Pagi harinya. Jihan membuka matanya, dan bibir langsung tersenyum saat melihat Darren yang masih terlelap di sisinya. Perlahan Jihan merebahkan kepalanya di atas dada Darren yang tak memakai baju."Otot perutnya," gumam Jihan.Tangannya sedikit menyibak selimut, itu pun hanya untuk bisa melihat otot perut suaminya. Namun, entah dorongan dari mana. Jemari Jihan mulai menyentuh dan perlahan menjadi mengelus otot di sana. Hingga dapat ia rasakan Darren yang tiba-tiba menahan napas dan langsung menahan tangannya."Pagi-pagi sudah menguji kesabaran suami ya, Jihan," sindir Darren dengan suara serak.Kepalanya terangkat dan bibir langsung tersenyum. "Kan cuma pegang doang Mas, tidak ada niatan buat menguji sama sekali kok."Mata Darren menatapnya lekat. Kemudian menuntunnya untuk berada di pelukan suaminya, bahkan kaki Darren kini menindih pahanya. Tentu membuat Jihan memukul lengan Darren."Mas, kaki," keluhnya."Hm, ada dua, kenapa?"Jihan berdecak karena mendengar ucapan suaminya. "Aku t
"Rumah sakit jiwa," ulang Jihan dengan mata menatap suaminya serius.Jemari Darren terangkat untuk mengelus wajahnya. "Iya Jihan.""Kenapa Mas? Padahal kak Luna kan bersalah, kenapa harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Jihan sedikit sewot.Darren hanya diam saja dan menatap Jihan. Membiarkan dirinya terus saja bicara dan mengeluarkan keluh kesahnya. Kemudian Darren merengkuh tubuhnya dan memeluknya. Jihan menarik napas dengan kesal, ia benar-benar marah karena Luna dibiarkan lolos dari hukuman."Pengedar serta pengguna obat terlarang loh Mas. Kemudian melakukan percobaan pembunuhan, aku tidak rela kalau hanya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa," keluhnya kesal hingga air mata sedikit keluar.Darren mengelus kepalanya. "Iya Sayang aku tahu. Meski tidak bisa membuatnya menetap di penjara, tapi menurutku rumah sakit jiwa juga bukanlah tempat yang bagus."Jihan kini terisak. "Apanya lebih bagus? Di rumah sakit jiwa pasti kak Luna diperlakukan dengan istimewa."Mendengar ucapanny
"Tentu saja! Suami mana yang rela istrinya ditatap oleh pria sepertimu," celetuk Darren."Pria yang kalau tidak diberi jarak, maka akan menjadi penghancur hubungan," lanjut Darren menyindir.Namun, Akio hanya menarik napas saja. Tak memprotes sindiran dari Darren, pasalnya itu sangatlah benar. Jadi, Akio memilih menatap Jihan yang kembali memperlihatkan punggung."Kau yakin mau melepaskan kakakmu itu?" tanya Akio tiba-tiba."Biarpun melepas, tapi aku tidak akan lengah dan terus mengawasinya.""Memangnya dia terima kau perlakukan begitu?"Mata Darren melirik dan bibir menyeringai. "Bukankah uang bisa mengendalikan segalanya? Bahkan direktur rumah sakit jiwa pun kau monopoli."Akio terkekeh mendengar hal itu. "Ya, kau benar sekali Tuan Darren.""Lantas, kau juga akan membiarkan Yuna ketika dia sadar? Apalagi Abian? Kau sungguh akan mengeluarkannya dari penjara?"Kini mata Darren langsung menyipit, nampak tak suka dengan semua pertanyaan yang keluar dari mulut Akio ini. Sementara Akio ya
"Bella tidak mau pulang?" tanya Jihan saat melihat putrinya masih berwajah masam."Kenapa sih Mama jadi orang baik sekali? Sudah tahu dijahati, tapi malah terus saja menunggui di rumah sakit?" celetuk Bella.Mendengarnya Jihan tersenyum dan mendekat lagi. Lantas jemarinya mengelus kepala Bella. Meski awalnya Bella menolak, tapi karena kesabarannya membujuk Bella supaya menatapnya. Kini mata putrinya sedikit meliriknya."Kalau mama jahat, nanti Bella juga kan yang tidak mau sama mama?"Bella menggelengkan kepala. "Ya bukan begitu Ma. Bella kan tidak jahat sama Mama, jadi wajib dibaiki terus. Tapi, tante itu kan selalu jahat sama Mama!"Darren hendak protes karena cara Bella bicara yang membentak. Namun, begitu tahu niatan suaminya. Jihan langsung menoleh dan menggelengkan kepala, membuat Darren menghela napas. Jihan pun berjongkok dan mengelus wajah Bella."Iya, maaf ya. Karena mama sifatnya seperti ini, selalu saja memaafkan kejahatan orang lain. Tapi, terus mendendam yang ada hatinya
"Yuna sudah sadar," ujar Darren memberi tahu.Jihan menarik napas lega, matanya sedikit berkaca. "Syukurlah. Akhirnya kak Yuna sadar juga dari koma."Darren mengangguk. "Ya."Namun, Jihan langsung menatap suaminya. "Terus gimana Mas?"Mengerti apa yang Jihan cemaskan. Darren pun mengelus wajahnya, menatap cukup serius. Membuat Jihan merasa sangat penasaran, apa keputusan dari suaminya ini."Besok kita mengantar Bella ke sekolah, kemudian setelahnya baru pergi ke rumah sakit, bagaimana?" tanya Darren membuat Jihan langsung mengangguk antusias.***Sementara di rumah sakit jiwa. Terlihat Aksa mendatangi Luna, dan mereka berdua sedang mengobrol di taman. Namun, mata Aksa kerap melirik kesal ke sekitar dan selalu berakhir dengan mendengkus."Kenapa sih? Biasanya saat bicara denganku, kau tak terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan begini?" protes Luna.Aksa menunjuk sekitar. "Kau masih tanya kenapa? Memangnya kau tidak risih sama sekali dengan keadaan di sekitarmu ini?"Mata Luna melir
"Tidak ada gunanya kita tetap di sini. Pada dasarnya dia orang yang tidak tahu terima kasih," celetuk Akio.Namun, wajah berubah cemas dan tangan menampar mulut. Pasalnya melihat Jihan yang nampak murung. Sementara Darren hanya mengelus kepalanya, Darren juga terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Yuna."Lebih baik kita pulang saja Sayang, bagaimana? Bella juga pasti menunggu dijemput," bujuk Darren dengan nada pelan.Jihan menatap pada suaminya. "Tapi, nanti kita makan es krim dulu ya, aku lagi ingin Mas."Darren menatapnya cukup lama, kemudian mengangguk. "Ya, kita nanti beli es krim dulu."Sekalian untuk membuat moodnya semakin membaik. Darren pun menggenggam tangannya dan mulai bangkit dari duduk, namun mata Darren sempat melirik pada Akio dengan serius. Seolah memberi sinyal pada pria tersebut, sampai kepala mengangguk begitu saja."Kami titip Yuna padamu," ujar Darren sembari membawanya pergi.Darren benar-benar membawa Jihan pergi membeli es krim. Namun, yang membua
Abian menarik napas begitu mendengar penuturan dari Akio. Pasalnya sama sekali tak menyangka, bahwa Akio akan memberi saran seperti itu. Apalagi siap untuk membantu balas dendam demi ketentraman Hidup Jihan. Tapi, kemudian Abian menatap pada Akio."Kapan Darren akan kembali ke sini?" tanya Abian membuat Akio dan Yuna menatap."Kenapa kau menanyakan kehadiran Darren?"Mata Abian menatap pada Yuna. "Aku ingin menanyakan masalah janjinya padaku, aku ingin menagihnya."Ketika malam harinya. Nampak Akio sudah duduk di sofa rumah Darren. Sementara Darren sendiri baru keluar dari dalam dengan memakai piyama dan berdecak kesal, mendapat tamu secara mendadak di malam hari."Kenapa melihatku sampai seperti itu? Tidak suka aku datang ke sini Tuan Darren?" tanya Akio dengan mata menyipit.Darren duduk di hadapan Akio dan kaki menyilang. "Cepat katakan, apa yang kau inginkan sampai datang malam begini."Bukannya segera menjawab. Kepala Akio justru menoleh sana-sini. Terlihat jelas bukan untuk meli
Jihan menggeliat dalam tidurnya. Ia berbalik dan mendapati suaminya masih terlelap ketika mata terbuka. Jihan tersenyum dan jemarinya terangkat untuk mengelus wajah Darren. Hingga Jihan rasakan suaminya bergerak dan memegang tangannya."Sudah bangun Sayang?" tanya Darren mulai membuka mata.Kepalanya mengangguk kecil. "Iya. Apa hari ini Mas akan mencabut tuntutan terhadap Abian?"Begitu mendengar pertanyaan darinya. Darren nampak malas dan langsung memeluknya, menyembunyikan wajah pada lehernya. Jihan mengerjapkan mata."Mas, ini sudah siang. Kalau tidur lagi nanti terlambat bekerja," ujarnya mengingatkan."Memangnya kalau terlambat, siapa yang akan memarahi?"Jihan tersenyum. "Lalu Bella gimana? Harus siap-siap sekolah kan."Darren makin memeluknya erat. "Biarkan Susan yang menyiapkan Bella sekolah."Jihan mengelus kepala suaminya dan terdiam. Bella sudah lebih mandiri sekarang, tidak begitu membutuhkan bantuannya dalam melakukan segala hal. Itu yang membuat Jihan sedikit cemas, bila
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun