Hingga larut malam, Alisha tak bisa tidur. Kata-kata talak yang dilontarkan Faisal seolah terus berputar di kepalanya, menyiksanya tanpa henti. Alisha membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur, merasa perutnya menegang dan agak sakit. Mungkin dia sudah terlalu stres, hingga janinnya pun mulai merespons karena merasa tidak nyaman.Alisha mengelus perutnya dengan lembut, seolah ingin menenangkan janin yang ada di dalam sana. “Kenapa, Sayang? Kamu takut ditinggalin ayah?” Bisiknya dengan lembut. “Kita berdoa saja, semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk kita berdua.”Sementara itu, di ruang tengah, Faisal duduk dengan serius bersama Nur dan Farida, mereka terlibat dalam diskusi yang mendalam.“Sebenernya dari kapan hari aku udah mikir buat pisah sama Alisha, Bu,” ungkap Faisal dengan nada tegang. “Tapi aku juga butuh pendapat ibu, sebagai orangtua, menurut ibu gimana?”Nur terdiam sejenak, seolah tengah merenung. “Di dunia ini gak ada orangtua yang pengen rumah tangga anaknya berantak
“Kamu emang paling jago playing victim! Di balik muka kamu yang lugu, nyatanya kamu pinter banget akting,” dengus Faisal dengan nada menyalahkan.Alisa makin merasa dadanya sesak. “Selama ini aku udah cukup sabar ngadepin kamu, Mas. Kamu selalu nuduh aku sembarangan—kamu fitnah aku berkali-kali, bahkan tiap kali aku berusaha bela diri, kamu gak pernah percaya. Padahal kamu gak pernah punya bukti, tiap kali kamu nuduh aku.” Suaranya pecah dalam keputusasaan, mencoba menegaskan kesalahpahaman yang terus menghantui hubungan mereka.“Mas Faisal nggak nuduh sembarangan!” sahut Farida. “Jadi perempuan yang udah bersuami harusnya gak kegatelan, tapi kamu malah godain cowok sana sini— bahkan sampai godain adik ipar sendiri.”Alisha menatap marah pada Farida, tetapi sebelum ia sempat berkata-kata, Farhan melemparkan bentakannya. “Udah gila kamu, Fa! Atas dasar apa kamu nuduh mbak Alisha kayak gitu?”“Mas Farhan kayaknya emang udah kena peletnya mbak Alisha, makanya sampe lupa segalanya gitu. A
Malam itu, Alisha merasa tak lagi sanggup menahan beban emosional yang menghimpitnya. Dia tak lagi bisa berada di rumah yang selalu menyiksanya seperti neraka. Dengan hati yang berat, dia memutuskan untuk pergi, bahkan jika itu berarti meninggalkan segalanya di belakang.Dia mengemasi pakaiannya satu per satu dan memasukkannya ke dalam koper tua yang tergeletak di sudut kamar. Setiap pakaian yang dia lipat dan setiap barang yang dia ambil terasa seperti membebaskan dirinya dari belenggu yang telah lama mengikatnya.Setelah selesai membereskan barang-barangnya yang jumlahnya sangat terbatas, Alisha segera keluar dari kamar— lalu menghampiri Faisal, Nur, Farida dan Farhan yang masih di ruang tengah. Meskipun malam sudah larut, baik Faisal, Farida, maupun Nur tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan Alisha. Mereka terdiam, seolah tak peduli.Ketika Alisha pamit, suasana ruangan terasa semakin hening. Tak ada kata-kata atau pun tanda-tanda penyesalan, hanya keheningan yang terasa
Mobil yang dikendarai Cantika melaju dengan tenang di tengah ramainya jalanan Jakarta. Sementara itu, di sebelahnya, Lian sibuk menjaga Cio yang tak henti-hentinya ingin berdiri di pangkuannya. Bayi yang hampir genap 12 bulan itu terlihat sangat aktif, terutama karena kedua kakaknya yang duduk di belakang terus menggodanya, mengajak bermain cilukba. “Kak Nala, sama Kak Theo, udahan godain adek ya. Ayah capek banget ini,” ujar Lian dengan lembut, mencoba menegur anak-anaknya. Theo, si sulung yang kini berusia lima tahun, langsung mengangguk mengerti. Nala pun ikut manggut-manggut setuju. “Ayah capek gara-gara semalem nungguin Om Dion ya?” tanya Nala, anak tengah yang berusia tiga tahun, sambil menatap Ayah mereka dengan tatapan penasaran. “Kalo buat Om Dion, ayah kalian mana ada capeknya? Ini buktinya mau balik ke rumah sakit buat jagain om Dion lagi,” sahut Cantika agak menyindir suaminya yang sepertinya agak memaksakan diri ingin terus menjaga sahabatnya. “Kan Dion sendirian di ru
Farhan tampak memasak di dapur. Suara pisau yang beradu dengan talenan menarik perhatian Nur yang melintas di sekitar area itu. Nur berjalan mendekati Farhan, kaget melihat putranya yang sedang sibuk memotong banyak sekali sayur. “Kamu ngapain?” tanyanya.“Masak, Bu,” jawab Farhan singkat, tanpa mengalihkan perhatiannya pada Nur. Wajahnya terlihat serius, fokus pada kegiatannya.Nur kemudian terdiam, menatap wajah anak tengahnya dengan seksama. Kulit muka Farhan yang putih menyisakan jejak kemerahan bekas tamparan semalam, membuat Nur merasa bersalah.“Farhan, ibu minta maaf, ya,” kata Nur penuh penyesalan.Farhan berhenti memotong wortel, lalu menoleh pada Ibunya. Matanya menyiratkan kekecewaan, tapi Farhan tahu jika menghormati ibunya ada sesuatu yang mutlak, “Kenapa ibu minta maaf?” tanyanya dengan lembut.“Ibu semalam nampar kamu, masih sakit?” tanya Nur sambil membelai pipi Farhan yang sebelumnya dia tampar.Farhan menggeleng, “Ini gak sakit.”“Beneran?”Farhan mengangguk, “Bener
Farhan meletakkan rantang makanan di depan pintu kos Alisha, kemudian langsung melangkah hendak pergi. Namun sebelum langkah Farhan jauh, terdengar suara pintu dibuka. Alisha muncul dari balik pintu dan kaget melihat rantang di depan pintu kosnya. Alisha menoleh, melihat punggung seseorang yang dikenalnya sedang melangkah menjauh, “Farhan,” panggilnya.Farhan balik badan, lalu tersenyum saat melihat Alisha. “Mbak.”“Kamu yang bawa ini?” tanya Alisha sambil mengangkat rantang yang sebelumnya diletakkan Farhan.Farhan mengangguk santai, “Aku bawain buat makan hari ini. Kayaknya cukup sampe nanti malam.”Alisha melangkah mendekat lalu mengembalikan rantang itu pada Farhan, “Makasih, Farhan, tapi kamu gak perlu ngelakuin ini.”Farhan terdiam, enggan menerima kembali rantang itu. Dan wajahnya pun berubah kesal, “Mbak, menolak pemberian orang itu gak baik, apalagi aku udah susah payah masak, sampe nganterin ke sini.”“Farhan, aku hargain kebaikan kamu. Tapi aku gak bisa nerima ini.” Alisha
Cantika duduk di balik meja kerjanya sembari bertelepon dengan salah satu klien-nya.“Iya, Bu Widya. Kami pasti mewujudkan gaun pengantin impian Anda,” ucap Cantika penuh keyakinan, sedangkan tangan kanannya tampak gesit mencatat note penting di buku agendanya.“Oke, Bu Widya tenang saja, pasti saya pastikan detail-detail terakhirnya akan sempurna. Setelah ini saya akan kirim gambaran desain yang sudah diperbaharui. Terima kasih sudah percaya pada butik kami.”Saat Cantika baru saja menutup sambungan telepon, terdengar suara ketukan pintu.“Masuk,” sahut Cantika.Tak lama kemudian, Farhan membuka pintu ruangan Cantika.“Kenapa, Han?” tanya Cantika, menoleh dari meja kerjanya.Farhan mendekat ke meja Cantika dengan tatapan agak ragu. “Kak, aku udah ada kandidat calon pengganti Rini. Jam 10 nanti orangnya dateng, tolong kamu aja yang wawancara sama ngetes dia ya.”Cantika mengernyit heran, “Kenapa gak sekalian kamu aja?”Farhan tersenyum kikuk, merasa agak tidak enak hati. “Itu... Kan
Alisha kaget melihat Lian dan Farhan memasuki butik. Farhan tersenyum hangat saat menghampirinya. “Halo, Mbak,” sapanya lembut.Lian juga ikut tersenyum, bayi di gendongannya pun melambai-lambai saat melihat Cantika, seolah merindukan sumber kehidupannya. “Nenen, nenen,” celoteh bayi itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Cantika.Cantika tertawa riang dan segera meraih tubuh bayi dari gendongan Lian. “Maaf ya, Alisha, aku cuma bisa nganter sampe sini. Anak aku kelaparan, dia ingin nenen,” jelas Cantika.Alisha mengangguk memahami. Matanya memperhatikan Cantika yang membawa bayi itu masuk ke dalam, sementara Alisha kembali menatap Lian dan Farhan. “Saya nggak nyangka ternyata Mas Lian suaminya Mbak Cantika. Kebetulan banget,” ucapnya.Lian tersenyum ramah. “Aku lebih kelihatan kayak baby sitter ya?” godanya.Alisha tertawa kecil. “Gak gitu, Mas.”Farhan ikut berbicara, memuji Lian. “Lo lebih mirip model, Kak. Kalo si kecil gak nempelin lo mulu, pasti bakal banyak yang ngejar-ngejar