"Ada perlu apa, Ummi?"
"Ini terkait urusan Pondok, Nduk. Nggak papa. Sebentar saja, kok."Inamah mengangguk. Ia lalu berjalan ke arah simbok. Ditepuknya pelan lengan perempuan yang kulit tubuhnya sudah mengeriput itu."Iya, kenapa, Nduk?""Inamah izin keluar sebentar. Ada Ustazah Shafa."Simbok menoleh. Lantas tersenyum ke arah Ustazah Shafa. Ingin menyalami, tapi karena tangannya yang cukup kotor membuat Simbok segan. Ditangkupkannya saja dua tangan di depan dada. Memberi salam.Ustazah Shafa mengangguk. Lantas mengajak Inamah berlalu pergi.***Di dalam ruangan khusus untuk para guru. Inamah dan Ustazah Shafa tengah berbicara serius. Ibu satu anak itu mendengarkan semua penuturan Ustazah Shafa. Juga mengklarifikasi apa saja yang menjadi permasalahan yang tak ia ketahui."Jika dirasa merepotkan dan terbebani. Boleh Inamah memikirkan ulang tawaran Ummi.Memilih pulang atau tetap bertahan di sini. Masing-masing pilihan tentu mendapat konsekuensi. Aku ... entahlah. Kembali ke tempat Mas Bram. Sama saja menelan ludah sendiri. Mati-matian aku ke luar dari cengkeramannya. Memutus hubungan sepihak atas beragam pengkhianatannya. Juga ... gugatan cerai yang tak mungkin aku tarik begitu saja. Dilema.Sementara, jika aku tetap di Pondok. Urusan pribadiku yang belum selesai dan terus berbuntut. Tak ayal membuat pekerjaanku berantakan. Belum lagi Mbak Mirna yang mulai 'risih' terhadapku. Harus bagaimana?*** Tok! Tok! Kuketuk pintu ruang guru. Seperti biasa, ada Ustazah Ana yang berjaga. "Assalamualaikum," ucapku memberi salam. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Iya, kenapa, Nduk?" Ustazah Ana mengerutkan dahi begitu melihatku di depan pintu. "Ada yang mau Inamah bicarakan. Boleh minta waktunya sebentar Ustazah?"
Suasana duka masih kental terasa. Isak tangis yang terdengar dari kediaman Ani, belum sedikit pun mereda. Terlebih rasa kehilangan dan penyesalan yang menyelimuti hati Inamah. Semakin detik bertambah, semakin besar pula rasa bersalah yang bersarang dalam hatinya. Inamah merutuki diri karena tak menemani detik-detik perempuan yang statusnya masih resmi sebagai ibu mertuanya itu. Hingga akhirnya ajal datang menjemput. Kedatangan Inamah pun tak bersambut. Sesekali Inamah mengusap sudut mata, hatinya perih, teringat momen di mana Ani berulang kali menyebut namanya. Ia merasakan luka yang tak akan pernah bisa ia tebus dengan cara apa pun. Mengingat kala Ani sekuat tenaga menyebut namanya. Jelas sekali, ada pengharapan besar di sana. Ada rahasia yang ingin Ani tunjukkan pada Inamah. Tentang jati diri Lastri dan misi apa yang telah ia bawa. Andai saja waktu dapat berputar. Juga umur yang dapat ditarik kembali. Ingin sekali Inamah memacu langkahnya agar bisa hadir sebelum mau
Silih bergantian para pelayat yang datang. Berbela sungkawa atas meninggalnya Ani, mertua Inamah. Hingga hampir tengah hari, Bram belum juga tampak batang hidungnya. Selama itu pula, Inamah harus menerima tamu seorang diri. "Ibu mertuamu sakit apa, sih, Nduk?" tanya salah seorang pelayat. "Kata Mas Bram, stroke sama darah tinggi." Inamah menjawab setahunya saja."Waktu dibawa ke rumah sakit. Ibu lihat kamu ndak ada, ke mana?" sahut ibu-ibu yang lain. Inamah tersenyum tipis. Duh. Harus jawab apa?"Kamu ini gimana, sih. Yuk. Kata Bram, 'kan istrinya sedang ada di Pondok. Iya, Nduk?" Degh!Inamah menatap ke arah perempuan muda seumuran bibinya yang menjawab barusan. Jadi, Mas Bram tahu selama ini aku di pondok? Batin Inamah.Bude Fitri yang tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan itu mendadak penasaran."Eng, i-iya, Bu." Inamah menjawab terba
"Aku cuman mau ngasih tahu kalau dia kamu manfaatkan, Mas! Biar sadar! Biar melek! Dia yang jadi benalu hubungan kita!"Suara Lastri terdengar hingga ke ujung gang. Tak peduli dengan pandangan orang-orang. Kuikuti saja langkah kaki menyusul ke mana Mas Bram dan Lastri pergi. Kurang ajar sekali mereka. Tak tahu malu. Sudah tahu suasana sedang berduka. Bahkan makam ibu pun masih basah. Aku akan membuat perhitungan."Mbak In, ada apa?" Kuangkat kepala, Bu Yana tetanggaku bertanya. "Nggak papa, Bu. Ada urusan.""Tapi, itu. Si Lastri teriak-teriak dijalan sambil diseret Bram? Ada apa, Mbak?" tanyanya lagi.Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Bukan saatnya untuk menyiakan kesempatan."Iya, ada urusan. Saya pamit sebentar, Bu."Kembali kulangkahkan kaki semakin cepat karena jarakku dengan Mas Bram tertinggal jauh. Beberapa yang bertanya tak kuhiraukan. Memilih bungkam saja l
Kulangkahkan kaki kembali menuju kediaman almarhum ibu mertua. Meninggalkan rumah Bude Sri juga beberapa informasi yang berhasil kudapat dari sana. Ya Rabb, jika benar semua yang Bude Sri katakan. Sungguh aku telah menyesal tak menemani ibu mertua hingga ia berjumpa ajal. Banyak pertanyaan yang kuhimpun dalam benak. Kehidupanku, seakan dikelilingi oleh orang-orang bermuka dua. Bahkan, kini aku tak tahu lagi pada siapa harus percaya. Terus saja kulangkahkan kaki, membawa remukan hati yang terluka. Dalam kepalaku terbayang sudah wajah Mas Bram. Dia benar-benar keterlaluan.Tak mau mengulur waktu. Aku ingin menyelesaikan hari ini juga. Apapun itu. Kulangkahkan kaki hingga tanpa terasa telah tiba di kediaman ibu. Saat aku di ambang pintu, entah kenapa seakan disambut dengan beragam tatapan penuh pertanyaan. Beberapa pelayat memang tinggal sedikit, tapi jumlah saudara yang datang, semakin bertambah saja. Sungguh, rasanya di depan mukaku ini san
"Aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana masa laluku bersama Lastri, Dek. Sama saja Mas membuka luka lama."Mas Bram menatapku. "Mas akui, Mas sudah salah karena menjalin kembali hubungan dengan Lastri. Ya, karena Hasan ada di antara kami. Meski Mas tahu, dan baru tahu juga dari kamu, bahwa anak hasil hubungan di luar nikah. Sama sekali tidak bernasab pada bapak biologisnya." Mas Bram mengatur napas. Ia seperti mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ucapan."Tapi ... bagaimana pun itu. Ia darah daging, Mas. Mas bingung, Dek. Mas nggak bisa." Mas Bram terisak. Kukerutkan dahiku, kenapa ia sensitif sekali membahas Hasan?"Mas sangat menyesal. Mas salah. Lastri salah. Tapi, Hasan ...?" Mas Bram mendongak. Kedua matanya berkaca-kaca. Ah, aku benci! Hatiku terluka melihat ia menangis begini. Kubuang pandangan ke sisi lain. Ya Allah, hubungan seperti apa ini?"Lastri dat
"Aira? Ummi Shafa?" Tergesa aku datang menghampiri dua tamu itu. Dan seketika, pelukan hangat kudapatkan begitu aku tiba di antara mereka. "Kenapa mesti repot-repot datang kemari?" tanyaku tak enak. "Nggak papa. Maaf, ya, baru datang. Jadi nggak bisa melihat almarhumah ibu mertua kamu." Ummi Shafa tersenyum lembut. Kedua matanya yang teduh mengingatkanku. Membuat memori di labirin kepala terbuka. Dulu, beliau yang menggantikan almarhumah ibu dan bapak. Sebagai orang tua yang disegani, di hari pernikahanku bersama Mas Bram. Beliau, seperti kataku di awal. Sudah kuanggap sebagai ibu sendiri. "Sabar, ya, Nduk." Ummi Shafa menggenggam tanganku. Aku mengangguk. Sorot matanya seolah memberiku kekuatan. Sudah sangat lama sekali beliau tak kemari. "Mbak Inamah kenapa nggak pamit dulu sama Aira? Pergi nggak bilang-bilang."Aira memajukan bibirny
Malam hari bakda salat Isya. "Kita pergi sekarang, Mas. Ayo ke rumah Lastri." Mas Bram menatapku, bergantian sambil menoleh ke belakang. Ada Bude Fitri yang sengaja kuajak. "Kenapa ajak Bude Fitri?" Mas Bram keberatan. "Sebagai saksi. Aku butuh saksi atas apa yang nanti Lastri katakan.""Tapi, Dek ...,""Mas bilang mau jujur? Mau terbuka semuanya? Kenapa justeru sekarang keberatan?"Mas Bram menatap lesu. Jelas saja ia tak ingin mengungkit masalah Lastri. Tapi, ini harus dilakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Meski terlambat untuk memperbaiki, tapi aku butuh penjelasan. "Sudah, ayo!" seruku kemudian berlalu lebih dulu. *** Aku, Mas Bram dan Bude Fitri berjalan mendatangi kontrakan Bu Yuyun. Rumah yang ditempati Lastri. Semakin dekat langkah ini ke rumah perempuan penggoda itu, semakin banyak slide dari memori masa laluku yang terbuka.