Mobil Pajero yang Wisnu kendarai berhenti di depan sebuah hotel mewah yang terletak tidak jauh dari pusat kota Jakarta. Seketika kening Nada pun berkerut."Kita mau apa, Mas?" tanya Nada setelah sekilas menatap bangunan yang terlihat asri, dengan pepohonan berjajar pada jalanan setapak menuju lobby hotel."Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu," jawab Wisnu sekilas membalas tatapan Nada. Lalu mematikan mesin mobil."Kita bicara di sini saja, Mas!" cetus Nada dengan wajah datar. Ia membuang tatapannya saat Wisnu seketika menoleh kepadanya. Bibirnya mengerucut, tanda jika ia masih dilanda kekesalan."Tidak mau!" tegas Wisnu penuh penekanan. Lelaki itu segera turun dari dalam mobil dan memutar tubuhnya ke arah pintu mobil yang berada di samping Nada berada.Nada mendengus berat. Meskipun ia sedang kesal, akhirnya ia mengikuti kemauan Wisnu.____Udara dingin menyeruak saat Wisnu membuka pintu kamar hotel yang telah ia sewa. Cukup nyaman meskipun tidak terlalu luas. Kamar hotel itu m
Wanita berwajah cantik yang berdiri di meja resepsionis menatap Asma dari ujung kaki hingga ujung kepala. Netranya memicing sinis."Mbak apakah saya bisa bertemu dengan Bang Wisnu?" ucap Asma. Ia merasa canggung dengan cara pandang wanita cantik yang berada balik meja resepsionis. Secara tidak langsung, seperti menelanjanginya."Anda siapa ingin mencari Tuan Wisnu?" balas wanita penjaga resepsionis dengan nada ramah. Meskipun ia menatap Asma sinis, tapi demi keprofesionalan pekerjaan ia harus tetap bersikap ramah kepada tamu perusahaan yang datang."Saya adalah istri Tuan Wisnu. Saya hanya ingin mengantarkan bekal ini untuk Bang, eh maksud saya Tuan Wisnu," jawab Asma seraya menggoyangkan rantang yang berada di tangannya. Senyuman juga terulas dari bibirnya."Istri?" Wanita cantik yang berdiri di depan Asma pun terkejut seketika. "Anda istri Tuan Wisnu?" cetusnya lagi seperti tidak percaya."Iya Mbak, saya istri Tuan Wisnu, kenapa Mbak, apakah ada yang salah?" balas Asma dengan nada s
Suara dering telepon menyadarkan Asma dari rasa kantuk yang sempat mendera. Memaksanya untuk terlelap meski sesaat. Balita yang berada di dalam pelukannya nampak sudah tertidur pulas setelah kenyang dengan air susu Asma.Asma menepuk bokong Akbar yang tertidur, ia takut jika suara dering telepon yang meraung akan membangunkannya. Cukup lama, namun suara telepon yang berasal dari ruang tamu terdengar begitu nyaring dan masih berbunyi.Asma bergegas bangkit sebelum suara telepon yang berdering itu membangunkan Akbar.Tidak ada siapapun orang yang Asma temui. Pantas saja telepon itu meraung-raung. Asma segera meraih gagang telepon dan menempelkannya ke dekat telinga."Halo," sapa Asma pada seseorang yang berada di balik telepon. Sepersekian detik tidak ada sahutan dari balik telepon. "Halo," sapa Asma lagi."Halo!" suara berat di balik telepon membuat Asma terkejut."Iya, halo," balas Asma. "Mau cari siapa?" tanya Asma penasaran."Saya ingin bertemu dengan Nada, apakah Nada berada di ru
Wajah Nada mendadak berubah pucat. Ia berusaha untuk menutupi tanda merah bekas ia bercinta dengan Wisnu dengan telapak tangannya."Oh ini, ehm, tadi aku habis masuk angin. Jadi aku minta dikerokin," dusta Nada. Ia memasang wajah penuh keyakinan pada Asma. Agar wanita berkerudung itu percaya dengan ucapannya.Sejenak Asma terdiam. Netranya menatap intens pada wajah Nada lalu pada tanda merah yang berada di leher wanita itu secara bergantian."Siapa yang mengerokin Mbak Nada?" celetuk Asma. Ia yakin tanda pada leher Nada bukanlah bekas kerokan. "Bukankah Mbak Nada baru pulang dari kantor?" cerca Asma menatap curiga.Nada semakin gugup. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat berpikir untuk sesaat. "Tadi aku minta tolong sama Sekertaris aku, As. Habis aku tidak betah, rasanya ingin muntah dan di perut' tidak enak sekali," jelas Nada memasang wajah gelisah."Oh ...!" Asma mengangguk lembut tanda mengerti. "Seperti itu," imbuh Asma."As, apa yang sedang kamu lakukan di sana?
Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pintu kamar memecah keheningan yang tercipta di dalam kamar yang terletak di sudut lantai bawah."Ah ... Siapa sih!" gerutu Asma berdecak kesal. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu dan meninggalkan Wisnu. Lelaki dengan setelan pakaian kerja itu menghela nafas panjang. Ia terlihat lega, pada akhirnya ia tidak perlu menjawab pertanyaan Asma."Sarapan pagi sudah siap, Nyonya," ucap suara Bik Tum dari luar pintu terdengar hingga ke telinga Wisnu."Baiklah, aku dan Bang Wisnu akan segera ke sana," jawab Asma seraya menyungingkan senyuman ramah.Beberapa saat kemudian terdengar suara derit pintu yang tertutup. Wanita dengan kerudung abu-abu itu berjalan menghampiri Wisnu."Ternyata jadi orang kaya sangat menyenangkan sekali ya, Bang. Pagi-pagi kita tidak perlu menyiapkan makanan, tidak perlu mikirin mau masak apa, tidak perlu bersih-bersih rumah," ucap Asma bergelayut manja pada bahu kekar Wisnu. Lelaki pemilik lesung pi
Wisnu berjalan gontai menuju ke arah meja makan. Mengambil tas kerja miliknya yang tertinggal di sana. Asma segera menghampiri lelaki itu, ia terlihat panik."Bang, apa yang ayah bilang?" seloroh Asma mengikuti langkah Wisnu yang berjalan ke arah ruang makan setelah mengambil tas miliknya."Tidak apa-apa, As!" balas Wisnu sekilas menatap pada Asma. Tapi wajah lelaki itu sama sekali tidak bisa berbohong. Kekesalan tergambar jelas di sana.Asma mengikuti Wisnu hingga ke beranda rumah. Ia tau jika Wisnu menyembunyikan sesuatu darinya. "Bang, jawab!" cetus Asma mendesak. Wisnu menatap, gerakan tangannya terhenti memegangi pintu mobil yang terbuka.Wisnu menjatuhkan tatapan teduh. Satu tangannya membelai lembut wajah Asma. Setelah ia beberapa kali menghela nafas panjang. Meredam semua gemuruh yang sedang bergejolak. "Mulai sekarang kalau ada yang telepon, jangan kamu angkat ya!" titah Wisnu. Asma terdiam seraya mengangguk lembut. Ia sadar jika dirinya telah lancang."Iya Bang," lirihnya.
Dengan langkah cepat wanita yang membawa beberapa kantong belanjaan itu segera masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan lewat online. Sesekali ia menatap ke belakang punggung, pada kaca mobil. Pada kedai bakso tempat Asma memilih untuk menunggunya.Dengupan jantung Bik Tum seperti hampir terlepas dari tempatnya. Keringat dingin membahasi sekujur tubuhnya. Ia masih memperhatikan kedai bakso tempat Asma menunggu. Tapi ia sama sekali tidak melihat wanita itu di sana."Bodo amat, yang penting aku sudah menjalankan perintah dari Nyonya Nada. Dasar wanita sundal!" gerutu Bik Tum membuang tatapannya pada kaca yang berada di depan kemudi. Ia mendekap erat kantong plastik yang berisi barang bawaannya.Mobil yang membawa Bik Tum melaju semakin menjauh dari pasar tradisional yang terletak sangat jauh sekali dari rumah Tuan Sangir. Ia sengaja memilih pasar tradisional terbesar itu agar Asma tidak dapat kembali pulang seperti apa yang Nada perintahkan kepadanya._____Malam semakin merangkak naik.
Suara hentakan kaki mendengung keras pada lorong panjang apartemen menuju kamar Danil. Suasana terasa sepi dan hening. Karena waktu sudah memasuki dini hari. Tidak ada aktivitas apapun di apartemen itu."Kenapa kamu pulang selarut ini?" tanya Asma memecah keheningan yang tercipta. Ia menatap pada punggung lelaki jangkung yang berjalan mendahuluinya."Ada beberapa pekerja yang harus segera aku selesaikan. Makanya aku lembur," jawab Danil menoleh sekilas.Asma mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu percaya. Aroma alkohol dari tubuh Danil itulah yang membuatnya ragu. "Tapi kenapa tubuhmu beraroma alkohol?" celetuknya. Sepanjang perjalanan di dalam mobil Danil. Asma memilih untuk diam, aroma minuman keras dari tubuh lelaki itu seakan membuat perut' Asma seperti diaduk-aduk.Danil menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Menoleh pada Asma. Sejenak ia menatap sinis pada Asma."Ini bukan alkohol, hanya penghangat tubuh saja," jawab Danil mengakhiri k