Dua tahun berlalu, begitu luar biasanya hal menyakitkan yang Sara lalui hingga mampu mengubah seseorang yang dulunya baik, ramah, periang menjadi seorang yang dingin, angkuh, perfectionis, serta minim empati.
"Berani sekali kau menginjakan kaki di kantorku!" pekik Bagas pada Sara yang datang.
Sara tersenyum sarkastik lalu berjalan dengan langkah tegas menuju meja sang suami diikuti oleh Aldo yang memohon padanya untuk pergi.
"Nona, tolong sebaiknya anda pulang sekarang," pinta Aldo selaku sekretaris Bagas yang berkeringat dingin karena jika pasutri ini bertemu pasti akan ada keributan dan ujungnya ia yang akan jadi pelampiasan amarah atasannya itu.
Sara menghentikan langkah begitu sampai di depan meja dengan papan nama bertulis 'Direktur Utama Arya Bagas Rajendra'. "Apa salah jika seorang istri menemui suaminya?" tatap tajam Sara mengarah kepada Aldo.
Aldo menelan ludah lalu memandang sang bos, "Saya sudah meminta Nona Sara menemui anda lain waktu, Pak. Tapi, Nona masuk begitu saja, saya tidak bisa mencegahnya," ucap Aldo membela diri dan memang begitu adanya.
"Oh, anak anjing yang patuh," sindir Sara dengan senyum tipis.
"Pergilah," kata Bagas pada Aldo, ia masih duduk pada kursi kebesarannya.
"Baik, Pak," jawab Aldo kemudian berlalu pergi dengan tergesa dan menutup pintu.
"Katakan apa kepentinganmu," ucap Bagas yang kembali sibuk dengan laptop, tak sedikit pun memandang Sara.
Sara menatap bingkai foto diatas meja Bagas. Dulu, disana terdapat foto keluarga kecilnya, ia, Bagas, dan Nara. Namun kini foto itu hanya tinggal separuh menampilkan Bagas yang tengah menggendong Nara, sedang separuh foto yang merupakan gambar dirinya mungkin telah dirobek oleh pria yang masih berstatus sebagai suaminya ini.
"Dulu, kau lah yang paling antusias saat aku datang," kata Sara dengan tenang.
Bagas menggebrak meja, ia selalu saja terpancing emosi jika Sara mengungkit masa lalu. "Jika tidak ada yang perlu dibicarakan, silahkan pergi! Saat ini aku sedang berusaha menahan diri dan tetap bersikap sopan padamu!" Nada bicara Bagas penuh penekanan. "Apa perlu aku panggilkan security?!"
Sara menyalakan ponsel yang sejak tadi ia genggam lalu meletakan ponsel tersebut ke atas meja, dihadapan Bagas. "Jika kau masih punya malu, mintalah wanita murahan itu berhenti mengirimkan vidio ranjang kalian padaku."
Bagas meraih ponsel Sara, ia benar-benar murka melihat video itu sehingga dirinya bangkit dari tempat duduk lalu membanting ponsel istrinya, Bagas menunjuk Sara, "Beraninya kau--" Begitu marahnya Bagas sampai ia tidak mampu berkata-kata.
"Ini bukan pertama kalinya, sudah seringkali dia mengirimkan video seperti ini." Sara meraih ponselnya yang tergeletak diatas lantai lalu kembali menegapkan tubuh. "Jangan rusak reputasimu, video seperti ini mudah sekali tersebar, mungkin jika aku marah, aku bisa menyebarkannya."
"Berani mengancamku!? Kau akan tahu konsekuensi apa yang akan kau dapat jika berani melakukannya, Sara!" tegas Bagas.
"Aku tahu perselingkuhan ini hanya permainanmu, kau tidak benar-benar mencintai dia," ucap Sara.
"Cukup! Pergi sekarang!" Bagas menunjuk pintu, wajahnya merah padam.
"Kau hanya ingin menyakitiku. Seberapa jauh kau ingin menghancurkanku? Apa sekarang kau bahagia melihatku seperti ini?" Sara masih melanjutkan bicaranya meski ia tahu amarah sang suami sudah mencapai ubun-ubun.
"Pergi!" bentak Bagas.
"Tidak perlu berteriak, pendengaran ku masih bagus," ucap Sara kemudian berbalik. "Katakan pada selingkuhanmu, video seperti itu tidak sedikitpun mempengaruhiku." Setelah mengatakan hal tersebut, Sara pergi dari ruangan Bagas.
Begitu keluar dari ruangan Bagas, Sara duduk pada kursi milik Rama, sekretaris kedua Bagas, kebetulan letaknya berada di sebelah meja Aldo. "Aku lelah sekali, apa boleh aku duduk disini?" tanya Sara pada Aldo yang tampak canggung.
"I-iya." Meski Sara memberinya senyum, tetap saja Aldo merasa terintimidasi karena sikap Sara yang biasa kejam padanya.
"Meja ini kosong, apa Rama tidak masuk kerja?" Sara menyandarkan punggung.
"Tadi mengataiku anak anjing yang patuh, sekarang sok akrab," batin Aldo yang masih kesal. "Rama sudah tidak bekerja disini lagi," jawab Aldo penuh dengan kerendahan. Meski kesal, ia tidak berani bicara lancang.
"Oh iya, aku dengar gosipnya, karena dia tidak sengaja memergoki Bagas bermesraan dengan Camilia di kantor, dia dipecat," ucap Sara.
"Duh! Bu bos kapan perginya sih!?" Lagi dan lagi Aldo membatin karena aura di ruangan ini berubah suram.
Sara tahu apa yang Aldo pikirkan, "Aku akan pergi kok," kata Sara dengan senyum yang seketika membuat Aldo salah tingkah. "Jika ada waktu luang, datanglah ke butik, aku akan berikan setelan jas untukmu." Sara berdiri dari tempatnya duduk lalu mendekat kearah meja Aldo.
Aldo panik. Tapi, dia berusaha tetap tenang meski dahinya jelas berkeringat.
"Pasti sangat melelahkan menjaga rahasia perselingkuhan atasanmu, aku akan memberikan jas itu sebagai hadiah atas kerja kerasmu." Sara tersenyum melihat lawan bicaranya pucat pasi. Ia kemudian berlalu dari ruangan itu.
Sara sampai di depan lift yang akan membawanya menuju lantai satu. Akan tetapi, saat lift itu terbuka, ia justru bertemu dengan seseorang yang tidak asing.
"Sara," gumam Evan, wajah yang familiar, wajah seseorang yang ia rindukan, Evan mengenali orang yang berdiri satu meter dihadapannya adalah Sarasvati Hartanto, adik tiri yang ia tinggalkan lima belas tahun yang lalu. Evan baru kembali dari luar negeri sebulan lalu dan ingin sekali mencari Sara. Namun, dirinya yang diberi tanggung jawab besar mengurus perusahaan serta sederet pekerjaan yang harus ditangani secepat mungkin membuatnya belum sempat mencari Sara.
Perasaan Sara telah mati, pertemuan seperti ini tak lagi mengharukan. Sedih, senang, marah, kecewa, atau apapun itu, ia tak lagi merasakannya. Sara memilih berlalu dari hadapan Evan menuju tangga darurat karena enggan menghadapi situasi yang menurutnya merepotkan.
Evan sangat yakin wanita yang baru ditemuinya adalah Sara. Tanpa pikir panjang, Evan langsung berlari dan menarik pergelangan tangan Sara, "Sara? Benar! Kamu Sara." Mata Evan berkaca-kaca karena ia begitu senang dan lega.
"Lalu?" Berbeda dengan Evan, Sara justru memberikan tatapan dingin tanpa menunjukan ekspresi apapun, tidak tertarik.
"Kamu marah? Aku tahu kamu kecewa. Tapi, dengar dulu penjelasanku--"
"Tidak perlu." Sara memotong perkataan Evan. "Akan lebih baik jika kita bersikap seperti orang yang tidak pernah saling kenal, aku tidak menyukai semua yang berkaitan dengan masa lalu." Sikap Sara sangat dingin.
Entah mengapa, perkataan Sara membuat Evan sedih.
Genggaman tangan Evan melemah dan Sara menarik tangannya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sara berlalu begitu saja tanpa peduli pada Evan.
Sara sudah tidak tertarik lagi pada sebuah hubungan entah itu keluarga, pasangan, ataupun pertemanan.
"Apa kau begitu membenciku, Sara?" Evan menatap Sara yang sudah jauh dari pandangannya.
"Pak Bagas sudah menunggu kita," ucap Rian, sekretaris Evan.
"Baiklah," jawab Evan yang berbalik lalu melangkah dengan langkah berat.
"Maaf jika lancang, apa anda mengenal istri Pak Bagas?" tanya Rian yang berjalan di belakang.
"Istri Pak Bagas?" Evan berbalik tanya.
"Wanita tadi, Nona Sarasvati, beliau istri Pak Bagas," jawab Rian yang membuat Evan menghentikan langkah sesaat sebelum akhirnya kembali melangkah menuju ruangan Direktur Utama Raja Group.
"Bagaimana tentang kerja sama yang kau tawarkan pada Sara's Boutique? Apa Sara setuju untuk bekerja sama dan membuka store di mall kita?" tanya Evan pada sekretarisnya. Evan tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Sara, hampir setiap hari pikirannya dipenuhi oleh seseorang yang masih ia anggap sebagai adik itu. Ia telah menugaskan Rian untuk mencari tahu segala hal tentang Sara beberapa bulan lalu. Namun, informasi yang Rian dapat sangat minim, hanya tentang Sara yang merupakan pemilik Sara's Boutique dan istri direktur utama Raja Group, kehidupan pribadi atau informasi lain tidak ada.Dengan cara kerja sama ini, ia ingin kembali menjalin hubungan baik dengan Sara dan menghapus kebencian Sara padanya."Awalnya Nona Sara menolak kerja sama itu. Tapi, setelah bernegosiasi, Nona Sara menyetujuinya," jawab Rian. "Kemungkinan besar peresmian pembukaan store akan dilaksanakan dua minggu lagi.""Apa dia akan datang ke peresmian itu?" tanya Evan dengan mata berbinar."Pasti datang, tidak mu
Aldo menghampiri Bagas dengan penuh kepanikan. "Video anda dan Nona Camilia beredar dimedia sosial," ucapnya seraya menyerahkan tab berisi berita itu pada sang atasan.Wajah Bagas merah padam, antara malu dan marah."Tim humas sudah menangani hal ini, akun itu sudah menghapus videonya. Tapi--" Aldo menggantung ucapannya sesaat. "Wartawan sudah melihatnya dan banyak sekali berita yang bermunculan padahal video itu diposting satu jam yang lalu dan dihapus tiga puluh menit setelahnya."Bagas menggebrak meja, ia sangat marah karena harga dirinya jatuh dan hancur. "Sara!" Hanya satu orang yang muncul dalam pikirannya.Aldo tidak mengerti mengapa atasannya ini menyebut nama nona Sara."Pasti dia yang menyebarkan video itu!" Bagas bergegas pergi untuk menemui Sara.***Sara pulang ke rumah setelah seharian penuh bekerja. Meski Rani, pelayan yang ia pekerjakan sejak dua tahun lalu menyambutnya, Sara tidak menunjukan sedikitpun sikap ramah.Sara tidak ingin banyak berinteraksi dengan orang lai
"ibu, di mana Nara? Di mana putriku?"Sara turun dari mobil dengan air mata berderai melihat kobaran api membara yang membakar villa tempat ia dan putrinya menginap. Ia menghampiri ibu mertuanya yang duduk di dekat gerbang dengan wajah shock, sendirian. Tidak ada Nara bersamanya.Sementara itu, di depan sana para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api. Ibu mertuanya tidak menjawab. Wanita itu memalingkan wajahnya.“Cari saja anakmu di tempat lain!” sahut kakak ipar Sara, membuatnya semakin kelimpungan.Dengan kaki gemetar, Sara menghampiri petugas pemadam. Ia mencoba bertanya dan mendesak masuk untuk menyelamatkan putrinya yang mungkin saja terjebak di sana. Meski awalnya Sara dicegah, entah kekuatan dari mana… wanita itu mampu menerobos penjagaan petugas. Langkah wanita itu terhenti, ketika dari dalam ruangan yang dikepung asap hitam, seorang petugas tampak membopong tubuh mungil yang ia yakini sebagai Nara.“Mama datang, Sayang… Nara. Mama di sini.”Kalimat itu t
“Apa?!” Sara sukses membelalak mendengar pengakuan wanita cantik berambut pirang yang dibawa Bagas, suaminya.Luka akibat kehilangan putri semata wayangnya belum sembuh, tetapi Bagas justru menabur garam pada lukanya yang masih mengaga.Melihat Bagas yang diam saja, membuat Sara semakin murka. "Jika mau berselingkuh lakukan dibelakang! Kenapa kau terang-terangan membawanya kemari!?" protes Sara pada Bagas. "Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan wanita itu tinggal disini!" lanjut Sara dengan tegas.Seperti biasa, sikap dan tatapan Bagas pada Sara begitu dingin, penuh kebencian. Rasa cinta yang dulu memenuhi hatinya sirna setelah kesalahan yang Sara lakukan. "Aku tidak perlu izinmu untuk membawa siapapun tinggal di sini! Kalau tidak suka, kau boleh pergi kapan saja!"Mata Sara berkaca-kaca, ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga berdarah untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Sara tidak mau terlihat lemah. "Jangan lupa bahwa aku masih istrimu!""Kau juga seharusnya tidak lupa
Aldo menghampiri Bagas dengan penuh kepanikan. "Video anda dan Nona Camilia beredar dimedia sosial," ucapnya seraya menyerahkan tab berisi berita itu pada sang atasan.Wajah Bagas merah padam, antara malu dan marah."Tim humas sudah menangani hal ini, akun itu sudah menghapus videonya. Tapi--" Aldo menggantung ucapannya sesaat. "Wartawan sudah melihatnya dan banyak sekali berita yang bermunculan padahal video itu diposting satu jam yang lalu dan dihapus tiga puluh menit setelahnya."Bagas menggebrak meja, ia sangat marah karena harga dirinya jatuh dan hancur. "Sara!" Hanya satu orang yang muncul dalam pikirannya.Aldo tidak mengerti mengapa atasannya ini menyebut nama nona Sara."Pasti dia yang menyebarkan video itu!" Bagas bergegas pergi untuk menemui Sara.***Sara pulang ke rumah setelah seharian penuh bekerja. Meski Rani, pelayan yang ia pekerjakan sejak dua tahun lalu menyambutnya, Sara tidak menunjukan sedikitpun sikap ramah.Sara tidak ingin banyak berinteraksi dengan orang lai
"Bagaimana tentang kerja sama yang kau tawarkan pada Sara's Boutique? Apa Sara setuju untuk bekerja sama dan membuka store di mall kita?" tanya Evan pada sekretarisnya. Evan tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Sara, hampir setiap hari pikirannya dipenuhi oleh seseorang yang masih ia anggap sebagai adik itu. Ia telah menugaskan Rian untuk mencari tahu segala hal tentang Sara beberapa bulan lalu. Namun, informasi yang Rian dapat sangat minim, hanya tentang Sara yang merupakan pemilik Sara's Boutique dan istri direktur utama Raja Group, kehidupan pribadi atau informasi lain tidak ada.Dengan cara kerja sama ini, ia ingin kembali menjalin hubungan baik dengan Sara dan menghapus kebencian Sara padanya."Awalnya Nona Sara menolak kerja sama itu. Tapi, setelah bernegosiasi, Nona Sara menyetujuinya," jawab Rian. "Kemungkinan besar peresmian pembukaan store akan dilaksanakan dua minggu lagi.""Apa dia akan datang ke peresmian itu?" tanya Evan dengan mata berbinar."Pasti datang, tidak mu
Dua tahun berlalu, begitu luar biasanya hal menyakitkan yang Sara lalui hingga mampu mengubah seseorang yang dulunya baik, ramah, periang menjadi seorang yang dingin, angkuh, perfectionis, serta minim empati. "Berani sekali kau menginjakan kaki di kantorku!" pekik Bagas pada Sara yang datang.Sara tersenyum sarkastik lalu berjalan dengan langkah tegas menuju meja sang suami diikuti oleh Aldo yang memohon padanya untuk pergi."Nona, tolong sebaiknya anda pulang sekarang," pinta Aldo selaku sekretaris Bagas yang berkeringat dingin karena jika pasutri ini bertemu pasti akan ada keributan dan ujungnya ia yang akan jadi pelampiasan amarah atasannya itu.Sara menghentikan langkah begitu sampai di depan meja dengan papan nama bertulis 'Direktur Utama Arya Bagas Rajendra'. "Apa salah jika seorang istri menemui suaminya?" tatap tajam Sara mengarah kepada Aldo.Aldo menelan ludah lalu memandang sang bos, "Saya sudah meminta Nona Sara menemui anda lain waktu, Pak. Tapi, Nona masuk begitu saja,
“Apa?!” Sara sukses membelalak mendengar pengakuan wanita cantik berambut pirang yang dibawa Bagas, suaminya.Luka akibat kehilangan putri semata wayangnya belum sembuh, tetapi Bagas justru menabur garam pada lukanya yang masih mengaga.Melihat Bagas yang diam saja, membuat Sara semakin murka. "Jika mau berselingkuh lakukan dibelakang! Kenapa kau terang-terangan membawanya kemari!?" protes Sara pada Bagas. "Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan wanita itu tinggal disini!" lanjut Sara dengan tegas.Seperti biasa, sikap dan tatapan Bagas pada Sara begitu dingin, penuh kebencian. Rasa cinta yang dulu memenuhi hatinya sirna setelah kesalahan yang Sara lakukan. "Aku tidak perlu izinmu untuk membawa siapapun tinggal di sini! Kalau tidak suka, kau boleh pergi kapan saja!"Mata Sara berkaca-kaca, ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga berdarah untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Sara tidak mau terlihat lemah. "Jangan lupa bahwa aku masih istrimu!""Kau juga seharusnya tidak lupa
"ibu, di mana Nara? Di mana putriku?"Sara turun dari mobil dengan air mata berderai melihat kobaran api membara yang membakar villa tempat ia dan putrinya menginap. Ia menghampiri ibu mertuanya yang duduk di dekat gerbang dengan wajah shock, sendirian. Tidak ada Nara bersamanya.Sementara itu, di depan sana para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api. Ibu mertuanya tidak menjawab. Wanita itu memalingkan wajahnya.“Cari saja anakmu di tempat lain!” sahut kakak ipar Sara, membuatnya semakin kelimpungan.Dengan kaki gemetar, Sara menghampiri petugas pemadam. Ia mencoba bertanya dan mendesak masuk untuk menyelamatkan putrinya yang mungkin saja terjebak di sana. Meski awalnya Sara dicegah, entah kekuatan dari mana… wanita itu mampu menerobos penjagaan petugas. Langkah wanita itu terhenti, ketika dari dalam ruangan yang dikepung asap hitam, seorang petugas tampak membopong tubuh mungil yang ia yakini sebagai Nara.“Mama datang, Sayang… Nara. Mama di sini.”Kalimat itu t