"In, kok malah melamun!"
Mbak Mirna membuyarkan lamunanku. Aku sampai lupa bahwa sedang mencatat barang apa saja yang harus dibeli untuk belanja esok hari."Iya, Mbak. Maaf," kataku."Lima hari lagi ada acara besar di sini. Jangan sampai ada yang kelewat. Ayo semangat."Aku tersenyum menanggapi Mbak Mirna lalu kembali mencatat daftar belanja. Ia mendikte apa saja yang harus dibeli.Ya, akan ada acara Tabligh Akbar di Pondok Pesantren As Salam ini. Kabarnya, akan diisi oleh seorang Ustaz kondang di Surabaya. Juga sebagai ajang silaturahmi karena menghadirkan tamu-tamu dari pendiri Ponpes di daerah sekitaran Surabaya. Gresik dan Sidoarjo termasuk di dalamnya. Begitupun para santri putra dan putri. Semua akan hadir bersama dengan pembagian tempat yang berbeda. Juga perwakilan dari daerah lain.Ada yang resah di dalam hatiku. Dua nama yang akhir-akhir ini membuatku sedikit terganggu. Mas Fadhil danAda tiga penghancur paling ampuh yang membuat manusia tak berdaya dan membuatnya tersungkur dalam kehinaan. Ketiga hal itu adalah harta, tahta dan wanita. Jika tak pandai menahan diri. Apa yang berhasil didapatkan, akan sia-sia saja rasanya. *** Semilir angin nan lembut menelisik dedaunan. Ranting dan daun yang bergesekan, menimbulkan irama gemerisik yang khas. Gelisah.Satu kata yang merambati hati Inamah. Baru saja ia memantapkan diri untuk menggugat cerai suaminya. Kini, ia kembali dilema. Apa yang paling mudah berubah bagi seorang manusia selain hati? Segumpal daging yang tersembunyi itu sungguh tak pernah bisa ditebak dalamnya. Bahkan, oleh pemiliknya sendiri. Hingga pukul dua dini hari. Inamah belum juga terpejam. Kedua matanya menatap fokus pada pesan-pesan yang Bram kirimkan. Termasuk lembaran foto sertifikat rumah milik suaminya itu. Yang mencantumkan namanya sebagai Sang Pemilik dengan jelas. Setitik air perlahan meluncur dari kedua mata Inamah. Ia tak ingin bermain-ma
"Ada perlu apa, Ummi?""Ini terkait urusan Pondok, Nduk. Nggak papa. Sebentar saja, kok."Inamah mengangguk. Ia lalu berjalan ke arah simbok. Ditepuknya pelan lengan perempuan yang kulit tubuhnya sudah mengeriput itu."Iya, kenapa, Nduk?" "Inamah izin keluar sebentar. Ada Ustazah Shafa."Simbok menoleh. Lantas tersenyum ke arah Ustazah Shafa. Ingin menyalami, tapi karena tangannya yang cukup kotor membuat Simbok segan. Ditangkupkannya saja dua tangan di depan dada. Memberi salam. Ustazah Shafa mengangguk. Lantas mengajak Inamah berlalu pergi. *** Di dalam ruangan khusus untuk para guru. Inamah dan Ustazah Shafa tengah berbicara serius. Ibu satu anak itu mendengarkan semua penuturan Ustazah Shafa. Juga mengklarifikasi apa saja yang menjadi permasalahan yang tak ia ketahui. "Jika dirasa merepotkan dan terbebani. Boleh Inamah memikirkan ulang tawaran Ummi.
Memilih pulang atau tetap bertahan di sini. Masing-masing pilihan tentu mendapat konsekuensi. Aku ... entahlah. Kembali ke tempat Mas Bram. Sama saja menelan ludah sendiri. Mati-matian aku ke luar dari cengkeramannya. Memutus hubungan sepihak atas beragam pengkhianatannya. Juga ... gugatan cerai yang tak mungkin aku tarik begitu saja. Dilema.Sementara, jika aku tetap di Pondok. Urusan pribadiku yang belum selesai dan terus berbuntut. Tak ayal membuat pekerjaanku berantakan. Belum lagi Mbak Mirna yang mulai 'risih' terhadapku. Harus bagaimana?*** Tok! Tok! Kuketuk pintu ruang guru. Seperti biasa, ada Ustazah Ana yang berjaga. "Assalamualaikum," ucapku memberi salam. "Wa alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Iya, kenapa, Nduk?" Ustazah Ana mengerutkan dahi begitu melihatku di depan pintu. "Ada yang mau Inamah bicarakan. Boleh minta waktunya sebentar Ustazah?"
Suasana duka masih kental terasa. Isak tangis yang terdengar dari kediaman Ani, belum sedikit pun mereda. Terlebih rasa kehilangan dan penyesalan yang menyelimuti hati Inamah. Semakin detik bertambah, semakin besar pula rasa bersalah yang bersarang dalam hatinya. Inamah merutuki diri karena tak menemani detik-detik perempuan yang statusnya masih resmi sebagai ibu mertuanya itu. Hingga akhirnya ajal datang menjemput. Kedatangan Inamah pun tak bersambut. Sesekali Inamah mengusap sudut mata, hatinya perih, teringat momen di mana Ani berulang kali menyebut namanya. Ia merasakan luka yang tak akan pernah bisa ia tebus dengan cara apa pun. Mengingat kala Ani sekuat tenaga menyebut namanya. Jelas sekali, ada pengharapan besar di sana. Ada rahasia yang ingin Ani tunjukkan pada Inamah. Tentang jati diri Lastri dan misi apa yang telah ia bawa. Andai saja waktu dapat berputar. Juga umur yang dapat ditarik kembali. Ingin sekali Inamah memacu langkahnya agar bisa hadir sebelum mau
Silih bergantian para pelayat yang datang. Berbela sungkawa atas meninggalnya Ani, mertua Inamah. Hingga hampir tengah hari, Bram belum juga tampak batang hidungnya. Selama itu pula, Inamah harus menerima tamu seorang diri. "Ibu mertuamu sakit apa, sih, Nduk?" tanya salah seorang pelayat. "Kata Mas Bram, stroke sama darah tinggi." Inamah menjawab setahunya saja."Waktu dibawa ke rumah sakit. Ibu lihat kamu ndak ada, ke mana?" sahut ibu-ibu yang lain. Inamah tersenyum tipis. Duh. Harus jawab apa?"Kamu ini gimana, sih. Yuk. Kata Bram, 'kan istrinya sedang ada di Pondok. Iya, Nduk?" Degh!Inamah menatap ke arah perempuan muda seumuran bibinya yang menjawab barusan. Jadi, Mas Bram tahu selama ini aku di pondok? Batin Inamah.Bude Fitri yang tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan itu mendadak penasaran."Eng, i-iya, Bu." Inamah menjawab terba
"Aku cuman mau ngasih tahu kalau dia kamu manfaatkan, Mas! Biar sadar! Biar melek! Dia yang jadi benalu hubungan kita!"Suara Lastri terdengar hingga ke ujung gang. Tak peduli dengan pandangan orang-orang. Kuikuti saja langkah kaki menyusul ke mana Mas Bram dan Lastri pergi. Kurang ajar sekali mereka. Tak tahu malu. Sudah tahu suasana sedang berduka. Bahkan makam ibu pun masih basah. Aku akan membuat perhitungan."Mbak In, ada apa?" Kuangkat kepala, Bu Yana tetanggaku bertanya. "Nggak papa, Bu. Ada urusan.""Tapi, itu. Si Lastri teriak-teriak dijalan sambil diseret Bram? Ada apa, Mbak?" tanyanya lagi.Aku menggeleng sambil tersenyum tipis. Bukan saatnya untuk menyiakan kesempatan."Iya, ada urusan. Saya pamit sebentar, Bu."Kembali kulangkahkan kaki semakin cepat karena jarakku dengan Mas Bram tertinggal jauh. Beberapa yang bertanya tak kuhiraukan. Memilih bungkam saja l
Kulangkahkan kaki kembali menuju kediaman almarhum ibu mertua. Meninggalkan rumah Bude Sri juga beberapa informasi yang berhasil kudapat dari sana. Ya Rabb, jika benar semua yang Bude Sri katakan. Sungguh aku telah menyesal tak menemani ibu mertua hingga ia berjumpa ajal. Banyak pertanyaan yang kuhimpun dalam benak. Kehidupanku, seakan dikelilingi oleh orang-orang bermuka dua. Bahkan, kini aku tak tahu lagi pada siapa harus percaya. Terus saja kulangkahkan kaki, membawa remukan hati yang terluka. Dalam kepalaku terbayang sudah wajah Mas Bram. Dia benar-benar keterlaluan.Tak mau mengulur waktu. Aku ingin menyelesaikan hari ini juga. Apapun itu. Kulangkahkan kaki hingga tanpa terasa telah tiba di kediaman ibu. Saat aku di ambang pintu, entah kenapa seakan disambut dengan beragam tatapan penuh pertanyaan. Beberapa pelayat memang tinggal sedikit, tapi jumlah saudara yang datang, semakin bertambah saja. Sungguh, rasanya di depan mukaku ini san
"Aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana masa laluku bersama Lastri, Dek. Sama saja Mas membuka luka lama."Mas Bram menatapku. "Mas akui, Mas sudah salah karena menjalin kembali hubungan dengan Lastri. Ya, karena Hasan ada di antara kami. Meski Mas tahu, dan baru tahu juga dari kamu, bahwa anak hasil hubungan di luar nikah. Sama sekali tidak bernasab pada bapak biologisnya." Mas Bram mengatur napas. Ia seperti mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ucapan."Tapi ... bagaimana pun itu. Ia darah daging, Mas. Mas bingung, Dek. Mas nggak bisa." Mas Bram terisak. Kukerutkan dahiku, kenapa ia sensitif sekali membahas Hasan?"Mas sangat menyesal. Mas salah. Lastri salah. Tapi, Hasan ...?" Mas Bram mendongak. Kedua matanya berkaca-kaca. Ah, aku benci! Hatiku terluka melihat ia menangis begini. Kubuang pandangan ke sisi lain. Ya Allah, hubungan seperti apa ini?"Lastri dat