Cantika duduk di balik meja kerjanya sembari bertelepon dengan salah satu klien-nya.“Iya, Bu Widya. Kami pasti mewujudkan gaun pengantin impian Anda,” ucap Cantika penuh keyakinan, sedangkan tangan kanannya tampak gesit mencatat note penting di buku agendanya.“Oke, Bu Widya tenang saja, pasti saya pastikan detail-detail terakhirnya akan sempurna. Setelah ini saya akan kirim gambaran desain yang sudah diperbaharui. Terima kasih sudah percaya pada butik kami.”Saat Cantika baru saja menutup sambungan telepon, terdengar suara ketukan pintu.“Masuk,” sahut Cantika.Tak lama kemudian, Farhan membuka pintu ruangan Cantika.“Kenapa, Han?” tanya Cantika, menoleh dari meja kerjanya.Farhan mendekat ke meja Cantika dengan tatapan agak ragu. “Kak, aku udah ada kandidat calon pengganti Rini. Jam 10 nanti orangnya dateng, tolong kamu aja yang wawancara sama ngetes dia ya.”Cantika mengernyit heran, “Kenapa gak sekalian kamu aja?”Farhan tersenyum kikuk, merasa agak tidak enak hati. “Itu... Kan
Alisha kaget melihat Lian dan Farhan memasuki butik. Farhan tersenyum hangat saat menghampirinya. “Halo, Mbak,” sapanya lembut.Lian juga ikut tersenyum, bayi di gendongannya pun melambai-lambai saat melihat Cantika, seolah merindukan sumber kehidupannya. “Nenen, nenen,” celoteh bayi itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Cantika.Cantika tertawa riang dan segera meraih tubuh bayi dari gendongan Lian. “Maaf ya, Alisha, aku cuma bisa nganter sampe sini. Anak aku kelaparan, dia ingin nenen,” jelas Cantika.Alisha mengangguk memahami. Matanya memperhatikan Cantika yang membawa bayi itu masuk ke dalam, sementara Alisha kembali menatap Lian dan Farhan. “Saya nggak nyangka ternyata Mas Lian suaminya Mbak Cantika. Kebetulan banget,” ucapnya.Lian tersenyum ramah. “Aku lebih kelihatan kayak baby sitter ya?” godanya.Alisha tertawa kecil. “Gak gitu, Mas.”Farhan ikut berbicara, memuji Lian. “Lo lebih mirip model, Kak. Kalo si kecil gak nempelin lo mulu, pasti bakal banyak yang ngejar-ngejar
Senja mulai turun ketika motor Farhan tiba di halaman rumahnya. Dia segera turun dari motor, lalu melangkah menuju rumah sambil sibuk dengan ponselnya, membalas beberapa pesan dari Cantika yang masih membahas beberapa urusan pekerjaan.Saat langkahnya tiba di ruang tamu, sejenak dia terhenti, tersadar dengan adanya Faisal dan Rahma yang duduk berduaan di ruang tamu. Mata Farhan langsung menyipit, terlihat tidak senang melihat Rahma di sana.Dia menghela napas panjang, ragu apakah harus menegur Faisal atau tidak. Tak ingin ribut dengan kakaknya, Farhan memutuskan untuk mengabaikan apa yang dia lihat, kemudian melengos dan berjalan menuju kamarnya tanpa mengatakan apa pun.Melihat sikap Farhan yang acuh tak acuh membuat Faisal kesal. “Baru pulang bukannya salam, malah ngeloyor gitu aja. Kamu udah nggak mau ngehormatin kakak kamu?” sindir Faisal.“Assalamualaikum,” salam Farhan meski terkesan terpaksa. Itu pun tanpa menoleh ke a
Lian melangkah di lorong rumah sakit sambil mendorong stroller. Di dalam stroller, Cio tampak riang mengoceh, mengiringi setiap langkah ayahnya. “Udah hampir jam delapan, kamu kenapa masih semangat banget? Biasanya udah ngantuk?” gumam Lian, heran melihat Cio masih segar padahal hampir masuk jam tidurnya.Seolah memahami kata-kata ayahnya, Cio terus mengoceh dengan riang, seakan-akan mengajak Lian untuk berbagi kegembiraan. Lian pun terus menyahuti setiap suara yang keluar dari bibir kecil putra bungsunya.Saat mereka tiba di depan ruangan Dion, kebetulan Wina dan Damar baru keluar dari ruangan tersebut. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan Lian.“Lian, kamu kok balik lagi?” tanya Damar heran.“Iya, om. Sebenernya saya lagi nemenin Cantika belanja kebutuhan anak-anak, di supermarket sebelah. Bosen saya nunggu lama, makanya mending ke sini dulu nengokin Dion sebentar,” jelas Lian. “Dionnya be
Suasana pagi yang cerah menyambut kedatangan Alisha di butik Cantika— tempat kerja barunya sebagai penjahit akan dimulai. Ketika pintu butik terbuka, Alisha disambut oleh Maya, salah satu karyawan Cantika.“Halo, Mbak Alisha, penjahit baru ya? Kenalin aku Maya, asistennya Kak Cantika,” sapa Maya dengan ramah sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Alisha tersenyum, menyambut uluran tangan Maya. “Salam kenal, Mbak Maya.”“Udah siap kerja hari ini mbak Alisha?” tanya Maya basa-basi.“Siap dong,” jawab Alisha mantap.“Kalo gitu, yuk aku anter ke ruanga mbak.” Maya mengajak Alisha berjalan melintasi lorong butik yang dihiasi dengan bunga segar dan sentuhan seni di dinding. Mereka menuju ke ruang kerja Alisha, melewati rak-rak penuh dengan kain-kain berwarna-warni dan manik-manik berkilauan yang menggantung di sekitar mereka.Setelah melewati lorong, mereka tiba di ruang kerja Alis
Setelah seharian bekerja di butik Cantika, waktu pulang pun tiba. Farhan mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas. Farhan menyandang tasnya sambil menoleh ke meja Alisha yang terletak di seberang ruangan. “Udah waktunya pulang, mbak.” Alisha mengangguk, menanggapi dengan senyuman. Dia juga segera mengemasi barangnya. Dia mencabut kabel listrik mesin jahit untuk memastikan semuanya aman ketika ditinggal pulang. Setelahnya, Alisha dan Farhan keluar dari ruangan mereka. Mereka berjalan di sekitar halaman butik, bergabung dengan beberapa karyawan lain yang juga akan pulang. Suasana terasa ringan dengan obrolan-bercanda yang terjadi di antara mereka. Kebanyakan bertanya pendapat Alisha tentang hari pertamanya bekerja di butik Cantika. “Gimana tadi kerjanya, mbak? Lancar kan?” tanya Maya. “Alhamdulillah, lancar kok. Kayaknya bakal betah kerja di sini,” jawab Alisha. Maya tersenyum dan menegangguk. “Pasti betah lah, aku yang kerja sejak butik i
Alisha terdiam, terkejut dengan pengakuan tulus Dion. Meskipun merasa tak nyaman dengan situasi tersebut, ia tetap menghargai keberanian Dion untuk berbicara terus terang. “Mas, aku... aku nggak tahu harus ngomong apa,” kata Alisha dengan penuh keraguan.Dion menyadari bahwa perasaannya tidak bisa dipaksakan kepada Alisha.“Lis, aku gak akan maksa kamu. Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku,” ujar Dion. “Tapi, tolong pikirkan tawaran aku tadi. Ini bukan cuma demi kamu, tapi juga calon anak kamu nanti,” lanjutnya penuh harap.Untuk beberapa saat, terasa ketegangan di udara saat Alisha terdiam tanpa sepatah kata pun. Hingga akhirnya Dion kembali menegaskan, “Aku tahu mungkin ini terlalu mengejutkan buat kamu. Tapi kalau kamu nerima aku— aku janji akan anggap anak kamu seperti anakku sendiri.”Alisha terlihat semakin bingung, “Mas, aku... Aku baru aja cerai,” ujarnya dengan ragu. “Aku belu
Beberapa preman itu terus maju, seolah-olah akan menyerang Alisha juga, mengancamnya dengan tatapan yang ganas. Namun, tiba-tiba terdengar suara tegas dari salah satu preman yang berada di belakang.“Cukup!” serunya dengan lantang.Para preman lainnya menoleh ke arah preman yang berseru tadi. Pria tegap dengan sekujur tato di tubuhnya melangkah maju mendekati mereka.“Kita mungkin preman, tapi harusnya kita tidak menyentuh wanita apalagi yang sedang hamil begitu. Kita cabut sekarang,” ujarnya dengan suara yang berwibawa.Namun, salah satu dari preman yang lain sempat memprotes, “Tapi, bos...”Pemimpin mereka, yang disebut sebagai bos, menatap tajam preman yang protes. Dalam sekejap, preman itu mengangguk patuh.“Oke, bos. Kita cabut,” ucapnya singkat.Para preman itu pun akhirnya meninggalkan tempat itu, meninggalkan Alisha dan Farhan yang masih terbaring lemas di tanah. Sesak lega teras