Farhan menatap Faisal dengan tatapan tajam. “Harusnya kamu ngaca, Mas! Kamu pikir pria beristri pantas duduk berduaan sama perempuan lain?” sindir Farhan.
Faisal mencoba membela diri, “Aku bukan lagi berdua-duaan di tempat sepi, Farhan! Tapi di warung. Kebetulan aja Rahma lagi makan di sini, gak mungkin aku ngusir dia kan?”
“Tapi kalian tadi gak lagi makan,” timpal Farhan. “Kalian bercanda, ketawa-tawa, keliatan akrab banget. Lagian kamu aneh, Mas. Sama perempuan lain ramah banget, kenapa sama istri sendiri malah ngebentak-bentak mulu?”
“Siapa yang ngebentak-bentak mulu?” tanya Faisal kesal.
“Aku denger sendiri tadi kamu bentak-bentak mbak Alisha cuma karena masakan dia keasinan, masih mau nyangkal?” ucap Farhan tajam. “Mas, kamu itu imam keluarga. Harusnya kamu mengayomi istri kamu, bukan seenaknya nindas dia.”
Faisal merasa kesal karena ucapan Farhan yang terus menyudutkan dirinya. “Aku nggak pernah nindas Alisha. Lagian kamu itu tahu apa? Kamu bahkan belum nikah.”
“Aku emang nggak tau apa-apa soal pernikahan, aku emang belum nikah. Makanya, harusnya kamu kasih contoh yang baik buat aku, jangan sampe jadi suami dzolim gitu!”
Ucapan tegas dari Farhan sontak membuat Faisal naik pitam, dia melotot tak terima karena disebut suami dzolim oleh adiknya.
“Makin kurang ajar omongan kamu!!”
“Kurang ajar bagian mananya, Mas? Bukannya aku cuma negur kamu?” tanya Farhan dengan sedikit ketus.
“Tapi harusnya kamu itu tau sopan santun, mau gimana juga aku ini kakak kamu,” sahut Faisal dengan nada kesal.
Farhan menatap Faisal dengan tajam, “Oh, jadi kalo kamu kakak, aku gak boleh negur kamu gitu, Mas?”
“Udahlah, aku malas debat sama kamu, gak ada habisnya!” desis Faisal dengan nada frustasi, lalu melengos pergi meninggalkan Farhan sendirian.
Farhan mendengus kesal, merasa frustrasi dengan situasi yang terjadi, lalu kembali menghampiri motornya dan pergi dari sana.
***
Faisal melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat, kepalanya masih dipenuhi dengan pertengkaran panas yang baru saja dia alami dengan Farhan. Saat baru masuk rumah, dia melihat Farida—adik bungsunya, duduk di sofa dengan wajah cemberut. Faisal mendekatinya, bertanya dengan nada penasaran, “Kenapa muka kamu cemberut gitu?”
“Lagi kesel,” sahut Farida.
“Kesel kenapa?”
“Biasa, istri kamu caper lagi tuh. Tadi lagi nyeterika, terus ngeluh mual-mual katanya. Padahal setrikaan masih banyak. Sekarang kamu lihat tuh, ruang tengah berantakan banget, cucian kering belum disetrika pada numpuk di sana,” keluh Farida.
Faisal merasakan kekesalan semakin bertambah. “Alisha gimana sih?” gumamnya sendiri, berusaha menahan emosi yang mulai memuncak.
“Bilangin istri kamu dong, Mas. Suruh nyelesain setrikaan dulu, aku tuh malu pake baju kusut,” pinta Farida, menambahkan beban pikiran Faisal.
“Iya, tapi kamu jangan manyun gitu dong.” Faisal mencubit hidung adiknya dengan lembut, mencoba meredakan kekesalan adiknya.
“Ih, Mas Faisal nyebelin!” keluh Farida sambil mengusap hidungnya dengan manja, lalu tertawa kecil melihat sikap kakaknya yang selalu saja menggodanya.
“Lagian kamu manyun mulu, dikira cantik apa bibir dimonyong-monyongin gitu?” goda Faisal lagi.
“Biarin!” sahut Farida, kemudian keduanya kembali tertawa-tawa.
“Mas mau ke kamar dulu deh, nanti mas tegur mbak Alisha, biar dia nyelesein kerjaan dulu,” kata Faisal. Farida langsung mengacungkan jempolnya. “Sekalian mas kasih tau mbak Alisha, kurang-kurangin tuh kebiasaan capernya, ilfeel aku liatnya tau!”
“Iyaa!!” Faisal mengacak rambut Farida sebelum berjalan menuju kamarnya.
Tiba di kamar, Faisal segera masuk ke dalam dan melihat Alisha yang terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Perempuan itu tampak mengurut pangkal hidungnya seolah menahan sakit kepala.
“Kenapa lagi sih kamu?” tanya Faisal sambil mendekati istrinya.
“Aku pusing banget, Mas. Mual juga. Barusan aku muntah-muntah lagi,” keluh Alisha sambil berusaha bangkit dari posisi rebahan.
Namun begitu ia mencoba bangkit, Alisha merasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Ia pun mengurut keningnya dengan pelan, mencoba meredakan rasa tidak nyamannya.
“Jangan fokus ke pusing sama mualnya dong. Kalo kamu terus males-malesan, yang ada kamu malah makin pusing, makin lemes. Mending dipake buat aktivitas, biar pusingnya ilang,” bujuk Faisal sambil duduk di samping Alisha.
“Kamu pikir pusing sama mual aku bisa ilang gitu aja kalo aku coba alihin, Mas? Kamu nggak ngerasain sendiri sih— aku tuh pusing banget, dipake buat duduk gini aja rasanya muter-muter,” ujar Alisha dengan suara lemah, wajahnya juga pucat. Faisal hanya menghela napas panjang mendengar keluhan istrinya.
Tak dapat respons dari Faisal, Alisha memutuskan untuk kembali berbaring di kasur. “Aku mau istirahat dulu, Mas.”
“Gapapa kalau kamu mau istirahat, tapi minimal kamu selesein dulu tugas kamu,” ujar Faisal.
“Tugas apa maksud kamu?” tanya Alisha, menoleh pada Faisal.
“Setrikaan di ruang tengah itu, kan belum selesai. Numpuk sampe kayak gunung gitu, masa gak kamu beresin?” jelas Faisal.
“Mas, sebenernya tadi aku cuma mau nyetrika seragam kerja kamu. Tapi Farida tiba-tiba naruh baju-baju dia, makanya numpuk semua di ruang tengah,” keluh Alisha. “Sebenernya aku nggak masalah nyetrikain baju dia, tapi sekarang ini aku pusing banget, Mas. Aku nggak kuat lanjut nyetrika.”
“Alisha, kamu inget kan dulu pesen aku apa? Aku minta sama kamu buat jaga hubungan sama keluarga aku,” kata Faisal.
Alisha merasa kesal dan akhirnya bangkit dari posisi rebahan, lalu duduk menghadap Faisal dengan tatapan kecewa. “Kamu minta aku buat berusaha jaga hubungan sama keluarga kamu, tapi kenapa kamu gak pernah ingetin keluarga kamu buat jaga perasaan aku, Mas? Selama ini mereka seenaknya sama aku!” ucap Alisha dengan suara penuh emosi, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Faisal yang melihat kedua mata istrinya berkaca-kaca jadi kesal dan menghela napas panjang. “Kamu itu kenapa sih? Sejak hamil jadi sensitif banget? Dikit-dikit marah, dikit-dikit nangis,.”
“Kamu emang nggak pernah mau ngertiin aku, Mas,” jawab Alisha sambil mengusap airmatanya sebelum mengalir lebih banyak.
Alisha kemudian bangkit dari duduknya, merasa lelah berdebat dengan suaminya. Dia memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, memaksa dirinya untuk tetap kuat melanjutkan aktivitas meski rasa pusing dan mual sangat menyiksanya.
Tiba di ruang tengah, Alisha kembali menyetrika tumpukan pakaian yang ada sana, sambil menahan pusing yang semakin menjadi-jadi. Saat baru mulai menggosok sepotong pakaian milik Farida, tiba-tiba Alisha merasa perutnya seperti diaduk dari dalam.
Mualnya tiba-tiba datang luar biasa. Ia membekap mulutnya, berusaha keras menahan diri agar tidak terus menerus muntah. Namun suara dari mulutnya tak bisa dikendalikan.
Farida yang kebetulan sedang nonton tv tak jauh dari meja setrika mendengarnya, lalu mencibir. “Mulai lagi deh, bilang aja kalau males,” sindirnya dengan nada sinis.
Farhan yang baru pulang dan sempat mendengar cibiran Farida pada Alisha, merasa kesal melihat kakak iparnya diperlakukan demikian oleh adiknya. Farhan melangkah mendekati meja setrika dan meraih baju yang saat itu sedang disetrika oleh Alisha.“Aku ambil ya, Mbak,” ucap Farhan, memotong aktivitas Alisha. Alisha kaget karena Farhan tiba-tiba muncul dan merebut baju yang sedang dia setrika. “Tapi itu belum selesai disetrika.”Tanpa menjawab ucapan Alisha, Farhan melangkah mendekati Farida yang masih duduk di sofa ruang tengah sambil nonton tv. Dengan tegas, ia melempar baju tersebut ke arah Farida hingga menutupi mukanya, “Setrika sendiri! Itu baju kamu kan?” teriak Farhan dengan nada tinggi.Farida kaget dan buru-buru menyingkirkan pakaian dari mukanya. “Mas Farhan!! Kamu apaan sih?”“Kamu yang apaan? Ngapain tadi ngata-ngatain mbak Alisha males? Yang ada kamu sendiri yang males! Masa iya baju kamu dicuciin, disetrikain sama mbak Alisha?” bentak Farhan dengan penuh kekesalan.“Emang ke
“Minta maaf sama adikmu,” perintah Nur, menuntut ketaatan dari anak tengahnya. Farhan menatap ibunya dengan tatapan kecewa, Nur bahkan sudah mengerti alasannya marah, namun tetap Farida yang mendapat pembelaan darinya.“Farhan!!” tegas Nur sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Farhan menghela napas dalam-dalam, merasa tak memiliki pilihan, Farhan akhirnya melangkah mendekati Farida, kemudian duduk di sampingnya. Farhan lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Farida. “Farida, Mas minta maaf,” ucap Farhan dengan suara datar.Farida tak langsung menyambut uluran tangan Farhan, masih terdiam dengan rasa kesal.“Dimaafin gak sih?” Farhan mulai nyolot, membuat Farida akhirnya terpaksa menerima uluran tangan itu. “Iya!” jawab Farida dengan nada sama kesalnya.“Tapi ini permintaan maaf karena mas udah bentak kamu, soal teguran mas tadi, itu bukan kesalah
Alisha kaget melihat kemunculan Faisal yang tiba-tiba. Ia bangkit dengan ekspresi panik, takut jika suaminya salah paham. Farhan, yang masih mencuci piring, menoleh sekilas, tetapi terlihat tetap tenang. Dia lalu melanjutkan kegiatannya.“Mas, itu... aku cuma ngobrol sama Farhan,” jelas Alisha dengan cepat.“Ngobrol apa?” Faisal menanggapi dengan nada sinis.“Ngobrol biasa aja kok, Mas,” jawab Alisha, mencoba meredakan ketegangan.Faisal menegur tajam, “Kalo gak ada sesuatu yang penting, harusnya kamu nggak perlu ngobrol sama Farhan. Ingat, kamu itu perempuan yang udah bersuami.”Farhan yang mendengar kritik pedas Faisal jadi kesal. Dia menghentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh pada Faisal. “Mbak Alisha tadi sebenernya nasihatin aku, biar gak bikin ribut lagi. Itu penting atau nggak, tergantung penilaian kamu, Mas,” katanya tegas.Faisal menatap Farhan dengan sengit, tapi Fa
Minggu pagi, setelah shalat subuh berjamaah dengan Faisal. Alisha mencium tangan Faisal, “Mas, aku minta maaf kalau selama ini ada salah. Aku harap kamu bisa membimbing aku, biar aku bisa lebih baik.”Alisha memang masih sakit hati setelah mendengar pembicaraan Faisal dan ibu mertuanya tempo hari. Namun ia tak ingin terlalu fokus pada hal itu. Mengungkitnya di depan Faisal hanya akan menimbulkan konflik baru, atau bahkan lebih parah dari sebelumnya. Alisha lebih memilih mengalah, melupakan hal yang membuatnya terluka, demi keutungan keluarganya-- demi calon anak mereka juga.“Iya, makanya kamu tuh yang nurut sama suami. Jangan banyak drama selama kita masih numpang di rumah orangtua aku,” kata Faisal, seolah yang salah selama ini hanya Alisha.Alisha menahan getir. Meski hatinya terluka, tapi dia tidak ingin memperbesar perkara dan memilih mengangguk.“Iya, Mas. Aku berusaha kok,” katanya Alisha, meski jawaban tersebut
Alisha merasa napasnya tersangkut di tenggorokannya saat Faisal menatapnya dengan mata penuh kemarahan.“Berani kamu ngomong kayak gitu sama suami kamu? Istri durhaka!” bentak Faisal dengan nada tinggi.Alisha menelan ludahnya, terkejut mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari bibir Faisal. Kali ini, dia tidak bisa diam saja.“Kamu nyebut aku istri durhaka tanpa nyadar kalo kamu itu suami dzolim,” serunya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi yang membara di dalam dirinya. “Selama ini aku ngalah, tapi kamu malah nginjek-injek aku terus.”Sebelum Alisha sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Dia merasakan rasa sakit dan panas di pipinya, tapi yang lebih dalam dari itu adalah kekecewaan yang merayapi hatinya.Rasa sakit fisik mungkin hanya dirasakan di permukaan, namun kekecewaannya telah meremukkan sesuatu d
Alisha merasa kelelahan ketika ia dan Farhan akhirnya tiba di parkiran klinik bidan Rose. Alisha turun dari motor dan mengusap keringat yang bercucuran di wajahnya. Farhan yang baru melepas helm melihat itu, tampak khawatir melihat Alisha yang terlihat pucat. “Mbak gapapa? Mukanya pucat banget gitu?”Alisha menggeleng dan berusaha terlihat baik-baik saja, “Mbak gapapa, kok. Kayaknya cuma kecapean aja.”“Capeknya orang hamil itu nggak bisa diremehin, Mbak. Nanti pasti dimarahin sama bu Bidan, kalo tau selama ini kegiatan mbak Alisha banyak banget,” cerocos Farhan yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Alisha.“Mbak masuk dulu sana, aku nunggu di sini,” kata Farhan sambil duduk di kursi yang ada di pinggiran parkiran. Alisha mengangguk dan berniat masuk ke klinik.Alisha belum sempat meninggalkan area parkir, karena saat itu dia lebih dulu berpapasan dengan Surti— tetangga mereka yang sedang hamil be
“Aku ada urusan!” balas Faisal sekenanya.“Iya, aku tadi kan tanya urusan apa yang lebih penting dari nganterin istri kamu ke bidan buat periksa kandungan?!” sindir Farhan, lalu dia menoleh pada Nur. “Ibu tahu, minggu kemarin Mas Faisal ngapain?”Nur hanya diam, mengingat saat itu Faisal memang berada di rumah tanpa kesibukan apapun.“Minggu kemarin aku sempet liat Mas sebelum aku pergi ke minimarket, kayaknya Mas gak ngapa-ngapain kan? Makanya aku heran, pas balik dari minimarket malah jetemu mbak Alisha duduk sendirian nunggu angkot. Kenapa mbak mbak Alisha dibiarin pergi sendiri? Panas-panasan lagi,” lanjut Farhan, merasa semakin kesal. “Terus sekarang aku yang salah, karena nganter mbak Alisha?”“Terus kamu mau nyalahin siapa kalau sekarang kamu digosipin orang sekampung? Mau nyalahin aku, iya?!” bentak Faisal.“Aku nggak nyalahin kamu, Mas! Aku cuma minta pengertian
Alisha merasa tak tahan jika hanya memerhatikan keakraban antara Faisal dan perempuan lain. Alisha akhirnya memutuskan untuk keluar kamar, kemudian melangkah menuju ruang tamu di mana Faisal masih asyik berbincang dengan seorang wanita cantik berlesung pipi itu. Wajah Faisal berseri-seri, dipenuhi senyuman yang membuat Alisha semakin merasa cemburu.“Ada tamu? Siapa, Mas?” tanya Alisha begitu tiba di ruang tamu.Faisal dengan tenang memperkenalkan, “Ini Bu Rahma. Salah satu guru di sekolah tempatku mengajar, guru Bahasa Indonesia.”Rahma dengan sopan berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Alisha. “Rahma,” wanita itu memperkenalkan diri.Alisha pun menyambut uluran tangan itu dengan canggung, mencoba menyembunyikan perasaan cemburunya. “Alisha.”Setelah Rahma kembali duduk, Alisha tetap diam. Faisal menatap Alisha dengan sedikit keheranan, “Ngapain bengong? Bikinin minum sana,&
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis