Share

Nada-Nada Perjodohan

Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, seolah baru saja menaklukkan catwalk, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seolah dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini—“Oh, dia muridku!” seolah dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu—barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang.

Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya.

"Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga.

"Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu nanti."

Aku melihat ekspresi terkejut melintas di wajahnya sejenak, sebelum dia mengangguk dengan pelan. Di balik senyumnya, ada semburat kesedihan yang tak bisa dia sembunyikan, seolah dia baru saja menerima berita yang tak diinginkan.

“Alya, apakah kamu masih sekolah?” tanya Tante Mery, menatapku dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di wajahnya.

“Ya, tante. Alya sekolah di SMA Harapan,” jawabku, berusaha mempertahankan nada percaya diri meskipun jantungku berdegup lebih cepat.

“Benarkah? Wah, kebetulan sekali!” Tante Mery terlihat sangat antusias, seolah menemukan sesuatu yang menarik. “Revan juga mengajar di sana, kan?”

“Iyaa, Ma,” jawab Revan, suaranya tenang meski matanya sedikit ragu.

“Jadi kalian sudah saling kenal, dong!” Tante Mery menambahkan, matanya berbinar penuh harap.

“Tidak!” seruku cepat, suara yang hampir meluap tanpa pikir panjang.

“Ya,” balas Revan dengan tenang, seolah ingin mengkonfirmasi sesuatu yang tidak aku inginkan.

Kami berdua menjawab serempak, tetapi hasilnya justru semakin membingungkan. Tadi dia melihatku seolah tidak mengenalku, tetapi sekarang tiba-tiba ia menyatakan bahwa kami sudah saling kenal. Perasaanku campur aduk; apakah aku sedang berbicara dengan orang yang sama?

Mereka semua tertawa melihat kecanggungan yang melanda diriku. Tawa itu mengisi ruangan, menciptakan suasana yang hangat meski aku masih merasa canggung.

“Kalian bisa saling mengenal lebih dekat lagi!” seru Kakek Robert dengan nada ceria, matanya berbinar penuh semangat.

Aku tersenyum lemah, berusaha tidak terlalu terpaku pada pandangan mereka. Sementara itu, Revan hanya mengangkat alisnya, seolah mempertanyakan momen konyol ini.

"Bagaimana Alya di sekolah, Nak Revan?" tanya Ibu, matanya penuh rasa ingin tahu.

Aku segera memegang tangan Ibu dengan lembut, berharap dia mengerti isyaratku untuk tidak menanyakan hal itu. Namun, Revan hanya tersenyum sinis, jelas menikmati momen canggung ini saat melihatku panik.

"Dia... menyukai pelajaran di luar ruangan," ucapnya, suaranya penuh nada menggelitik, seolah-olah mengisyaratkan sesuatu yang lebih.

Aku melotot padanya, berusaha menyampaikan pesan bahwa aku tidak suka pernyataan itu. "Pelajaran di luar ruangan" sebenarnya berarti aku sering dihukum berdiri di luar kelas karena terlambat! Betapa malunya aku!

Tawa ringan terdengar di antara mereka, dan aku merasa semakin terjepit dalam situasi ini. "Sungguh, Pak Revan? Apa Bapak harus membocorkan rahasia saya?" balasku dengan nada menggoda, meski hatiku berdebar-debar.

Revan hanya mengangkat bahunya, masih dengan senyum sinis di wajahnya. "Maaf, Alya, itu fakta. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan pelajaran di luar ruangan, kan?"

Dengan sedikit kekuatan, aku mencoba tertawa bersamanya, meskipun di dalam hati aku berharap bisa mengubur kepalanya yang seperti burung unta itu.

"Oh iya, Pak Revan sangat terkenal di sekolah kami," ucapku sambil melirik ke arahnya, sengaja menyiapkan jebakan kecil.

Aku bisa melihat Revan mengepalkan tangannya, bersiap menghadapi olokanku. Tatapannya seolah berkata, "Coba saja."

"Benarkah? Terkenal karena apa?" tanya Tante Mery dengan rasa penasaran yang jelas, matanya berbinar seolah menantikan jawaban yang memuji keponakannya.

Aku tersenyum tipis, berusaha menahan diri agar tidak tertawa. "Dia terkenal karena kehangatannya pada siswa, dan dia sangat bijaksana."

Kata-kata itu hampir membuatku muntah. Menyebut Revan 'hangat dan bijaksana'? Ini adalah kebohongan terbesar yang pernah aku katakan, tapi rasanya seperti kejahatan yang harus dilakukan saat ini. Senyum palsuku semakin melebar, sementara Revan memandangku dengan mata menyipit, penuh curiga, namun dia tetap diam.

Kakek Robert tertawa ringan, "Wah, Revan, ternyata kamu begitu dihargai oleh para siswa. Luar biasa!"

Aku bisa merasakan Revan menahan napas, mungkin menahan keinginannya untuk membalas ucapanku dengan sesuatu yang lebih tajam. Namun, aku tetap tenang, pura-pura tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Mungkin nanti, ketika kami tak diawasi, dia akan membalas dengan caranya sendiri.

Aku duduk di halaman belakang rumah mewah Kakek Robert, mencoba mengumpulkan pikiranku setelah makan siang yang penuh ketegangan. Dari tempat dudukku, aku bisa mendengar samar-samar suara tawa dan percakapan dari ruang keluarga, di mana ibuku dan keluarga Revan sedang bercengkrama. Tapi di sini, di luar, semuanya terasa lebih tenang.

Taman-taman bunga yang terhampar di sekelilingku memancarkan keindahan yang sulit diabaikan—warna-warni mawar dan anggrek berpadu dengan harum semerbak yang mengisi udara. Kolam ikan kecil di tengah taman memantulkan sinar matahari sore, sementara ikan-ikan koi berenang pelan, menciptakan suasana yang damai. Bangku taman di mana aku duduk terbuat dari kayu yang dipoles dengan sempurna, terasa nyaman di bawah tubuhku.

Di balik semua keindahan ini, pikiranku terus melayang. Makan siang tadi seperti panggung drama, di mana aku dan Revan harus berpura-pura tenang di tengah segala kekacauan yang terasa tak terhindarkan. Di sini, aku berharap setidaknya bisa bernapas lebih lega—walaupun hanya untuk sesaat.

Revan menghampiriku, langkahnya terdengar jelas di atas kerikil taman yang tenang, seolah sengaja mengusik ketenanganku. Aku memejamkan mata sejenak, berharap dia akan melewati saja, tapi tentu saja, dia berhenti tepat di depanku.

"Apa?!" tanyaku dengan nada kesal, tak berusaha menyembunyikan kekesalanku.

Dia menatapku dengan tatapan tajam, ekspresinya tetap dingin. "Jangan katakan pada siapapun tentang perjodohan ini," ucapnya, suaranya rendah namun tegas.

Aku mendengus pelan, lalu berdiri dari bangku, menatapnya balik. "Kenapa? Malu ya? Atau takut reputasimu yang ‘hangat dan bijaksana’ di sekolah jadi rusak?" sindirku, mengingat kembali kata-kata pura-puraku tadi saat memujinya di depan keluarganya.

Dia mendekat sedikit, wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi ada sesuatu di balik sorot matanya yang sulit ditebak. "Ini bukan soal reputasi. Aku punya alasan sendiri."

Aku menatapnya tajam, berusaha membaca lebih dalam. Tapi Revan, seperti biasanya, tetaplah sebuah misteri yang tak mudah ditembus.

"Aku juga tak berniat mengatakannya pada siapapun.", balas ku. Jika teman-temanku tahu kalau aku dijodohkan, apalagi dengan Revan si guru killer ini, mereka pasti akan mengejekku sampai hari kelulusan nanti. Bisa kubayangkan wajah mereka saat mendengar berita ini—mulai dari tatapan terkejut sampai tawa yang tak berhenti. Mereka akan terus menggodaku di setiap kesempatan, mungkin bahkan membuat lelucon "Alya dan Pak Revan, pasangan abad ini!" di setiap jam istirahat.

Aku memejamkan mata sejenak, membayangkan betapa malunya aku kalau itu sampai terjadi. Nama Revan Permana di sekolah itu seperti legenda; semua orang takut padanya. Tak ada yang bisa melupakan bagaimana dia mendisiplinkan murid-murid yang melanggar aturan.

"Dan jangan berharap aku akan baik padamu di sekolah, hanya karena kita dijodohkan," katanya dingin, matanya tak menyiratkan sedikitpun keramahan. Ucapannya itu tajam seperti pisau, menusuk dengan jelas bahwa hubungan ini tidak akan mengubah sikapnya sedikitpun.

Setelah mengatakannya, ia pun berbalik dan berlalu begitu saja, langkahnya mantap tanpa menoleh ke belakang. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh, perasaan campur aduk bergemuruh di dadaku.

Aku melayangkan tinju di udara, seolah berharap bisa menghantam wajahnya yang angkuh itu. "Dasar es kutub!" gerutuku pelan, membayangkan betapa menyebalkannya Revan. Dingin, keras, dan tak terjangkau—persis seperti gletser yang tak akan pernah meleleh. Rasanya kalau bisa, aku ingin sekali menjatuhkannya dari ketinggiannya yang selalu terlihat tak tersentuh itu. Tapi kenyataannya, aku hanya berdiri di sini, memukul udara kosong sementara dia terus melangkah pergi tanpa peduli.

"Ya ampun, Alya... kenapa harus dia?" gumamku lagi, memijit pelipis yang mendadak terasa pening.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status