Akio menunjuk Darren sembari tersenyum. "Inilah yang aku suka dari Tuan Darren. Tak akan melepaskan orang yang salah, juga menyakiti orang paling berharga untuk kita."Darren mengambil minuman dan menyesap dalam diam. Ketajaman pada mata mulai sedikit melemah. Darren pernah di posisi memilih melepaskan Jihan ketimbang melihat sang istri terus dijahati oleh Luna. Apalagi Darren tak bisa berkutik karena masa lalu.Tapi, setelah tidak menemukan Jihan di rumah. Darren menyadari ketika menyusul Jihan di rumah bude Nisa. Ada sosok yang lebih penting dari pada segala rasa bersalah di masa lalu."Lagi pula, hidup itu bukan untuk terkekang pada masa lalu," gumam Darren membuat dahi Akio mengerut."Kau bilang apa barusan Tuan Darren?"Mata Darren terangkat dan menatap pada Akio. "Kau dapatkan minuman ini di mana? Warnanya seperti air sungai dan rasanya seperti pasir."Akio langsung berdecak karena mendengar ucapan Darren. "Kalau kau bukan suaminya si cantik, aku sudah ingin memasukkanmu ke dala
"Jadi, benar-benar tidak boleh ke sana?" tanya Darren.Saat ini posisi Jihan berada di kamar Bella, sementara suaminya di tengah pintu. Hari sudah malam, tentunya mereka harus segera tidur. Bella menghela napas melihat sang ayah yang melangkah perlahan."Kalau jarak segini, mual tidak?" tanya Darren memastikan.Jihan terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Sepertinya tidak Mas."Darren kembali melangkah, namun langsung mundur lagi ketika melihat Jihan yang ingin muntah. Darren tentunya menghela napas pasalnya jarak antara Darren dengan Jihan lumayan jauh. Tapi, malah tetap ingin muntah."Sebenarnya apa sih Jihan yang membuatmu mual? Parfumku?" tanya Darren serius, barangkali karena parfum, maka Darren akan langsung mengganti."Aroma tubuhmu Mas," celetuk Jihan langsung menutup hidungnya.Netra Darren pun menatapnya dengan sangat tidak percaya. Senang karena bakal punya anak, tapi giliran dapat anak malah ngidamnya aneh. Tidak bisa didekati untuk sementara waktu. Apalagi buat nganu, ten
"Omong kosong! Berhenti berpura baik di depanku. Aku sangat tahu kalau kau di belakang pasti menertawaiku," tuding Yuna langsung melepaskan tangan dari genggamannya."Kau ke sini ingin pamer kekuasaan suamimu itu iya kan," tuduh Yuna lagi.Mulut Jihan semula hanya membisu saja. Mendengarkan segala tuduhan yang Yuna lontarkan padanya. Barulah Jihan menghela napas dan bersiap untuk menyerang balik kakak tirinya ini."Aku serius ingin membantumu, Kak. Tidak bisakah kau setidaknya menyambutku dengan baik? Bukannya malah menuduh ini itu," celetuknya.Yuna menyeringai. "Menyambutmu? Bumi bakal terbelah kalau sampai aku melakukannya padamu!""Jadi, Kakak tidak akan menerima bantuan dariku?""Tidak!" seru Yuna dengan kesal, "lebih baik kau pergi saja dari sini!"Tubuh Yuna bangkit dari duduk. Lantas mulai berjalan meninggalkan Jihan, namun Jihan menatap kakak tirinya dalam diam. Kemudian, Jihan langsung berucap."Menurut Kakak, siapa lagi orang yang akan datang ke sini dan berjanji akan membe
Tangan Darren mencengkram erat ponsel begitu sambungan terputus. Mata menatapnya, kemudian langsung memeluk tubuhnya yang sedikit bergetar. Aksa loh, kakak iparnya yang selalu terlihat baik, meski kerap adu mulut dengan suaminya."Mas, pasti kak Yuna berbohong padaku kan? Kakakmu tidak akan berani melakukan hal itu padaku," ujarnya dengan panik.Darren mengelus kepalanya dan memeluk semakin erat. "Jika memang bohong, maka dari mana Yuna bisa mendapatkan nomor milik kak Aksa?""Soal itu ....""Jangan dipikirkan Jihan," pinta Darren, "yang penting kita tahu dan berusaha untuk menjaga jarak. Untuk saat ini tak ada bukti untuk membuatnya dinyatakan bersalah."Dan itu sangatlah benar. Hingga membuat Jihan hanya diam dan memilih memeluk tubuh suaminya sangat erat. Kenapa hidupnya selalu tak pernah tenang? Menikah dengan Abian selalu dijahati oleh Yuna dan ibu tirinya. Begitu menikah dengan Darren, ia kembali menemui orang seperti itu lagi.Tapi, keluarga dari suaminya jauh lebih berbahaya.
Jihan saat ini sedang duduk di kursi makan. Bersama dengan Bella menikmati pemandangan yang indah, yakni Darren yang sedang membuat salad untuk mereka berdua. Bahkan Darren melarang semua pembantu untuk ke dapur dan membantu."Papa biasanya tak mau ke dapur," singgung Bella membuatnya melirik."Itu artinya Papa mau ke dapur karena ada mama kan," ujarnya sengaja membanggakan diri.Bella ikut meliriknya kemudian tersenyum. "Tentu saja, berkat kehadiran Mama. Papa mulai berubah."Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Bella dan tersenyum. "Justru mama yang merasa beruntung karena Papa dan Bella. Tanpa kalian berdua, entah akan seperti apa nasib mama nantinya."Mata Bella menatapnya lama. Kemudian langsung menuruni kursi hanya untuk memeluknya. Bahkan Bella menenggelamkan kepala pada dadanya. Jihan terkekeh karena Bella yang tiba-tiba bersikap manja padanya."Bella lebih beruntung karena bertemu Mama waktu itu. Kalau tidak, pasti ...."Senyum di bibir Jihan langsung luntur. Ia pernah d
Darren terdiam begitu mendengar ucapan darinya. Hal itu membuat Jihan mengelus wajah suaminya. Kemudian ia menyempatkan diri untuk mengecup bibir Darren."Mas tidak suka dengan ucapanku barusan?""Ya, sedikit," sahut Darren mengusap bibirnya."Aku berjuang sampai di titik ini kan memang untukmu, Jihan. Tapi, ketika aku menemukan cara untuk menghukum, kau malah seperti ini," celetuk Darren.Kepalanya mengangguk. "Iya Mas. Aku tahu kalau kau berjuang untukku. Tapi, Mas. Tolong jangan terlibat terlalu jauh, atau setidaknya berhenti mencari cara untuk menghukum keluargamu sendiri.""Tapi, mereka berdua memang salah Jihan."Jihan menatap suaminya yang mulai melepaskannya. Lantas bangkit duduk dengan mata menatap sedikit kesal padanya. Jihan pun ikut bangkit tapi untuk memeluk tubuh suaminya."Aku tahu Mas. Baik, aku tidak akan melarang atau berkomentar kalau memang mereka salah. Tapi sebuah kesalahan tidak boleh dilebih-lebihkan, mengerti?"Darren menghela napas kemudian mengelus punggungn
"Kak Luna kabur, kok bisa Mas?" tanya Jihan terkejut.Darren menghela napas. Sebab merasa masalah tak pernah berhenti. Mata Darren menatapnya dan mengelus wajahnya. Dapat, Jihan lihat wajah suaminya yang nampak khawatir ini."Ingat. Jangan pergi ke mana pun. Selama si Luna belum ditemukan keberadaannya, jangan pernah keluar dari rumah," ujar Darren memberinya peringatan."Dan juga, aku akan memperketat keamanan rumah dan sekitar komplek," lanjut Darren.Jihan menatap suaminya serius. "Terus sekolah Bella gimana Mas?""Sekolah online. Pokoknya selama si Luna tidak masuk penjara, aku tidak akan membiarkan orang luar masuk ke rumah seenaknya. Juga orang dalam keluar begitu saja," ujar Darren terdengar bulat."Terus bahan pangan gimana?"Darren langsung menghela napas. "Sayang, kenapa kau malah mencemaskan masalah hal tidak penting sih? Pikirkan dulu dirimu Jihan, target dari si Luna tentunya adalah istriku yang cantik ini."Jihan memeluk tubuh suaminya erat. "Lalu bagaimana denganmu send
Darren menatap marah atas teriakan dari Luna. Dengan tangan yang masih menopang tubuhnya, supaya tidak terjatuh. Darren melotot dan mulai menyeru."Sebelum kau mendekat pun, aku yang akan membunuhmu duluan!"Luna nampak terkejut dan berhenti menunjukkan raut marah. Ketika mendengar suara dari Darren. Pria yang sejak dulu dicintai dan justru menikah dengan sahabat sendiri, hati Luna sudah sakit. Kemudian melihat Darren mendekati banyak wanita dan berakhir dengan menikahi Jihan, Luna semakin tak bisa berpikir jernih."Aku yang akan melakukan hal itu padamu, aku akan membalas apa yang sudah kau lakukan pada kak Yuna," ujar Jihan penuh amarah, hingga mata Darren meliriknya.Kemudian Jihan menatap suaminya dan kembali menangis. "Mas, ayo ke rumah sakit sekarang."Darren mengangguk. "Ya Sayang, ayo. Tapi kita pastikan Luna dibawa ke polisi dulu ya."Jihan menggeleng dan masih menangis. "Tidak mau, harus sekarang."Darren terdiam sejenak. Menatapi Jihan cukup lama, kemudian kepala Darren men
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun