Bocah lelaki berambut ikal belah pinggir melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam rumah. Matanya menatap ke sekeliling mencari keberadaan Asma. Ia sudah mengelilingi semua ruangan yang berada di lantai bawah. Tapi ia tidak juga menemukan Asma di manapun.Wanita yang sedang membersihkan ruang televisi itu mengalihkan tatapannya kepada kehadiran Akbar yang masih mengenakan seragam sekolah. Suara derap langkah kakinya yang berjalan cepat membuatnya mencari sumber suara."Tuan sudah pulang?" tanya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Wisnu pada Akbar yang lewat ruang televisi.Mendadak Akbar menghentikan langkah kakinya. Mengalihkan tatapannya pada Bibik. "Bik, di mana ibu?" tanya Akbar dengan nada memburu. Matanya menatap ke sekeliling."Oh, Nyonya, sepertinya Nyonya ada di halaman belakang," jawab Bibik.Tanpa menjawab apapun, Akbar berlalu menuju ke halaman belakang rumah. Benar saja, ia melihat wanita bergamis besar itu sedang sibuk merawat tanaman yang berada di halaman belaka
Cahaya rembulan menambah kehangatan malam yang sedang Wisnu dan Asma ciptakan. Kesunyian malam menjadi saksi indahnya malam. Saat mereka saling mereguk madunya cinta. Hingga mencapai puncak yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Bersama memadu kasih dalam kebahagiaan yang sesungguhnya.Dada Wisnu bergerak naik turun bersama deru nafas yang memburu. Tubuhnya tergulai lemas dengan peluh yang membahasi tubuhnya. Sungguh malam ini adalah puncak malam yang selama ini ia inginkan. Setelah sekian lama ia harus menahan perasaan itu.Ekor mata Wisnu melirik kepada Asma yang berbaring di sampingnya. berbantalkan lengan kekarnya. Wanita itupun seperti kehabisan tenaga. Setelah pertempuran yang terjadi di antara mereka. Puas, itulah rasa yang kini sedang memenuhi dada Asma.Wisnu membelai lembut ujung kepala Asma. Satu kata yang bisa mengisyaratkan perasaannya saat ini, lega.Asma menoleh dengan senyuman hangat. Membalas tatapan Wisnu yang penuh binar. Cahaya remang-remang dari lampu tidur, menamb
Tidak ada suara lain di ruang makan kecuali suara sendok yang beradu dengan piring. Ruang makan yang berada di rumah berlantai dua milik Danil memang sudah terbiasa hening. Mereka membiasakan tidak ada pembicaraan saat mereka sedang menikmati makanan. Hingga acara menyantap makanan itu selesai."Aku sudah selesai makan, Ayah!" ucap Gala setelah menyelesaikan sarapan paginya.Danil menatap pada Gala. Ia pun memilih menyudahi menyantap makanan yang masih sedikit tersisa di atas piring."Gala, tunggu!" cegah Danil. Gerakan tubuh bocah lelaki yang mengenakan seragam sekolah itu pun terhenti. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di hadapan Danil, menatap pada lelaki itu. Di sebuah bangku meja makan minimalis, yang hanya terdiri dari empat bangku yang saling berhadapan."Ayah ingin bicara sesuatu padamu," ucap Danil menatap pada Gala. Ia melipat kedua tangannya di atas meja makan. Setelah menggeser piringnya ke tepi meja."Hari ini ayah akan pergi ke Lombok, ada uru
Kaki dengan s.endal jepit lusuh. Melangkah menyusuri lorong panjang. Suara derap langkah kakinya hampir saja tidak terdengar. Tubuhnya yang kurus, begitu ringan untuk berjalan. Tetapi tidak dengan suara langkah kaki wanita yang berjalan di belakangnya. Suara langkahnya, begitu jelas terdengar, hingga memekikkan telinga Nada yang berjalan mendahuluinya.Seorang lelaki bangkit dari bangku tunggu. Saat melihat wanita dengan kerudung hitam muncul dari balik penyekat ruangan. Seragam orange khas tahanan, melekat pada tubuh wanita kurus dengan wajah lusuh itu. Tatapan wanita itu seketika memicing saat melihat siapa tamu yang ingin bertemu dengannya. "Hanya lima belas menit!" Wanita berseragam kepolisian itu menatap kepada Danil. Sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan Nada di ruang tunggu bersama Danil.Danil mengangguk lembut, seraya tersenyum ramah. Ia kembali duduk pada bangku. Sementara Nada duduk pada bangku yang berada di hadapannya."Bagaimana kabar kamu, Nad?" tanya Danil sete
Langit masih gelap saat Gala terbangun dari tidurnya. Setelah menyelesaikan shalat subuh bocah lelaki itu kembali bergumul dengan selimut. Mungkin karena udara pagi yang masih terasa begitu dingin. Menjelang musim kemarau, memang sering terjadi perubahan cuaca yang ekstrim. Termasuk dengan dingin pagi ini, hampir saja Gala membeku saat menyentuh air wudhu beberapa saat yang lalu.Lantunan ayat kursi terdengar hingga ke rumah baru Gala. Kebetulan rumah baru yang menjadi tempat tinggalnya terletak begitu dekat sekali dengan Masjid. Hati Gala mendadak begitu sedih. Rindunya kepada Asma seperti sebuah siksaan yang ia sendiri pun tidak tau kapan ujungnya. Ia sudah bosan jika harus memohon dan meminta pada Danil untuk mengantarnya ke pulau seberang, menjenguk ibunya. Karena sudah pasti, lelaki itu akan memberikannya alasan yang berujung dengan penolakan.Bocah lelaki itu semakin erat memeluk guling. Dadanya mendadak terasa sesak setiap kali ia memikirkan Ibunya. Butiran air mata berjatuhan
Udara dingin semakin menusuk-nusuk tulang saat bus rombongan camping mulai memasuki kawasan hutan. Rintik hujan memukul-mukul kaca bus yang melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan yang licin membuat supir bus tidak berani menambah kecepatannya. Apalagi jalanan berkelok yang harus ia lalui. Kerap kali rawan terjadi kecelakaan.Gala mengeratkan jaket yang menutupi tubuhnya. Rasa dingin yang menusuk tulang, hampir sebanding dengan jiwanya yang terasa hampa. Kehidupannya yang baru bagikan jalan yang enggan untuk ia lalui. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain, kecuali harus tetap melangkah.Gala memejamkan matanya. Menyandarkan kepalanya pada kaca samping bus. Di mana, butiran air hujan menampar-nampar di sana. Menciptakan percikan kabut yang memburamkan padangannya pada kaca jendela bus.Gala tidak ingin tidur. Ia hanya ingin menciptakan bayangan-bayangan indah di masalalu yang dulu ia pikir sebagai hari yang sangat menjenuhkan. Tapi saat ini, hari itu adalah hari yang sangat ia rindukan.
Tangan yang masih terasa ngilu itu saling meremas. Wajah pemilik keberanian itu kini hanya mampu tertunduk lesu. Tidak seperti saat ia membabi buta melakukan penyerangan pada Gala. Saat emosinya meledak-ledak dan tidak tertahankan. Karena rasa kebencian yang menguasai hatinya.Sebenarnya masalah yang terjadi bukanlah sebuah alasan untuk Akbar marah. Tapi lebih karena rasa iri dan dengki yang mudah sekali menyulut amarahnya."Sekarang berikan ponsel itu pada kami!" titah suara berat yang menggetarkan dada Akbar. Tanpa menjawab atau bahkan menatap, Akbar memutar tubuhnya menuju ke arah tenda berwarna orange. Sesaat kemudian ia kembali dengan benda pintar yang menjadi sumber masalah perkelahian itu terjadi."Kenapa kamu membawa ponsel ini, jelas-jelas peraturan sudah menegaskan jika dilarang membawa ponsel." Lelaki bertubuh subur itu menatap kesal. Setelah Gala memberikan benda pintar miliknya pada lelaki itu."Maaf Pak, saya hanya membawa ponsel untuk menghubungi orang tua saya, takut j
Keributan dari luar tenda membangunkan Gala yang masih terbuai di alam mimpi. Akhir-akhir ini, Gala lebih suka tertidur lebih lama. Selain berharap ia bisa bertemu dengan Ibunya di dalam mimpi. Waktu juga berjalan sangat cepat sekali saat ia tertidur. Jadi, ia tidak perlu memikirkan sakitnya kerinduannya pada Nada. Suara kentongan dibunyikan begitu keras. Menandakan jika sebuah hal buruk telah terjadi. Mungkin bukan hanya Gala yang saat ini masih terlelap. Beberapa siswa lain juga masih ingin bergumul dengan selimut. Karena langit memang masih gelap. Apalagi udara yang dingin membuat siapa saja pasti akan malas untuk bangun.Gala tersadar, ia bergegas bangkit. Ada dua siswa yang juga masih tidur di sampingnya. Salah satunya adalah Akbar. Bocah lelaki yang kemarin menyerangnya hanya karena ia melarangnya membawa ponsel."Ayo bangun, ayo bangun!" Gala mengucang tubuh Akbar dan satu temannya yang tidur dalam satu tenda bersamanya. Akbar mengerang malas. Tapi tidak dengan anak lelaki ya