Abian menarik napas begitu mendengar penuturan dari Akio. Pasalnya sama sekali tak menyangka, bahwa Akio akan memberi saran seperti itu. Apalagi siap untuk membantu balas dendam demi ketentraman Hidup Jihan. Tapi, kemudian Abian menatap pada Akio."Kapan Darren akan kembali ke sini?" tanya Abian membuat Akio dan Yuna menatap."Kenapa kau menanyakan kehadiran Darren?"Mata Abian menatap pada Yuna. "Aku ingin menanyakan masalah janjinya padaku, aku ingin menagihnya."Ketika malam harinya. Nampak Akio sudah duduk di sofa rumah Darren. Sementara Darren sendiri baru keluar dari dalam dengan memakai piyama dan berdecak kesal, mendapat tamu secara mendadak di malam hari."Kenapa melihatku sampai seperti itu? Tidak suka aku datang ke sini Tuan Darren?" tanya Akio dengan mata menyipit.Darren duduk di hadapan Akio dan kaki menyilang. "Cepat katakan, apa yang kau inginkan sampai datang malam begini."Bukannya segera menjawab. Kepala Akio justru menoleh sana-sini. Terlihat jelas bukan untuk meli
Jihan menggeliat dalam tidurnya. Ia berbalik dan mendapati suaminya masih terlelap ketika mata terbuka. Jihan tersenyum dan jemarinya terangkat untuk mengelus wajah Darren. Hingga Jihan rasakan suaminya bergerak dan memegang tangannya."Sudah bangun Sayang?" tanya Darren mulai membuka mata.Kepalanya mengangguk kecil. "Iya. Apa hari ini Mas akan mencabut tuntutan terhadap Abian?"Begitu mendengar pertanyaan darinya. Darren nampak malas dan langsung memeluknya, menyembunyikan wajah pada lehernya. Jihan mengerjapkan mata."Mas, ini sudah siang. Kalau tidur lagi nanti terlambat bekerja," ujarnya mengingatkan."Memangnya kalau terlambat, siapa yang akan memarahi?"Jihan tersenyum. "Lalu Bella gimana? Harus siap-siap sekolah kan."Darren makin memeluknya erat. "Biarkan Susan yang menyiapkan Bella sekolah."Jihan mengelus kepala suaminya dan terdiam. Bella sudah lebih mandiri sekarang, tidak begitu membutuhkan bantuannya dalam melakukan segala hal. Itu yang membuat Jihan sedikit cemas, bila
"Sungguh mama ada di rumah nenek kan?" tanya Bella sedikit keluar dari belakang tubuh satpam.Aksa sempat menyeringai saat Bella menyebut Stella dengan nenek. Padahal Bella sangat dibenci hanya karena lahir dari rahim Elina. Melihat Aksa yang seperti itu membuat Bella memundurkan langkah."Ada apa? Katanya Bella mau bertemu sama mama? Kok mundur lagi," komen Aksa.Kepala Bella menggeleng keras. "Om bohong! Semenjak diculik, mama tidak boleh pergi sama papa!"Mendengar seruan dari Bella, membuat Aksa menempelkan telunjuk pada mulut. "Jangan keras-keras. Telinga om bisa rusak nanti."Satpam ikut memundurkan langkah, kemudian nampak membuka buku dan mengeluarkan ponsel. Wajah Aksa menegas dan mata menyorot tajam. Melihat apa yang akan dilakukan oleh satpam."Apa yang sedang kau lakukan Pak tua?" tanya Aksa dingin.Satpam hanya menatap sebentar, kemudian sibuk mengetik nomor seseorang dan melakukan panggilan. Bella hanya diam saja meski wajah menunjukkan kece
Seperti yang Jihan duga. Ada sesuatu di antara mereka berdua. Sampai Yohan mau duduk di hadapan mereka dan menunjukkan ekspresi serius."Aku mendengar dari anak buahku, katanya pak Aksa membeli barang selundupan dari luar negeri. Kami berniat menggagalkannya dan melaporkan pada polisi," ujar Yohan membuat Jihan terkejut."Barang selundupan? Apa itu semacam obat terlarang?" tanya Jihan.Mata Darren meliriknya. "Aku harap seperti itu Jihan. Maka dengan begitu, kita punya cara untuk memenjarakannya, setidaknya selama beberapa tahun saja."Melihat suaminya yang tidak begitu yakin dengan apa yang dibeli oleh Aksa. Membuat Jihan terdiam dan mata menatap pada Yohan. Sejujurnya ia merasa curiga dengan kedatangan Yohan yang tiba-tiba membahas masalah Aksa pada suaminya.Hingga waktunya tidur, di kamar Jihan menatap lekat pada Darren yang sedang mengancing baju tidur. Hal itu membuat tubuh Darren berbalik padanya dan tersenyum. Suaminya nampak sengaja tak mengancing lagi dan berjalan mendekat p
Sementara Akio dan Yohan melirik terkejut. Dengan membunyikan klakson di sepanjang jalan, tentunya akan memperingati musuh. Namun, mereka berdua memilih membisu hingga telepon dari Jihan terputus. Barulah Akio memprotes."Tuan Darren sudah tidak waras ya? Menyuruh semuanya membunyikan klakson?""Ya, bukankah itu akan membuat pak Aksa waspada?" protes Yohan juga.Namun, Darren mengedikan bahu. "Aku tidak peduli, aku hanya ingin membuat Jihan tenang saja. Perasaannya lebih penting dari segala hal."Yohan menarik napas. Karena merasa Darren telah berlebihan dalam memperlakukan Jihan. Tak peduli dengan rencana yang bakal gagal atau keselamatan diri sendiri yang terancam. Namun, begitu melirik ke arah Akio yang mengacungkan jempol serta mengangguk antusias. Berakhir membuat Yohan menggelengkan kepala."Dua manusia bucin," celetuk Yohan pelan.Sementara di rumah. Jihan yang merasa sudah lega, memutuskan untuk kembali ke kamar. Susan pun membantunya menaiki anak tangga dengan perlahan, apala
Mata Darren langsung menyorot tajam. "Jangan mimpi. Aku tidak akan menempatkan istri dan anakku pada keadaan berbahaya."Aksa tersenyum dan menunjuk kotak di belakang. "Bahaya apanya? Itu hanya bom, Darren. Aku membelinya juga hanya untuk bermain saja kok.""Lagi pula, aku akan meletakkan bomnya di rumahmu saja kok. Ketika kau pergi, barulah aku bom!" seru Aksa kemudian tertawa, "kau pasti akan senang ketika kembali nanti."Darren benar-benar terpancing emosi. Hingga menjauh dari Akio dan mendekati Aksa hanya untuk mencengkram kerah baju sang kakak. Sementara Aksa begitu santai menatap Darren, bahkan masih bisa tersenyum."Aku sudah memperingatkanmu kan! Jika kau berani menyentuh orangku, maka aku tidak akan segan menyakiti orangmu itu!"Tangan Aksa menggenggam pundak Darren. "Memangnya aku punya siapa? Selain kau, ibu dan Luna. Memangnya kau tega menyakiti ibu atau dirimu sendiri?"Mendengar hal itu, Darren langsung menyeringai. "Jangan kau kira aku tidak tahu. Remaja yang hingga har
Darren mengelus wajahnya, membuat Jihan menatap suaminya lekat. Bibir Darren mengulas senyum, bukannya ikut tersenyum. Jihan malah memeluk tubuh Darren cukup erat. Sementara Akio menatap iri, melihat kemesraan dari Jihan juga Darren."Meski aku tidak apa-apa. Tapi, maukah bersandiwara Sayang?" tanya Darren.Kepala Jihan terangkat. "Bersandiwara apa Mas?"Darren kini menggenggam tangan Bella. "Tolong bersandiwara, seolah aku dalam keadaan tidak baik saja. Bella juga bisa bantu kan?"Jihan mengerutkan dahi. "Kenapa? Kenapa kami berdua harus berbohong? Padahal kondisimu baik-baik saja Mas."Jemari Darren mengelus pinggangnya. "Ini caraku demi menjerat kak Aksa untuk semakin dihukum berat. Kalau aku baik-baik saja, kemungkinan dia bisa lolos lagi."Begitu mendengar hal itu. Membuat Jihan sempat terdiam dan menatap suaminya. Sementara Bella nampak begitu antusias dan mengangguk. Mata Darren langsung menatapnya, meminta persetujuan bersandiwara darinya juga.Jihan pun menghela napas. "Baikl
Mendengar ucapan suaminya. Jihan merasa kalau Darren sedikit keterlaluan. Sementara Stella menggelengkan kepala, nampak bukan itu tujuan sebenarnya mendatangi Darren. Tangan Stella mengelus dahi Darren pelan, tapi suaminya justru langsung menghindar atas perlakuan yang dirasa tidak terbiasa itu.Raut sendu di mata Stella begitu kentara. "Aku ke sini hanya untuk menjenguk Darren, tak ada niatan lainnya."Mata Darren menatap langit-langit rumah sakit, yang seolah lebih menarik ketimbang ibu sendiri. "Dengan tertusuk seperti ini, aku masih merasa sedikit beruntung.""Hst! Apa yang kau ucapkan Darren? Tidak ada yang beruntung soal terluka," sergah Stella.Mulut Darren menarik napas berat. "Aku hanya merasa ini beruntung. Karena semalam kak Aksa membeli beberapa bom dari--"Ucapan Darren terhenti. Pasalnya telah menyadari sesuatu hingga kepala langsung menoleh, dengan mata menunjukkan keterkejutan ke arah Jihan. Padahal diri sendiri yang melarang siapa pun memberi tahu, pada kenyatannya Da