Usai makan malam yang hening dengan suasana berbeda, dua insan yang seharusnya berbahagia— tadinya. Namun, kini hanya kesunyian yang merajai.
Dara dengan segala rasa kesal dan kecewanya, sementara Aaron yang ingin tahu di mana letak kesalahan yang dia perbuat. Sungguh dia bahkan tidak ingat menyerukan nama istrinya.
Akan tetapi, penilaian pertama sudah sangat melekat dalam diri Dara. Sekali Aaron melakukan hal itu, maka setiap saat bahkan jika hubungan ini diteruskan, Aaron tidak akan pernah bisa berubah.
Di sisi Aaron, dia masih saja heran dengan sikap Dara yang tiba-tiba mendiamkan dirinya, seolah tanpa sebab. Padahal Aaron yakin bahwa Dara sangat ingin bercumbu sebelumnya. Melihat bagaimana sikap dan napasnya yang mulai menderu-deru serta leguhan yang berhasil keluar dari mulutnya. Namun, kali ini Dara justru menahan diri?
"Dara—" Belum sempat Aaron melanjutkan apa yang ingin dia katakan. Aaron hanya ingin bertanya ada apa dengan dia? Akan
Dering ponsel membuat Dara terkejut hingga akhirnya terbangun dengan paksa dari tidur. Dengan mata yang masih berat, dia sudah terduduk dan mencari keberadaan ponsel miliknya. Benda pipih itu ada di samping pahanya. Dara tertidur di sofa semalaman. Sementara Aaron pun juga, tidur di ranjang sendirian, dia tertidur saat menunggu Dara. Namun, wanita itu justru mengulur waktu. Menulis sangat banyak kata. Membuang waktu yang tidak sia-sia. Karena pembaca ceritanya pun pasti akan sangat senang.Menghindar? Benarkah Dara menghindar dari pria itu? Jawabannya tentu saja tidak, dia hanya memberikan waktu pada laki-laki itu agar dia bisa menata hati dan diri. Jika Aaron benar-benar mencintai dan menginginkan Dara. Lambat laun dia bisa melupakan Cloe, walau tetap saja masih ada ruang di hati Aaron untuk wanita yang telah tiada di dunia ini.“Akh! Badanku remuk,” keluhnya seraya meregangkan otot tubuh yang terasa kaku.Sejujurnya Dara tidak mempermasalahkan jika
"Cukup! Selama ini kamu hidup karena aku, Raka! Jangan pernah sekali lagi menghinaku! Urusanku jika, aku ingin jalan atau tidur di mana. Karena sejak hari di mana aku mengetahui kebenaran itu, aku anggap bahwa kamu bukan lagi suamiku, bahkan aku tidak akan pernah mau mengenalmu lagi!"Setelah mengatakan hal itu, Dara mematikan panggilan telepon tersebut. Kemudian menghela napas dengan kasar. Pagi-pagi dia sudah harus dibuat emosi oleh pria itu. Dara terus berpikir keras bagaimana bisa Raka tahu lokasinya saat ini.Aaron pun rasanya juga sama saja dengan Raka yang bisanya menyalahkan wanita bahkan Dara tidak tahu di mana letak kesalahannya saat ini bersama Aaron, juga dulu ketika bersama dengan Raka."Dara ada apa? Wajahmu terlihat kesal?" Lagi-lagi Aaron mendekati Dara. Seperti tidak pernah terjadi apa pun barusan. Padahal jelas bahwa pria itu membuat Dara bad mood hingga saat ini. Belum lagi ditambah dengan Raka yang memang sudah gila."Dia tahu
Barang bukti dan sempurnanya, mereka memang membahas masalah bukti itu. Ketika keputusan Dara telah di buat satu pria yang tidak dikenal oleh Raka keluar. Raka segera memalingkan tubuhnya dan dia kemudian berlalu. Keluar dari rumah sakit dan turun tidak menggunakan lift melainkan tangga darurat agar dia segera tiba dan bisa mengambil barang bukti yang ternyata tertinggal di mobil Aaron.Raka memecahkan kaca mobil Aaron begitu tiba di tempat parkir ruang bawah tanah. Tanpa dia sadari bahwa Abby baru saja keluar dari lift dan keluar melalui pintu kaca penghubung antara parkiran dan lobi pertama. Abby pura-pura tidak melihat kemudian dia masuk ke mobil miliknya dan tetap memperhatikan Raka yang mana ia sendiri tidak mengenalnya.Abby hanya terseyum jahat, tanpa tahu maksudnya apa, yang jelas dia terlihat senang dan sangat luar biasa bahagia. Setelah Raka pergi dengan membawa barang-barang penting itu. Abby pun melajukan mobil dan kembali pulang ke rumahnya sendiri.
Dara sangat kesal karena ponselnya terus berdering tidak juga kunjung usai, sekalipun telah dia silent. Getarannya sangat meresahkan di kantong celana. Gadis itu mengangkat panggilan dan membentak penelepon yang diduga adalah Aaron.Namun, setelah dia usai berkata dan ketika hendak memutus panggilannya, Dara baru melihat name tag yang ada dalam layar ponsel itu. Ternyata—"Hei?! Kok marah-marah? Gue malah baru aja telepon Lo, Sayang," balas orang itu."Abby?!"Tepat sekali, bahwa yang menelepon Dara kali ini adalah Abby. Pria itu bahkan selalu melakukan apa pun sesuka hati. Sampai memanggil Dara dengan kata sayang. Sudah biasa hal tersebut dilakukan oleh pria itu. Bahkan sejak Dara di rawat di rumah sakit."Iya, Gue. Lo kira siapa? Pria di rumah sakit yang gila itu? Atau suamimu?""Ish! Jangan bahas mereka. Sumpah aku kesal banget. Heran, apakah memang semua laki-laki itu sama saja kah? Tidak ada gitu yang be
"Terserah, aku tanya kamu di mana? Di jawab kek, jangan bahas Laron lagi.""Aaron, Abby, Aaron! Tidak, aku tidak di sana. Aku ada di taman pusat kota. Bukan tengah kota. Tapi sepertinya ini sudah perbatasan antar kota. Gila emang sopir taksi itu," gerutunya.Abby tidak bisa berhenti tertawa diatas penderitaan yang dialami oleh Dara saat ini."Terus aja terus! Ketawa sampai kejang!" kesal Dara. Dia pun mematikan ponselnya. Kemudian memasukkan benda persegi panjang itu pada saku celana. Mendengus dengan muka memberengut.Lelah jiwa dan raganya sudah tidak tertolong. Ia ingin mengguyur tubuhnya. Barangkali dengan mandi, Dara bisa melepaskan penat yang mengerbungi diri. Sudah sejak kemarin dia tidak mandi, entah bagaimana kondisi yang ada di bawah sana. Mungkin asem-asem manis legit. Hari yang sangat menyebalkan untuk Dara. Hari yang sangat ingin dilupakan oleh gadis itu. Rasanya dia ingin menghilang dari muka bumi ini.Dara menatap sekeliling, pasanga
Tidak lama, Abby menemukan tempat di mana Dara duduk terdiam dengan wajah yang sungguh kusut. Mungkin seperti keset kamar mandi, tidak! Mungkin lebih parah dari itu, keset welcome yang ada di rumah reyot dan tidak pernah di tebas, perfect. Seperti itulah wajah gadis itu."Hei!" Abby mengangetkannya dengan sebuah gertakan yang cukup kencang. Hingga Dara terlonjak dan turun dari kursi yang ia duduki. Bukannya kasihan, Abby justru melayangkan tawa kerasnya.“A!” pekik Dara kaget sekaligus jengkel pada pelaku.Dara memicing dan mengepalkan tangan kemudian, mendekati Abby dan memukul sekenanya. Namun, tentu hal itu tidak akan di buat mudah oleh pria itu. Dara harus mengejar laki-laki itu jika dia ingin membalaskan dendam.Gadis ayu itu menyerah, dia duduk di pinggir jalanan paving sempit dengan napas yang menderu-deru. Keringat juga bermunculan di dahi. Ia menyekanya dengan punggung tangan.Abby mendekatinya dan mengulurkan apa yang dia bawa sebelumnya. Abby berjanji akan membawakan makana
Abby mengambil satu tempat lain yang terpisah yang isinya ayam panggang. Sungguh hanya mencium aromanya saja membuat perut Dara sudah tergelitik kelaparan. Dia makan seperti orang kesetanan, tidak menoleh kanan dan kiri. Mengunyah dengan cepat dan mengisinya lagi hingga tempat itu habis tidak tersisa, bahkan ayamnya pun dia embat hingga habis tidak tersisa.“Ehm… sumpah, ini enak,” ucapnya dengan mulut penuh.“Makanlah yang banyak. Aku akan buat makanan ini setiap hari untukm kalau kau sudi,” ucap Abby, tetapi Dara tidak lagi mengindahkan karena sibuk mengecap setiap butir yang masuk ke mulutnya dengan khidmat.Sampai harus bersendawa di depan Abby. Ia langsung menutup wajahnya.Konyol! Dara kamu memalukan, kamu memang kampungan, pantas saja tidak akan pernah ada pria yang ingin dekat denganmu! batin Dara lagi.Nyatanya, Abby justru tertawa. Dia menggeleng karena melihat Dara seperti itu. Pikiran Dara dan Abby sangatlah berbeda."Nih, minum. Makan kalau belum minum tidak akan kenyang,
"Aku punya ruangan khusus untuk menenangkan pikiran. Mau lihat?" tanya Abby yang Tiba-tiba sudah ada di dekat gadis itu. Tangannya juga telah kosong tidak lagi membawa banyak spunbond.Dara hanya mengangguk, dia membiarkan Abby menarik tangannya. Berjalan dengan perlahan hingga tiba di ruang yang masih berada di lantai bawah.Abby membuka pintunya dan—"Hah! Abby?" Mata Dara membulat. Tidak percaya dengan apa yang dia lihat."Ini keren banget, By. Sumpah, ternyata kamu benar-benar hobi baca?" Abby tersenyum sembari mengangkat sebelah bahunya.Bukankah dia sudah katakan dari awal pertemuannya. Ketika melihat Dara berteriak tidak jelas di taman.Hal istimewa ini tidak dia temukan di rumah Aaron. Pria itu justru terlihat seperti laki-laki pekerja. Benar-benar kerja di kantor. Yang ada di bufet ruang tengah juga hanya buku tebal bersampul hitam dengan catatan khusus di bagian belakang.Dara terus berjalan mendekati satu demi satu rak yang ada di sana. Koleksi buku Abby sangat banyak denga
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik