“Apa?!” Sara sukses membelalak mendengar pengakuan wanita cantik berambut pirang yang dibawa Bagas, suaminya.
Luka akibat kehilangan putri semata wayangnya belum sembuh, tetapi Bagas justru menabur garam pada lukanya yang masih mengaga.
Melihat Bagas yang diam saja, membuat Sara semakin murka. "Jika mau berselingkuh lakukan dibelakang! Kenapa kau terang-terangan membawanya kemari!?" protes Sara pada Bagas. "Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan wanita itu tinggal disini!" lanjut Sara dengan tegas. Seperti biasa, sikap dan tatapan Bagas pada Sara begitu dingin, penuh kebencian. Rasa cinta yang dulu memenuhi hatinya sirna setelah kesalahan yang Sara lakukan. "Aku tidak perlu izinmu untuk membawa siapapun tinggal di sini! Kalau tidak suka, kau boleh pergi kapan saja!" Mata Sara berkaca-kaca, ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga berdarah untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Sara tidak mau terlihat lemah. "Jangan lupa bahwa aku masih istrimu!" "Kau juga seharusnya tidak lupa bahwa dirimu-lah yang menghancurkan rumah tangga kita," jawab Bagas dingin. "Baiklah, lakukan apapun sesukamu," ucap Sara pada sang suami, ia memilih menahan diri. Pandangan tajamnya tertuju pada wanita itu sesaat kemudian berlalu, kembali ke kamar. Bicara dengan Sara selalu saja membuat emosi Bagas terpancing, "Kenapa kau berdiri saja di situ, Murni?! Cepat antar Camilia ke kamar tamu!" perintah Bagas dengan nada tinggi. "Ba-baik, Tuan." Sebenarnya, Murni enggan mengantar wanita itu. Namun, ia tetaplah seorang pelayan yang harus menurut pada perintah tuannya. Murni membawakan koper milik wanita berambut pirang bernama Camilia itu ke kamar tamu, kemudian langsung bergegas menuju kamar Sara, ia ingin memastikan keadaan nyonya-nya. Murni mengetuk pintu, "Nyonya Sara, apa boleh saya masuk?" "Silahkan," jawab Sara dari dalam. Murni membuka pintu dan sedih melihat Sara yang seakan tak memiliki semangat hidup. Sara duduk pada kursi yang berada dekat jendela dengan pandangan kosong tertuju ke luar sana, bibir yang biasa pucat berubah merah karena luka. Tubuh Sara tampak lebih kurus dari sebelumnya karena beberapa bulan terakhir pola makannya tidak teratur. Ia juga makan dengan porsi yang sangat sedikit. "Murni, jika aku juga menjadi korban hari itu, pasti saat ini semua baik-baik saja," ujar Sara dengan suara lemah. "Nyonya, jangan bicara seperti itu." Setiap hari Murni mengkhawatirkan Sara. Kebaikan Sara selama ini membentuk ikatan yang kuat bagi Murni. Sara mengalihkan pandangan pada Murni lalu tersenyum getir, "Kalau aku mati sekarang, apa dia akan puas?" "Nyonya, jangan melakukan sesuatu yang hanya akan merugikan diri anda." Murni takut, sebab ia satu-satunya orang yang tahu depresi yang Sara derita semenjak meninggalnya Nara. Bahkan, sekarang Sara memiliki jadwal dengan psikiater pribadi yang datang ke rumah setiap Minggu, hanya Murni yang tahu jika Sara rutin meminum obat psikoterapi setiap hari. Diam-diam, Sara mencerna perkataan Murni. Sara adalah pemilik Sara's Boutique, sebuah butik ternama favorit kalangan kelas atas. Ia memulai bisnis ini sejak awal menikah. Merintis menggunakan modal kecil yang diberikan suaminya, dengan kerja keras dan kepiawaiannya menerka selera pasar, butik yang dulunya kecil itu berubah menjadi butik tersohor seperti sekarang. "Kau benar, Murni," ucap Sara masih dengan suara lemah. "Mulai besok sebaiknya aku mulai bekerja." *** Hari pertama kembali bekerja, Sara tidak bisa fokus hingga semua pekerjaan kembali dikerjakan oleh Felicia, sekretarisnya. Sara yang merasa kepalanya sangat sakit memutuskan untuk pulang. Namun, sesampainya di rumah, ia justru naik pitam saat Murni memberitahu kalau Camilia masuk ke kamarnya dan mengambil lima kotak perhiasan dan beberapa dress. Gundik sang suami itu tidak berhenti, meski Murni telah mencegahnya. Wanita sundal itu justru bersikap kasar pada ART kepercayaan Sara itu.Tanpa pikir panjang, Sara langsung menemui Camilia di kamar tamu.
"Tidak aku sangka, suamiku membawa pencuri ke rumah!" tegas Sara saat melihat Camilia memakai perhiasannya. "Lepas semua perhiasanku yang kau pakai selagi aku masih meminta secara baik-baik." Camilia bertingkah sok polos, "Kak, kita berbagi pria yang sama. Apa perhiasan ini juga tidak bisa kau bagi denganku?" "Lancang!" Amarah Sara benar-benar memuncak. "Letakan perhiasanku kembali ke tempatnya!" Untuk pertama kali, Sara bicara dengan nada tinggi. Sara marah bukan karena perhiasan itu, melainkan karena wanita ini merebut suaminya. "Semalam kami tidur bersama, Bagas bilang kalau aku bisa melakukan apa saja di rumah ini," ujar Camilia dengan senyum. "Lagipula, kalau kau marah pada suamimu, jangan lampiaskan kemarahanmu itu padaku, Kak." "Murni, kemasi semua barang wanita ini, aku tidak ingin dia mengotori rumahku!" perintah Sara pada Murni yang berdiri dibelakangnya. "Baik, Nyonya," jawab Murni, ia langsung melaksanakan perintah Sara. "Apa-apaan ini! Kau tidak bisa mengusirku!" protes Camilia. Entah mendapat energi dari mana, Sara mampu menyeret wanita itu keluar dari rumah. "Pergi! Jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini!" tegas Sara sembari melempar koper milik Camilia. "Apa yang kau lakukan!?" Bagas yang baru pulang langsung geram dengan tingkah Sara. Sara tersenyum sarkastik saat melihat Camilia langsung merangsek memeluk Bagas dan menangis tersedu. Wanita itu mengadu pada Bagas kalau ia menuduh Camilia sebagai pencuri. "Kau benar-benar keterlaluan, Sara! Kau punya banyak perhiasan, apa tidak bisa kau berikan satu pada Camilia!?" bentak Bagas. "Tidak ada yang boleh menyentuh milikku!" ucap Sara penuh penekanan. Bagas murka, pandangannya tertuju pada Murni, tidak boleh ada seseorang yang berada di pihak Sara. "Murni! Kau dipecat! Pergi sekarang juga dari hadapanku!" "A-apa, Tuan?" Murni kebingungan. Bagas memerintahkan Aldo, sekretarisnya untuk membawa Murni pergi dengan mobil. Murni berontak. Meski begitu, tenaganya tetap kalah dengan kekuatan tangan Aldo yang begitu patuh pada sang tuan. "Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini!" teriak Sara. "Kenapa tidak!?" Bagas masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Sara mengikuti langkah suaminya, "Ke mana sekretarismu membawa Murni?! Suruh dia kembali sekarang juga!" Setelah mengambil kunci mobil, Bagas menatap Sara tajam, "Mulai detik ini, aku tidak akan pulang!" ucap Bagas dengan nada rendah tapi menusuk. Sara terdiam. Ia seperti déjà vu. Rasanya, ia pernah mengalami situasi ini di masa lalu. Situasi saat ia ditinggalkan oleh orang yang ia sayang, orang-orang yang ia anggap keluarga namun sebaliknya mereka menganggap dirinya sebagai beban. "Kau hanya beban bagi kami, Sara!" "Semua harta ayahmu jatuh ke tangan pamanmu karena wasiat bodoh yang dia buat! Dia bahkan tidak menyisakan satu rupiah pun untuk kita!" "Jangan salahkan kami! Salahkan Ayahmu yang mati tanpa meninggalkan harta!" "Evan berhak punya masa depan cerah! Jangan jadi penghalang untuknya!" Seketika perkataan sang ibu tiri yang telah ia lupakan kembali teringat. Lalu... sepenggal janji dari sang kakak tiri pun kembali terdengar di telinganya. "Sara, aku janji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Sadar pola itu berulang, seperti orang gila, Sara tersenyum. Senyum yang semula tipis itu perlahan berubah menjadi tawa. Akan tetapi, tidak beberapa lama, tawa terbahak itu pun berubah menjadi sebuah tangisan. "Pada akhirnya, aku ditinggalkan seorang diri."Dua tahun berlalu, begitu luar biasanya hal menyakitkan yang Sara lalui hingga mampu mengubah seseorang yang dulunya baik, ramah, periang menjadi seorang yang dingin, angkuh, perfectionis, serta minim empati. "Berani sekali kau menginjakan kaki di kantorku!" pekik Bagas pada Sara yang datang.Sara tersenyum sarkastik lalu berjalan dengan langkah tegas menuju meja sang suami diikuti oleh Aldo yang memohon padanya untuk pergi."Nona, tolong sebaiknya anda pulang sekarang," pinta Aldo selaku sekretaris Bagas yang berkeringat dingin karena jika pasutri ini bertemu pasti akan ada keributan dan ujungnya ia yang akan jadi pelampiasan amarah atasannya itu.Sara menghentikan langkah begitu sampai di depan meja dengan papan nama bertulis 'Direktur Utama Arya Bagas Rajendra'. "Apa salah jika seorang istri menemui suaminya?" tatap tajam Sara mengarah kepada Aldo.Aldo menelan ludah lalu memandang sang bos, "Saya sudah meminta Nona Sara menemui anda lain waktu, Pak. Tapi, Nona masuk begitu saja,
"Bagaimana tentang kerja sama yang kau tawarkan pada Sara's Boutique? Apa Sara setuju untuk bekerja sama dan membuka store di mall kita?" tanya Evan pada sekretarisnya. Evan tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Sara, hampir setiap hari pikirannya dipenuhi oleh seseorang yang masih ia anggap sebagai adik itu. Ia telah menugaskan Rian untuk mencari tahu segala hal tentang Sara beberapa bulan lalu. Namun, informasi yang Rian dapat sangat minim, hanya tentang Sara yang merupakan pemilik Sara's Boutique dan istri direktur utama Raja Group, kehidupan pribadi atau informasi lain tidak ada.Dengan cara kerja sama ini, ia ingin kembali menjalin hubungan baik dengan Sara dan menghapus kebencian Sara padanya."Awalnya Nona Sara menolak kerja sama itu. Tapi, setelah bernegosiasi, Nona Sara menyetujuinya," jawab Rian. "Kemungkinan besar peresmian pembukaan store akan dilaksanakan dua minggu lagi.""Apa dia akan datang ke peresmian itu?" tanya Evan dengan mata berbinar."Pasti datang, tidak mu
Aldo menghampiri Bagas dengan penuh kepanikan. "Video anda dan Nona Camilia beredar dimedia sosial," ucapnya seraya menyerahkan tab berisi berita itu pada sang atasan.Wajah Bagas merah padam, antara malu dan marah."Tim humas sudah menangani hal ini, akun itu sudah menghapus videonya. Tapi--" Aldo menggantung ucapannya sesaat. "Wartawan sudah melihatnya dan banyak sekali berita yang bermunculan padahal video itu diposting satu jam yang lalu dan dihapus tiga puluh menit setelahnya."Bagas menggebrak meja, ia sangat marah karena harga dirinya jatuh dan hancur. "Sara!" Hanya satu orang yang muncul dalam pikirannya.Aldo tidak mengerti mengapa atasannya ini menyebut nama nona Sara."Pasti dia yang menyebarkan video itu!" Bagas bergegas pergi untuk menemui Sara.***Sara pulang ke rumah setelah seharian penuh bekerja. Meski Rani, pelayan yang ia pekerjakan sejak dua tahun lalu menyambutnya, Sara tidak menunjukan sedikitpun sikap ramah.Sara tidak ingin banyak berinteraksi dengan orang lai
"ibu, di mana Nara? Di mana putriku?"Sara turun dari mobil dengan air mata berderai melihat kobaran api membara yang membakar villa tempat ia dan putrinya menginap. Ia menghampiri ibu mertuanya yang duduk di dekat gerbang dengan wajah shock, sendirian. Tidak ada Nara bersamanya.Sementara itu, di depan sana para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api. Ibu mertuanya tidak menjawab. Wanita itu memalingkan wajahnya.“Cari saja anakmu di tempat lain!” sahut kakak ipar Sara, membuatnya semakin kelimpungan.Dengan kaki gemetar, Sara menghampiri petugas pemadam. Ia mencoba bertanya dan mendesak masuk untuk menyelamatkan putrinya yang mungkin saja terjebak di sana. Meski awalnya Sara dicegah, entah kekuatan dari mana… wanita itu mampu menerobos penjagaan petugas. Langkah wanita itu terhenti, ketika dari dalam ruangan yang dikepung asap hitam, seorang petugas tampak membopong tubuh mungil yang ia yakini sebagai Nara.“Mama datang, Sayang… Nara. Mama di sini.”Kalimat itu t