Jihan tersenyum mendengar penuturan suaminya. Kemudian mengangguk mengerti. Darren sendiri kembali mengemudi, namun tangan menggenggamnya."Memangnya tidak masalah menyetir pakai satu tangan?" tanya Jihan melirik tangannya.Darren justru menggenggam tangannya makin erat. "Tidak."Meski begitu. Jihan berusaha melepaskan tangannya, takut tiba-tiba ada kendaraan lain yang berhenti di depan mereka, kemudian pejalan kaki. Supaya Darren siap ketika dihadapkan pada peristiwa itu. Namun Darren tak melepaskannya sama sekali."Aku akan mengantarmu ke rumah, kau menemani Bella di rumah saja ya Jihan, karena aku bakal pulang malam," tutur Darren memberi tahu.Jihan pun menoleh. "Memangnya kau mau ke mana Mas?""Rumah sakit. Aku ingin melihat kondisi Yohan.""Aku ikut saja ya Mas? Cuma mau lihat sebentar saja kok," pintanya sekaligus berusaha membujuk suaminya."Bella bagaimana? Kalau kau ikut, nanti Bella sama siapa?"Jihan pun membisu. Benar juga, Bella kan tidak akan mau ditinggal lebih lama la
"Pak. Lebih baik kau langsung menghukum saya saja, ketimbang seperti ini," tutur Yohan.Darren menyeringai. "Sayangnya aku bukan orang seperti itu. Bertahun-tahun bekerja denganku, harusnya kau sudah tahu bagaimana caraku menyelesaikan masalah."Yohan langsung membisu. Jika benar-benar menggunakan cara menyelesaikan masalah, maka Darren sudah memasukkan Yohan ke gudang kosong dan dipukuli oleh beberapa anak buah. Tapi, sepertinya Darren akan sungguh menyiksa Yohan.***Jihan tersenyum begitu selesai mendandani Bella. Pagi ini, putrinya akan pergi ke sekolah. Kalau dulu, hari ini pasti dinantikan oleh Jihan karena akan diceraikan oleh Darren sebentar lagi. Tapi, sekarang berbeda. Jihan begitu menantikan perkembangan Bella sembari membesarkan anak yang dikandungnya."Sudah siap?"Kepala Jihan menoleh dan menemukan Darren membuka pintu kamar Bella. "Sebentar lagi kok Mas."Bella memegang dada. "Jantung Bella berdetak cepat."Jihan mengelus kepala putrinya. "Wajar Sayang. Apalagi ini kan
Darren menatap pada Bella serius. "Ingat ya. Pokoknya apa pun yang tante Luna katakan, Bella jangan dengarkan ya."Bella mengangguk antusias. "Baik!"Jihan menatap putri dan suaminya. "Memangnya apa yang biasanya kak Luna katakan pada Bella?"Bella menatapnya kemudian sedikit menunduk. "Anak haram, anak cacat."Jihan tertegun begitu mendengarnya. Kemudian Jihan mengelus kepala putrinya. Membuat kepala Bella terangkat dan menatap matanya."Yang bilang begitu pasti karena iri. Kan Bella punya mama sama Papa sekarang, terus Bella cacat di mana? Tidak ada kok. Semua manusia kan memang tidak ada yang sempurna loh."Bella sedikit tersenyum. "Iya.""Ya sudah, kita turun yuk. Terus sekolah dan perkenalan sama teman semua," ajaknya.Bella nampak semangat kemudian ingin membuka pintu mobil sendiri, namun Darren nampak mengulurkan tangan minta salim. Ketika salim, Bella langsung diraih dan Darren mengecup kening sang putri. Sementara giliran Jihan, bibirnya yang malah dikecup."Mas ih," keluhnya
"Aku tidak ada janji temu dan tidak ada tamu Jihan, jadi aku tidak akan menemuinya," celetuk Darren.Jihan menarik napas melihat sifat suaminya yang sewenang-wenang. Memang dasarnya yang berkunjung adalah Akio. Jadi, biar pun pintu ditutup, malah dibuka oleh pria Jepang itu dan menunjukkan senyuman pada Jihan."Halo cantik, kita bertemu lagi," sapa Akio sampai melambaikan tangan.Jihan pun hendak melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan sembari mengulas senyum. Namun, mata Darren melirik sangat tajam padanya. Hal itu membuat Jihan urung dan hanya tersenyum, tapi dengan mata menatap ke arah suaminya."Kenapa kau datang ke sini tanpa diundang?" tanya Darren dengan ekspresi kesal.Akio berjalan mendekat ke arah Jihan juga Bella. Mata pria itu tertuju pada sofa yang Jihan duduki dan masih ada tempat kosong. Hal itu membuat Darren menarik tangan Akio, kemudian menunjuk sofa tunggal di depan mereka."Sana duduk di sana," titah Darren.Akio mengerutkan dahi. "Terlalu jauh, aku ingin bicar
Darren terus saja kepikiran masalah mengusir Akio. Hingga pukul dini hari pun, Darren masih sibuk di sudut ranjang dengan ponsel dan nampak mencari cara di mesin pencarian. Jihan yang baru saja berbaring miring dengan tangan menyelampir, namun dirasa kosong setelah meraba. Membuat Jihan membuka matanya perlahan.Dilihatnya Darren duduk membelakangi. Jihan pun bangkit dari tidurnya, hanya untuk memeluk suaminya dari belakang. Darren nampak sedikit terkejut dengan yang Jihan lakukan. Namun kemudian Darren mengelus tangannya yang memeluk perut."Tidur lagi Jihan," titah Darren pelan.Jihan menggeleng di punggung suaminya. "Apa yang sedang kau lakukan? Sampai jam segini masih sibuk di ponsel."Darren masih mengelus tangannya. Namun tak ada niatan untuk menjawab, hal itu membuat Jihan penasaran dan mengintip apa yang sedang dilakukan oleh suaminya. Mata Jihan menyipit, ketika menemukan cara mengusir orang dari negara sendiri."Kenapa mencari hal seperti itu? Siapa yang ingin kau usir dari
Jihan pagi ini benar-benar tidak ke mana pun. Hanya di rumah saja, namun semalam Jihan meminta dibelikan tanaman bunga. Tapi, pagi sekali sudah ada banyak macam bunga yang sedang ditanam oleh pembantu juga dirinya."Nyonya, biarkan kami saja yang menanam," ujar Susan mendekatinya.Jihan tersenyum dan menyuruh Susan duduk lagi di sebelahnya. "Ayo tanam lagi.""Nyonya," sebut Susan terdengar seperti mengeluh.Jihan menatap Susan dan menunjukkan skop kecil di tangannya. "Aku akan bosan kalau hanya diam saja di rumah. Mataku bisa rusak kalau hanya menatap ponsel.""Meski begitu, kan ada banyak kegiatan yang bisa Nyonya lakukan? Kalau masalah kotor begini, biarkan kami para pembantu yang melakukan," tutur Susan berusaha membujuknya."Nyonya," tutur salah satu pembantu sembari memberikan tanaman bunga padanya."Terima kasih," ujarnya setelah menerima dengan hati-hati."Sama-sama," sahut pembantu sembari tersenyum. Jihan pun ikut tersenyum dan sedikit memperhatikan pembantu tersebut, senyum
"Jadi intinya, aku ke sini karena percaya padamu Jihan. Bukan malah ingin menghakimi, sampai-sampai Darren melarang siapa pun untuk berkunjung, termasuk ibu sendiri," ujar Stella membuat Jihan melirik dan menunjukkan ekspresi ingin menangis."Terima kasih Ibu karena sudah percaya padaku."Ketika Jihan hendak mengusap matanya dengan tangan yang kotor, Stella langsung mengingatkan, "tanganmu kotor duh. Kalau dikucek nanti bisa-bisa kelilipan."Jihan terkekeh dengan sudut mata yang berair. "Iya Bu."Tapi, Jihan masih penasaran akan satu hal. "Tapi, saat Ibu ke sini. Benar-benar tak ada wartawan yang datang untuk mencari informasi?"Stella mengangguk yakin. "Satu wartawan pun tidak ada.""Kok bisa begitu ya Bu? Padahal kan biasanya kalau ada berita yang rilis, pasti wartawan akan mengejar mencari informasi," ujarnya bingung.Stella tersenyum. "Kau lupa siapa suamimu? Memangnya ada yang berani terang-terangan datang? Lagi pula kalau tidak salah, kolega bisnisnya itu ikut membantu memblokir
Jihan melepas kepergian Darren ke kantor dengan melambaikan tangan. Darren sendiri ketika memarkirkan mobil, sempat mengklakson dirinya. Tentu Jihan merespons dengan senyuman. Kemudian mobil suaminya benar-benar sudah pergi dari pekarangan rumah.Selepas kepergian suaminya, Jihan langsung menghela napas. Rasanya selalu rindu dengan suaminya itu. Jihan pun mulai masuk ke dalam rumah. Tujuannya adalah mencari keberadaan putrinya di dalam kamar. Tentunya supaya Jihan tidak merasa jenuh."Bella," sebutnya begitu sudah tiba di lantai atas.Kemudian Jihan membuka pintu kamar. Namun, Jihan langsung menunjukkan ekspresi cemas ketika melihat Bella yang biasanya ceria. Siang ini justru hanya meringkuk di atas ranjang saja."Sayang," panggilnya dan mulai mendekat, duduk di sebelah Bella.Bella menoleh padanya dan langsung memeluknya. "Mama."Jihan memeriksa suhu tubuh putrinya. "Bella panas."Kepala Bella mengangguk. "Tapi, Bella biasa seperti ini. Nanti sembuh sendiri."Wajah Jihan sempat bengo