Faisal menarik tangan Alisha menuju kamar dengan agak kasar, membuat Alisha meringis kesakitan.
“Mas, kenapa kamu narik-narik tangan aku kayak gini? Tangan aku sakit, Mas,” protes Alisha sambil berusaha melepaskan tangannya yang dicengkeram Faisal. Setibanya di kamar, Faisal segera menutup pintu dan melepaskan pegangannya. Pria itu menatap Alisha dengan ekspresi serius. “Kamu bisa gak sih, sehari aja gak bikin masalah?”
“Aku gak bikin masalah apa-apa!” balas Alisha dengan tegas, ia kesal selalu dipersalahkan.
“Kalau kamu gak bikin masalah, kenapa Farida sampai marah-marah begitu?” tanya Faisal. Alisha tak langsung menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain— enggan menatap suaminya dalam kondisi seperti ini.
“Kenapa malah diam? Jawab!” ucap Faisal dengan suara meninggi. Alisha akhirnya kembali menatap Faisal, namun masih tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Andai pun ia menjawab apa adanya, belum tentu Faisal akan mempercayai ucapannya.
“Sebelumnya aku udah bilang, aku gak bikin masalah apa-apa. Terserah kamu mau percaya atau gak,” ucap Alisha.
Faisal kesal mendengar jawaban Alisha. “Kamu ini gak pernah bisa menghargai aku sebagai suami! Aku nanya baik-baik sama kamu, tapi kenapa jawaban kamu seperti itu?!”
“Kalau pun aku cerita semuanya, memangnya kamu mau belain aku, Mas?” tanya Alisha dengan nada sarkas. “Selama ini kamu selalu belain ibu dan adik kamu, tanpa mau dengerin aku, kan?”
“Aku gak niat bela ibu atau adik aku! Aku cuma gak mau ada konflik di antara kamu sama keluarga aku. Mau gimana juga kita numpang di sini,” jelas Faisal.
“Iya, aku tau kita numpang di sini, Mas. Aku udah selalu berusaha menempatkan diri aku sebaik mungkin. Tapi harusnya kamu juga bisa ngertiin posisi aku, hidup sama mertua dan ipar juga bukan hal mudah buat aku,” kata Alisha dengan suara bergetar.
“Hidup dengan mertua dan ipar berat buat kamu?” tanya Faisal. “Maksud kamu, kamu gak suka tinggal sama keluarga aku?”
“Bukan gitu maksud aku, Mas. Aku cuma ngerasa kurang nyaman,” jelas Alisha.
“Apa bedanya?!” Faisal kesal. “Selama ini ibu selalu baik sama kamu, gak pernah beda-bedain posisi kamu, meski kamu menantu. Kenapa kamu gak ada terima kasihnya?”
Alisha merasa tertekan dengan pertanyaan itu. “Bukan masalah terima kasih, Mas. Aku bersyukur ibu selalu baik sama aku, tapi...” Alisha terdiam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Tapi, kadang aku ngerasa kurang nyaman. Mungkin ini karena ada perbedaan cara berpikir dan kebiasaan yang berbeda di antara keluarga kamu sama aku mas, jadi— saran aku, mending kita ngontrak rumah sendiri saja, Mas.”
Faisal kaget, “Kamu pengennya ngontrak? Kamu pikir gaji sebagai guru itu besar?” tanya Faisal dengan nada menyindir.
“Mas, kita bisa ngontrak rumah kecil-kecilan, kok,” Alisha mencoba membujuk.
“Alisha, ngontrak rumah itu cuma buang-buang uang. Daripada buat ngontrak, lebih baik uangnya dikumpulin, kan? Kebutuhan kita di masa depan masih banyak. Apalagi kamu lagi hamil. Butuh banyak uang buat anak kita nanti,” jelas Faisal.
“Tapi mas, aku juga butuh tempat tinggal yang nyaman,” ucap Alisha meski agak ragu.
“Apa rumah ini kurang nyaman? Kamu itu gak bisa bersyukur banget,” kata Faisal dengan nada agak kesal.
“Mas,” Alisha baru mau bicara, tapi Faisal menyela, “Udah cukup! Jangan ngajak debat lagi.”
Alisha akhirnya terdiam, tidak berani mendebat lagi.
“Aku lapar, kamu buruan siapin makanan sana,” ucap Faisal sambil melepas kemejanya.
“Iya, Mas,” ucap Alisha segera keluar dari kamar.
Alisha berjalan menuju dapur, untuk menyiapkan makanan untuk Faisal. Di dapur, Alisha mengupas bawang dalam diam sambil terus memikirkan pembicaraan dengan Faisal. Sesekali, ia mengusap air matanya yang hampir jatuh.
Setelah selesai mengupas bawang, Alisha mengulek bumbu, tetapi pikirannya masih melayang ke perdebatan yang baru saja terjadi. Setelah selesai menghaluskan bumbu, Alisha menumisnya bersama nasi putih. Ketika nasi goreng akhirnya matang, dia menyiapkannya di atas piring.
Faisal keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang lesu. Melihat Alisha sibuk di dapur, dia pergi ke arahnya dan duduk di meja makan dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Nasi gorengnya udah siap, Mas,” ucap Alisha dengan suara lembut.
“Makasih,” jawab Faisal tanpa ekspresi.
Dia mulai menyantap makanannya dengan cepat, tetapi tak lama kemudian, dia memuntahkan makanan itu kembali ke piring. Wajahnya terlihat kesal.
Alisha terkejut melihat reaksi Faisal. “Kenapa, Mas?” tanyanya.
“Apaan ini? Asin banget! Kamu gak ikhlas masakin aku?” tanya Faisal dengan nada yang meninggi. Alisha kaget dan sakit hati mendengar ucapan Faisal, namun ia lebih memilih mencicipi nasi goreng buatannya. Setelah menyadari jika nasi goreng buatannya memang terlalu asin, Alisha menunduk merasa bersalah. “Maaf, Mas. Aku tadi agak bengong pas masak.”
“Kebanyakan alasan kamu! Bilang aja kamu emang keberatan masak buat aku,” tuding Faisal dengan nada penuh emosi, membuat Alisha semakin tertekan.
“Aku beneran minta maaf, Mas. Gimana kalau aku buatin lagi nasi gorengnya?” tawar Alisha.
“Gak perlu! Kelamaan! Keburu aku kelaparan!” bentak Faisal. Alisha terkejut mendengar sentakan Faisal. Farhan tiba-tiba muncul dan tanpa sengaja mendengar Alisha dibentak-bentak.
“Kenapa Mbak Alisha dibentak-bentak kayak gitu, Mas?” tanya Farhan dengan wajah heran.
Alisha kaget dan malu karena ada orang lain yang melihat dirinya dibentak Faisal. Faisal menjelaskan keadaannya, “Aku baru pulang kerja, capek, minta dibikinin nasi goreng malah keasinan gini. Padahal aku udah lapar banget.”
“Tinggal makan aja sih, Mas. Lagian mbak Alisha sudah berusaha masakin,” kata Farhan mencoba menengahi.
Faisal mengabaikan ucapan Farhan dan mengalihkan perhatian, “Kamu kapan sampai rumah?” tanyanya pada Farhan.
“Tadi pagi,” jawab Farhan.
Faisal mengangguk, “Harusnya waktu ibu suruh kamu pulang, kamu buruan pulang. Selama ini ibu selalu kangen sama kamu,” kata Farhan.
“Iya, maaf, Mas. Tapi selama ini aku kan hidup sama bibi. Meski bibi sudah meninggal setahun lalu, rasanya aku masih belum bisa ninggalin rumah bibi,” kata Farhan.
Faisal mengangguk, lalu menepuk bahu Farhan. “Mas ngerti. Maaf, ya, mas gak kurang bisa ngertiin kondisi kamu.”
Farhan menggeleng dan tersenyum. “Mas tadi katanya lapar? Makan sayur capcai yang dimasak Mbak Alisha tadi pagi aja, kan masih ada.”
Faisal menggeleng malas. “Aku terbiasa makan makanan yang baru dimasak,” ucap Faisal dengan wajah malas.
“Tapi kasihan mbak Alisha kalau harus bolak balik masak, Mas. Dia kan lagi hamil muda, jangan bikin dia kecapean,” ujar Farhan dengan nada prihatin.
“Kecapean apa? Seharian Alisha cuma di rumah, yang capek itu aku, baru pulang kerja,” kata Faisal.
Farhan dan Alisha kaget mendengar ucapan itu.
“Mas, Mbak Alisha memang seharian di rumah, tapi banyak yang dia kerjain. Dia bukan cuma leha-leha doang di rumah,” tambah Farhan, mencoba menjelaskan kondisi Alisha kepada Faisal.
Faisal menghela napas panjang, lalu menatap Alisha dengan mata kecewa. “Jadi benar yang dibilang sama Farida, kamu memang ngadu macem-macem sama Farhan?”
Alisha dan Farhan kaget mendengar pertanyaan Faisal. “Aku gak pernah ngadu, Mas,” bantah Alisha.
Farhan kesal mendengar pertanyaan Faisal. “Mas, kenapa malah ngomong kayak gitu ke mbak Alisha? Mbak Alisha gak pernah ngadu apa-apa sama aku. Pas aku baru pulang, aku liat sendiri mbak Alisha nyuci baju banyak banget. Segala baju ibu sama Farida juga dicuciin sama mbak Alisha,” jelas Farhan.
Faisal menanggapinya dengan santai, “Udah sewajarnya.”
Farhan yang mendengar ucapan santai itu jadi geram. “Orang-orang di rumah ini pada kenapa sih? Farida, Ibu, bahkan kamu, Mas... kenapa semua seenaknya nyuruh-nyuruh mbak Alisha kayak pembantu? Kamu itu suaminya, harusnya kamu bisa memuliakan istri kamu.”
Faisal geram mendengar ucapan Farhan. “Aku dengar dari Farida, dari tadi kamu belain Alisha. Kenapa? Kamu suka sama Alisha?”
DEG! Farhan kaget mendengar pertanyaan Faisal. Alisha pun tak habis pikir.
“Sudah gila kamu, Mas? Aku cuma ngingetin kamu buat gak bersikap seenaknya ke mbak Alisha, kamu malah mikir kalau aku suka sama istri kamu?” geram Farhan. “Kalau kamu gak suka sama Alisha, buat apa kamu bela-belain dia terus?” bentak Faisal. “Karena aku gak suka liat perlakuan orang-orang di rumah ini ke mbak Alisha! Nyadar dong, Mas. Mbak Alisha ini juga anak perempuan orang— coba bayangin kalo orangtua mbak Alisha sampai tahu kalau di sini, mbak Alisha diperlakukan kayak gini,” ucap Farhan. “Gak usah sok nasihati! Kamu itu tau apa?” geram Faisal. Farhan maju, mau mendekat pada Faisal seperti siap berkelahi, tapi Alisha lebih dulu berdiri di antara Faisal dan Farhan. “Udah-udah cukup! Gak usah ribut. Farhan, udah gak usah diterusin. Mas Faisal capek, baru pulang kerja. Kamu jangan ngajak ribut.” “Mas Faisal sendiri yang ngajak ribut,” ucap Farhan dengan suara meninggi. Faisal dan Farhan saling bertatapan dengan dengan tajam. Diam-diam, Alisha menatap Farhan dengan ekspresi memo
Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”“Aku emang nggak
Farhan yang baru pulang dan sempat mendengar cibiran Farida pada Alisha, merasa kesal melihat kakak iparnya diperlakukan demikian oleh adiknya. Farhan melangkah mendekati meja setrika dan meraih baju yang saat itu sedang disetrika oleh Alisha.“Aku ambil ya, Mbak,” ucap Farhan, memotong aktivitas Alisha. Alisha kaget karena Farhan tiba-tiba muncul dan merebut baju yang sedang dia setrika. “Tapi itu belum selesai disetrika.”Tanpa menjawab ucapan Alisha, Farhan melangkah mendekati Farida yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv. Dengan tegas, ia melempar baju tersebut ke arah Farida hingga menutupi mukanya, “Setrika sendiri! Itu baju kamu kan?” teriak Farhan dengan nada tinggi.Farida kaget dan buru-buru menyingkirkan pakaian dari mukanya. “Mas Farhan!! Kamu apaan sih?”“Kamu yang apaan? Ngapain tadi ngata-ngatain mbak Alisha males? Yang ada kamu sendiri yang males! Masa iya baju kamu dicuciin, disetrikain sama mbak Alisha?” bentak Farhan dengan penuh kekesalan.“Emang ke
“Minta maaf sama adikmu,” perintah Nur, menuntut ketaatan dari anak tengahnya. Farhan menatap ibunya dengan tatapan kecewa, Nur bahkan sudah mengerti alasannya marah, namun tetap Farida yang mendapat pembelaan darinya.“Farhan!!” tegas Nur sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Farhan menghela napas dalam-dalam, merasa tak memiliki pilihan, Farhan akhirnya melangkah mendekati Farida, kemudian duduk di sampingnya. Farhan lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Farida. “Farida, Mas minta maaf,” ucap Farhan dengan suara datar.Farida tak langsung menyambut uluran tangan Farhan, masih terdiam dengan rasa kesal.“Dimaafin gak sih?” Farhan mulai nyolot, membuat Farida akhirnya terpaksa menerima uluran tangan itu. “Iya!” jawab Farida dengan nada sama kesalnya.“Tapi ini permintaan maaf karena mas udah bentak kamu, soal teguran mas tadi, itu bukan kesalah
Alisha kaget melihat kemunculan Faisal yang tiba-tiba. Ia bangkit dengan ekspresi panik, takut jika suaminya salah paham. Farhan, yang masih mencuci piring, menoleh sekilas, tetapi terlihat tetap tenang. Dia lalu melanjutkan kegiatannya.“Mas, itu... aku cuma ngobrol sama Farhan,” jelas Alisha dengan cepat.“Ngobrol apa?” Faisal menanggapi dengan nada sinis.“Ngobrol biasa aja kok, Mas,” jawab Alisha, mencoba meredakan ketegangan.Faisal menegur tajam, “Kalo gak ada sesuatu yang penting, harusnya kamu nggak perlu ngobrol sama Farhan. Ingat, kamu itu perempuan yang udah bersuami.”Farhan yang mendengar kritik pedas Faisal jadi kesal. Dia menghentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh pada Faisal. “Mbak Alisha tadi sebenernya nasihatin aku, biar gak bikin ribut lagi. Itu penting atau nggak, tergantung penilaian kamu, Mas,” katanya tegas.Faisal menatap Farhan dengan sengit, tapi Fa
Minggu pagi, setelah shalat subuh berjamaah dengan Faisal. Alisha mencium tangan Faisal, “Mas, aku minta maaf kalau selama ini ada salah. Aku harap kamu bisa membimbing aku, biar aku bisa lebih baik.”Alisha memang masih sakit hati setelah mendengar pembicaraan Faisal dan ibu mertuanya tempo hari. Namun ia tak ingin terlalu fokus pada hal itu. Mengungkitnya di depan Faisal hanya akan menimbulkan konflik baru, atau bahkan lebih parah dari sebelumnya. Alisha lebih memilih mengalah, melupakan hal yang membuatnya terluka, demi keutungan keluarganya-- demi calon anak mereka juga.“Iya, makanya kamu tuh yang nurut sama suami. Jangan banyak drama selama kita masih numpang di rumah orangtua aku,” kata Faisal, seolah yang salah selama ini hanya Alisha.Alisha menahan getir. Meski hatinya terluka, tapi dia tidak ingin memperbesar perkara dan memilih mengangguk.“Iya, Mas. Aku berusaha kok,” katanya Alisha, meski jawaban tersebut
Alisha merasa napasnya tersangkut di tenggorokannya saat Faisal menatapnya dengan mata penuh kemarahan.“Berani kamu ngomong kayak gitu sama suami kamu? Istri durhaka!” bentak Faisal dengan nada tinggi.Alisha menelan ludahnya, terkejut mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari bibir Faisal. Kali ini, dia tidak bisa diam saja.“Kamu nyebut aku istri durhaka tanpa nyadar kalo kamu itu suami dzolim,” serunya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi yang membara di dalam dirinya. “Selama ini aku ngalah, tapi kamu malah nginjek-injek aku terus.”Sebelum Alisha sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Dia merasakan rasa sakit dan panas di pipinya, tapi yang lebih dalam dari itu adalah kekecewaan yang merayapi hatinya.Rasa sakit fisik mungkin hanya dirasakan di permukaan, namun kekecewaannya telah meremukkan sesuatu d
Alisha merasa kelelahan ketika ia dan Farhan akhirnya tiba di parkiran klinik bidan Rose. Alisha turun dari motor dan mengusap keringat yang bercucuran di wajahnya. Farhan yang baru melepas helm melihat itu, tampak khawatir melihat Alisha yang terlihat pucat. “Mbak gapapa? Mukanya pucat banget gitu?”Alisha menggeleng dan berusaha terlihat baik-baik saja, “Mbak gapapa, kok. Kayaknya cuma kecapean aja.”“Capeknya orang hamil itu nggak bisa diremehin, Mbak. Nanti pasti dimarahin sama bu Bidan, kalo tau selama ini kegiatan mbak Alisha banyak banget,” cerocos Farhan yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Alisha.“Mbak masuk dulu sana, aku nunggu di sini,” kata Farhan sambil duduk di kursi yang ada di pinggiran parkiran. Alisha mengangguk dan berniat masuk ke klinik.Alisha belum sempat meninggalkan area parkir, karena saat itu dia lebih dulu berpapasan dengan Surti— tetangga mereka yang sedang hamil be
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis