"Aku tidak ada janji temu dan tidak ada tamu Jihan, jadi aku tidak akan menemuinya," celetuk Darren.Jihan menarik napas melihat sifat suaminya yang sewenang-wenang. Memang dasarnya yang berkunjung adalah Akio. Jadi, biar pun pintu ditutup, malah dibuka oleh pria Jepang itu dan menunjukkan senyuman pada Jihan."Halo cantik, kita bertemu lagi," sapa Akio sampai melambaikan tangan.Jihan pun hendak melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan sembari mengulas senyum. Namun, mata Darren melirik sangat tajam padanya. Hal itu membuat Jihan urung dan hanya tersenyum, tapi dengan mata menatap ke arah suaminya."Kenapa kau datang ke sini tanpa diundang?" tanya Darren dengan ekspresi kesal.Akio berjalan mendekat ke arah Jihan juga Bella. Mata pria itu tertuju pada sofa yang Jihan duduki dan masih ada tempat kosong. Hal itu membuat Darren menarik tangan Akio, kemudian menunjuk sofa tunggal di depan mereka."Sana duduk di sana," titah Darren.Akio mengerutkan dahi. "Terlalu jauh, aku ingin bicar
Darren terus saja kepikiran masalah mengusir Akio. Hingga pukul dini hari pun, Darren masih sibuk di sudut ranjang dengan ponsel dan nampak mencari cara di mesin pencarian. Jihan yang baru saja berbaring miring dengan tangan menyelampir, namun dirasa kosong setelah meraba. Membuat Jihan membuka matanya perlahan.Dilihatnya Darren duduk membelakangi. Jihan pun bangkit dari tidurnya, hanya untuk memeluk suaminya dari belakang. Darren nampak sedikit terkejut dengan yang Jihan lakukan. Namun kemudian Darren mengelus tangannya yang memeluk perut."Tidur lagi Jihan," titah Darren pelan.Jihan menggeleng di punggung suaminya. "Apa yang sedang kau lakukan? Sampai jam segini masih sibuk di ponsel."Darren masih mengelus tangannya. Namun tak ada niatan untuk menjawab, hal itu membuat Jihan penasaran dan mengintip apa yang sedang dilakukan oleh suaminya. Mata Jihan menyipit, ketika menemukan cara mengusir orang dari negara sendiri."Kenapa mencari hal seperti itu? Siapa yang ingin kau usir dari
Jihan pagi ini benar-benar tidak ke mana pun. Hanya di rumah saja, namun semalam Jihan meminta dibelikan tanaman bunga. Tapi, pagi sekali sudah ada banyak macam bunga yang sedang ditanam oleh pembantu juga dirinya."Nyonya, biarkan kami saja yang menanam," ujar Susan mendekatinya.Jihan tersenyum dan menyuruh Susan duduk lagi di sebelahnya. "Ayo tanam lagi.""Nyonya," sebut Susan terdengar seperti mengeluh.Jihan menatap Susan dan menunjukkan skop kecil di tangannya. "Aku akan bosan kalau hanya diam saja di rumah. Mataku bisa rusak kalau hanya menatap ponsel.""Meski begitu, kan ada banyak kegiatan yang bisa Nyonya lakukan? Kalau masalah kotor begini, biarkan kami para pembantu yang melakukan," tutur Susan berusaha membujuknya."Nyonya," tutur salah satu pembantu sembari memberikan tanaman bunga padanya."Terima kasih," ujarnya setelah menerima dengan hati-hati."Sama-sama," sahut pembantu sembari tersenyum. Jihan pun ikut tersenyum dan sedikit memperhatikan pembantu tersebut, senyum
"Jadi intinya, aku ke sini karena percaya padamu Jihan. Bukan malah ingin menghakimi, sampai-sampai Darren melarang siapa pun untuk berkunjung, termasuk ibu sendiri," ujar Stella membuat Jihan melirik dan menunjukkan ekspresi ingin menangis."Terima kasih Ibu karena sudah percaya padaku."Ketika Jihan hendak mengusap matanya dengan tangan yang kotor, Stella langsung mengingatkan, "tanganmu kotor duh. Kalau dikucek nanti bisa-bisa kelilipan."Jihan terkekeh dengan sudut mata yang berair. "Iya Bu."Tapi, Jihan masih penasaran akan satu hal. "Tapi, saat Ibu ke sini. Benar-benar tak ada wartawan yang datang untuk mencari informasi?"Stella mengangguk yakin. "Satu wartawan pun tidak ada.""Kok bisa begitu ya Bu? Padahal kan biasanya kalau ada berita yang rilis, pasti wartawan akan mengejar mencari informasi," ujarnya bingung.Stella tersenyum. "Kau lupa siapa suamimu? Memangnya ada yang berani terang-terangan datang? Lagi pula kalau tidak salah, kolega bisnisnya itu ikut membantu memblokir
Jihan melepas kepergian Darren ke kantor dengan melambaikan tangan. Darren sendiri ketika memarkirkan mobil, sempat mengklakson dirinya. Tentu Jihan merespons dengan senyuman. Kemudian mobil suaminya benar-benar sudah pergi dari pekarangan rumah.Selepas kepergian suaminya, Jihan langsung menghela napas. Rasanya selalu rindu dengan suaminya itu. Jihan pun mulai masuk ke dalam rumah. Tujuannya adalah mencari keberadaan putrinya di dalam kamar. Tentunya supaya Jihan tidak merasa jenuh."Bella," sebutnya begitu sudah tiba di lantai atas.Kemudian Jihan membuka pintu kamar. Namun, Jihan langsung menunjukkan ekspresi cemas ketika melihat Bella yang biasanya ceria. Siang ini justru hanya meringkuk di atas ranjang saja."Sayang," panggilnya dan mulai mendekat, duduk di sebelah Bella.Bella menoleh padanya dan langsung memeluknya. "Mama."Jihan memeriksa suhu tubuh putrinya. "Bella panas."Kepala Bella mengangguk. "Tapi, Bella biasa seperti ini. Nanti sembuh sendiri."Wajah Jihan sempat bengo
Setelah menempuh perjalanan bersama Akio. Darren terlihat berjalan terburu, tentunya ditemani oleh Akio juga yang memaksa ingin ikut. Mata Darren dan Akio menemukan tiga pembantu menunggu di luar, lantas melihat Jihan yang tertidur saat menunggui Bella begitu pintu dibuka."Si cantik, tidur pun tetaplah cantik," gumam Akio.Akio sendiri terlihat sangat antusias dan ingin melangkah cepat hanya untuk mendekati Jihan. Namun, Darren langsung mencegah dan mendorong Akio mendekati Jihan. Hal itu membuat Akio menarik napas sedikit kesal."Padahal cuma mau memandang lebih dekat saja," gumam Akio lagi.Darren mendekat dan menatap pada Bella yang tertidur. Kemudian tangan Darren mengelus kepala Jihan lembut. Jihan yang sedang tidak nyenyak langsung terbangun dan kepala menoleh. Mata menatap pada Darren dengan tangan tak berhenti mengelus kepalanya."Mas, kenapa kau ada di sini?" tanya Jihan pelan."Aku dengar dari Susan, kalau Bella dibawa ke rumah sakit.""Kenapa Susan memberi tahumu? Padahal
"Aku mengantar Tuan Darren ke sini, otomatis kami datang bersama ke sini. Apakah, kau tidak melihatku datang, cantik?" tanya Akio masih menatap kecewa."Maaf tapi aku tidak melihat," sahutnya.Jihan yang menarik ingus, membuat Akio serta Darren melirik. Akio bergerak mendekat hanya untuk memberikan sapu tangan padanya. Namun, Darren langsung mengangkat tangannya yang masih memegang sapu tangan milik suaminya."Istriku sudah punya, tidak perlu merepotkan kau, Tuan Akio," ujar Darren dengan mata menyipit."Memangnya boleh dipakai mengusap ingus?" tanya Jihan berbisik.Darren meliriknya sejenak, kemudian ikut berbisik, "boleh karena terpaksa."Jihan langsung tersenyum begitu mendengarnya. Namun ketika tangannya siap-siap untuk membuang ingus, mata Darren langsung melirik. Seolah tak benar-benar rela digunakan olehnya. Hal itu membuat Jihan bangkit dan ke kamar mandi untuk buang ingus. Mata Akio mengikuti tubuh Jihan yang pergi."Sudah ditelan pintu kamar mandi, kau masih mau menatap samp
"Kenapa aku lebih baik tidak datang?" tanya Jihan pada akhirnya penasaran.Akio tersenyum dengan menunjukkan wajah penuh rencana licik. Hal itu membuat Jihan melirik pada suaminya. Namun, Darren juga tiba-tiba menunjukkan ekspresi yang sama seperti Akio juga. "Sebenarnya kenapa dengan kalian berdua?"***Jihan baru saja terbangun dari tidurnya. Namun ia melotot terkejut, pasalnya saat ini Jihan sedang tidur di salah satu ranjang rumah sakit. Jihan pun melirik ke arah pinggangnya, ada tangan yang sedang memeluknya. Perlahan ia mengangkat tangan milik suaminya, kemudian Jihan berbalik dan tersenyum.Namun, senyum di bibirnya langsung hilang. Tepat ketika melihat mata Darren yang terbuka, kini tangan Darren meraih pinggangnya dan membuat tubuhnya dengan suaminya makin dekat. Tangan Jihan terulur untuk menyentuh permukaan wajah suaminya."Perasaan aku tadi tidur di sofa Mas. Kenapa tiba-tiba di sini? Terus juga ...."Darren mencegahnya yang ingin bangkit dar