"Rumah sakit jiwa," ulang Jihan dengan mata menatap suaminya serius.Jemari Darren terangkat untuk mengelus wajahnya. "Iya Jihan.""Kenapa Mas? Padahal kak Luna kan bersalah, kenapa harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Jihan sedikit sewot.Darren hanya diam saja dan menatap Jihan. Membiarkan dirinya terus saja bicara dan mengeluarkan keluh kesahnya. Kemudian Darren merengkuh tubuhnya dan memeluknya. Jihan menarik napas dengan kesal, ia benar-benar marah karena Luna dibiarkan lolos dari hukuman."Pengedar serta pengguna obat terlarang loh Mas. Kemudian melakukan percobaan pembunuhan, aku tidak rela kalau hanya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa," keluhnya kesal hingga air mata sedikit keluar.Darren mengelus kepalanya. "Iya Sayang aku tahu. Meski tidak bisa membuatnya menetap di penjara, tapi menurutku rumah sakit jiwa juga bukanlah tempat yang bagus."Jihan kini terisak. "Apanya lebih bagus? Di rumah sakit jiwa pasti kak Luna diperlakukan dengan istimewa."Mendengar ucapanny
"Tentu saja! Suami mana yang rela istrinya ditatap oleh pria sepertimu," celetuk Darren."Pria yang kalau tidak diberi jarak, maka akan menjadi penghancur hubungan," lanjut Darren menyindir.Namun, Akio hanya menarik napas saja. Tak memprotes sindiran dari Darren, pasalnya itu sangatlah benar. Jadi, Akio memilih menatap Jihan yang kembali memperlihatkan punggung."Kau yakin mau melepaskan kakakmu itu?" tanya Akio tiba-tiba."Biarpun melepas, tapi aku tidak akan lengah dan terus mengawasinya.""Memangnya dia terima kau perlakukan begitu?"Mata Darren melirik dan bibir menyeringai. "Bukankah uang bisa mengendalikan segalanya? Bahkan direktur rumah sakit jiwa pun kau monopoli."Akio terkekeh mendengar hal itu. "Ya, kau benar sekali Tuan Darren.""Lantas, kau juga akan membiarkan Yuna ketika dia sadar? Apalagi Abian? Kau sungguh akan mengeluarkannya dari penjara?"Kini mata Darren langsung menyipit, nampak tak suka dengan semua pertanyaan yang keluar dari mulut Akio ini. Sementara Akio ya
"Bella tidak mau pulang?" tanya Jihan saat melihat putrinya masih berwajah masam."Kenapa sih Mama jadi orang baik sekali? Sudah tahu dijahati, tapi malah terus saja menunggui di rumah sakit?" celetuk Bella.Mendengarnya Jihan tersenyum dan mendekat lagi. Lantas jemarinya mengelus kepala Bella. Meski awalnya Bella menolak, tapi karena kesabarannya membujuk Bella supaya menatapnya. Kini mata putrinya sedikit meliriknya."Kalau mama jahat, nanti Bella juga kan yang tidak mau sama mama?"Bella menggelengkan kepala. "Ya bukan begitu Ma. Bella kan tidak jahat sama Mama, jadi wajib dibaiki terus. Tapi, tante itu kan selalu jahat sama Mama!"Darren hendak protes karena cara Bella bicara yang membentak. Namun, begitu tahu niatan suaminya. Jihan langsung menoleh dan menggelengkan kepala, membuat Darren menghela napas. Jihan pun berjongkok dan mengelus wajah Bella."Iya, maaf ya. Karena mama sifatnya seperti ini, selalu saja memaafkan kejahatan orang lain. Tapi, terus mendendam yang ada hatinya
"Yuna sudah sadar," ujar Darren memberi tahu.Jihan menarik napas lega, matanya sedikit berkaca. "Syukurlah. Akhirnya kak Yuna sadar juga dari koma."Darren mengangguk. "Ya."Namun, Jihan langsung menatap suaminya. "Terus gimana Mas?"Mengerti apa yang Jihan cemaskan. Darren pun mengelus wajahnya, menatap cukup serius. Membuat Jihan merasa sangat penasaran, apa keputusan dari suaminya ini."Besok kita mengantar Bella ke sekolah, kemudian setelahnya baru pergi ke rumah sakit, bagaimana?" tanya Darren membuat Jihan langsung mengangguk antusias.***Sementara di rumah sakit jiwa. Terlihat Aksa mendatangi Luna, dan mereka berdua sedang mengobrol di taman. Namun, mata Aksa kerap melirik kesal ke sekitar dan selalu berakhir dengan mendengkus."Kenapa sih? Biasanya saat bicara denganku, kau tak terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan begini?" protes Luna.Aksa menunjuk sekitar. "Kau masih tanya kenapa? Memangnya kau tidak risih sama sekali dengan keadaan di sekitarmu ini?"Mata Luna melir
"Tidak ada gunanya kita tetap di sini. Pada dasarnya dia orang yang tidak tahu terima kasih," celetuk Akio.Namun, wajah berubah cemas dan tangan menampar mulut. Pasalnya melihat Jihan yang nampak murung. Sementara Darren hanya mengelus kepalanya, Darren juga terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Yuna."Lebih baik kita pulang saja Sayang, bagaimana? Bella juga pasti menunggu dijemput," bujuk Darren dengan nada pelan.Jihan menatap pada suaminya. "Tapi, nanti kita makan es krim dulu ya, aku lagi ingin Mas."Darren menatapnya cukup lama, kemudian mengangguk. "Ya, kita nanti beli es krim dulu."Sekalian untuk membuat moodnya semakin membaik. Darren pun menggenggam tangannya dan mulai bangkit dari duduk, namun mata Darren sempat melirik pada Akio dengan serius. Seolah memberi sinyal pada pria tersebut, sampai kepala mengangguk begitu saja."Kami titip Yuna padamu," ujar Darren sembari membawanya pergi.Darren benar-benar membawa Jihan pergi membeli es krim. Namun, yang membua
Abian menarik napas begitu mendengar penuturan dari Akio. Pasalnya sama sekali tak menyangka, bahwa Akio akan memberi saran seperti itu. Apalagi siap untuk membantu balas dendam demi ketentraman Hidup Jihan. Tapi, kemudian Abian menatap pada Akio."Kapan Darren akan kembali ke sini?" tanya Abian membuat Akio dan Yuna menatap."Kenapa kau menanyakan kehadiran Darren?"Mata Abian menatap pada Yuna. "Aku ingin menanyakan masalah janjinya padaku, aku ingin menagihnya."Ketika malam harinya. Nampak Akio sudah duduk di sofa rumah Darren. Sementara Darren sendiri baru keluar dari dalam dengan memakai piyama dan berdecak kesal, mendapat tamu secara mendadak di malam hari."Kenapa melihatku sampai seperti itu? Tidak suka aku datang ke sini Tuan Darren?" tanya Akio dengan mata menyipit.Darren duduk di hadapan Akio dan kaki menyilang. "Cepat katakan, apa yang kau inginkan sampai datang malam begini."Bukannya segera menjawab. Kepala Akio justru menoleh sana-sini. Terlihat jelas bukan untuk meli
Jihan menggeliat dalam tidurnya. Ia berbalik dan mendapati suaminya masih terlelap ketika mata terbuka. Jihan tersenyum dan jemarinya terangkat untuk mengelus wajah Darren. Hingga Jihan rasakan suaminya bergerak dan memegang tangannya."Sudah bangun Sayang?" tanya Darren mulai membuka mata.Kepalanya mengangguk kecil. "Iya. Apa hari ini Mas akan mencabut tuntutan terhadap Abian?"Begitu mendengar pertanyaan darinya. Darren nampak malas dan langsung memeluknya, menyembunyikan wajah pada lehernya. Jihan mengerjapkan mata."Mas, ini sudah siang. Kalau tidur lagi nanti terlambat bekerja," ujarnya mengingatkan."Memangnya kalau terlambat, siapa yang akan memarahi?"Jihan tersenyum. "Lalu Bella gimana? Harus siap-siap sekolah kan."Darren makin memeluknya erat. "Biarkan Susan yang menyiapkan Bella sekolah."Jihan mengelus kepala suaminya dan terdiam. Bella sudah lebih mandiri sekarang, tidak begitu membutuhkan bantuannya dalam melakukan segala hal. Itu yang membuat Jihan sedikit cemas, bila
"Sungguh mama ada di rumah nenek kan?" tanya Bella sedikit keluar dari belakang tubuh satpam.Aksa sempat menyeringai saat Bella menyebut Stella dengan nenek. Padahal Bella sangat dibenci hanya karena lahir dari rahim Elina. Melihat Aksa yang seperti itu membuat Bella memundurkan langkah."Ada apa? Katanya Bella mau bertemu sama mama? Kok mundur lagi," komen Aksa.Kepala Bella menggeleng keras. "Om bohong! Semenjak diculik, mama tidak boleh pergi sama papa!"Mendengar seruan dari Bella, membuat Aksa menempelkan telunjuk pada mulut. "Jangan keras-keras. Telinga om bisa rusak nanti."Satpam ikut memundurkan langkah, kemudian nampak membuka buku dan mengeluarkan ponsel. Wajah Aksa menegas dan mata menyorot tajam. Melihat apa yang akan dilakukan oleh satpam."Apa yang sedang kau lakukan Pak tua?" tanya Aksa dingin.Satpam hanya menatap sebentar, kemudian sibuk mengetik nomor seseorang dan melakukan panggilan. Bella hanya diam saja meski wajah menunjukkan kece