Tujuh bulan telah berlalu. Tidak sedikitpun Asma curiga jika Wisnu telah membangi cintanya. Meksipun hingga lima bulan pernikahannya dengan Natasya. Sekalipun Wisnu tidak pernah menyentuh tubuh gadis berbadan dua itu. Seperti apa yang sudah ia tulis dalam surat perjanjian pernikahan. Wisnu baru akan memberikan nafkah yang sesungguhnya pada Natasya, setelah hasil tes DNA bayi itu keluar dan menyatakan jika bayi itu adalah putra Wisnu.Beberapa menu masakan kesukaan Natasya sudah tersaji di atas makan. Asisten rumah tangga yang menemani Natasya sudah menyiapkan semuanya. Wisnu sengaja' menyewa seorang pembantu, bagaimanapun sebagai seorang suami, Wisnu tidak tega melihat gadis muda yang masih duduk di bangku kuliah itu melakukan semua pekerjaan rumahnya sendirian. Apalagi gadis itu kini sedang berbadan dua."Nyonya, sarapannya sudah siap!" Perempuan dengan pakaian kuno itu memanggil Natasya yang masih terpekur di samping jendela kamarnya. Setelah perutnya yang semakin besar, Wisnu menya
Seperti apa yang Natasya inginkan. Dia tidak mau menunggu tapi ia ingin ditunggu. Jika cinta bisa diukur dengan akal, sudah pasti Natasya akan memilih Desta sebagai calon suaminya. Diantara semua lelaki yang ia kenal, hanya Desta lah lelaki yang mampu mengerti semua kemauannya. Bahkan lelaki itu kerap kali mengalah demi melihat kebahagiaan Natasya. Tapi sayangnya, tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam pikiran Natasya untuk mencintai Desta. Lelaki yang ia kenakan sejak bangku sekolah itu memiliki porsi tersendiri di dalam hati Natasya. Hanya sebatas teman baik.Pandangan Natasya tertuju pada kaca yang berada di samping mobil. Pada lelaki bertopi hitam dengan wajah gusar yang mengarahkan tatapannya ke sekeliling halaman luas sebuah pusat perbelanjaan di kota Jakarta."Turun di depan saja, Pak!" ucap Natasya pada lelaki yang duduk di bangku kemudi."Baik Bu!" jawab supir taksi itu. Perlahan ia menepikan mobilnya tepat di jalanan depan menuju ke arah pintu masuk pusat perbelanjaan.Se
Natasya tau betul punggung bidang lelaki yang berdiri di depan meja kasir itu. Sekalipun ia melihatnya dari jarak yang cukup jauh dan hanya postur tubuh bagian belakangnya saja yang terlihat. Tetapi Natasya paham punggung bidang itu milik siapa."Nat, sepertinya itu adalah Pak Wisnu. Jangan-jangan dia ingin membelikan keperluan untuk bayi kamu," lirih Desta terbata. Wajahnya nampak berpikir, lalu menjatuhkan tatapan akhirnya pada perut buncit Asma. Baru saja Natasya hendak menjawab terkaan Desta, seorang wanita bergamis purple dengan kerudung besar muncul dari balik rak-rak yang berada di dalam toko perlengkapan bayi tersebut. Perutnya sama buncitnya dengan Natasya. Wanita itu menyodorkan beberapa potong pakaian bayi kepada Wisnu yang berdiri di samping meja kasir."Nat, di-dia siapa?" Desta terbata. Kedua matanya membulat, jari telunjuknya terulur ke arah Wisnu yang tengah membayar semua barang belanjaan. Bersama wanita bergamis purple yang berdiri di sampingnya."Dia adalah istri M
Perlahan lengan kekar yang menahan tubuh Natasya menarik tubuhnya bangkit berdiri tegak. Ia pikir, dirinya akan jatuh. Ternyata takdir berkata lain."Kamu tidak apa?" Suara tidak asing itu kembali terdengar. Membuat debaran dalam jantung Natasya berdegup semakin kencang. Tapi ia masih setia memejamkan matanya. Ragu untuk membuka, takut jika seseorang yang telah menolongnya adalah lelaki yang tidak asing itu."Nat, kamu tidak apa-apa, kan?" Seseorang menyentuh bahu Natasya. Setelah suara Desta masuk ke dalam indra pendengarannya.Perlahan Natasya membuka matanya. Benar saja, suara itu memang milik lelaki yang tidak asing seperti yang ia duga."Sayang, ayo!" ucap suara manja seorang wanita yang melingkarkan tangannya pada lengan kekar Danil.Sejenak Danil dan Natasya saling bersitatap. Entah mengapa melihat Danil sedang bersama wanita berambut kecoklatan itu hatinya semakin perih. Selama ini lelaki bertubuh jangkung itu sangat tergila-gila kepada Natasya. Apapun akan Danil berikan pada
"Bik, halo!" Wisnu menaikkan sedikit nada suaranya. Saat suara Bibik menghilang di balik telepon. Sambungan telepon itu mendadak sudah putus. Wajah Wisnu nampak panik.Sejenak Wisnu berpikir. Tidak seperti biasanya asisten rumah tangganya yang bekerja di rumah yang Natasya tempati menghubunginya saat ia berada di rumah Asma. Sebelum wanita itu berkerja untuk Wisnu menemani Natasya, Wisnu sudah berpesan untuk tidak menghubunginya jika dirinya sedang berada di rumah Asma. Tentunya agar Asma tidak mencurigai apapun."Ada apa ini?" guman Wisnu dengan wajah berpikir. Kecemasan tergambar pada wajah Wisnu. Benaknya tertuju pada kehamilan Natasya.Pelan tangan Wisnu memutar gagang pintu kamar Asma. Membuka sedikit pintu berdinding abu-abu. Dari sela pintu Wisnu dapat melihat Asma tengah tertidur pulas dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Wisnu menghilangkan nafas panjang. Wajahnya nampak lega. Semenjak kehamilan Asma yang semakin membesar, wanita itu memiliki kebiasaan untuk dipij
Bibik sudah pulang beberapa saat yang lalu. Wisnu yang telah memintanya. Ia ingin memiliki waktu bersama Natasya. Pasti begitu juga keinganan Natasya. Hanya saja, wanita itu tidak lagi terlalu bersemangat untuk menuntut pada Wisnu. Mungkin karena ia sudah lelah terus-menerus memohon kepada Wisnu untuk menemaninya. Satu minggu, lelaki itu akan menginap di rumahnya. Tapi setelah itu, dia tidak akan pernah datang lagi. Kecuali minggu depan di hari yang sama. Setiap kali Natasya menuntut keadilan dari Wisnu, lelaki itu pasti akan mengelak. Baginya pernikahan yang terjadi bukan karena keinginannya. Melainkan keinganan Natasya sendiri.Dada Wisnu bergerak naik turun. Beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk mengisi kerongkongan yang terasa sesak. Menatap Natasya tergulai lemas dengan wajah pucat, mendadak ia merasa sangat bersalah sekali. Selama ini ia telah menghukum Natasya atas cinta yang tidak ia inginkan."Pergilah, aku baik-baik saja. Temani saja istrimu!" ucap Natasya membuyark
"Oke!" Wisnu membalikkan tubuhnya secara sempurna ke arah Natasya. Hampir saja wanita itu melompat dari lantai tiga rumah sakit. Degupan jantung Natasya memburu. Dadanya bergerak naik turun. Perlahan ia menurunkan kakinya dari atas bingkai jendela yang menghadap langsung ke arah halaman parkir rumah sakit. Lalu menangis tergugu dengan wajah tertunduk.Helaan nafas panjang terdengar, memecah keheningan di dalam ruangan berpendingin tempat Natasya di rawat. Wisnu melangkahkan kakinya mendekati Natasya yang menangis, menarik tubuh wanita berbadan dua itu kedalam pelukanku."Jangan tinggalkan aku, Mas! Aku sangat mencintai kamu!" Isak Natasya. "Apakah bukti cintaku kurang untuk kamu, Mas!" Bahu wanita yang berada di dalam pelukan Wisnu bergetar hebat."Sudah, jangan menangis. Kamu harus ingat kata dokter. Jika kamu sedih maka bayi yang ada di dalam perutmu juga akan ikut sedih," lirih Wisnu. Satu tangannya mengusap perut Natasya yang membesar. Disusul tangan Natasya yang memegangi tanga
Asma mempercepat langkah kakinya. Meskipun ia tidak bisa berlari dengan cepat seperti orang pada umumnya. Perutnya yang cukup membesar, membuatnya harus lebih berhati-hati. Takut terpleset dan terjatuh.Jarak antara Asma dan rumah yang berada di ujung lorong cukup jauh. Hampir ada lima belas meter. Ada empat rumah yang berjajar sepanjang jalan. Rumah kelima itu adalah rumah kosong, tempat terakhir Asma melihat sosok seorang bocah lelaki yang postur tubuhnya hampir mirip sekali dengan Gala yang masuk ke dalam rumah tidak berpenghuni itu.Senja menguning di tepi langit barat. Cahaya memudar hampir bersatu dengan gelap. Asma mengatur nafasnya yang hampir saja putus saat ia tiba di depan salah satu rumah elite yang tidak berpenghuni. Rumput-rumput setinggi mata kaki tumbuh di sekitar halaman rumah.Padangan Asma menyapu kesekeliling. Tidak adanya penerangan sedikitpun. Membuat Asma kesulitan untuk menatap. Beruntungnya langit yang menguning, masih bisa menolong Asma.Langka kaki Asma mera