"Aku mengantar Tuan Darren ke sini, otomatis kami datang bersama ke sini. Apakah, kau tidak melihatku datang, cantik?" tanya Akio masih menatap kecewa."Maaf tapi aku tidak melihat," sahutnya.Jihan yang menarik ingus, membuat Akio serta Darren melirik. Akio bergerak mendekat hanya untuk memberikan sapu tangan padanya. Namun, Darren langsung mengangkat tangannya yang masih memegang sapu tangan milik suaminya."Istriku sudah punya, tidak perlu merepotkan kau, Tuan Akio," ujar Darren dengan mata menyipit."Memangnya boleh dipakai mengusap ingus?" tanya Jihan berbisik.Darren meliriknya sejenak, kemudian ikut berbisik, "boleh karena terpaksa."Jihan langsung tersenyum begitu mendengarnya. Namun ketika tangannya siap-siap untuk membuang ingus, mata Darren langsung melirik. Seolah tak benar-benar rela digunakan olehnya. Hal itu membuat Jihan bangkit dan ke kamar mandi untuk buang ingus. Mata Akio mengikuti tubuh Jihan yang pergi."Sudah ditelan pintu kamar mandi, kau masih mau menatap samp
"Kenapa aku lebih baik tidak datang?" tanya Jihan pada akhirnya penasaran.Akio tersenyum dengan menunjukkan wajah penuh rencana licik. Hal itu membuat Jihan melirik pada suaminya. Namun, Darren juga tiba-tiba menunjukkan ekspresi yang sama seperti Akio juga. "Sebenarnya kenapa dengan kalian berdua?"***Jihan baru saja terbangun dari tidurnya. Namun ia melotot terkejut, pasalnya saat ini Jihan sedang tidur di salah satu ranjang rumah sakit. Jihan pun melirik ke arah pinggangnya, ada tangan yang sedang memeluknya. Perlahan ia mengangkat tangan milik suaminya, kemudian Jihan berbalik dan tersenyum.Namun, senyum di bibirnya langsung hilang. Tepat ketika melihat mata Darren yang terbuka, kini tangan Darren meraih pinggangnya dan membuat tubuhnya dengan suaminya makin dekat. Tangan Jihan terulur untuk menyentuh permukaan wajah suaminya."Perasaan aku tadi tidur di sofa Mas. Kenapa tiba-tiba di sini? Terus juga ...."Darren mencegahnya yang ingin bangkit dar
Darren memutuskan untuk mencari keberadaan Jihan. Namun, Darren kembali berakhir dengan menghela napas. Bingung harus mencari ke mana lagi. Hingga Darren menelpon rumah pun, dikatakan kalau Jihan belum kembali ke rumah.Darren semula duduk di kursi tunggu sejenak. Kemudian dirasa harus mencari Jihan lagi, tubuh Darren mulai bangkit dan mulai menjauh dari ruangan dokter kandungan. Sementara itu, tanpa Darren ketahui. Di dalam ruang dokter kandungan itu, Jihan sedang dijamu dengan teh hangat."Kok bisa sih terdampar di sini Jihan?"Jihan tersenyum mendengar sindiran dari dokter kandungan yang sudah sangat akrab dengannya ini. "Bukan terdampar Dokter Anisa. Hanya sedang menenangkan diri saja.""Lagian, kenapa harus nikah sama duda yang masih terjerat cinta pada kuburan sih Jihan."Mata Jihan langsung memandang pada dokter bernama Anisa ini. Mulut kadang ceplas-ceplos, tapi wanita inilah yang dulu membuat Jihan bertahan untuk tetap mengandung Winda. Anaknya yang meninggal dulu bersama Abi
Jihan membeku mendengar ucapan dari Darren. "Kau bilang apa tadi? Cerai?"Mata Darren menatapnya lekat, kemudian kepala mengangguk. "Ya. Tapi tidak sekarang, tapi setelah--"Ucapan Darren terhenti karena sekarang Jihan memilih melanjutkan langkahnya. Ketika Darren ingin bicara padanya, selalu saja Jihan menghindar. Ia tak ingin bicara mengenai perceraian dengan Darren. Darren pun memilih membisu dan tak lagi bicara. Hanya duduk di sebelah Jihan sampai menunggu nama disebut untuk penebusan obat. Darren kerap melirik pada Jihan yang hanya diam saja, namun tangan terlihat meremas baju."Jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja Jihan. Jangan memendam semuanya sendiri, ini akan berdampak buruk pada anak kita."Kepala Jihan menoleh dan tersenyum sinis. "Anak kita."Kemudian Jihan langsung bangkit dari duduknya, bertepatan saat itu petugas menyebut nama Bella. Jadi, Jihan pun langsung bergegas mendekat. Darren perlahan mulai mendekati Jihan."Meski kita akan bercerai, tapi, tolong jang
Darren begitu percaya diri, akan terbangun pagi sekali dan sebelum Jihan bangun langsung pergi. Tapi nyatanya, Darren membuka mata ketika matahari mulai menyingsing tinggi. Darren melirik pada Jihan yang sedang berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam."Sedang apa tidur di kasur Bella?"Perlahan Darren mulai mendudukkan diri dan kepala menoleh ke sekeliling. "Ah, aku kira ini kamarku sendiri. Mungkin karena terlalu lelah makanya aku tidur di kamar yang salah."Namun, Jihan nampak tak menerima alasan konyol dari suaminya. "Terus kenapa Mas malah tetap tidur di sini? Padahal melihat aku dan Bella di kasur. Bukannya itu sudah jelas kalau Mas sengaja?"Darren menatapnya serius. Kemudian langsung menggelengkan kepala, jelas menyangkal apa yang barusan ia tuduhkan. Namun, Jihan malah menyipitkan mata melihat suaminya yang menjadi pendiam ini secara tiba-tiba."Aku akan mandi dan segera berangkat ke kantor.""Ini hari minggu," celetuknya.Kaki Darren baru saja menuruni ranjang. Namun, be
Darren berdehem. "Iya, benar. Biasanya Bella tidak tidur jam segini. Tapi, mungkin karena lelah menangis makanya jadi tidur."Jihan pun menatap mata suaminya. Jihan membisu, ia sudah termakan omongan dari suaminya yang penuh dengan kebohongan ini. Kemudian Jihan melirik pada Bude-nya. Berharap Bude Nisa mau membiarkan Bella tidur sebentar di rumah Bude-nya.Bude Nisa tersenyum begitu melihat matanya, kemudian mendekat. "Kalau begitu mari Pak Darren, letakkan Bella di kamar."Jihan pun mengikuti suaminya yang membawa Bella sesuai instruksi dari Bude. Namun, ketika putrinya sudah diletakkan di atas ranjang. Bukannya langsung pamit pergi, tapi Darren malah duduk di atas ranjang dan mengelus dahi Bella."Mas. Bukannya Mas harus kembali ke rumah?" tanya Jihan heran.Darren meliriknya. "Kembali ke mana?""Rumah," sahutnya."Kau kan di sini, kenapa aku harus balik ke rumah? Di sana tidak ada yang membuat enak dan hangat."Jihan melirik ke arah Bude Nisa yang masih ada di dalam kamar. Rasanya
Jihan menghela napas. Bukan karena apa-apa, tapi Darren benar-benar serius dengan keinginan ikut menginap. Pasalnya, saat ini, Jihan dengan Bude Nisa meletakkan piring berisi makanan di atas meja makan. Mata Jihan melirik pada Pakde yang sedang sibuk memperhatikan Darren yang menerima telepon di luar rumah."Kok bisa kau dapat suami sultan kayak gitu, Jihan?" tanya Pakde setelah mendekat ke arahnya.Sementara Bella yang semula duduk di kursi makan. Begitu melihat Pakde, terburu berlari dan bersembunyi di kakinya. Jihan langsung tersenyum dan mengelus kepala putrinya, sementara Bude malah tertawa."Mas, makanya cukur itu jenggot. Bella saja sampai takut padamu," celetuk Bude membuat Pakde berdecak."Segini pakde tampannya, kok ya ditakuti."Jihan tersenyum kembali dan mengelus Bella lagi. "Kata mama apa kalau ketemu sama orang?"Bella menatapnya dan kepala menggeleng. "Tidak mau, Bella takut.""Pakde tidak gigit kok, ayo coba beri salam," pintanya.Bella melirik pada Bude yang mengangg
Darren mengerutkan dahi. "Kenapa cuma papa yang ditanya? Kenapa Mama tidak ditanya?"Bella menghela napas karena Darren yang malah balik bertanya. "Karena Mama kan selalu peduli sama Bella. Berbeda dengan Papa, suatu hari nanti saat adik lahir, pasti kasih sayang Papa akan berubah."Mendengar hal itu, Darren langsung berdecak. "Mau Bella atau adik, kalian kan sama-sama anak papa. Masa dibeda-bedakan sih. Ya harus disayang semua."Jihan yang memunggungi suaminya, sejujurnya penasaran dengan ekspresi dari Darren. Tepatnya ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Namun, hanya dengan mendengar saja kalau anak yang di kandungnya begitu diakui. Membuat Jihan langsung tersenyum."Sudah dengar kan? Kalau sampai Papa tidak sayang sama Bella lagi, kita tinggalkan saja Papa, bagaimana?" tawar Jihan.Bella mengangguk antusias. "Iya. Kita pergi yang jauh Ma."Darren menatap kesal. "Siapa yang berani meninggalkan papa hm? Papa akan kejar sampai ujung dunia."Jihan dan Bella saling pandang, kemudian