"ibu, di mana Nara? Di mana putriku?"
Sara turun dari mobil dengan air mata berderai melihat kobaran api membara yang membakar villa tempat ia dan putrinya menginap. Ia menghampiri ibu mertuanya yang duduk di dekat gerbang dengan wajah shock, sendirian. Tidak ada Nara bersamanya. Sementara itu, di depan sana para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api. Ibu mertuanya tidak menjawab. Wanita itu memalingkan wajahnya. “Cari saja anakmu di tempat lain!” sahut kakak ipar Sara, membuatnya semakin kelimpungan. Dengan kaki gemetar, Sara menghampiri petugas pemadam. Ia mencoba bertanya dan mendesak masuk untuk menyelamatkan putrinya yang mungkin saja terjebak di sana. Meski awalnya Sara dicegah, entah kekuatan dari mana… wanita itu mampu menerobos penjagaan petugas. Langkah wanita itu terhenti, ketika dari dalam ruangan yang dikepung asap hitam, seorang petugas tampak membopong tubuh mungil yang ia yakini sebagai Nara. “Mama datang, Sayang… Nara. Mama di sini.” Kalimat itu terucap sebelum Sara kehilangan kesadarannya sebab mendapati sang putri sudah tidak bernyawa. Sara sempat dibawa ke rumah sakit. Namun ketika sadar dan menemukan kabar kematian putrinya adalah hal yang nyata, wanita itu bergegas pulang ke rumah. Untuk terakhir kali… Sara ingin memeluk tubuh mungil putrinya. Ia ingin meminta maaf, sebab tidak berada di samping putri kecilnya. Begitu sampai di kediamannya dan juga suami, tampak ruang tamu mereka yang biasanya rapi kini porak-poranda. Terlihat juga di sana Bagas, suami Sara, terduduk di sofa dengan wajah lesu. Mata pria itu sembab, dengan rambut acak-acakan. Kemeja putih yang biasanya bersih itu kusut dengan noda-noda tanah di beberapa bagian. “B-bagas….” Air mata Sara luruh seketika. Ia menduga, Bagas sangat terpukul akan kepergian Nara, anak mereka. Namun, reaksi Bagas berikutnya justru membuat Sara heran. Pria itu menatap Sara dengan tatapan dingin penuh kebencian. Pria itu menghampiri Sara dengan ekspresi murka, kemudian menarik kerah baju sang istri dan memojokkannya dengan kasar hingga membentur dinding. “Dasar pembunuh! Kau telah membunuh anakku, Sara!!” Cengkeraman Bagas di leher Sara benar-benar kuat, hingga membuat wanita itu sulit berkata. ART yang tadi menemani Sara dari rumah sakit mencoba melerai, tetapi tatapan membunuh yang diberikan Bagas kemudian menahannya. “B-bagas, N-nara di….” Menahan sesak dan sakit di kerongkongan, Sara berusaha bersuara. Wajah Bagas berubah begitu bengis. Ia menyentak tangannya kasar hingga membuat Sara tersungkur ke lantai. Pria itu menyejajarkan tubuhnya dengan Sara, lalu menatap wanita itu dengan kebencian yang semakin berkobar. "Setelah apa yang kau lakukan, masih berani kau menyebut nama anakku?!" nada bicara Bagas rendah tapi penuh penekanan. "Kau berkeliaran ke mana saja sampai meninggalkan Nara sendirian!? Apa sesusah itu duduk di samping putrimu sendiri?!" Gelengan kepala Sara muncul seketika. Ia berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya, meski semua hal seolah menyerang dan memosisikannya sebagai tersangka. "Aku tidak pernah ingin meninggalkan Nara, aku pergi karena ibu memberiku perintah untuk menjemput Hans." Diam-diam, Sara merasa takut pada sorot mata Bagas yang seolah ingin membunuhnya. "Bohong!" bentak Bagas hingga suaranya menggema. "Aku tidak bohong." Sara menunduk, air matanya berjatuhan membasahi lutut. Sejak dulu, tepatnya sejak Sara menikah, perintah ibu mertuanya adalah hal yang mutlak. Bukan hanya Sara, bahkan Bagas sangat memprioritaskan perkataan ibunya di atas apa pun. Bagas terbahak meski tawa itu tidak bisa menyembunyikan kekecewaan pada raut wajahnya. "Pembohong! Berhenti menyalahkan orang lain atas kesalahanmu!" Sara menatap Bagas dengan tatapan tidak percaya, suami yang begitu hangat dan selalu melindunginya kini menuduhnya sebagai pembohong. "Apa yang aku bicarakan adalah fakta."Bagas geram, ia mengepalkan tangan lalu mengangkat tangannya keudara, bersiap memberi pukulan pada Sara.
Namun, ia mengurungkan niat lalu menghantamkan kepalan tangannya ke tembok, tepat di samping wajah Sara. "Hentikan omong kosongmu, Sara! Kakakku dan istrinya bahkan tidak ikut liburan keluarga karena sedang di luar kota!" ucap Bagas penuh penekanan kemudian menegapkan tubuh.Mata Sara lantas membelalak. Jelas-jelas ia menjemput Hans dan istrinya. Bahkan ketika kebakaran itu terjadi, dua kakak iparnya itu ada di sana, sedang menenangkan sang mertua.
"Bohong! Mereka berbohong! Aku sendiri yang menjemput mereka, mobil mereka mogok dan--""Berhenti bertingkah menjijikan, Sara! Aku lebih tahu kakakku lebih dari siapapun!” potong Bagas, masih dengan nada tingginya. Setelah itu, ia berdiri dan menatap nyalang ke arah sang istri. “Nara sudah dimakamkan di makam keluarga. Dan kuperingatkan kau, jangan pernah injakan kaki kotormu di sana!"
Setelahnya, Bagas berlalu pergi. Sara tercekat, ia tidak mampu lagi berkata-kata. Sejak hari itu, kehidupan Sara berubah tragis. Bagas selalu pulang dalam keadaan mabuk. Tidak ada lagi Bagas yang penuh kasih, sebab tiap kali Sara mencoba mendekati sang suami, Bagas akan langsung murka. Tidak jarang, pria itu akan melemparkan barang ketika Sara mendekat.Hingga lima bulan berlalu, sebuah kejadian yang tidak pernah dibayangkan Sara terjadi.
Kali ini, dalam keadaan sadar, Bagas pulang ke rumah dengan membawa seorang wanita. “Siapa dia, Bagas? Kenapa kau membawanya ke sini?” tanya Sara dengan pandangan meneliti.Lalu, dengan angkuhnya, wanita yang tengah menggamit mesra lengan Bagas itu menjawab, “Halo, Sara. Aku… kekasih Bagas. Dan mulai sekarang, aku akan tinggal di sini.”
“Apa?!” Sara sukses membelalak mendengar pengakuan wanita cantik berambut pirang yang dibawa Bagas, suaminya.Luka akibat kehilangan putri semata wayangnya belum sembuh, tetapi Bagas justru menabur garam pada lukanya yang masih mengaga.Melihat Bagas yang diam saja, membuat Sara semakin murka. "Jika mau berselingkuh lakukan dibelakang! Kenapa kau terang-terangan membawanya kemari!?" protes Sara pada Bagas. "Sampai kapan pun aku tidak akan membiarkan wanita itu tinggal disini!" lanjut Sara dengan tegas.Seperti biasa, sikap dan tatapan Bagas pada Sara begitu dingin, penuh kebencian. Rasa cinta yang dulu memenuhi hatinya sirna setelah kesalahan yang Sara lakukan. "Aku tidak perlu izinmu untuk membawa siapapun tinggal di sini! Kalau tidak suka, kau boleh pergi kapan saja!"Mata Sara berkaca-kaca, ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga berdarah untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Sara tidak mau terlihat lemah. "Jangan lupa bahwa aku masih istrimu!""Kau juga seharusnya tidak lupa
Dua tahun berlalu, begitu luar biasanya hal menyakitkan yang Sara lalui hingga mampu mengubah seseorang yang dulunya baik, ramah, periang menjadi seorang yang dingin, angkuh, perfectionis, serta minim empati. "Berani sekali kau menginjakan kaki di kantorku!" pekik Bagas pada Sara yang datang.Sara tersenyum sarkastik lalu berjalan dengan langkah tegas menuju meja sang suami diikuti oleh Aldo yang memohon padanya untuk pergi."Nona, tolong sebaiknya anda pulang sekarang," pinta Aldo selaku sekretaris Bagas yang berkeringat dingin karena jika pasutri ini bertemu pasti akan ada keributan dan ujungnya ia yang akan jadi pelampiasan amarah atasannya itu.Sara menghentikan langkah begitu sampai di depan meja dengan papan nama bertulis 'Direktur Utama Arya Bagas Rajendra'. "Apa salah jika seorang istri menemui suaminya?" tatap tajam Sara mengarah kepada Aldo.Aldo menelan ludah lalu memandang sang bos, "Saya sudah meminta Nona Sara menemui anda lain waktu, Pak. Tapi, Nona masuk begitu saja,
"Bagaimana tentang kerja sama yang kau tawarkan pada Sara's Boutique? Apa Sara setuju untuk bekerja sama dan membuka store di mall kita?" tanya Evan pada sekretarisnya. Evan tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Sara, hampir setiap hari pikirannya dipenuhi oleh seseorang yang masih ia anggap sebagai adik itu. Ia telah menugaskan Rian untuk mencari tahu segala hal tentang Sara beberapa bulan lalu. Namun, informasi yang Rian dapat sangat minim, hanya tentang Sara yang merupakan pemilik Sara's Boutique dan istri direktur utama Raja Group, kehidupan pribadi atau informasi lain tidak ada.Dengan cara kerja sama ini, ia ingin kembali menjalin hubungan baik dengan Sara dan menghapus kebencian Sara padanya."Awalnya Nona Sara menolak kerja sama itu. Tapi, setelah bernegosiasi, Nona Sara menyetujuinya," jawab Rian. "Kemungkinan besar peresmian pembukaan store akan dilaksanakan dua minggu lagi.""Apa dia akan datang ke peresmian itu?" tanya Evan dengan mata berbinar."Pasti datang, tidak mu
Aldo menghampiri Bagas dengan penuh kepanikan. "Video anda dan Nona Camilia beredar dimedia sosial," ucapnya seraya menyerahkan tab berisi berita itu pada sang atasan.Wajah Bagas merah padam, antara malu dan marah."Tim humas sudah menangani hal ini, akun itu sudah menghapus videonya. Tapi--" Aldo menggantung ucapannya sesaat. "Wartawan sudah melihatnya dan banyak sekali berita yang bermunculan padahal video itu diposting satu jam yang lalu dan dihapus tiga puluh menit setelahnya."Bagas menggebrak meja, ia sangat marah karena harga dirinya jatuh dan hancur. "Sara!" Hanya satu orang yang muncul dalam pikirannya.Aldo tidak mengerti mengapa atasannya ini menyebut nama nona Sara."Pasti dia yang menyebarkan video itu!" Bagas bergegas pergi untuk menemui Sara.***Sara pulang ke rumah setelah seharian penuh bekerja. Meski Rani, pelayan yang ia pekerjakan sejak dua tahun lalu menyambutnya, Sara tidak menunjukan sedikitpun sikap ramah.Sara tidak ingin banyak berinteraksi dengan orang lai