Sementara di tempat lain, Indah terjaga semalaman penuh. Dia mengepalkan tangannya saat mengingat foto syur yang terkirim di ponselnya.“Lalu siapa lagi yang harus kupercayai jika orang yang selama ini menjadi panutanku saja ternyata mengecewakanku? Ibu, kenapa Ayah setega itu melukai hati kita?” gumamnya sambil mengusap air mata.Gadis itu menerawang di masa lalu kebersamaan keluarga mereka. Walau selalu dipenuhi ambisi, tapi Indah tidak pernah kekurangan kasih sayang dari ayah dan juga ibunya. Mereka berdua juga selalu menunjukkan kemesraan di depan Indah hingga membuat Indah sulit mempercayai apa fakta yang baru saja dia dapatkan. Saat dia tengah meratapi nasib hidupnya, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Dia melirik siapa yang sudah mengusik ketenangannya malam-malam beigni.“Kenapa lagi tua bangka ini meneleponku?” gumamnya.Dengan malas gadis itu langsung mengangkat teleponnya karena sang ayah terus saja meneleponnya tanpa henti.Ayah Indah : “Halo, Ndah. Kamu itu tuli atau g
Pagi ini badanku rasanya lelah sekali. Bagaimana tidak lelah? Semalam waktu kami baru saja sampai di apartemen, Mas Devan sudah minta jatah lagi. Dia menyerangku dengan sangat brutal sampai aku benar-benar tidak bertenaga lagi. Dasar lelaki, mau keadaan lelah pun masih tetap mengutamakan nafsunya. Tapi aku bahagia karena dicintai oleh lelaki yang sempurna dan bersedia menerima kekuranganku seperti Mas Devan. Senyumku tak lekang dari bibir kala memandang wajah tampan suamiku yang tengah memejamkan matanya setelah pertempuran panas kami. Hidungnya yang mancung menambah kadar ketampanan yang sudah dia miliki. "Sayang, jangan menatapku seperti itu. Kau bisa membuatku kembali bergairah dan menerkammu lagi saat ini," ucap Mas Devan tiba-tiba.Aku terkesiap karena Mas Devan yang tadinya kukira masih terlelap tidur ternyata sudah bangun. Suara serak khas bangun tidurnya membuatku semakin candu dengan suamiku setiap harinya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menarikku dalam pelukannya dan me
Kakak kandung Devan beserta istrinya terdiam. Keduanya saling memandang sebelum akhirnya menatap Devan dengan tatapan sendu. "Apa Mama dan Papa masih akan menerima kehadiranku setelah sekian lama aku pergi?" tanya kakak Devan. "Kak, percayalah, Mama dan Papa selalu mengharap kehadiran kalian. Pulanglah, Kak, kelola perusahaanmu. Itu aset untuk anak istrimu di masa depan," jawab Devan. "Apa Kakak tahu? Setelah kepergian Kak Rendi, Papa langsung membangun rumah sakit dengan harapan agar Kak Rendi mau kembali lagi. Kak, aku tidak pernah memintamu melakukan macam-macam. Aku hanya ingin Kak Rendi pulang dan kita kembali berkumpul lagi," pinta Devan. "Aku akan memikirkannya dahulu. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja, Van. Ada banyak orang yang membutuhkan bantuanku. Secepatnya, aku pasti akan kembali," kata kakak Devan. Setelah mengatakan itu, Kakak Devan mempersilahkan dia dan Alin untuk meminum minuman yang sudah disuguhkan juga bernostalgia masa lalu mereka. “Kalian
Devan duduk termenung di balkon apartemen setelah Alin tidur. Lelaki itu merenungkan semua kalimat yang membuatnya perlahan mulai menyadari kelalaiannya selama ini. Kata-kata yang Alin ucapkan tadi bagaikan pedang yang menusuk ulu hatinya. Dia teringat jika selama ini dia memang sudah lama tidak melakukan amal kebaikan pada orang yang membutuhkan.“Aku memang sudah lupa dengan kewajibanku sejak lama. Harusnya aku berbagi pada mereka, tapi aku sudah lama melalaikannya. Tuhan, apa memang benar yang dikatakan Alin? Apa Engkau memberikan semua ini memang untuk menghukum Hamba?”Dia merasa hidupnya sangat hampa dan kosong. Dia memang membenarkan jika selama ini dia hidup bergelimang harta, tapi dia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dia punya. Dia selalu tenggelam dalam pekerjaan sampai sering melalaikan kewajibannya. Hatinya terasa kosong bahkan ketika di keramaian pun, dia tidak pernah merasakan kenyamanan hidup.Dia menikmati kopi yang dia seduh sambil menikmati semilir angin
Devan berjingkat kaget saat Alin tiba-tiba datang dan menimpali ucapannya. Dia sampai mengelus dadanya dan menggeleng pelan.“Sayang, kamu hobi sekali membuat Mas kaget,” ujar Devan.Alin hanya tersenyum lebar, “he he he maaf, Mas. Habisnya kamu sih pakai menyebut ratu singa segala. Nggak biasanya lho kamu mengeluarkan kalimat-kalimat nyeleneh,” tutur Alin. “Memangnya siapa sih yang mau jadi ratu singa, Mas?”“Jawab nggak ya?” ujar Devan menggoda, “nggak usah jawab aja deh ya.”“Ih, Mas jangan gitu dong. Aku sudah kepalang penasaran nih!” jawab Alin protes.“Itu sepupu kamu, si Indah. Kemarin-kemarin saja dia sangat berambisi mau merebut Mas dari kamu, eh sekarang dianya malah mundur sendiri,” jawab Devan terkekeh.“Idih, kamu terlalu percaya diri sekali ya, Mas!” ujar Alin protes. “Ya kan buktinya memang gitu kan, Yang? Tandanya suami kamu ini masih gagah dan cool,” ucap Devan sambil menaik turunkan alisnya.“Sudah ah jangan bahas itu lagi. Bikin bete aja!” ujar Alin bersung
Alin berusaha menenangkan pilot dan pramugari yang masih sedikit syok. Sedangkan Devan tengah berusaha menghubungi keluarganya.“Shitt ... di sini sangat sulit untuk mendapatkan sinyal. Bagaimana caranya untuk memberi tahu mereka?” umpat Devan.“Sebaiknya jangan hubungi mereka dulu, Sayang. Biarkan saja mereka berusaha mencari kita,” ungkap Alin mengusulkan.“Apa maksudmu Sayang? Kita sedang berada di pulau yang bahkan kita tidak tahu ini di kawasan mana. Kita sedang dalam keadaan yang sangat darurat, lalu bagaimana bisa kamu sesantai ini?”Alin tersenyum misterius, “kalian semua tenang saja, kita tidak benar-benar terdampar.”Semua anak buah Devan saling lirik dan menggeleng tidak tahu. “Apa maksud Anda, Nyonya?” “Bukankah kita sekarang sedang berada di pulau tidak berpenghuni? Apalagi tidak ada akses untuk bisa keluar dari sini, tidak ada sinyal pula. Bagaimana aku bisa mengabari keluargaku,” keluh salah satu pilot.“Sebenarnya, ini adalah pulau pribadi milikku,” jawab Ali
Ibu Devan langsung menjatuhkan teleponnya dan terduduk lemas. Sang suami yang melihatnya langsung menghampirinya karena sang istri terlihat syok. “Ma, ada apa Ma? Kenapa kamu jadi lemas seperti ini?” tanya sang suami. “Pa, anak kita, Pa, anak ki-“"Kenapa? Ada apa dengan anak kita?"Belum sampai ibu Devan melanjutkan kalimatnya, wanita tua itu langsung memegangi dadanya yang tiba-tiba menjadi sesak. Ayah Devan menjadi semakin panik luar biasa. Dia langsung memanggil sopir untuk menyiapkan mobil guna membawa sang istri ke rumah sakit. "Sopir! Cepat siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang!" perintah sang suami.*** Sesampainya di rumah sakit, ibu Devan langsung mendapatkan penanganan intensif. Sedangkan, ayah Devan langsung membuka ponsel sang istri karena penasaran dengan siapa sang istri berbicara hingga membuatnya seperti ini. “Halo, Anda sebenarnya siapa? Dan apa saja yang sudah Anda katakan pada istri saya?” tanya ayah Devan tegas. “Saya hanya menyampaikan kabar jika pesaw
Tuan Bimantara masih diam tidak merespon permintaan sang istri. Lelaki tua itu menghela nafasnya dengan dalam sebelum mengeluarkan suaranya. Dia melihat orang-orang yang sedang memperhatikannya. “Rendi, ikut Papa ke ruangan kerja sekarang. Ajak wanita di sampingmu juga.” Rendi dan istrinya langsung mengikuti ayah Devan menuju ruangan kerjanya. Sedangkan sang putri tetap berada di ruang tempat para pelayat duduk. *** Sesampainya di ruang kerja, sang ayah mempersilahkan Rendi dan istrinya untuk duduk. Baik Rendi maupun istrinya sama-sama menunduk. Mereka masih sama-sama diam dan berusaha mengendalikan perasaan mereka masing-masing. “Siapa namamu, Nak?” tanya sang ayah tiba-tiba. “Saya Desya, Pa, istri Mas Rendi,” jawab Desya mendongak. “Apakah anak perempuan tadi anak kalian?” tanyanya lagi. Mereka berdua mengangguk dengan kompak. Ayah Devan memijat kedua pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang mendera. “Kenapa kalian menikah tanpa memberi kabar kami, Nak? Apa kalian ini su