Faisal terbangun tiba-tiba, tersentak oleh suara muntah-muntah yang mengganggu tidurnya. Faisal meraba-raba di kegelapan sebelum menyalakan lampu. Saat itu dia bisa melihat jam di meja masih menunjukkan pukul tiga pagi.
Dengan langkah malas, Faisal keluar dari kamar. Suara muntah itu makin terdengar jelas, ia mendekati pintu kamar mandi dan melihat Alisha yang membungkuk di depan wastafel kamar mandi, punggungnya naik turun dalam irama muntah yang tak berkesudahan.
“Kamu kenapa masih muntah-muntah terus? Bukannya sudah dikasih obat biar gak mual sama bidan?” gumam Faisal kesal. Dia berjalan mendekati Alisha, suaranya terdengar keras di tengah keheningan malam.
Alisha terkejut oleh kehadiran suaminya, memalingkan wajahnya yang pucat ke arah Faisal. Ia mengusap bibirnya yang basah karena bilasan air. “Aku juga gak tau, Mas. Aku sudah minum suplemen dari bidan, tapi aku masih mual.”
“Kalau bisa kamu tahan— kita ini masih numpang di rumah orangtua aku. Jadi usahakan, kamu jangan ganggu istirahat keluarga aku,” ucap Faisal tanpa pengertian. Alisha menatap suaminya dengan pandangan tak habis pikir. “Gimana caranya aku bisa nahan mual sama muntah, Mas? Kamu gak ngerasain ada di posisi ibu hamil— bukan mau aku juga mual muntah begini!” Entah pengaruh hormon, atau Alisha memang kecewa dengan sikap suaminya yang tidak mengerti kondisinya yang sangat sulit.
Airmata mulai mengalir di pipi Alisha, namun itu hanya memicu kekesalan Faisal. “Gak usah cengeng!” serunya tajam.
“Terus aku harus gimana, Mas? Kehamilan pertama ini berat buat aku. Aku pusing, mual, lemes, tiap hari aku ngerasa kayak gini. Tapi kenapa kamu gak mau ngertiin? Aku hamil anak kamu, Mas. Harusnya kamu kasih support buat aku,” keluh Alisha, berharap agar suaminya mengerti dengan penderitannya.
Tapi Faisal hanya tersenyum sarkas. “Kamu itu lebay banget? Dulu aku liat ibu aku hamil adik-adik aku, gak pernah manja kayak kamu. Ibu aku tiap hari bahkan jualan pecel buat menuhi kebutuhan sehari-hari,” sindir Faisal. “Lagian kamu mau di-support apa lagi sih? Selama ini aku selalu antar kamu ke bidan, aku selalu beli susu hamil buat kamu, uang belanja juga aku kasih, kan? Jadi istri kebanyakan nuntut!” lanjut Faisal dengan nada meninggi.
Alisha merasakan sakit yang mendalam di hatinya saat mendengar kata-kata pedas dari suaminya. “Mas, kamu tega banget ngomong kayak gitu?! Padahal kondisi tiap ibu hamil kan beda-beda, gak bisa disamain,” gumamnya di antara isakan tangisnya.
Faisal hanya menggeleng, tidak memperlihatkan sedikit pun penyesalan. “Sama aja! Bedanya kamu manja, ibuku mandiri! Gak pernah lebay dan caper kayak kamu,” ucapnya dengan tegas.
“Astaghfirullahaladzim, Mas! Jadi aku muntah-muntah gini, kamu anggap aku caper?” seru Alisha dengan nada putus asa, hatinya hancur karena perkataan kejam suaminya.
“Apalagi? Kamu mau nyari alasan biar gak disuruh bantu-bantu di rumah, kan?” ejek Faisal dengan nada sinis. “Bilang aja kamu malas! Kamu udah gak mau nyuciin baju ibu sama adik aku lagi? Gak mau masakin? Padahal kita numpang di rumah ini, harusnya kamu tau diri.”
Alisha menatap suaminya sorot mata dipenuhi keputusasaan. “Kamu nikahin aku sebenarnya buat apa, Mas? Apa kamu butuh pembantu buat keluarga kamu?” tanya Alisha dengan suara bergetar, menahan rasa sakit di hatinya.
Sejak dipinang oleh Faisal dan diboyong ke rumah orangtuanya, Alisha merasakan kelelahan yang tak terhingga. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang tak pernah berhenti: bangun sebelum subuh, pergi ke pasar, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian—semua dilakukannya tanpa mengeluh. Namun, sejak kehadiran Alisha di rumah itu, semua penghuni rumah menganggapnya sebagai ‘pembantu’ yang seolah harus menanggung semua beban pekerjaan rumah.
Alisha terisak-isak, menyesali keputusannya untuk menikah dengan Faisal. Namun saat ini, ia tidak memiliki opsi lain. Kedua orangtuanya sudah meninggal, dan rumah keluarga sudah ditempati oleh adik perempuannya dan suaminya.
Faisal semakin kesal melihat Alisha yang terus menangis. “Bisa berhenti nangis gak kamu? Dikit-dikit nangis, kalau tetangga tahu, dikira aku udah KDRT ke kamu,” ujarnya dengan nada sinis, tanpa sedikit pun empati.
“Ucapan kamu itu juga nyakitin aku, Mas!” serunya di antara isakan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
Air mata Alisha semakin deras mengalir. Setiap kata-kata Faisal terasa seperti pukulan yang semakin memecahnya hatinya jadi berkeping-keping.
“Kamu itu bisanya cuma ngeluh! Kapan kamu bisa bersyukur? Aku kira setelah menikahi kamu, hidup aku bisa lebih bahagia. Ternyata kamu malah nambah beban pikiran buat aku,” ujar Faisal dingin sebelum meninggalkan Alisha yang masih terisak-isak di kamar mandi.
Faisal kembali ke kamarnya, melewati lorong yang gelap menuju tempat tidurnya. Tanpa merasa bersalah, Faisal membaringkan tubuhnya di atas kasur lalu kembali tidur.
Di kamar mandi, Alisha terus menangis hingga tubuhnya terguncang. Dalam keheningan malam yang semakin terasa, tubuh Alisha merosot di tembok, dia bersandar sambil meratapi nasib yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
***
Cahaya matahari mulai tinggi, memancarkan panas yang menyengat di udara. Alisha mengangkat satu ember besar yang berisi pakaian basah yang baru saja selesai dicucinya. Beban itu terasa berat di tangannya saat dia melangkah menuju halaman depan.
Dengan napas yang terengah-engah karena keberatan, Alisha berusaha menyeimbangkan ember itu di atas pinggangnya. Langkahnya terhenti sesaat saat dia merasakan sakit di perutnya yang masih rata. “Ibu harap kamu kuat ya, Nak,” bisiknya pelan kepada bayinya yang belum terlihat namun sudah begitu dirindukannya.
Alisha melanjutkan langkahnya dan akhirnya meletakkan ember berisi pakaian di dekat jemuran. Dia mengusap lembut perutnya, mencoba memberikan dukungan pada janin yang masih tersembunyi di dalamnya.
Alisha tengah sibuk menjemur satu demi satu pakaian di atas tali jemuran kemudian menjepitnya. Tiba-tiba, terdengar suara taksi yang berhenti di halaman rumah. Alisha menoleh, dan matanya melihat Farhan—adik iparnya yang penampilannya terlihat urakan karena rambutnya yang dibiarkan agak gondrong—baru turun dari taksi tersebut sambil menarik kopernya.
Alisha tersenyum melihat adik iparnya yang melangkah menuju halaman.
“Assalamualaikum,” sapa Farhan ramah saat tiba di halaman.
“Waalaikumsalam,” balas Alisha sambil menyambut Farhan dengan senyuman hangat.
“Farhan? Mbak kira kamu baru sampe Jakarta besok?” tanya Alisha sambil menghentikan aktivitas menjemur. Sebelumnya, Alisha memang sudah mendengar kabar jika Farhan akan kembali ke Jakarta. Selama ini, Farhan memang diasuh keluarga kerabat yang tidak memiliki anak. Pemuda itu hanya pulang beberapa kali dalam setahun, saat hari besar atau saat sedang rindu keluarga kandungnya. Namun setahun lalu, ibu asuh Farhan meninggal— ia sudah lama diminta kembali, namun baru bersedia setelah ibunya terus membujuk.
“Iya, Mbak. Ibu udah bawel soalnya, pengen aku cepet-cepet pulang,” jawab Farhan, namun perhatiannya segera teralih pada ember besar berisi banyak cucian. “Mbak, banyak banget cuciannya? Mbak nyuci sendiri?” tanyanya sambil mengamati pakaian-pakaian yang tergantung di jemuran.
Alisha hanya tersenyum sebagai jawaban. Farhan mendekat pada ember, meraih beberapa lembar pakaian. Meski jarang pulang, tapi ia bisa mengenali baju-baju adik dan ibunya di sana. “Ini baju Farida sama ibu, Mbak yang nyuci juga?” tanyanya. Tetapi Alisha tidak menjawab. Suasana menjadi hening sejenak sebelum Farhan bertanya lagi, “Siapa yang nyuruh, Mbak?”
“Gak ada yang nyuruh, Mbak sendiri yang pengin nyuciin,” jawab Alisha dengan nada tenang.
“Mbak, Farida udah dewasa, dia bisa ngerjain sendiri, baju ibu juga harusnya Farida yang nyuciin, bukan Mbak,” kata Farhan, merasa tidak enak hati melihat kakak iparnya melakukan banyak pekerjaan yang sejatinya bukan tugasnya.
“Gak apa-apa kok, namanya keluarga gak perlu itung-itungan. Sudah, kamu masuk sana, pasti capek kan? Istirahat dulu,” jawab Alisha, seolah ingin buru-buru menutup pembicaraan itu.
“Mbak—” Farhan belum selesai bicara, namun Alisha sudah menyela, “Sudah, masuk sana,” ucapnya sambil melanjutkan aktivitasnya menjemur pakaian. Farhan tak bisa berkata-kata lagi, akhirnya mengikuti perintah Alisha masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, ia melihat Farida yang sedang rebahan di atas sofa sambil asyik bermain ponsel.
“Farida,” panggil Farhan.
Yang namanya dipanggil segera menoleh. “Mas Farhan?” Farida berseri-seri ketika melihat kakaknya, “udah nyampe aja? Kenapa gak ngabarin sih? Mau kasih surprise pasti?” ujarnya penuh semangat.
Farhan menghela napas kesal melihat sikap santai Farida. “Farida, kamu nyuruh Mbak Alisha nyuciin baju kamu?” tanyanya dengan ekspresi serius. Farida langsung mencibir, “Mas Farhan baru pulang, kenapa malah bahas Mbak Alisha sih? Kenapa? Dia ngadu macem-macem sama kamu, Mas? Emang paling bisa playing victim,” sahut Farida dengan nada sinis.
“Mbak Alisha gak bilang apa-apa,” jelas Farhan, tapi Farida menggeleng tak percaya. “Kalau mbak Alisha gak ngadu macam-macam, pasti Mas Farhan gak bakal marahin aku. Udah pasti Mbak Alisha emang drama— awas aja, nanti gantian aku aduin dia sama Mas Faisal,” ancam Farida.
Farhan yang mendengar itu makin tak bisa menahan kekesalannya. “Farida! Kamu jangan keterlaluan!” tegas Farhan, membuat Farida tersentak kaget. “Mas sampai bentak aku gara-gara belain Mbak Alisha?!”
“Ada apa sih?” Nur muncul dari arah belakang, melihat kedua anaknya tampak berdebat. Perhatian Nur teralih pada Farhan yang masih memegangi kopernya. “Farhan? Kamu baru sampai?” tanya Nur, tersenyum melihat anak keduanya yang akhirnya kembali. Farhan langsung mendekat pada Nur, lalu mencium tangannya. “Baru aja, Bu,” jawabnya singkat.“Baru pulang kenapa langsung berdebat sama adikmu sih?” tanya Nur, heran melihat keadaan sebelumnya.“Siapa yang berdebat sih, Bu? Aku cuma negur Farida aja, soalnya dia gak nyuci baju sendiri. Malah dicuciin sama Mbak Alisha,” jelas Farhan.Nur menghela nafas panjang sebelum mencoba meredakan situasi tersebut.“Farhan, menurut ibu masalah itu tidak perlu dibesar-besarkan. Lagian, kan wajar kalau Alisha bantu kerjaan di rumah,” jelas Nur.Farhan menggelengkan kepalanya. “Tapi gak harus semua kerjaan dilimpahkan ke Mbak Alisha.”“Itu cuma bentu bakti sama mertua. Dulu ibu juga selalu bantu-bantu waktu tinggal di rumah kakek sama nenek kamu,” ucap Nur tak
Faisal menarik tangan Alisha menuju kamar dengan agak kasar, membuat Alisha meringis kesakitan.“Mas, kenapa kamu narik-narik tangan aku kayak gini? Tangan aku sakit, Mas,” protes Alisha sambil berusaha melepaskan tangannya yang dicengkeram Faisal. Setibanya di kamar, Faisal segera menutup pintu dan melepaskan pegangannya. Pria itu menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Kamu bisa gak sih, sehari aja gak bikin masalah?”“Aku gak bikin masalah apa-apa!” balas Alisha dengan tegas, ia kesal selalu dipersalahkan.“Kalau kamu gak bikin masalah, kenapa Farida sampai marah-marah begitu?” tanya Faisal. Alisha tak langsung menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain— enggan menatap suaminya dalam kondisi seperti ini.“Kenapa malah diam? Jawab!” ucap Faisal dengan suara meninggi. Alisha akhirnya kembali menatap Faisal, namun masih tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Andai pun ia menjawab apa adanya, belum tentu Faisal akan mempercayai ucapannya.“Sebelumnya aku udah bilang, aku g
“Sudah gila kamu, Mas? Aku cuma ngingetin kamu buat gak bersikap seenaknya ke mbak Alisha, kamu malah mikir kalau aku suka sama istri kamu?” geram Farhan. “Kalau kamu gak suka sama Alisha, buat apa kamu bela-belain dia terus?” bentak Faisal. “Karena aku gak suka liat perlakuan orang-orang di rumah ini ke mbak Alisha! Nyadar dong, Mas. Mbak Alisha ini juga anak perempuan orang— coba bayangin kalo orangtua mbak Alisha sampai tahu kalau di sini, mbak Alisha diperlakukan kayak gini,” ucap Farhan. “Gak usah sok nasihati! Kamu itu tau apa?” geram Faisal. Farhan maju, mau mendekat pada Faisal seperti siap berkelahi, tapi Alisha lebih dulu berdiri di antara Faisal dan Farhan. “Udah-udah cukup! Gak usah ribut. Farhan, udah gak usah diterusin. Mas Faisal capek, baru pulang kerja. Kamu jangan ngajak ribut.” “Mas Faisal sendiri yang ngajak ribut,” ucap Farhan dengan suara meninggi. Faisal dan Farhan saling bertatapan dengan dengan tajam. Diam-diam, Alisha menatap Farhan dengan ekspresi memo
Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”“Aku emang nggak
Farhan yang baru pulang dan sempat mendengar cibiran Farida pada Alisha, merasa kesal melihat kakak iparnya diperlakukan demikian oleh adiknya. Farhan melangkah mendekati meja setrika dan meraih baju yang saat itu sedang disetrika oleh Alisha.“Aku ambil ya, Mbak,” ucap Farhan, memotong aktivitas Alisha. Alisha kaget karena Farhan tiba-tiba muncul dan merebut baju yang sedang dia setrika. “Tapi itu belum selesai disetrika.”Tanpa menjawab ucapan Alisha, Farhan melangkah mendekati Farida yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv. Dengan tegas, ia melempar baju tersebut ke arah Farida hingga menutupi mukanya, “Setrika sendiri! Itu baju kamu kan?” teriak Farhan dengan nada tinggi.Farida kaget dan buru-buru menyingkirkan pakaian dari mukanya. “Mas Farhan!! Kamu apaan sih?”“Kamu yang apaan? Ngapain tadi ngata-ngatain mbak Alisha males? Yang ada kamu sendiri yang males! Masa iya baju kamu dicuciin, disetrikain sama mbak Alisha?” bentak Farhan dengan penuh kekesalan.“Emang ke
“Minta maaf sama adikmu,” perintah Nur, menuntut ketaatan dari anak tengahnya. Farhan menatap ibunya dengan tatapan kecewa, Nur bahkan sudah mengerti alasannya marah, namun tetap Farida yang mendapat pembelaan darinya.“Farhan!!” tegas Nur sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Farhan menghela napas dalam-dalam, merasa tak memiliki pilihan, Farhan akhirnya melangkah mendekati Farida, kemudian duduk di sampingnya. Farhan lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Farida. “Farida, Mas minta maaf,” ucap Farhan dengan suara datar.Farida tak langsung menyambut uluran tangan Farhan, masih terdiam dengan rasa kesal.“Dimaafin gak sih?” Farhan mulai nyolot, membuat Farida akhirnya terpaksa menerima uluran tangan itu. “Iya!” jawab Farida dengan nada sama kesalnya.“Tapi ini permintaan maaf karena mas udah bentak kamu, soal teguran mas tadi, itu bukan kesalah
Alisha kaget melihat kemunculan Faisal yang tiba-tiba. Ia bangkit dengan ekspresi panik, takut jika suaminya salah paham. Farhan, yang masih mencuci piring, menoleh sekilas, tetapi terlihat tetap tenang. Dia lalu melanjutkan kegiatannya.“Mas, itu... aku cuma ngobrol sama Farhan,” jelas Alisha dengan cepat.“Ngobrol apa?” Faisal menanggapi dengan nada sinis.“Ngobrol biasa aja kok, Mas,” jawab Alisha, mencoba meredakan ketegangan.Faisal menegur tajam, “Kalo gak ada sesuatu yang penting, harusnya kamu nggak perlu ngobrol sama Farhan. Ingat, kamu itu perempuan yang udah bersuami.”Farhan yang mendengar kritik pedas Faisal jadi kesal. Dia menghentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh pada Faisal. “Mbak Alisha tadi sebenernya nasihatin aku, biar gak bikin ribut lagi. Itu penting atau nggak, tergantung penilaian kamu, Mas,” katanya tegas.Faisal menatap Farhan dengan sengit, tapi Fa
Minggu pagi, setelah shalat subuh berjamaah dengan Faisal. Alisha mencium tangan Faisal, “Mas, aku minta maaf kalau selama ini ada salah. Aku harap kamu bisa membimbing aku, biar aku bisa lebih baik.”Alisha memang masih sakit hati setelah mendengar pembicaraan Faisal dan ibu mertuanya tempo hari. Namun ia tak ingin terlalu fokus pada hal itu. Mengungkitnya di depan Faisal hanya akan menimbulkan konflik baru, atau bahkan lebih parah dari sebelumnya. Alisha lebih memilih mengalah, melupakan hal yang membuatnya terluka, demi keutungan keluarganya-- demi calon anak mereka juga.“Iya, makanya kamu tuh yang nurut sama suami. Jangan banyak drama selama kita masih numpang di rumah orangtua aku,” kata Faisal, seolah yang salah selama ini hanya Alisha.Alisha menahan getir. Meski hatinya terluka, tapi dia tidak ingin memperbesar perkara dan memilih mengangguk.“Iya, Mas. Aku berusaha kok,” katanya Alisha, meski jawaban tersebut
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis