Setelah beberapa menit berlalu. Akio membawakan banyak sekali makanan. Namun, mereka bertiga tidak bisa makan di depan ruang rawat yang wajib sunyi. Meski tak begitu jauh, supaya masih bisa mengontrol kondisi Yuna."Bagaimana cantik? Apa enak?" tanya Akio sembari melirik sebutir nasi di sudut bibirnya, Akio nampak tertarik.Jihan hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaan dari pria ini. Darren yang menyadari tatapan Akio, langsung bergerak mengelap nasi dari bibirnya. Jihan menoleh pada suaminya sebentar, kemudian sibuk makan lagi. Sementara Akio langsung memukul lengan yang tadi ingin mengusap juga."Soal putrimu bagaimana Tuan Darren? Aku tidak melihatnya dari tadi, apa dia ada di rumah?" tanya Akio penasaran."Ya, Bella ada di rumah.""Apa mau dibawa ke sini? Biar aku saja yang menjemput," tawar Akio.Mata Darren langsung menatapnya. "Rumah lebih aman dari pada rumah sakit. Jihan, bagaimana kalau kau pulang saja?"Mendengar hal itu, kepala Jihan langsung menggeleng. Bagaimana mungk
"Hidup kami?" tanya Darren dengan mata menyipit.Abian tersenyum miris dan tangan menggenggam Yuna. "Tentu saja aku dengan Yuna."Darren terdiam sejenak. Kemudian mengangguk, menyanggupi permintaan dari Abian. Apalagi itu hal yang sepele bagi Darren. Sementara Abian tersenyum dengan sudut mata yang berair."Kau dengar Yuna? Sebentar lagi kita akan hidup terjamin. Jadi, cepatlah sadar ya," pinta Abian sembari mencium tangan Yuna."Tunggu sampai aku selesai dengan masa tahananku ya, kita akan pergi bersama."Melihat pemandangan seperti itu, membuat Darren benar-benar membisu. Darren berpikir, Jihan yang berpisah dari Abian adalah pilihan yang sangat tepat. Kemudian Darren menatap serius pada Abian."Jika kau bisa hidup beriringan bersama Jihan dengan baik, atau tidak lagi mencampuri kehidupan Jihan. Maka aku pastikan, saat Yuna tersadar aku akan mengeluarkanmu dari penjara," ujar Darren.Tentu hal itu membuat Abian langsung melirik, pasalnya merasa itu sangat menarik. "Kau sudah berjanj
Pagi harinya. Jihan membuka matanya, dan bibir langsung tersenyum saat melihat Darren yang masih terlelap di sisinya. Perlahan Jihan merebahkan kepalanya di atas dada Darren yang tak memakai baju."Otot perutnya," gumam Jihan.Tangannya sedikit menyibak selimut, itu pun hanya untuk bisa melihat otot perut suaminya. Namun, entah dorongan dari mana. Jemari Jihan mulai menyentuh dan perlahan menjadi mengelus otot di sana. Hingga dapat ia rasakan Darren yang tiba-tiba menahan napas dan langsung menahan tangannya."Pagi-pagi sudah menguji kesabaran suami ya, Jihan," sindir Darren dengan suara serak.Kepalanya terangkat dan bibir langsung tersenyum. "Kan cuma pegang doang Mas, tidak ada niatan buat menguji sama sekali kok."Mata Darren menatapnya lekat. Kemudian menuntunnya untuk berada di pelukan suaminya, bahkan kaki Darren kini menindih pahanya. Tentu membuat Jihan memukul lengan Darren."Mas, kaki," keluhnya."Hm, ada dua, kenapa?"Jihan berdecak karena mendengar ucapan suaminya. "Aku t
"Rumah sakit jiwa," ulang Jihan dengan mata menatap suaminya serius.Jemari Darren terangkat untuk mengelus wajahnya. "Iya Jihan.""Kenapa Mas? Padahal kak Luna kan bersalah, kenapa harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Jihan sedikit sewot.Darren hanya diam saja dan menatap Jihan. Membiarkan dirinya terus saja bicara dan mengeluarkan keluh kesahnya. Kemudian Darren merengkuh tubuhnya dan memeluknya. Jihan menarik napas dengan kesal, ia benar-benar marah karena Luna dibiarkan lolos dari hukuman."Pengedar serta pengguna obat terlarang loh Mas. Kemudian melakukan percobaan pembunuhan, aku tidak rela kalau hanya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa," keluhnya kesal hingga air mata sedikit keluar.Darren mengelus kepalanya. "Iya Sayang aku tahu. Meski tidak bisa membuatnya menetap di penjara, tapi menurutku rumah sakit jiwa juga bukanlah tempat yang bagus."Jihan kini terisak. "Apanya lebih bagus? Di rumah sakit jiwa pasti kak Luna diperlakukan dengan istimewa."Mendengar ucapanny
"Tentu saja! Suami mana yang rela istrinya ditatap oleh pria sepertimu," celetuk Darren."Pria yang kalau tidak diberi jarak, maka akan menjadi penghancur hubungan," lanjut Darren menyindir.Namun, Akio hanya menarik napas saja. Tak memprotes sindiran dari Darren, pasalnya itu sangatlah benar. Jadi, Akio memilih menatap Jihan yang kembali memperlihatkan punggung."Kau yakin mau melepaskan kakakmu itu?" tanya Akio tiba-tiba."Biarpun melepas, tapi aku tidak akan lengah dan terus mengawasinya.""Memangnya dia terima kau perlakukan begitu?"Mata Darren melirik dan bibir menyeringai. "Bukankah uang bisa mengendalikan segalanya? Bahkan direktur rumah sakit jiwa pun kau monopoli."Akio terkekeh mendengar hal itu. "Ya, kau benar sekali Tuan Darren.""Lantas, kau juga akan membiarkan Yuna ketika dia sadar? Apalagi Abian? Kau sungguh akan mengeluarkannya dari penjara?"Kini mata Darren langsung menyipit, nampak tak suka dengan semua pertanyaan yang keluar dari mulut Akio ini. Sementara Akio ya
"Bella tidak mau pulang?" tanya Jihan saat melihat putrinya masih berwajah masam."Kenapa sih Mama jadi orang baik sekali? Sudah tahu dijahati, tapi malah terus saja menunggui di rumah sakit?" celetuk Bella.Mendengarnya Jihan tersenyum dan mendekat lagi. Lantas jemarinya mengelus kepala Bella. Meski awalnya Bella menolak, tapi karena kesabarannya membujuk Bella supaya menatapnya. Kini mata putrinya sedikit meliriknya."Kalau mama jahat, nanti Bella juga kan yang tidak mau sama mama?"Bella menggelengkan kepala. "Ya bukan begitu Ma. Bella kan tidak jahat sama Mama, jadi wajib dibaiki terus. Tapi, tante itu kan selalu jahat sama Mama!"Darren hendak protes karena cara Bella bicara yang membentak. Namun, begitu tahu niatan suaminya. Jihan langsung menoleh dan menggelengkan kepala, membuat Darren menghela napas. Jihan pun berjongkok dan mengelus wajah Bella."Iya, maaf ya. Karena mama sifatnya seperti ini, selalu saja memaafkan kejahatan orang lain. Tapi, terus mendendam yang ada hatinya
"Yuna sudah sadar," ujar Darren memberi tahu.Jihan menarik napas lega, matanya sedikit berkaca. "Syukurlah. Akhirnya kak Yuna sadar juga dari koma."Darren mengangguk. "Ya."Namun, Jihan langsung menatap suaminya. "Terus gimana Mas?"Mengerti apa yang Jihan cemaskan. Darren pun mengelus wajahnya, menatap cukup serius. Membuat Jihan merasa sangat penasaran, apa keputusan dari suaminya ini."Besok kita mengantar Bella ke sekolah, kemudian setelahnya baru pergi ke rumah sakit, bagaimana?" tanya Darren membuat Jihan langsung mengangguk antusias.***Sementara di rumah sakit jiwa. Terlihat Aksa mendatangi Luna, dan mereka berdua sedang mengobrol di taman. Namun, mata Aksa kerap melirik kesal ke sekitar dan selalu berakhir dengan mendengkus."Kenapa sih? Biasanya saat bicara denganku, kau tak terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan begini?" protes Luna.Aksa menunjuk sekitar. "Kau masih tanya kenapa? Memangnya kau tidak risih sama sekali dengan keadaan di sekitarmu ini?"Mata Luna melir
"Tidak ada gunanya kita tetap di sini. Pada dasarnya dia orang yang tidak tahu terima kasih," celetuk Akio.Namun, wajah berubah cemas dan tangan menampar mulut. Pasalnya melihat Jihan yang nampak murung. Sementara Darren hanya mengelus kepalanya, Darren juga terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Yuna."Lebih baik kita pulang saja Sayang, bagaimana? Bella juga pasti menunggu dijemput," bujuk Darren dengan nada pelan.Jihan menatap pada suaminya. "Tapi, nanti kita makan es krim dulu ya, aku lagi ingin Mas."Darren menatapnya cukup lama, kemudian mengangguk. "Ya, kita nanti beli es krim dulu."Sekalian untuk membuat moodnya semakin membaik. Darren pun menggenggam tangannya dan mulai bangkit dari duduk, namun mata Darren sempat melirik pada Akio dengan serius. Seolah memberi sinyal pada pria tersebut, sampai kepala mengangguk begitu saja."Kami titip Yuna padamu," ujar Darren sembari membawanya pergi.Darren benar-benar membawa Jihan pergi membeli es krim. Namun, yang membua