Darren begitu percaya diri, akan terbangun pagi sekali dan sebelum Jihan bangun langsung pergi. Tapi nyatanya, Darren membuka mata ketika matahari mulai menyingsing tinggi. Darren melirik pada Jihan yang sedang berkacak pinggang dengan mata menyorot tajam."Sedang apa tidur di kasur Bella?"Perlahan Darren mulai mendudukkan diri dan kepala menoleh ke sekeliling. "Ah, aku kira ini kamarku sendiri. Mungkin karena terlalu lelah makanya aku tidur di kamar yang salah."Namun, Jihan nampak tak menerima alasan konyol dari suaminya. "Terus kenapa Mas malah tetap tidur di sini? Padahal melihat aku dan Bella di kasur. Bukannya itu sudah jelas kalau Mas sengaja?"Darren menatapnya serius. Kemudian langsung menggelengkan kepala, jelas menyangkal apa yang barusan ia tuduhkan. Namun, Jihan malah menyipitkan mata melihat suaminya yang menjadi pendiam ini secara tiba-tiba."Aku akan mandi dan segera berangkat ke kantor.""Ini hari minggu," celetuknya.Kaki Darren baru saja menuruni ranjang. Namun, be
Darren berdehem. "Iya, benar. Biasanya Bella tidak tidur jam segini. Tapi, mungkin karena lelah menangis makanya jadi tidur."Jihan pun menatap mata suaminya. Jihan membisu, ia sudah termakan omongan dari suaminya yang penuh dengan kebohongan ini. Kemudian Jihan melirik pada Bude-nya. Berharap Bude Nisa mau membiarkan Bella tidur sebentar di rumah Bude-nya.Bude Nisa tersenyum begitu melihat matanya, kemudian mendekat. "Kalau begitu mari Pak Darren, letakkan Bella di kamar."Jihan pun mengikuti suaminya yang membawa Bella sesuai instruksi dari Bude. Namun, ketika putrinya sudah diletakkan di atas ranjang. Bukannya langsung pamit pergi, tapi Darren malah duduk di atas ranjang dan mengelus dahi Bella."Mas. Bukannya Mas harus kembali ke rumah?" tanya Jihan heran.Darren meliriknya. "Kembali ke mana?""Rumah," sahutnya."Kau kan di sini, kenapa aku harus balik ke rumah? Di sana tidak ada yang membuat enak dan hangat."Jihan melirik ke arah Bude Nisa yang masih ada di dalam kamar. Rasanya
Jihan menghela napas. Bukan karena apa-apa, tapi Darren benar-benar serius dengan keinginan ikut menginap. Pasalnya, saat ini, Jihan dengan Bude Nisa meletakkan piring berisi makanan di atas meja makan. Mata Jihan melirik pada Pakde yang sedang sibuk memperhatikan Darren yang menerima telepon di luar rumah."Kok bisa kau dapat suami sultan kayak gitu, Jihan?" tanya Pakde setelah mendekat ke arahnya.Sementara Bella yang semula duduk di kursi makan. Begitu melihat Pakde, terburu berlari dan bersembunyi di kakinya. Jihan langsung tersenyum dan mengelus kepala putrinya, sementara Bude malah tertawa."Mas, makanya cukur itu jenggot. Bella saja sampai takut padamu," celetuk Bude membuat Pakde berdecak."Segini pakde tampannya, kok ya ditakuti."Jihan tersenyum kembali dan mengelus Bella lagi. "Kata mama apa kalau ketemu sama orang?"Bella menatapnya dan kepala menggeleng. "Tidak mau, Bella takut.""Pakde tidak gigit kok, ayo coba beri salam," pintanya.Bella melirik pada Bude yang mengangg
Darren mengerutkan dahi. "Kenapa cuma papa yang ditanya? Kenapa Mama tidak ditanya?"Bella menghela napas karena Darren yang malah balik bertanya. "Karena Mama kan selalu peduli sama Bella. Berbeda dengan Papa, suatu hari nanti saat adik lahir, pasti kasih sayang Papa akan berubah."Mendengar hal itu, Darren langsung berdecak. "Mau Bella atau adik, kalian kan sama-sama anak papa. Masa dibeda-bedakan sih. Ya harus disayang semua."Jihan yang memunggungi suaminya, sejujurnya penasaran dengan ekspresi dari Darren. Tepatnya ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Namun, hanya dengan mendengar saja kalau anak yang di kandungnya begitu diakui. Membuat Jihan langsung tersenyum."Sudah dengar kan? Kalau sampai Papa tidak sayang sama Bella lagi, kita tinggalkan saja Papa, bagaimana?" tawar Jihan.Bella mengangguk antusias. "Iya. Kita pergi yang jauh Ma."Darren menatap kesal. "Siapa yang berani meninggalkan papa hm? Papa akan kejar sampai ujung dunia."Jihan dan Bella saling pandang, kemudian
Akio menunjuk Darren sembari tersenyum. "Inilah yang aku suka dari Tuan Darren. Tak akan melepaskan orang yang salah, juga menyakiti orang paling berharga untuk kita."Darren mengambil minuman dan menyesap dalam diam. Ketajaman pada mata mulai sedikit melemah. Darren pernah di posisi memilih melepaskan Jihan ketimbang melihat sang istri terus dijahati oleh Luna. Apalagi Darren tak bisa berkutik karena masa lalu.Tapi, setelah tidak menemukan Jihan di rumah. Darren menyadari ketika menyusul Jihan di rumah bude Nisa. Ada sosok yang lebih penting dari pada segala rasa bersalah di masa lalu."Lagi pula, hidup itu bukan untuk terkekang pada masa lalu," gumam Darren membuat dahi Akio mengerut."Kau bilang apa barusan Tuan Darren?"Mata Darren terangkat dan menatap pada Akio. "Kau dapatkan minuman ini di mana? Warnanya seperti air sungai dan rasanya seperti pasir."Akio langsung berdecak karena mendengar ucapan Darren. "Kalau kau bukan suaminya si cantik, aku sudah ingin memasukkanmu ke dala
"Jadi, benar-benar tidak boleh ke sana?" tanya Darren.Saat ini posisi Jihan berada di kamar Bella, sementara suaminya di tengah pintu. Hari sudah malam, tentunya mereka harus segera tidur. Bella menghela napas melihat sang ayah yang melangkah perlahan."Kalau jarak segini, mual tidak?" tanya Darren memastikan.Jihan terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Sepertinya tidak Mas."Darren kembali melangkah, namun langsung mundur lagi ketika melihat Jihan yang ingin muntah. Darren tentunya menghela napas pasalnya jarak antara Darren dengan Jihan lumayan jauh. Tapi, malah tetap ingin muntah."Sebenarnya apa sih Jihan yang membuatmu mual? Parfumku?" tanya Darren serius, barangkali karena parfum, maka Darren akan langsung mengganti."Aroma tubuhmu Mas," celetuk Jihan langsung menutup hidungnya.Netra Darren pun menatapnya dengan sangat tidak percaya. Senang karena bakal punya anak, tapi giliran dapat anak malah ngidamnya aneh. Tidak bisa didekati untuk sementara waktu. Apalagi buat nganu, ten
"Omong kosong! Berhenti berpura baik di depanku. Aku sangat tahu kalau kau di belakang pasti menertawaiku," tuding Yuna langsung melepaskan tangan dari genggamannya."Kau ke sini ingin pamer kekuasaan suamimu itu iya kan," tuduh Yuna lagi.Mulut Jihan semula hanya membisu saja. Mendengarkan segala tuduhan yang Yuna lontarkan padanya. Barulah Jihan menghela napas dan bersiap untuk menyerang balik kakak tirinya ini."Aku serius ingin membantumu, Kak. Tidak bisakah kau setidaknya menyambutku dengan baik? Bukannya malah menuduh ini itu," celetuknya.Yuna menyeringai. "Menyambutmu? Bumi bakal terbelah kalau sampai aku melakukannya padamu!""Jadi, Kakak tidak akan menerima bantuan dariku?""Tidak!" seru Yuna dengan kesal, "lebih baik kau pergi saja dari sini!"Tubuh Yuna bangkit dari duduk. Lantas mulai berjalan meninggalkan Jihan, namun Jihan menatap kakak tirinya dalam diam. Kemudian, Jihan langsung berucap."Menurut Kakak, siapa lagi orang yang akan datang ke sini dan berjanji akan membe
Tangan Darren mencengkram erat ponsel begitu sambungan terputus. Mata menatapnya, kemudian langsung memeluk tubuhnya yang sedikit bergetar. Aksa loh, kakak iparnya yang selalu terlihat baik, meski kerap adu mulut dengan suaminya."Mas, pasti kak Yuna berbohong padaku kan? Kakakmu tidak akan berani melakukan hal itu padaku," ujarnya dengan panik.Darren mengelus kepalanya dan memeluk semakin erat. "Jika memang bohong, maka dari mana Yuna bisa mendapatkan nomor milik kak Aksa?""Soal itu ....""Jangan dipikirkan Jihan," pinta Darren, "yang penting kita tahu dan berusaha untuk menjaga jarak. Untuk saat ini tak ada bukti untuk membuatnya dinyatakan bersalah."Dan itu sangatlah benar. Hingga membuat Jihan hanya diam dan memilih memeluk tubuh suaminya sangat erat. Kenapa hidupnya selalu tak pernah tenang? Menikah dengan Abian selalu dijahati oleh Yuna dan ibu tirinya. Begitu menikah dengan Darren, ia kembali menemui orang seperti itu lagi.Tapi, keluarga dari suaminya jauh lebih berbahaya.