dara bergetar. Dia terkejut dengan kemajuan perilaku Raka yang semakin hari k