Setelah membuat Abian bicara. Darren mengambil ponsel dari tangan anak buah dan mulai menjauhi Abian. Darren nampak memeriksa hasil rekaman dan tanpa berpikir panjang langsung mengirim rekaman suara tersebut pada Jihan."Lalu bagaimana dengan binatang ini Tuan? Apa kita kembalikan ke sel?"Abian sedikit menatap tak terima, ketika anak buah Darren menyebut binatang. Namun, Abian memilih untuk tidak protes. Mata Darren mendelik pada Abian dengan dingin."Kembalikan dia ke sel.""Baik Tuan."Abian mengepalkan tangan melihat Darren yang hendak pergi begitu saja, kemudian Abian mulai memberanikan diri. "Apa Bapak akan menutup mata? Membiarkan kakak ipar Bapak lolos begitu saja?"Darren berhenti melangkah dan menyeringai, tanpa berbalik sama sekali Darren menjawab, "itu urusanku dengannya, kau tidak berhak ikut campur."***Pukul dini hari. Jihan menyuruh Susan untuk menggantikan dirinya tidur di sebelah Bella. Sementara Jihan sendiri menunggu di ruang tamu. Begitu mendengar suara mesin mob
"Cepat sikat gigi," titah Darren.Darren benar-benar memaksa Jihan untuk memegang sikat gigi. Jihan menarik napas. Mau cium suami saja harus sikat gigi dulu, hanya karena habis muntah. Jihan yang malas langsung mengembalikan sikat gigi ke tempatnya lagi, kemudian berjalan keluar kamar mandi."Loh, mau ke mana?" tanya Darren dengan dahi mengerut."Malas. Nanti saja kapan-kapan," sahutnya.Darren berdecak, namun memilih diam dan mengamati Jihan yang benar-benar keluar dari kamar mandi. Kemudian Darren tersenyum kecil dan mulai ikut keluar juga. Jihan baru saja menunjukkan sikap tidak takut pada Darren."Terima kasih ya Susan," ujarnya dan Susan tersenyum, kemudian berjalan pergi.Darren duduk di sebelah Bella, namun begitu Jihan menoleh setelah menutup pintu kamar. Posisi Bella di ujung, sementara Darren berada di tengah. Tangan Darren menepuk ranjang dengan mata menatapnya serius."Sini tidur.""Kenapa malah menyisihkan Bella sih Mas? Kalau nanti Bella jatuh gimana?" keluhnya sembari m
"Tameng? Maksudnya bagaimana Bu?" tanya Jihan penasaran.Stella baru saja ingin berucap, bahkan mulut sudah terbuka. Namun, begitu melihat Darren yang mendekat. Membuat Stella akhirnya sepenuhnya membisu. Rasa penasaran dalam diri Jihan pun semakin memuncak."Memangnya kau bekicot? Kenapa lama sekali," keluh Darren padanya.Darren menariknya untuk pergi ke arah dapur. Stella menatap cara Darren membawa Jihan pergi, begitu lembut dan terkesan tidak dibuat-buat. Stella juga menatap pinggang Jihan dan langsung mengerutkan dahi."Apa mungkin ... tidak, paling karena Jihan sedikit gemukkan saja," gumam Stella seorang diri.Darren di dapur sedang sibuk mencicipi kue kering yang dibuat oleh Stella sendiri. Kemudian mengangguk ketika dirasa rasanya atau kerenyahannya pas. Jihan sendiri sedang menahan air liurnya yang hampir menetes karena ingin, tapi Darren menahannya."Nutrisinya seimbang kayaknya," ujar Darren namun membuat Jihan melongo."Mas, kenapa cuma kasih satu?" protes Jihan karena d
Gawat. Itulah yang ada di otak Jihan saat menatap Luna. Sementara Luna menyipitkan mata dan semakin berjalan mendekat, melupakan tas belanja yang tertinggal di belakang. Jihan menatap ke lantai atas, kenapa Darren masih belum kembali juga."Ibu bilang apa? Jihan hamil?" tanya Luna.Namun Stella menarik napas. "Aih, aku inginnya Jihan hamil. Memangnya salah ya kalau aku ingin punya cucu?"Jihan langsung menatap pada ibu mertuanya. Ah, ya Jihan lupa. Kalau waktu itu Stella yang memberi tahunya masalah Luna yang bersekongkol dengan Abian untuk menculiknya. Jihan tersenyum, sebab sepertinya ia punya sekutu untuk melawan Luna."Aku baru lepas suntik bulan ini, semoga saja ada kabar baik ya Bu, Kak Luna."Luna menghela napas kesal, kemudian berbalik lagi hanya untuk meraih tas belanja yang tertinggal. Lantas menaiki anak tangga, sementara Jihan mulai mengambil kue kering di dalam toples lagi dan memakannya. Setelah memastikan Luna benar-benar sudah tidak terlihat, Stella sedikit mencondongk
Jihan tersenyum mendengar penuturan suaminya. Kemudian mengangguk mengerti. Darren sendiri kembali mengemudi, namun tangan menggenggamnya."Memangnya tidak masalah menyetir pakai satu tangan?" tanya Jihan melirik tangannya.Darren justru menggenggam tangannya makin erat. "Tidak."Meski begitu. Jihan berusaha melepaskan tangannya, takut tiba-tiba ada kendaraan lain yang berhenti di depan mereka, kemudian pejalan kaki. Supaya Darren siap ketika dihadapkan pada peristiwa itu. Namun Darren tak melepaskannya sama sekali."Aku akan mengantarmu ke rumah, kau menemani Bella di rumah saja ya Jihan, karena aku bakal pulang malam," tutur Darren memberi tahu.Jihan pun menoleh. "Memangnya kau mau ke mana Mas?""Rumah sakit. Aku ingin melihat kondisi Yohan.""Aku ikut saja ya Mas? Cuma mau lihat sebentar saja kok," pintanya sekaligus berusaha membujuk suaminya."Bella bagaimana? Kalau kau ikut, nanti Bella sama siapa?"Jihan pun membisu. Benar juga, Bella kan tidak akan mau ditinggal lebih lama la
"Pak. Lebih baik kau langsung menghukum saya saja, ketimbang seperti ini," tutur Yohan.Darren menyeringai. "Sayangnya aku bukan orang seperti itu. Bertahun-tahun bekerja denganku, harusnya kau sudah tahu bagaimana caraku menyelesaikan masalah."Yohan langsung membisu. Jika benar-benar menggunakan cara menyelesaikan masalah, maka Darren sudah memasukkan Yohan ke gudang kosong dan dipukuli oleh beberapa anak buah. Tapi, sepertinya Darren akan sungguh menyiksa Yohan.***Jihan tersenyum begitu selesai mendandani Bella. Pagi ini, putrinya akan pergi ke sekolah. Kalau dulu, hari ini pasti dinantikan oleh Jihan karena akan diceraikan oleh Darren sebentar lagi. Tapi, sekarang berbeda. Jihan begitu menantikan perkembangan Bella sembari membesarkan anak yang dikandungnya."Sudah siap?"Kepala Jihan menoleh dan menemukan Darren membuka pintu kamar Bella. "Sebentar lagi kok Mas."Bella memegang dada. "Jantung Bella berdetak cepat."Jihan mengelus kepala putrinya. "Wajar Sayang. Apalagi ini kan
Darren menatap pada Bella serius. "Ingat ya. Pokoknya apa pun yang tante Luna katakan, Bella jangan dengarkan ya."Bella mengangguk antusias. "Baik!"Jihan menatap putri dan suaminya. "Memangnya apa yang biasanya kak Luna katakan pada Bella?"Bella menatapnya kemudian sedikit menunduk. "Anak haram, anak cacat."Jihan tertegun begitu mendengarnya. Kemudian Jihan mengelus kepala putrinya. Membuat kepala Bella terangkat dan menatap matanya."Yang bilang begitu pasti karena iri. Kan Bella punya mama sama Papa sekarang, terus Bella cacat di mana? Tidak ada kok. Semua manusia kan memang tidak ada yang sempurna loh."Bella sedikit tersenyum. "Iya.""Ya sudah, kita turun yuk. Terus sekolah dan perkenalan sama teman semua," ajaknya.Bella nampak semangat kemudian ingin membuka pintu mobil sendiri, namun Darren nampak mengulurkan tangan minta salim. Ketika salim, Bella langsung diraih dan Darren mengecup kening sang putri. Sementara giliran Jihan, bibirnya yang malah dikecup."Mas ih," keluhnya
"Aku tidak ada janji temu dan tidak ada tamu Jihan, jadi aku tidak akan menemuinya," celetuk Darren.Jihan menarik napas melihat sifat suaminya yang sewenang-wenang. Memang dasarnya yang berkunjung adalah Akio. Jadi, biar pun pintu ditutup, malah dibuka oleh pria Jepang itu dan menunjukkan senyuman pada Jihan."Halo cantik, kita bertemu lagi," sapa Akio sampai melambaikan tangan.Jihan pun hendak melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan sembari mengulas senyum. Namun, mata Darren melirik sangat tajam padanya. Hal itu membuat Jihan urung dan hanya tersenyum, tapi dengan mata menatap ke arah suaminya."Kenapa kau datang ke sini tanpa diundang?" tanya Darren dengan ekspresi kesal.Akio berjalan mendekat ke arah Jihan juga Bella. Mata pria itu tertuju pada sofa yang Jihan duduki dan masih ada tempat kosong. Hal itu membuat Darren menarik tangan Akio, kemudian menunjuk sofa tunggal di depan mereka."Sana duduk di sana," titah Darren.Akio mengerutkan dahi. "Terlalu jauh, aku ingin bicar