Semua makanan sudah tersaji di atas meja makan. Saat lelaki yang mengenakan seragam kerja itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Bang, kok baru pulang?" seloroh Asma mengalihkan tatapannya pada Wisnu yang baru tiba. Di ruang makan sudah ada Akbar yang siap menyantap hidangan makan malam.Wisnu menghentikan langkah kakinya. Sekilas menatap pada Asma, ke arah pintu ruang makan yang berada dalam garis lurus ke arah anak tangga membuat Asma dapat dengan mudah melihat kedatangan Wisnu."Iya As, tadi jalanan macet" jawab Wisnu saat Asma berjalan menghampirinya yang hendak naik ke lantai atas.Asma hendak mengambil tas kerja yang berada di tangan bisa Wisnu. Tapi lelaki itu justru menjauhkannya."Biar aku bawa sendiri saja. Sekalian aku mau membersihkan diri," ucap Wisnu di sambut dengan anggukan lembut oleh Asma."Baiklah, aku tunggu Abang di ruang makan ya!" tutur Asma disambut dengan anggukan lembut oleh Wisnu. Lelaki pemilik lesung pipi itupun berjalan menaiki anak tangga menuj
Asma masih mematung setelah menutup pintu kamar. Degupan jantungnya berdebar kencang. Netranya menatap pada ranjang empuk yang siap menghangatkannya malam ini. Tubuhnya gemetar, takut jika Wisnu akan melakukan suatu kepadanya."As, kenapa?" Wisnu menoleh ke belakang punggungnya. Setelah menyadari jika Asma menghentikan langkah kakinya.Asma meringis. Ia semakin menggenggam erat kedua tangannya, dan meremas. "Ehm ...!" Asma tersenyum dengan pipi yang bersemu merah. Kehadiran Akbar di dalam hidupnya seperti mengembalikan gairah cintanya pada Wisnu. Tapi ia begitu ragu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri.Wisnu yang hampir sampai di dekat ranjang. Berjalan kembali menghampiri Asma yang masih berdiri di samping pintu. Dengan memasang wajah gugup."Kalau kamu tidak suka aku tidur di ranjang bersama kamu. Aku akan tidur di sofa saja," ucap Wisnu mengalihkan tatapannya pada bangku sofa yang berada di samping jendela kamar."Oh, tidak Bang, bukan begitu!" sahut Asma cepat, ser
Wanita bertubuh sintal itu berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Ia terus memikirkan cara untuk menunjuk keburukan Natasya pada Danil. Karena ia tidak rela jika Danil akan menikahi gadis yatim piatu itu.Suara dering ponsel mengalihkan tatapan Bianca pada benda pintar miliknya yang berada di atas meja kamar. Dengan langkah cepat ia berjalan menghampiri benda pintar itu. Netranya menatap sesaat pada layar ponsel yang berkedip."Akhirnya!" Bianca segera mengambil ponsel dan menekan tombol hijau pada layar. Lalu menempelkannya ke dekat telinga dengan cepat."Halo, Di, bagaimana? Kamu punya informasi apa?" cetus Bianca dengan nada memburui. Sejak tadi ia hanya menunggu informasi dari Diana, yang tidak lain' adalah Sekertaris Danil."Sepertinya kamu harus berhenti mengejar Tuan Danil, Bi!" lirih suara wanita yang berada di balik telepon. Mengisyaratkan jika suatu yang tidak Bianca inginkan akan ia sampaikan.Wajah Bianca mendadak berubah. "Kenapa? Memangnya ada apa?" sahut Bianca ce
Danil mengertakkan rahangnya. Matanya memicing menatap kesal pada Bianca. Wanita yang sedang berdiri di samping Asma itu semakin ketakutan. Meskipun Ia terus berusaha untuk tetap bersikap santai di depan Asma. Sesekali ekor matanya melirik pada Danil."Nona Bi, saya tunggu anda mampir ke rumah saya. Terimakasih saat itu anda sudah menolong saya," ucap Asma."Iya Mbak!" balas Bianca memasang senyum getir. Degupan jantungnya berpacu lebih cepat. Ingin sekali ia segera kabur, sebelum Danil menghakiminya."Saya sangat senang sekali bertemu dengan Nona Bi, di sini," tutur Asma. Bianca hanya tersenyum, ia tidak menjawab apapun. Sesekali ekor matanya melirik kepada Danil yang berdiri di depannya. "Nona Bi, saya harus pergi sekarang," pamit Asma menatap pada Bianca. Setelah sekilas ia melirik pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangan."Iya Mbak, saya juga harus pulang sekarang!" sahut Bianca cepat. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu untuk kabur."Oh, iya!" Asma tersenyum ramah
Bocah lelaki berambut ikal belah pinggir melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam rumah. Matanya menatap ke sekeliling mencari keberadaan Asma. Ia sudah mengelilingi semua ruangan yang berada di lantai bawah. Tapi ia tidak juga menemukan Asma di manapun.Wanita yang sedang membersihkan ruang televisi itu mengalihkan tatapannya kepada kehadiran Akbar yang masih mengenakan seragam sekolah. Suara derap langkah kakinya yang berjalan cepat membuatnya mencari sumber suara."Tuan sudah pulang?" tanya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Wisnu pada Akbar yang lewat ruang televisi.Mendadak Akbar menghentikan langkah kakinya. Mengalihkan tatapannya pada Bibik. "Bik, di mana ibu?" tanya Akbar dengan nada memburu. Matanya menatap ke sekeliling."Oh, Nyonya, sepertinya Nyonya ada di halaman belakang," jawab Bibik.Tanpa menjawab apapun, Akbar berlalu menuju ke halaman belakang rumah. Benar saja, ia melihat wanita bergamis besar itu sedang sibuk merawat tanaman yang berada di halaman belaka
Cahaya rembulan menambah kehangatan malam yang sedang Wisnu dan Asma ciptakan. Kesunyian malam menjadi saksi indahnya malam. Saat mereka saling mereguk madunya cinta. Hingga mencapai puncak yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Bersama memadu kasih dalam kebahagiaan yang sesungguhnya.Dada Wisnu bergerak naik turun bersama deru nafas yang memburu. Tubuhnya tergulai lemas dengan peluh yang membahasi tubuhnya. Sungguh malam ini adalah puncak malam yang selama ini ia inginkan. Setelah sekian lama ia harus menahan perasaan itu.Ekor mata Wisnu melirik kepada Asma yang berbaring di sampingnya. berbantalkan lengan kekarnya. Wanita itupun seperti kehabisan tenaga. Setelah pertempuran yang terjadi di antara mereka. Puas, itulah rasa yang kini sedang memenuhi dada Asma.Wisnu membelai lembut ujung kepala Asma. Satu kata yang bisa mengisyaratkan perasaannya saat ini, lega.Asma menoleh dengan senyuman hangat. Membalas tatapan Wisnu yang penuh binar. Cahaya remang-remang dari lampu tidur, menamb
Tidak ada suara lain di ruang makan kecuali suara sendok yang beradu dengan piring. Ruang makan yang berada di rumah berlantai dua milik Danil memang sudah terbiasa hening. Mereka membiasakan tidak ada pembicaraan saat mereka sedang menikmati makanan. Hingga acara menyantap makanan itu selesai."Aku sudah selesai makan, Ayah!" ucap Gala setelah menyelesaikan sarapan paginya.Danil menatap pada Gala. Ia pun memilih menyudahi menyantap makanan yang masih sedikit tersisa di atas piring."Gala, tunggu!" cegah Danil. Gerakan tubuh bocah lelaki yang mengenakan seragam sekolah itu pun terhenti. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di hadapan Danil, menatap pada lelaki itu. Di sebuah bangku meja makan minimalis, yang hanya terdiri dari empat bangku yang saling berhadapan."Ayah ingin bicara sesuatu padamu," ucap Danil menatap pada Gala. Ia melipat kedua tangannya di atas meja makan. Setelah menggeser piringnya ke tepi meja."Hari ini ayah akan pergi ke Lombok, ada uru
Kaki dengan s.endal jepit lusuh. Melangkah menyusuri lorong panjang. Suara derap langkah kakinya hampir saja tidak terdengar. Tubuhnya yang kurus, begitu ringan untuk berjalan. Tetapi tidak dengan suara langkah kaki wanita yang berjalan di belakangnya. Suara langkahnya, begitu jelas terdengar, hingga memekikkan telinga Nada yang berjalan mendahuluinya.Seorang lelaki bangkit dari bangku tunggu. Saat melihat wanita dengan kerudung hitam muncul dari balik penyekat ruangan. Seragam orange khas tahanan, melekat pada tubuh wanita kurus dengan wajah lusuh itu. Tatapan wanita itu seketika memicing saat melihat siapa tamu yang ingin bertemu dengannya. "Hanya lima belas menit!" Wanita berseragam kepolisian itu menatap kepada Danil. Sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan Nada di ruang tunggu bersama Danil.Danil mengangguk lembut, seraya tersenyum ramah. Ia kembali duduk pada bangku. Sementara Nada duduk pada bangku yang berada di hadapannya."Bagaimana kabar kamu, Nad?" tanya Danil sete