Mendung masih bergelayut di atas lantai. Rintik hujan pun masih berjatuhan satu persatu membasahi bumi. Meskipun derasnya hujan telah berhenti beberapa saat yang lalu. Gundukan tanah yang masih basah itu menjadi saksi akhir dari perjalanan seorang lelaki yang mengabdikan hidupnya untuk orang-orang yang ia sayangi. Memperjuangkan mimpi Gala dan Nada.Nada tidak berhenti menangisi kepergian Tuan Seno. Hanya lelaki itulah yang selama ini ia miliki di seumur hidupnya. Tapi kini, ia telah pergi dan tidak akan pernah mungkin untuk kembali lagi.Seorang wanita berseragam kepolisian hendak mendorong kursi roda Nada pergi dari depan pusaran Tuan Seno. Tetapi wanita itu menolaknya."Izinkan aku di sini untuk beberapa saat lagi!" pinta Nada. Netranya terlihat sembab karena air mata yang membanjir belum berhenti sejak tadi.Posisi wanita itu ragu. Ia berpikir untuk beberapa saat sebelum ia akhirnya mengabulkan permintaan Nada."Baiklah, hanya lima menit." Polisi wanita itu meninggalkan Nada.Kini
Wisnu meletakkan ponselnya di atas meja. Setelah menerima panggilan dari pengacaranya. Satu tangannya terulur meraih cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Kepulan asap yang ia tunggu, kini berubah menjadi aroma caffein saat Wisnu menyesap minuman berwarna hitam kental yang telah dingin itu."Jadi bagaimana? Tuan yakin ingin segera kembali ke Jakarta?" tanya Hamzah yang sejak tadi duduk menemani Wisnu. Lelaki itu tidak menjawab. Ia membuang tatapannya pada pemandangan sebuah taman kecil yang berada di rumah singgah miliknya yang berada di kota itu. Wisnu nampak berpikir sesaat."Polisi sudah melakukan penyelidikan. Dua orang yang menceburkan diri ke sungai saat itu tidak lain adalah asisten rumah tangga Nyonya Nada. Beliau sudah memberikan kesaksian dalam kasus ini." Hamzah menjelaskan panjang lebar pada Wisnu."Lalu dengan siapa Nada tinggal di daerah pedalaman itu?" Wisnu kembali menyesap kopi yang berada pada cangkir. Netranya menatap pada Hamzah."Menurut informasi dari asisten rum
Ustaz Azhar terkejut dengan mobil yang membawa perabotan di depan rumahnya. Ia merasa tidak memesan apapun. Tapi beberapa lelaki sibuk memindahkan kulkas dari atas mobil ke dalam rumahnya.Lelaki dengan peci hitam itu mempercepat mendorong gerobaknya menuju rumah. Ia penasaran. Apalagi dengan gelagat istrinya akhir-akhir ini sangat mencurigakan sekali. Ia sering membeli pakaian dan barang-barang yang lainnya tanpa sepengetahuannya. Meskipun sebenarnya Ustaz Azhar mengetahui hal itu. Tapi ia memilih untuk diam dan sepertinya kali ini ia tidak akan tinggal diam."Mas, maaf, itu mau di bawa kemana?" ucap Ustaz Azhar yang hendak menurunkan mesin cuci dari atas mobil pick up."Oh, mau di bawa masuk, pak!" jawab lelaki berkemeja merah itu mengalihkan tatapannya pada Ustaz Azhar."Masuk ke rumah siapa?" Ustadz Azhar mengeryitkan dahi. Padahal ia tau, tidak ada rumah lagi selain rumahnya."Tentu saja rumah, ini!" Lelaki yang masih berada di atas mobil itu mengarahkan tatapannya pada rumah yan
Hari yang di tunggu akhirnya tiba juga. Di mana Wisnu harus kembali ke Jakarta untuk beberapa urusan pekerjaannya dan juga tentang niatannya untuk menikahi Asma kembali."Tuan yakin ingin menikahi Nyonya Asma?" Hamzah yang duduk di bangku kemudi melirik pada kaca yang berada di atas kemudi. Pada lelaki yang duduk di bangku belakang mobil. Wisnu mengangguk lembut tanpa memberikan jawaban apapun. Netranya tertuju pada jalanan yang berada di depan kaca mobil. Wajahnya nampak sedang memikirkan sesuatu."Bukankah Nyonya Asma sekarang ...!" Hamzah menjeda ucapannya. Sekilas ia menatap pada Wisnu, ia takut jika ucapannya akan menyinggung perasaan Wisnu."Aku tau Hamzah, tapi aku tidak mungkin membiarkan Asma melewati semua masalah sulit ini sendiri. Mungkin saja jika dulu aku tidak mengambil Akbar, dia tidak akan seperti ini." Wisnu menjeda ucapannya. Ada gurat kesedihan dari wajahnya. "Dan aku harus membayar semua kesalahanku ini, Hamzah!" imbuh Wisnu menatap pantulan wajah Hamzah dari kac
"Bagaimana saksi? Sah!"Seketika semua orang yang berada di dalam ruangan itu menyerukan kalimat sah. Penghulu segera membacakan doa untuk pengantin baru, Asma dan Wisnu.Ustadz Azhar hanya mampu membuang nafas berat. Ia tidak bisa melakukan apapun. Sekalipun sebenarnya ia tau apa yang ada di dalam kepala istrinya dan apa yang Asma rasakan."Ya Allah, As!" batin Ustaz Azhar."Akhirnya!" seloroh Rani seraya mengusapkan tangannya pada wajah setelah penghulu selesai dengan doanya.Wisnu mengulurkan tangannya pada Asma. Tapi Asma hanya tertunduk dan tidak merespon apapun. Dengan sabar Wisnu meraih tangan Asma dan menjabatnya. Lalu menuntutnya untuk mencium punggung tangannya. Tidak lupa Wisnu juga menjatuhkan kecupan pada ujung kepala wanita berbalut pakaian pengantin itu.Sebuah mobil terparkir di depan rumah pemberian pemerintah untuk para penduduk transmigrasi tempat tinggal Rani. Janur kuning yang melengkung, menandakan jika di dalam rumah itu sedang di adakan sebuah pesta pernikahan.
"Saya adalah salah satu wanita yang tidak beruntung di dunia ini, yang mulia. Karena saya tidak bisa memberikan keturunan untuk suami saya. Dan hari itu saya memutuskan untuk mengizinkan suami saya menikah lagi." Suara Nada menggema di dalam ruang persidangan. Tidak ada gurat kesedihan ataupun ketakutan. Ia nampak tenang sepanjang kasus persidangan yang menimpanya sedang berlangsung."Tapi saya sama sekali tidak bisa menahan kecemburuan saya pada istri muda suami saya, yang mulia hakim. Saya merasa suami saya telah menghianati kesepakatan yang telah kami buat. Jika setelah bayi itu lahir suami saya akan kembali kepada saya.""Apakah anda tahu jika kesepakatan itu adalah sesuatu yang tidak baik? Anda dan suami anda sudah mempermainkan sebuah ikatan pernikahan," sahut hakim memotong ucapan Nada.Wanita yang duduk di kursi terdakwa itupun mengangguk lembut. "Saya tau Yang mulia. Tapi saya sama sekali tidak bisa membohongi perasaan saya. Hingga rencana itu terbesit dalam pikiran saya. Unt
Wanita berambut panjang menjuntai itu menarik senyuman nakal pada Danil. Lelaki yang masih berdiri di ambang pintu itu membuang nafas lega. Gerakan tangan wanita yang mengenakan dress berwarna merah itu terhenti. Saat sosok Gala muncul dari belakang punggung Danil."Danil!" Wanita bernama Natasya itu menaikan kedua alisnya. Sekilas menatap pada Gala, sebelum ia mengalihkan tatapannya pada Danil kembali."Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Nat?" tanya Danil menatap lekat pada gadis muda itu.Natasya membenarkan posisi berdirinya. "Aku menunggu kamu!" jawab Natasya. Sekilas ia mencuri-curi pandang pada Gala. Bocah lelaki itu terlihat sangat canggung sekali melihat dua orang dewasa berdiri di depannya. Natasya menatap lekat pada Gala. Lalu mengalihkan tatapannya pada Danil."Dia adalah anakku!" jawab Danil seketika membuat Natasya tersentak dengan wajah terkejut."Anak?" Wanita berhidung mancung dengan warna bibir merah cabe itu nampak menyakinkan diri atas apa yang Danil ucapkan.Da
Sudah satu bulan lebih Asma tinggal di Jakarta. Kondisi kejiwaan Asma pun semakin membaik. Jauh saat ia pertama kali mengalami depresi setelah Wisnu membawa putranya. Meskipun sesekali ia masih mengalami kepanikan dan tubuh' gemetaran jika perasaan itu datang. Pagi ini Asma telah bertekad untuk membuka lembaran baru hidupnya. Beberapa bulan lagi, Wisnu mengatakan jika Akbar akan pulang dari luar negeri. Karena selama ini, putranya bersekolah di luar negeri.Asma melangkah kakinya menuju kamar Wisnu yang berada di lantai atas. Sekalipun ia sudah menikah, tapi Asma menolak untuk tinggal satu kamar dengan Wisnu dan Wisnu menghargai keputusan itu.Beberapa kali Asma mengetuk daun pintu kamar Wisnu. Sesekali senyuman nampak merekah dari bibirnya. Seperti suasana hatinya yang sedang bahagia."Ada apa, As?" ucap Wisnu dari balik pintu kamar yang terbuka. Wisnu nampak senang' melihat wanita bergamis ungu yang berdiri di depan pintu kamarnya mengunjungi kamarnya."Bang, apakah aku boleh berta