Cahaya matahari menelusup masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Bunga-bunga yang berada di taman kecil di belakang rumah memulai bermekaran. Berwarna warni sangat indah. Aroma khas bunga melati bahkan menyeruak hingga ke kamar Asma.Suara ketukan pintu mengalihkan tatapan Asma dari pantulan diri pada kaca cermin yang ada di hadapannya."Nyonya, sarapannya sudah siap!" ucap suara asisten rumah tangga Wisnu yang berada di luar pintu kamar."Iya Bik!" jawab Asma. "Sebentar lagi saya akan ke sana!"Tangan Asma terulur meraih kerudung berwarna nude yang telah Ia siapkan di atas meja. Wanita itu sangat menyukai kerudung dengan model pashmina dan warna-warna yang lembut yang mencerminkan kelembutan hatinya.Setelah merasa nyaman dengan kerudung yang ia kenakan. Asma berjalan menuju ke arah pintu keluar. Sesaat benaknya teringat dengan lelaki yang sama sekali tidak ia lihat dari kemarin."Apakah Abang sudah pulang?" guman Asma menghentikan langkah kakinya di balik pintu kamar. Tangannya m
"Wanita itu?" tegas seseorang yang berdiri di depan Danil. Dia adalah salah satu karyawan yang bekerja di kantor Wisnu. Selain sebagai karyawan di perusahaan milik Wisnu. Lelaki itu juga adalah mata-mata Danil yang bertugas untuk mengawasi keadaan perusahaan Wisnu Hutama dan semua yang ingin Danil ketahui dari perusahaan milik Wisnu.Lelaki itu mengeryitkan dahi. Memasang wajah berpikir. Ini adalah kali ke dua saat tiba-tiba Danil menanyakan sosok seorang wanita yang sering datang ke kantor Wisnu. Sebulan yang lalu Danil sempat menanyakan tentang Natasya pada lelaki itu dan dia mengatakan jika Natasya memang sering datang ke kantor Wisnu. Bahkan karyawan yang bekerja di perusahaan milik Wisnu berpikir jika hubungan Wisnu dan Natasya lebih dari seorang teman. Karena kenyataan itulah Danil murka dan menghukum Natasya menjadi budak nafsu di rumahnya. Apalagi setelah mendengar aduan Bianca, Danil merasa telah dihianati."Sepertinya aku sudah tidak pernah melihat wanita itu ke sini lagi. E
Alunan musik klasik berputar sejak tadi. Lagu-lagu tahun' sembilan puluhan menemani sepanjang Danil dan Asma masuk ke dalam cafe yang terletak tidak jauh' dari perusahan Wisnu Hutama. Asma menolak saat Danil mengajaknya pergi ke restoran Cina. Katanya dia tidak suka dengan makanan yang berasal dari negeri tirai bambu itu. Ia lebih memilih makanan lokal.Gelas capuccino yang berada di depan Danil telah mengembun. Bongkahan es yang mendinginkan minum itu telah mencair. Membuat butiran embun pada dinding luar gelas. Selama Danil menunggu Asma memulai kalimatnya."Kamu baik-baik aja?" tanya Danil setelah Asma kembali dari toilet. Wajahnya nampak begitu pucat. Satu tangannya memegangi perutnya yang masih rata. Wanita itu terlihat sangat lemas sekali.Asma mengangguk lembut. Meskipun sebenarnya dia sedang tidak baik-baik saja. Rasa mual kerap kali datang, mengaduk-aduk isi perutnya. Tapi rasa penasaran datang lebih besar."Kamu yakin tidak ingin pesan apapun?" Danil menatap lekat, memperhat
Tujuh bulan telah berlalu. Tidak sedikitpun Asma curiga jika Wisnu telah membangi cintanya. Meksipun hingga lima bulan pernikahannya dengan Natasya. Sekalipun Wisnu tidak pernah menyentuh tubuh gadis berbadan dua itu. Seperti apa yang sudah ia tulis dalam surat perjanjian pernikahan. Wisnu baru akan memberikan nafkah yang sesungguhnya pada Natasya, setelah hasil tes DNA bayi itu keluar dan menyatakan jika bayi itu adalah putra Wisnu.Beberapa menu masakan kesukaan Natasya sudah tersaji di atas makan. Asisten rumah tangga yang menemani Natasya sudah menyiapkan semuanya. Wisnu sengaja' menyewa seorang pembantu, bagaimanapun sebagai seorang suami, Wisnu tidak tega melihat gadis muda yang masih duduk di bangku kuliah itu melakukan semua pekerjaan rumahnya sendirian. Apalagi gadis itu kini sedang berbadan dua."Nyonya, sarapannya sudah siap!" Perempuan dengan pakaian kuno itu memanggil Natasya yang masih terpekur di samping jendela kamarnya. Setelah perutnya yang semakin besar, Wisnu menya
Seperti apa yang Natasya inginkan. Dia tidak mau menunggu tapi ia ingin ditunggu. Jika cinta bisa diukur dengan akal, sudah pasti Natasya akan memilih Desta sebagai calon suaminya. Diantara semua lelaki yang ia kenal, hanya Desta lah lelaki yang mampu mengerti semua kemauannya. Bahkan lelaki itu kerap kali mengalah demi melihat kebahagiaan Natasya. Tapi sayangnya, tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam pikiran Natasya untuk mencintai Desta. Lelaki yang ia kenakan sejak bangku sekolah itu memiliki porsi tersendiri di dalam hati Natasya. Hanya sebatas teman baik.Pandangan Natasya tertuju pada kaca yang berada di samping mobil. Pada lelaki bertopi hitam dengan wajah gusar yang mengarahkan tatapannya ke sekeliling halaman luas sebuah pusat perbelanjaan di kota Jakarta."Turun di depan saja, Pak!" ucap Natasya pada lelaki yang duduk di bangku kemudi."Baik Bu!" jawab supir taksi itu. Perlahan ia menepikan mobilnya tepat di jalanan depan menuju ke arah pintu masuk pusat perbelanjaan.Se
Natasya tau betul punggung bidang lelaki yang berdiri di depan meja kasir itu. Sekalipun ia melihatnya dari jarak yang cukup jauh dan hanya postur tubuh bagian belakangnya saja yang terlihat. Tetapi Natasya paham punggung bidang itu milik siapa."Nat, sepertinya itu adalah Pak Wisnu. Jangan-jangan dia ingin membelikan keperluan untuk bayi kamu," lirih Desta terbata. Wajahnya nampak berpikir, lalu menjatuhkan tatapan akhirnya pada perut buncit Asma. Baru saja Natasya hendak menjawab terkaan Desta, seorang wanita bergamis purple dengan kerudung besar muncul dari balik rak-rak yang berada di dalam toko perlengkapan bayi tersebut. Perutnya sama buncitnya dengan Natasya. Wanita itu menyodorkan beberapa potong pakaian bayi kepada Wisnu yang berdiri di samping meja kasir."Nat, di-dia siapa?" Desta terbata. Kedua matanya membulat, jari telunjuknya terulur ke arah Wisnu yang tengah membayar semua barang belanjaan. Bersama wanita bergamis purple yang berdiri di sampingnya."Dia adalah istri M
Perlahan lengan kekar yang menahan tubuh Natasya menarik tubuhnya bangkit berdiri tegak. Ia pikir, dirinya akan jatuh. Ternyata takdir berkata lain."Kamu tidak apa?" Suara tidak asing itu kembali terdengar. Membuat debaran dalam jantung Natasya berdegup semakin kencang. Tapi ia masih setia memejamkan matanya. Ragu untuk membuka, takut jika seseorang yang telah menolongnya adalah lelaki yang tidak asing itu."Nat, kamu tidak apa-apa, kan?" Seseorang menyentuh bahu Natasya. Setelah suara Desta masuk ke dalam indra pendengarannya.Perlahan Natasya membuka matanya. Benar saja, suara itu memang milik lelaki yang tidak asing seperti yang ia duga."Sayang, ayo!" ucap suara manja seorang wanita yang melingkarkan tangannya pada lengan kekar Danil.Sejenak Danil dan Natasya saling bersitatap. Entah mengapa melihat Danil sedang bersama wanita berambut kecoklatan itu hatinya semakin perih. Selama ini lelaki bertubuh jangkung itu sangat tergila-gila kepada Natasya. Apapun akan Danil berikan pada
"Bik, halo!" Wisnu menaikkan sedikit nada suaranya. Saat suara Bibik menghilang di balik telepon. Sambungan telepon itu mendadak sudah putus. Wajah Wisnu nampak panik.Sejenak Wisnu berpikir. Tidak seperti biasanya asisten rumah tangganya yang bekerja di rumah yang Natasya tempati menghubunginya saat ia berada di rumah Asma. Sebelum wanita itu berkerja untuk Wisnu menemani Natasya, Wisnu sudah berpesan untuk tidak menghubunginya jika dirinya sedang berada di rumah Asma. Tentunya agar Asma tidak mencurigai apapun."Ada apa ini?" guman Wisnu dengan wajah berpikir. Kecemasan tergambar pada wajah Wisnu. Benaknya tertuju pada kehamilan Natasya.Pelan tangan Wisnu memutar gagang pintu kamar Asma. Membuka sedikit pintu berdinding abu-abu. Dari sela pintu Wisnu dapat melihat Asma tengah tertidur pulas dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Wisnu menghilangkan nafas panjang. Wajahnya nampak lega. Semenjak kehamilan Asma yang semakin membesar, wanita itu memiliki kebiasaan untuk dipij