“Hari itu jaringan perbank-an sedang trobel jadi gaji diberikan secara manual, niatnya—” ucapan Aaron menggntung. Dia ragu mengatakannya hingga hanyaterkulum di batin. Namun, justru akan dimanfaatkan oleh Raka yang memiliki keberanian super nekat.Wajah Dara yang syok karena mendengar kata mencuri. Belum usai— lalu kini Aaron katakan kalau Raka mengatakan hal yang lebih gila lagi. Dara menantikan lanjutannya dengan tatapan mata nanar. Lagi-lagi netranya tertutup oleh siluet. Aaron mengambil lagi gelas yang Dara letakkan di meja depan mereka.“Minum dulu. Baru aku lanjutkan.” Dara menyahutnya dengan napas besarnya dia menghabiskan semua air yang ada dalam gelas itu. Agar jangan ada lagi drama ‘minum dulu’ dia sudah deg-degan, apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dikatakan oleh Raka?“Jadi— Raka bilang kalau istrinya lahiran. Apakah benar? Kamu sudah punya anak?” Dara menampakkan wajah keterkejutan yang luar biasa. Melahirkan? Hamil saja tidak!“Aku tahu biaya melahirkan sangat banyak,
Dara kembali tersenyum kecut. Mentertawakan semua sandiwara yang ada. “Jika kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan, Aaron? Selama itu kamu dibohongi. Kamu tahu, berapa uang yang diberikan padaku? Siapa yang memutar otak untuk apa yang dia berikan? Bahkan aku sampai harus menghabiskan waktuku dengan bekerja demi apa? Demi laki-laki yang seperti itu.”“Dua juta lima ratus ribu. Apakah gaji seorang karyawan provider segitu? Apakah itu cukup untuk makan untuk bayar biaya sewa rumah ini? Apakah lembur sampai tengah malam hanya segitu yang didapatkan? Ah— sudahlah, lupakan. Percuma juga orangnya nggak ada.” Dara mengembuskan napasnya letih.Sebuah kalimat yang terdengar sangat pasrah dan lelah. Dara sudah tidak mau lagi mengurus dan mengatur apa pun. Raka memberikan uang akan dia terima dan akan dia gunakan untuk membayar rumah. Selebihnya sungguh, Dara akan bertekat untuk tidak lagi memohon. Jika mau, dia akan menggugat pria itu. Namun, apakah masuk akal jika hanya dengan alasan ketidak
Merenung, meratap, dan berbenah diri. Padahal, kesalahan bukan ada padanya, kekeliruan murni karena ketololan yang dimiliki oleh laki-laki tidak pandai bersyukur itu.Dara berjalan dengan lunglai mendekati lemari. Kemudian membukanya dan menarik pakaian dengan asal. Yang serba rapi, yang serba berhati-hati kini gadis itu melakukan di dengan ceroboh. Menarik baju yang berakibat fatal. Semua baju terjatuh di atas lantai. Lagi-lagi, Dara melakukan kebodohan seperti yang dia lakukan beberapa waktu lalu. Namun, setiap dia menjatuhkan barang-barang, ia selalu menemukan hal baru yang aneh. Kali ini, dia bisa mengecek tanpa takut ketahuan oleh sang suami."Buku tabungan? Bank Rich? Sejak kapan, Mas Raka jadi nasabah Rich?" gumam Dara.Sejauh yang dia ketahui, Raka tidak pernah menggunakan atau menyimpan uangnya di bank manapun kecuali LaIndo. Dara sedikit terkejut dan merasa bangga, karena diam-diam pria itu menyiapkan dan menyimpan uang. Dara berpikir jika Raka melakuk
Segera Dara meraihnya dan ambil. Isinya lengkap. Satu set perhiasan. Bahkan ada gelang kaki. Mata Dara berbinar, entah sedih atau bahagia. Akan tetapi dia ingin menangis. Ada surat perhiasan di sana. Tanggal pembelian yang mana itu sudah hampir tiga bulan yang lalu."Ini untuk siapa, Mas? Bagaimana bisa kamu letakkan di sini tapi aku tidak tahu? Apa karena aku diam, kamu terus membodohiku? Kamu selingkuh atau gay?" lirihnya.Dara melepaskan cengkeraman tangannya pada kotak beludru merah besar itu. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasa dalam diri bercampur baur. Curiga, kecewa, merasa tidak dianggap. Jika itu untuk Dara, lalu kenapa tidak diberikan sejak tiga bulan yang lalu juga?Kekayaan yang seharusnya tidak membuat hidup Dara tersiksa. Kekayaan yang seharusnya bisa membuat kehidupan mereka jauh dari pertengkaran hanya masalah hal kerja. Apa pekerjaan Raka? Dia memang anak orang kaya, tapi dia pergi dari rumah, bukan? Dara kira, Raka benar-ben
Dara menendang meja hingga bergeser beberapa sentimeter. Sungguh, dia kesal dan sangat marah saat ini.Aaron sampai membelalakkan mata tidak percaya bahwa Dara bisa semarah itu. Ia tatap semua benda itu. Dia bingung dengan kotak perhiasannya."Dia membelinya tiga bulan yang lalu. Aku ada di sini, dia juga setiap hari pulang walau telat. Apakah tidak sempat memberikan itu padaku? Kecuali itu untuk orang lain, kemudian dia lupa saking banyaknya uang yang dia miliki," jelas Dara dengan wajah datar. Suara yang dingin tanpa intonasi.Aaron segera membuka buku tabungan bersampul emas tersebut. Namanya benar Raeka Sasongko. Jumlah yang tertera membuat Aaron terbelalak. Sekaya apa Raka saat ini? Apa yang ada dalam buku tabungan memang bukan apa-apa ketimbang omset penjualan usaha Aaron selama sebulan. Itu dari berbagai cabang, juga keuntungan menanam saham. Namun, untuk sekelas karyawan itu menakjubkan. Aaron yakin, Raka hanya menyamar sebagai karyawan. Tetapi kenapa? H
Dara menoleh ia tatap mimik muka Aaron, entah apa yang dia pikirkan, tetapi jelas itu wajah yang memelas dan mencari pembenaran akan tindakannya.“Apakah aku salah jika memutuskan untuk mengikuti ajakanmu pergi Aaron? Bagaimana kalau ketika aku pergi, Mas Raka kembali?”Hatinya tidak bisa berbohong, sekalipun rasa sakit ia rasakan tetapi Dara masih punya kewajiban yang harus dipenuhi untuk suaminya. Bodoh bukan? Ya! Dara memang bodoh, tetapi dia sudah berjanji di hadapan Tuhan bukan? Bahwa dia akan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh pria itu. Lalu apa sekarang? Dia pergi dari rumah bersama pria lain? Yakin, hanya ingin refreshing dan tidak akan terjadi apa pun pada mereka? Yakin?“Dara, dia pergi tanpa pamit. Aku rasa kamu sudah cukup bersabar dengan menantinya, memberinya kabar, mencoba meneleponnya, tapi apa yang kamu dapat? Hanya kecewa ‘kan? Maaf, untuk saat ini aku terkesan menjelekkan suamimu. Karena kamu berhak bahagia, kamu berhak menikmati hidup dan se
Gadis itu menggeleng dan kembali membuang mukanya. Namun, lagi-lagi Aaron menarik dagu, Dara agar gadis itu menghadap padanya dan menatap manik matanya. Degup jantung Dara kini kian terpacu lebih cepat dan terasa sangat menakutkan untuk Dara. “Aku tidak pernah menatap mata seseorang lebih dari tiga detik, Aaron.” “Karena?” Aaron terus beruasaha agar gadis itu tetap melirik kearahnya, hanya dia— bukan tempat lain atau pepohonan yang bentuknya akan tetap sama, daunnya tetap akan hijau walau Dara tidak menatapnya seintens itu. “Karena— karena aku takut,” lirih Dara. Dia berusaha menyingirkan tangan Aaron, tetapi justru kedua tangannya digenggam lembut oleh Aaron. Telapak tangan Dara tidak selembut wanita kebanyakan, di mana mereka bisa melakukan manicure, pedicure, layaknya kebanyakan gadis yang ada dalam benak Aaron. Kehidupan seperti apa yang sudah kamu lalui, Dara. Kamu juga berhak bahagia, kamu berhak mendapatkan kasih sayang, bukan hanya memberi tetapi juga menerima, batin Aaron
Dua manusia tanpa hubungan itu tiba di sebuah desa yang masih asri. Tepat di pinggiran dua kota setelah Kota Mays.Gadis berambut panjang itu masih bungkam, dia tidak memberikan tanggapan apa pun tentang pembicaraan mereka sebelumnya. Ia hanya menatap datar wajah Aaron, kemudian mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan pun seolah suasana menjadi canggung. Dara hanya terus menatap ke luar jendela. Menikmati seluruh ciptaan Tuhan yang sungguh mengagumkan.“Seperti di surga, Aaron.”“Jauh lebih baik dari bar bukan?” dara mengarahkan wajahnya menatap Aaron,lantas ia menggerakkan kepala tanda setuju.Udara di desa itu masih sangat sejuk. Banyak pohon teh di sana. Dataran tinggi yang selalu memiliki kabut saat sore datang. Dingin dan menusuk tulang. Terlebih jika hujan, udaranya sudah seperti berada di benua Eropa yang tengah turun salju.Di sanalah tempat tinggal nenek dan kakek Aaron. Mereka juga memiliki kebun teh yang sangat luas. Beribu kali kedua orang tua Aaron menga
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber
[Aku kirim sesuatu ke rumah, pakai untuk malam nanti, ya. Aku akan jemput pukul tujuh] begitulah isi pesan yang diketik oleh Abby pada Dara. Kini wanita yang tengah beristirahat di ruang guru tersebut hanya mampu cengar-cengir membayangkan pertemuan mereka setelah tiga hari. Dara selayaknya seorang remaja yang jatuh cinta, astaga memalukan! Namun, adakah kata memalukan untuk sebuah cinta? Bahkan cinta itu menuntun pada hal gila, bukankah begitu?Dara hanya membalasnya dengan satu kata, okay' kemudian dia kembali mempersiapkan materi yang akan dia berikan untuk anak didiknya di pelajaran yang akan datang. Dara juga perlu mempelajari banyak hal di sekolah itu. Mengenal seluk-beluk, apa yang diizinkan juga tidak diizinkan. Mengenal pada guru dan juga mengenal murid yang ada di sana.Sementara di sisi lain kota yang jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan, Wisnu dan Veily melongo hampir tidak percaya dengan yang dia lihat. Veily tidak henti-hentinya menitikan air ma
"Hai! Selamat pagi!" sapa Dara, dia berjalan menuju mejanya dan meletakkan tasnya, tanpa duduk. Berdiri di samping meja yang cukup keren di matanya.Suara balasan dari mereka sungguh membuat Dara bersemangat, mereka ramah dan mungkin remaja brutal tidak akan ada di sana, kecuali kekasihnya yang selalu bersikap demikian. Dara mengulas senyumnya ketika mengingat tiga hari dia bahkan belum bertemu dengan pria itu."Okay, saya rasa kalian sudah tahu kalau saya adalah Sandara. Guru bahasa kalian, ini adalah jam pertama untuk saya jadi, ada yang mau memulai kelas?" Dara menatap mereka satu persatu. Kagum, pakaian bersih, rapi, dan berseragam lengkap. Mereka semua cantik dan rupawan."Mulai dengan perkenalan, Bu. Bagaimana jika hari ini sedikit santai, agar kami mengenal guru terbaik kami," teriak salah satu murid yang duduk di barisan tengah dari depan pun dari samping."Okay, apa perlu membuat kartu nama layaknya anak paud?" Mereka tertawa dengan pertanyaan ya
Wisnu terus membeberkan mulai dari kelahiran, penyakit Cloe dan juga sampai kejadian Cloe menikah dan meninggal. Juga permintaan maaf karena saat Cloe ada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama mereka bahkan tidak pulang ke Indonesia. Sungguh mungkin banyak orang mengira bahwa mereka orang tua yang pilih kasih, tidak adil juga menyebalkan. Namun, keduanya terus bercerita setiap kendala yang terjadi, bagaimana Veily down dengan berita yang berurutan, penyakit Cloe yang menyita perhatian.Larasita terus mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Dia begitu memahami semuanya, kenapa tidak? Dia sudah tua dan banyak memakan pahit manis, asin legitnya kehidupan yang begitu terkadang menguras emosi."Jadi begitu, Bu. Kamu sungguh frustasi dengan semuanya. Menantu saya juga baru saja meninggal dua Minggu yang lalu," jelasnya lagi."Saya turut berduka untuk kehilangan itu, Tuan, Nyonya. Ya! Dara… saya menemukan bayi itu tepat saat kecelakaan itu terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan tra
"Baik, bagus sekali! Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah mau membantu kami," katanya. Wisnu segera mengakhiri panggilan dan segera mendekati istri dan rekannya."Kabar bagus, apa yang kita cari bisa kita temukan saat ini. Kita harus bergerak, polisi sudah mengirimkan alamat padaku." Senyum Wisnu terulas sempurna, begitupun dengan Veily dan pria yang akrab dikenal sebagai Faiz itu langsung beranjak.Ketiganya menelusuri jalanan, cukup jauh dari tempat kejadian. Pantas saja mereka tidak akan menemukan informasi apa pun di sekitar lokasi, jadi orang itu ternyata membawanya hampir keluar kota."Kita mau ke mana ini, Wisnu?" gumam Veily yang tampak kebingungan dengan jalanan yang kini mulai tampak cukup sepi, berderet-deret rumah yang berjarak cukup jauh."Kita hampir tiba, Sayang. Nah! Lihat bangunan hijau itu, di sana adalah panti asuhan. menurut informasi dari pihak kepolisian, wanita dengan nama yang selalu kita jumpai di setiap artikel membawa bayi itu
Kini bahkan Abby kembali menatapnya dengan sorot mata yang begitu memperlihatkan bahwa dia begitu mendambakan dirinya."Abby… serius?" Abby mengangguk, dia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Dara. Menarik dagu wanita itu dan tidak menghiraukan pramusaji yang tengah sibuk dengan makanan keduanya."Apakah aku pernah bermain-main denganmu? Apakah semua yang terlewat tampak seperti sebuah sandiwara?" Lagi-lagi Dara menggelengkan kepalanya. Apakah Dara gila jika menganggap semua yang dilakukan oleh Abby adalah sebuah kebohongan. Dia bahkan rela melakukan apa pun untuk wanita itu bukan? Sejak awal, ya! Sejak awal."Tidak sama sekali, By." Abby mendekatkan bibirnya pada bibir Dara, mengecupnya pelan dan melumatnya sesaat sebelum semua perhatian beralih pada mereka berdua."Tunggu sampai papa dan mamaku tenang. Terutama Mama, kamu pasti sudah tahu semuanya bukan? Sejujurnya tanggapan mereka tidak begitu berarti, tetapi aku tetap anak mereka Dara, jika usahaku tidak dihargai maka, dengan
Bukan hanya kesedihan. Kekalutan dan juga marah menyelimuti hati Ravella, apa yang bisa dia banggakan sekarang? Mertua prianya sekarat di rumah sakit yang tidak akan pernah tahu selamat atau tidak. Kemudian mertua perempuannya pun tidak mau tahu tentang dirinya. Dulu, cucu laki-laki itu menjadi tameng untuknya bisa bertahan hidup mewah dengan semua kepemilikan Raka yang menyeret kehidupan kelam Ravella menjadi sebuah mimpi yang menjadi nyata.Namun sekarang? Bahkan untuk bangkit dari duduk yang telah dilalui beberapa jam lalu lamanya saja tidak mampu. Anak yang merengek pun tidak berhasil menyadarkan dia dari semua yang baru saja terjadi. Menerima kenyataan di mana dia akan kembali mlarat, kere, dan tidak akan ada yang mau menampung seorang janda dengan anak.Matanya menatap kosong seluruh ruangan yang sudah mulai surut dari keramaian. Vella sendirian dengan tangisan balita yang ingin sekali dia bungkam."Diamlah! Kehadiranmu bahkan tidak membantu apa pun saat ini!" Hanya bisa terus m
“Tidak masalah, Dara. Kamu tahu, Tuan dan Nyonya Wisnu adalah orang berkelas, dia selalu memberikan dukungan pada siapapun yang terkena masalah dalam rumah tangganya. Kamu beruntung bertemu dengannya. Sayangnya kamu tahu sendiri, bahkan kehidupan anaknya sendiri rumit. Aaron… jelas kamu pasti tahu banyak tentang dia bukan?” Dara mengangguk karena memang dia sudah mengetahui semua tentang pria itu.“Baiklah. Aku tunggu kamu jam sepuluh. Jangan terlambat okay, kita akan buat kejutan untuk pria itu. Biarkan dia mendekam di penjara sampai mati dan membayar seluruh rasa sakit yang kamu alami. Setelah ini kamu akan menjadi jutawan,” kelakar pria botak yang kerap menyebut dirinya dengan nama Bobby.Sepeninggalan Bobby, Dara merasa sedikit tenang, dia harus bersiap untuk mengikuti persidangan. Sungguh dia begitu merindukan bercengkerama dengan Abby, sayangnya dia sama sekali tidak membalas pesan yang dikirim oleh Dara sampai masalah Raka usai dan Dara benar-benar membantu memenjarakan Raka bu
Dara berjalan dengan gontai, dia datang bersama dengan Abby dan keluarga, tetapi harus pulang sendiri. Beginikah rasanya kembali tidak dianggap? Tanpa terasa air matanya menetes. Dara kesal harus menjadi wanita yang lemah setelah mengenal cinta lagi. Dara ingin menjadi layaknya dulu, wanita yang kuat dan terus berjuang."Jika dulu aku bisa bertahan selama dua tahun, kenapa bersama Abby, sehari sudah layaknya seabad. Beginikah rasanya dicintai tetapi mengecewakan?" Dara menghela napasnya dengan dalam.Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekatnya, Dara yang berada di trotoar jalan menoleh untuk melihat siapa yang berhenti untuknya."Dara? Masuklah, Nak. Kamu sendirian? Aku kira kamu pulang bersama dengan Abby," seru Veily. Benar sekali, wanita itu ternyata belum pulang hanya duduk di sebuah mobil dan melihat segala tingkah Dayyana yang tidak puas-puasnya melukai Abby. Padahal jelas pria itu sudah dewasa dan tahu apa yang dilakukan olehnya. Dia mengerti dan bisa membedakan mana yang baik