“Aku ada urusan!” balas Faisal sekenanya.
“Iya, aku tadi kan tanya urusan apa yang lebih penting dari nganterin istri kamu ke bidan buat periksa kandungan?!” sindir Farhan, lalu dia menoleh pada Nur. “Ibu tahu, minggu kemarin Mas Faisal ngapain?”
Nur hanya diam, mengingat saat itu Faisal memang berada di rumah tanpa kesibukan apapun.
“Minggu kemarin aku sempet liat Mas sebelum aku pergi ke minimarket, kayaknya Mas gak ngapa-ngapain kan? Makanya aku heran, pas balik dari minimarket malah jetemu mbak Alisha duduk sendirian nunggu angkot. Kenapa mbak mbak Alisha dibiarin pergi sendiri? Panas-panasan lagi,” lanjut Farhan, merasa semakin kesal. “Terus sekarang aku yang salah, karena nganter mbak Alisha?”
“Terus kamu mau nyalahin siapa kalau sekarang kamu digosipin orang sekampung? Mau nyalahin aku, iya?!” bentak Faisal.
“Aku nggak nyalahin kamu, Mas! Aku cuma minta pengertian
Alisha merasa tak tahan jika hanya memerhatikan keakraban antara Faisal dan perempuan lain. Alisha akhirnya memutuskan untuk keluar kamar, kemudian melangkah menuju ruang tamu di mana Faisal masih asyik berbincang dengan seorang wanita cantik berlesung pipi itu. Wajah Faisal berseri-seri, dipenuhi senyuman yang membuat Alisha semakin merasa cemburu.“Ada tamu? Siapa, Mas?” tanya Alisha begitu tiba di ruang tamu.Faisal dengan tenang memperkenalkan, “Ini Bu Rahma. Salah satu guru di sekolah tempatku mengajar, guru Bahasa Indonesia.”Rahma dengan sopan berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Alisha. “Rahma,” wanita itu memperkenalkan diri.Alisha pun menyambut uluran tangan itu dengan canggung, mencoba menyembunyikan perasaan cemburunya. “Alisha.”Setelah Rahma kembali duduk, Alisha tetap diam. Faisal menatap Alisha dengan sedikit keheranan, “Ngapain bengong? Bikinin minum sana,&
Alisha semakin merasa terpinggirkan sejak Nur mengenal Rahma. Alisha tak tahu bagaimana awal mulanya hingga Nur jadi sangat dekat dengan teman perempuan suaminya itu. Dalam bulan ini, Rahma beberapa kali datang berkunjung atas permintaan Nur— wanita itu membawakan bermacam-macam kue kering atau pun masakan yang dia olah sendiri. Membuat Nur semakin menyukai wanita itu. Farida pun mulai merasa nyaman dengan kehadiran Rahma, bahkan hingga pergi jalan-jalan bersama. Alisha merasa dadanya terasa sesak, seakan terpenjara dalam kecemburuan yang tak terungkapkan.Suatu malam, saat mereka duduk bersama di meja makan, Nur memuji Rahma dengan penuh kagum. “Rahma itu baik banget ya, Ibu jadi nggak enak sama dia— tiap datang ke sini pasti ada aja yang dia bawa,” ujar Nur.Alisha mencoba menahan gejolak emosinya, namun dalam diam, hatinya berteriak karena rasa kecewanya.“Iya, Bu. Mbak Rahma emang baik banget. Kemarin aja nih, pas aku bikin stor
Farhan tiba di depan sebuah butik mode yang megah, dengan bangunan yang tinggi dan modern— terlihat menonjol di antara bangunan sekitarnya. Cahaya matahari menyinari kaca-kaca besar yang menghiasi fasad butik, menciptakan kilauan yang mengundang pelanggan untuk datang. Logo butik bertuliskan ‘Cantika Maharani’ yang elegan terpampang dengan jelas di pintu masuk, menunjukkan keanggunan merek tersebut. Setelah memarkir motornya di tempat yang disediakan, Farhan mengamati sekitar dengan kagum, terpesona oleh keriuhan aktivitas yang terjadi di sekitar butik. Para pelanggan keluar masuk dari butik dengan tangan penuh tas belanja, sementara beberapa pengunjung lainnya berhenti sejenak untuk memeriksa pajangan terbaru di jendela butik. Farhan melangkah masuk ke dalam, disambut oleh suara lembut musik latar yang mengalun dari dalam. Interior butik didominasi oleh rak-rak berisi pakaian dan aksesori desainer yang ditempatkan dengan indah, menarik mata setiap pengunjung yang masuk. “Selamat da
Alisha berjalan cepat keluar dari pasar, memegang erat sekantong belanjaan yang baru saja dia dapatkan. Langkahnya tergesa-gesa, menyadari bahwa matahari sudah semakin tinggi. Sebelumnya, Alisha terlambat bangun hingga membuat Nur marah— terlebih saat wanita baya itu tahu jika persediaan bahan makanan di kulkas sudah habis. Dengan perasaan gelisah, Alisha bergegas pergi ke pasar untuk membeli persediaan makanan yang baru. Dia tidak ingin membuat Nur marah lagi, meski sepertinya belakangan ini wanita baya itu memang selalu kesal pada Alisha, bahkan ketika dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alisha mempercepat langkahnya. Rumah seharusnya tidak terlalu jauh dari pasar. Namun, perjalanan pulang kali ini agak terganggu oleh keributan di tepi jalan. Orang-orang berkerumun di sekitar sedan hitam yang tampaknya baru saja mengalami kecelakaan. Alisha merasa iba melihat kondisi mobil yang sudah ringsek itu, terdampar di dekat pembatas jalan setelah tabrakan. "Innalillahi," gumam Alisha, me
Farhan sudah mulai sibuk bekerja di butik, duduk di meja kerjanya di sudut ruangan. Dia merasa lega karena permintaannya untuk bekerja secara offline langsung disetujui oleh Cantika. Bahkan Cantika dengan sigap menyiapkan segala kebutuhan Farhan, seperti meja kerja lengkap dengan perangkat komputer dan lainnya.Saat ini, Farhan sibuk dengan berkas desain tersebar di depannya. Dengan menggigit ujung pensilnya, dia memikirkan cara terbaik untuk merealisasikan ide-idenya dalam koleksi terbaru. Di sebelahnya ada Rani, salah seorang penjahit yang bekerja untuk butik Cantika, duduk dengan jarum dan benang di tangannya, siap untuk mendengarkan instruksi dari Farhan.“Rani, menurutmu gimana? Potongan kerah ini bagus gak?” tanya Farhan sambil menunjukkan sketsa desain yang baru saja dia buat.Rani mengamati sketsa itu, mengangguk pelan. “Aku suka ide kerah yang lebih lebar seperti itu. Bakal kasih sentuhan yang lebih modern pada pakaian.”“Aku juga mikir gitu,” kata Farhan, meletakkan pensilny
Alisha duduk di kursi koridor rumah sakit dengan wajah gelisah, matanya terus mengawasi pintu masuk ruang gawat darurat. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi Dion, terutama setelah melihat pemuda itu muntah darah tadi. Hatinya berharap agar Dion bisa selamat dari kecelakaan tersebut.Tak lama kemudian, pintu IGD terbuka dan dokter serta perawat keluar dari sana. Alisha segera bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati mereka dengan langkah cepat.“Dok, gimana keadaan Mas Dion?” tanya Alisha dengan suara agak gemetar.“Pasien mengalami cidera kepala dan pendarahan internal pada lambung yang cukup serius. Setelah ini pasien akan kami pindahkan ke Unit Perawatan Intensif untuk kami lakukan perawatan medis intensif dan monitoring ketat,” jawab dokter paruh baya dengan suara yang tenang.“Tolong lakukan yang terbaik, Dok,” ucap Alisha.“Pasti kami akan lakukan yang terbaik demi menyelamatkan pasien. Kami permisi dulu,” kata dokter tersebut sebelum dia dan perawatnya meningga
Nur melongok dari jendela rumahnya saat melihat Alisha turun dari ojek tanpa membawa apa pun. Nur pun bergegas keluar rumah. “Mana belanjaan kamu?” tanya Nur dengan nada heran.Alisha berjalan mendekati Nur yang berdiri di halaman rumah dengan wajah kesal, “Maaf bu, belanjaan aku tadi hilang di jalan,” jawab Alisha, agak takut-takut membayangkan kemarahan ibu mertuanya.Nur melotot tak habis pikir. “Kok bisa hilang sih, Alisha? Kamu tadi belanja apa tidur di pasar sih? Bisa bisanya hilang? Atau jangan-jangan kamu bohongin ibu? Sebenernya uangnya gak kamu belanjain? Makanya jam segini kamu baru pulang.”“Beneran, Bu, tadi belanjaannya hilang waktu aku nolongin kenalan aku yang kecelakaan di jalan,” jelas Alisha dengan nada memohon pengertian. “Tadi aku juga udah nelpon mas Faisal buat jelasin kejadiannya.”Nur menatap Alisha dengan tatapan tidak percaya. “Alisha, ibu ini ada darah tinggi, kenapa sih, tiap hari kamu selalu aja bikin ibu emosi?”“Aku bener-bener minta maaf, Bu. Aku gak m
Hingga larut malam, Alisha tak bisa tidur. Kata-kata talak yang dilontarkan Faisal seolah terus berputar di kepalanya, menyiksanya tanpa henti. Alisha membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur, merasa perutnya menegang dan agak sakit. Mungkin dia sudah terlalu stres, hingga janinnya pun mulai merespons karena merasa tidak nyaman.Alisha mengelus perutnya dengan lembut, seolah ingin menenangkan janin yang ada di dalam sana. “Kenapa, Sayang? Kamu takut ditinggalin ayah?” Bisiknya dengan lembut. “Kita berdoa saja, semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk kita berdua.”Sementara itu, di ruang tengah, Faisal duduk dengan serius bersama Nur dan Farida, mereka terlibat dalam diskusi yang mendalam.“Sebenernya dari kapan hari aku udah mikir buat pisah sama Alisha, Bu,” ungkap Faisal dengan nada tegang. “Tapi aku juga butuh pendapat ibu, sebagai orangtua, menurut ibu gimana?”Nur terdiam sejenak, seolah tengah merenung. “Di dunia ini gak ada orangtua yang pengen rumah tangga anaknya berantak
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis