“Ada apa sih?” Nur muncul dari arah belakang, melihat kedua anaknya tampak berdebat. Perhatian Nur teralih pada Farhan yang masih memegangi kopernya. “Farhan? Kamu baru sampai?” tanya Nur, tersenyum melihat anak keduanya yang akhirnya kembali. Farhan langsung mendekat pada Nur, lalu mencium tangannya. “Baru aja, Bu,” jawabnya singkat.
“Baru pulang kenapa langsung berdebat sama adikmu sih?” tanya Nur, heran melihat keadaan sebelumnya.
“Siapa yang berdebat sih, Bu? Aku cuma negur Farida aja, soalnya dia gak nyuci baju sendiri. Malah dicuciin sama Mbak Alisha,” jelas Farhan.
Nur menghela nafas panjang sebelum mencoba meredakan situasi tersebut.
“Farhan, menurut ibu masalah itu tidak perlu dibesar-besarkan. Lagian, kan wajar kalau Alisha bantu kerjaan di rumah,” jelas Nur.
Farhan menggelengkan kepalanya. “Tapi gak harus semua kerjaan dilimpahkan ke Mbak Alisha.”
“Itu cuma bentu bakti sama mertua. Dulu ibu juga selalu bantu-bantu waktu tinggal di rumah kakek sama nenek kamu,” ucap Nur tak ingin disalahlan.
“Ibu juga punya anak perempuan, coba bayangin kalau nanti Farida sudah lulus kuliah, terus menikah, ikut mertua, apa ibu rela anak ibu diperlakukan seperti pembantu?” tanya Farhan.
Nur tercekat seolah merenungi ucapan Farhan. Farida merasa kesal, “Mas apa-apaan sih? Kenapa jadi bawa-bawa aku? Lagian kalau aku nikah nanti, aku gak mau ikut mertua, aku mau terus tinggal sama ibu,” ujarnya dengan nada yang agak keras. Dengan ekspresi masih terlihat kesal, Farida langsung masuk ke dalam kamar, pintunya ditutup dengan keras. Farhan hanya bisa menghela napas berat.
Nur menatap Farhan dengan tatapan lembut namun penuh kekecewaan. “Baru pulang sudah bertengkar sama adikmu,” ucapnya dengan suara pelan.
“Bukan bertengkar, Bu. Tapi Farida yang ngambek,” Farhan membela diri.
“Tapi kamu yang bikin dia ngambek,” kata Nur menyudutkan.
“Aku kan cuma negur Farida, Bu. Ibu juga sebaiknya gak terlalu manjain dia,” ujar Farhan.
Farhan lalu menyeret kopernya menuju kamar dengan langkah yang berat. Nur menghela napas lagi, lalu melangkah keluar dari ruang tamu dengan ekspresi yang lesu.
Di halaman depan, Nur melihat Alisha baru saja selesai menjemur pakaian. Ekspresi lembut terpancar dari wajahnya saat dia menyapa Alisha.
“Alisha, tadi sebenarnya kamu cerita apa sama Farhan? Kenapa dia sampai marahin adiknya?” tanya Nur, mencoba mencari tahu penyebab konflik yang terjadi.
Alisha terkejut mendengar pertanyaan itu. “Aku gak cerita apa-apa sama Farhan, Bu,” jawabnya dengan polos.
“Benar kamu gak cerita apa-apa?” Nur memastikan, kedua matanya terlihat ragu. “Apa selama ini kamu merasa diperlakukan seperti pembantu? Kamu gak ikhlas bantu-bantu kerjaan di rumah?” tambahnya dengan lembut, namun kata-katanya membuat Alisha merasa tertekan.
“Ibu kenapa nanya gitu? Aku ikhlas bantu kok,” jawab Alisha dengan suara yang sedikit gemetar.
“Baguslah kalau begitu, memang sudah seharusnya menantu yang baik itu gak cuma berbakti sama suami, tapi juga sama keluarga,” kata Nur dengan tegas.
Alisha terdiam, termenung sedih mendengar ucapan Nur. Namun, dia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.
“Kamu sudah selesai jemur bajunya kan? Tolong kamu gosok lantai kamar mandi, ya. Tadi agak licin, ibu kan udah tua, bahaya kalau sampai ibu jatuh di kamar mandi,” perintah Nur dengan suara yang penuh perhatian.
“Iya, Bu,” jawab Alisha dengan suara yang lemah.
Nur masuk ke dalam, meninggalkan Alisha yang terdiam sedih di halaman belakang.
***
Farhan keluar dari kamarnya setelah berganti baju dengan kaos lengan pendek dan celana santai. Tatapannya tertuju pada buku kesehatan ibu dan anak yang terletak di atas meja.
Dia meraih buku tersebut dan melihat nama yang tertera di atasnya: 'Alisha Listiani'. Sebuah senyum mengembang di wajah Farhan saat menyadari makna dari temuannya itu.
“Mbak Alisha hamil?” gumamnya pelan dalam hati. “Sebentar lagi aku punya ponakan,” tambahnya dengan senyum.
Farhan melangkah menuju kamar mandi, berencana untuk membersihkan diri setelah perjalanan panjangnya. Namun, saat hendak masuk, ia terkejut melihat Alisha yang sedang sibuk menggosok lantai kamar mandi.
“Mbak? Kamu ngapain?” tanya Farhan dengan ekspresi heran.
Alisha tersenyum ramah, “Kamu mau mandi? Sebentar ya, mbak hampir selesai kok nyikatnya,” jawabnya sambil membenahi posisi hijab yang agak melorot.
Farhan menggelengkan kepalanya, “Nggak, maksud aku, mbak ngapain nyikat lantai kamar mandi? Tadi sudah nyuci baju banyak banget, sekarang masih bersihin kamar mandi? Harusnya mbak gak boleh terlalu capek, kan lagi hamil muda.”
“Kamu itu tau apa, Farhan?” tiba-tiba Nur muncul dari arah belakang Farhan, membuat keduanya menoleh ke arah ibunya.
“Justru kalau ibunya aktif, bayinya juga lebih sehat,” kata Nur dengan suara yang penuh keyakinan.
“Bu, ibu yang hamil muda justru rawan,” ucap Farhan, mencoba menjelaskan kekhawatirannya.
Nur segera menyela, “Siapa yang bilang? Ibu yang lebih berpengalaman, sudah tiga kali hamil, selama hamil, ibu selalu aktif, buktinya ibu sama anak-anak ibu sehat semua. Lahiran juga lancar,” katanya dengan keyakinan yang kuat.
Farhan menghela napas, merasa tidak bisa mendebat ibunya. “Tapi aku tetap gak tega kalau liat perempuan hamil malah kerja keras kayak gini,” tambahnya sambil merebut sikat yang sebelumnya digunakan untuk menyikat lantai kamar mandi, “Biar aku saja, mbak Alisha istirahat sana.”
“Biar mbak—” Alisha belum selesai bicara, tapi Farhan segera memotong, “Gak apa-apa biar aku aja, Mbak,” ujarnya dengan lembut.
Alisha akhirnya bangkit, merasa bersyukur masih ada orang yang pengertian di rumah ini. Nur hanya bisa geleng kepala melihat tingkah Farhan, “Laki-laki harusnya gak ngerjain pekerjaan rumah, Farhan,” kata Nur dengan nada yang sedikit menegur.
Farhan menghela napas panjang, lalu menoleh pada Ibunya, “Kalau begitu, ibu suruh Farida saja gosok lantai kamar mandi,” usulnya dengan nada agak frustasi.
Nur terkejut dan menggeleng, “Dia gak bisa,” sahutnya dengan cepat.
“Ibu manjain Farida terus sih,” protes Farhan lalu fokus menggosok lantai kamar mandi, merasa tidak adil dengan perlakuan Nur selama ini.
Alisha masih berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan wajah tidak enak hati. Menyadari Alisha masih terdiam, Farhan menoleh pada kakak iparnya. “Mbak, kok masih berdiri di situ? Istirahat saja,” ujarnya dengan lembut.
Alisha akhirnya mengangguk, “Kalau gitu, mbak ke kamar dulu,” katanya. Setelah itu, Alisha menunduk pada Nur, “Permisi bu,” ucapnya dengan sopan.
Nur hanya mengangguk sebagai jawaban, memberikan izin kepada Alisha untuk pergi ke kamar dan beristirahat.
Alisha berjalan menuju kamar dengan langkah berat karena kelelahan, namun di tengah jalan, dia berpapasan dengan Farida yang baru keluar dari kamarnya. Farida langsung menatap Alisha dengan sinis, “Aku tahu dari dulu mbak Alisha memang gak suka sama aku,” tegas Farida.
Alisha kaget, “Kamu kenapa bisa ngomong kayak gitu, Farida?”
“Buktinya tadi, mbak jelek-jelekin aku di depan Mas Farhan kan? Sampai Mas Farhan marah sama aku,” lanjut Farida dengan nada menuduh.
“Mbak gak pernah jelek-jelekin kamu, apalagi sama Farhan,” ucap Alisha dengan suara lembut.
“Gak usah ngeles lagi, Mbak. Aku udah tahu semuanya, kok,” sahut Farida sinis.
“Memangnya apa yang kamu tahu?” tanya Alisha dengan ekspresi tak habis pikir.
“Kamu gak suka sama aku, karena selama ini aku gak pernah cuci baju kan? Perkara aku nitip beberapa potong baju buat dicuciin aja, mbak sampai segitunya ngaduin aku ke Mas Farhan,” kata Farida dengan penuh kekecewaan, “Padahal mbak sendiri di sini cuma numpang! Mbak juga makan dari uang Mas Faisal kan? Masa mbak maunya cuma santai-santai tiap hari, tanpa kasih kontribusi?” lanjutnya dengan nada menyalahkan.
“Ribut banget? Sampai kedengaran dari luar. Ada apa sih?” tanya Faisal heran saat baru pulang kerja dan mendapati suasana yang tegang di dalam rumah.
Farida langsung mengadu, “Kamu ajarin istri kamu ini, Mas, biar dia gak suka adu domba.”
Faisal dan Alisha sama-sama kaget mendengar ucapan Farida.
Faisal menarik tangan Alisha menuju kamar dengan agak kasar, membuat Alisha meringis kesakitan.“Mas, kenapa kamu narik-narik tangan aku kayak gini? Tangan aku sakit, Mas,” protes Alisha sambil berusaha melepaskan tangannya yang dicengkeram Faisal. Setibanya di kamar, Faisal segera menutup pintu dan melepaskan pegangannya. Pria itu menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Kamu bisa gak sih, sehari aja gak bikin masalah?”“Aku gak bikin masalah apa-apa!” balas Alisha dengan tegas, ia kesal selalu dipersalahkan.“Kalau kamu gak bikin masalah, kenapa Farida sampai marah-marah begitu?” tanya Faisal. Alisha tak langsung menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain— enggan menatap suaminya dalam kondisi seperti ini.“Kenapa malah diam? Jawab!” ucap Faisal dengan suara meninggi. Alisha akhirnya kembali menatap Faisal, namun masih tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Andai pun ia menjawab apa adanya, belum tentu Faisal akan mempercayai ucapannya.“Sebelumnya aku udah bilang, aku g
“Sudah gila kamu, Mas? Aku cuma ngingetin kamu buat gak bersikap seenaknya ke mbak Alisha, kamu malah mikir kalau aku suka sama istri kamu?” geram Farhan. “Kalau kamu gak suka sama Alisha, buat apa kamu bela-belain dia terus?” bentak Faisal. “Karena aku gak suka liat perlakuan orang-orang di rumah ini ke mbak Alisha! Nyadar dong, Mas. Mbak Alisha ini juga anak perempuan orang— coba bayangin kalo orangtua mbak Alisha sampai tahu kalau di sini, mbak Alisha diperlakukan kayak gini,” ucap Farhan. “Gak usah sok nasihati! Kamu itu tau apa?” geram Faisal. Farhan maju, mau mendekat pada Faisal seperti siap berkelahi, tapi Alisha lebih dulu berdiri di antara Faisal dan Farhan. “Udah-udah cukup! Gak usah ribut. Farhan, udah gak usah diterusin. Mas Faisal capek, baru pulang kerja. Kamu jangan ngajak ribut.” “Mas Faisal sendiri yang ngajak ribut,” ucap Farhan dengan suara meninggi. Faisal dan Farhan saling bertatapan dengan dengan tajam. Diam-diam, Alisha menatap Farhan dengan ekspresi memo
Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”“Aku emang nggak
Farhan yang baru pulang dan sempat mendengar cibiran Farida pada Alisha, merasa kesal melihat kakak iparnya diperlakukan demikian oleh adiknya. Farhan melangkah mendekati meja setrika dan meraih baju yang saat itu sedang disetrika oleh Alisha.“Aku ambil ya, Mbak,” ucap Farhan, memotong aktivitas Alisha. Alisha kaget karena Farhan tiba-tiba muncul dan merebut baju yang sedang dia setrika. “Tapi itu belum selesai disetrika.”Tanpa menjawab ucapan Alisha, Farhan melangkah mendekati Farida yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv. Dengan tegas, ia melempar baju tersebut ke arah Farida hingga menutupi mukanya, “Setrika sendiri! Itu baju kamu kan?” teriak Farhan dengan nada tinggi.Farida kaget dan buru-buru menyingkirkan pakaian dari mukanya. “Mas Farhan!! Kamu apaan sih?”“Kamu yang apaan? Ngapain tadi ngata-ngatain mbak Alisha males? Yang ada kamu sendiri yang males! Masa iya baju kamu dicuciin, disetrikain sama mbak Alisha?” bentak Farhan dengan penuh kekesalan.“Emang ke
“Minta maaf sama adikmu,” perintah Nur, menuntut ketaatan dari anak tengahnya. Farhan menatap ibunya dengan tatapan kecewa, Nur bahkan sudah mengerti alasannya marah, namun tetap Farida yang mendapat pembelaan darinya.“Farhan!!” tegas Nur sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Farhan menghela napas dalam-dalam, merasa tak memiliki pilihan, Farhan akhirnya melangkah mendekati Farida, kemudian duduk di sampingnya. Farhan lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Farida. “Farida, Mas minta maaf,” ucap Farhan dengan suara datar.Farida tak langsung menyambut uluran tangan Farhan, masih terdiam dengan rasa kesal.“Dimaafin gak sih?” Farhan mulai nyolot, membuat Farida akhirnya terpaksa menerima uluran tangan itu. “Iya!” jawab Farida dengan nada sama kesalnya.“Tapi ini permintaan maaf karena mas udah bentak kamu, soal teguran mas tadi, itu bukan kesalah
Alisha kaget melihat kemunculan Faisal yang tiba-tiba. Ia bangkit dengan ekspresi panik, takut jika suaminya salah paham. Farhan, yang masih mencuci piring, menoleh sekilas, tetapi terlihat tetap tenang. Dia lalu melanjutkan kegiatannya.“Mas, itu... aku cuma ngobrol sama Farhan,” jelas Alisha dengan cepat.“Ngobrol apa?” Faisal menanggapi dengan nada sinis.“Ngobrol biasa aja kok, Mas,” jawab Alisha, mencoba meredakan ketegangan.Faisal menegur tajam, “Kalo gak ada sesuatu yang penting, harusnya kamu nggak perlu ngobrol sama Farhan. Ingat, kamu itu perempuan yang udah bersuami.”Farhan yang mendengar kritik pedas Faisal jadi kesal. Dia menghentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh pada Faisal. “Mbak Alisha tadi sebenernya nasihatin aku, biar gak bikin ribut lagi. Itu penting atau nggak, tergantung penilaian kamu, Mas,” katanya tegas.Faisal menatap Farhan dengan sengit, tapi Fa
Minggu pagi, setelah shalat subuh berjamaah dengan Faisal. Alisha mencium tangan Faisal, “Mas, aku minta maaf kalau selama ini ada salah. Aku harap kamu bisa membimbing aku, biar aku bisa lebih baik.”Alisha memang masih sakit hati setelah mendengar pembicaraan Faisal dan ibu mertuanya tempo hari. Namun ia tak ingin terlalu fokus pada hal itu. Mengungkitnya di depan Faisal hanya akan menimbulkan konflik baru, atau bahkan lebih parah dari sebelumnya. Alisha lebih memilih mengalah, melupakan hal yang membuatnya terluka, demi keutungan keluarganya-- demi calon anak mereka juga.“Iya, makanya kamu tuh yang nurut sama suami. Jangan banyak drama selama kita masih numpang di rumah orangtua aku,” kata Faisal, seolah yang salah selama ini hanya Alisha.Alisha menahan getir. Meski hatinya terluka, tapi dia tidak ingin memperbesar perkara dan memilih mengangguk.“Iya, Mas. Aku berusaha kok,” katanya Alisha, meski jawaban tersebut
Alisha merasa napasnya tersangkut di tenggorokannya saat Faisal menatapnya dengan mata penuh kemarahan.“Berani kamu ngomong kayak gitu sama suami kamu? Istri durhaka!” bentak Faisal dengan nada tinggi.Alisha menelan ludahnya, terkejut mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari bibir Faisal. Kali ini, dia tidak bisa diam saja.“Kamu nyebut aku istri durhaka tanpa nyadar kalo kamu itu suami dzolim,” serunya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi yang membara di dalam dirinya. “Selama ini aku ngalah, tapi kamu malah nginjek-injek aku terus.”Sebelum Alisha sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Dia merasakan rasa sakit dan panas di pipinya, tapi yang lebih dalam dari itu adalah kekecewaan yang merayapi hatinya.Rasa sakit fisik mungkin hanya dirasakan di permukaan, namun kekecewaannya telah meremukkan sesuatu d
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis