Aliran dar4h Bara mulai panas dengan desiran-desiran luar biasa. Letupan-letupan rasa sudah menuntut untuk membuat Alya menjadi istri seutuhnya.Alya mencengker4m selimut. Jantungnya tak mau lagi mendengar keinginannya agar tenang.Hening, mereka hanya mendengar detak jantung menggila masing-masing. Bahkan detakan weker tak masuk dalam rungu.Wajah Bara telah dekat dengan wajah Alya. Kini, kening Bara telah menempel pada kening Alya. Hembusan nafas Bara membuat desiran hebat untuk istrinya.Manik mata elang itu telah menatap sangat dalam, begitu dalam hingga .... bayangan Alya yang belum keluar dari masa lalu memupus niatnya."Ehm!" Bara menarik dirinya.Hingga Alya tercengang dan sedikit menyesalkan."Malam ini kita istirahat lebih awal." Bara lantas masuk ke kamar mandi.'Apa ini yang dinamakan cinta bukan nafsu? Seperti inikah yang namanya tulus bukan ego? Ya Allah, jika benar maka bukanlah pintu hatiku untuk Mas Bara. Dan buatlah sekat kuat untuk masa laluku,' batin Alya.Alya lan
[Aku malas di rumah. Udah suamiku ngomel terus, nggak kasih jatah uang belanja. Eh, aku pulang dicuekin.][Kebetulan besok aku ada kerjaan peninjauan proyek luar kota, tapi cuma 3 hari, nggak apa-apa?][Nggak masalah. Yang penting aku nggak stress di rumah. Sebenarnya suamiku pengen aku tukar tambah sama kamu aja.][Jangan ngomong kejauhan, Tiara. Dan jangan sampai istriku tahu soal ini. Sementara ini hubungan kita mutualisme. Kamu senang aku pun puas.]Tiara memegang erat ponselnya dengan senyum miring."Sementara ya? Ok, aku buat kata sementara itu ilang. Ardi udah nggak bisa aku andalkan lagi. Gajinya aja cuma cukup buat bayar cicilan sama urusan rumah. Aku harus upgrade suami. Sia-sia kecantikanku kalau cuma dipajang di dalam rumah."Tiara lantas keluar dan masuk ke kamar anaknya.Di dalam sedang ada Rani yang bermain dengan Daffa."Heh, kamu! Sini berikan anakku!" Tiara mendekati Daffa tanpa senyum.Rani gegas mengangkat Daffa dari tempat tidur. "Ini, Bu.""Aaaaa ...." Daffa mala
"Kamu harus atur waktunya biar sangat pas. Aku kasih jeda waktu 10 menit setelah istriku masuk.""Siap, Tuan. Akan saya bawa Ardi. Biar dia tahu siapa Alya. Hehe.""Jangan sampai salah atau tidak ada bonus bulan ini!"---Kini, mata Ardi membeliak. Wanita yang setiap hari mengganggunya, baik terjaga maupun terlelap kini sedang beradu mesra dengan pria lain. Rasanya sangat panas, meski pria itu adalah suaminya yang sekarang. Semakin hari penyesalan itu semakin dalam, Ardi terus mengatakan kata andai, andai dan andai dalam hatinya."Alya?" lirih Ardi, sesak melihat adegan itu. Sebuah sayatan sesal membuat luka menganga di hatinya."Sayang." Bara sangat puas, timing-nya tepat, dan dipastikan Ivan akan mendapat bonus besar. "Mas .... Ardi?" Alya langsung kembali menatap suaminya. Tangannya yang memegang sendok bergerak. Kenapa waktunya bisa sangat tepat? Pikirnya.Hap. Bara lantas memegang tangan Alya yang hendak menyuapinya. "Ada apa, Sayang?"Alya gegas mengatur perasaannya. "Nggak apa
"Hish!" Ardi memukul meja. Wajahnya merah, nafasnya makin berat. Dadanya nyeri dengan gumpalan emosi ingin mengamuk, tapi tidak bisa."Alya .... Secepat itu kamu melupakanku. Huh! Aku memang pantas mendapatkannya! Aku memang brengsek! Wanita sepertimu berhak bahagia, tapi .... Rasanya sakit sekali .... Al, bagaimana mengakhiri rasa ini? Kamu pergi, perasaan ini timbul dan terasa semakin berat. Kamu dan Tiara bak langit dan bumi, aku benar-benar buta telah memilih wanita licik itu."Raganya lemas, hatinya lelah, dadanya ingin meledak, pikirannya kacau. Ardi berpikir jika dirinya bisa gila jika tidak bisa keluar dari jerat lingkaran gelap itu.Di saat kacau-balau, Fera malah terus mendesak Ardi mengharuskan dirinya tiba di tempat pertemuan m3sum Tiara dan suami Fera. Dia ingin acuh pada kelakuan Tiara, rasanya lelah menghadapi istrinya itu, tapi kalau begini apa bisa menghindar?[Tadi suamiku bilang kalau mau main golf sama teman-temannya, ternyata mau main sama istrimu di atas ranjang.
"Haish! Kenapa bisa seperti ini? Aku sudah susah payah menarik Reno malah dia sangat brengsek! Kalau begini aku harus membuat Ardi memaafkanku. Ya, aku harus merayunya dengan air mata."Tiara kembali karena gagal mendapatkan Reno.Dia berdiri di depan pintu kamar Daffa untuk mencari Ardi."Mana mungkin Ardi mau tidur di kamar Daffa, lagian ada Rani yang cuma wanita kampungan. Dia jelas bukan selera Ardi, tapi aku tetep harus melihat kamar ini juga."Pintu dibuka. Kamar itu sudah diterangi sorot mentari dari celah jendela. Tapi masih sepi, penghuni kamar itu belum ada yang bangun.Tiara tercengang membelalak melihat Ardi tidur di belakang Rani sambil memeluk. Suaminya itu bahkan tidak memakai baju. Dua orang itu berada di bawah selimut yang sama. Sedang Daffa, masih terlelap di box bayi."Kurang ajar!"Dada Tiara bergejolak ingin mengamuk meluapkan emosi. Tangannya mengepal kuat. Dia melangkah cepat ke sisi ranjang dan menyibak selimut itu.Tak disangka ternyata mereka berdua ...."Ard
Apa yang tadi aku lakukan? Aku memeluk Mas Bara? Tapi nggak apa-apa kan memeluk suami sendiri. Cuma kok malu begini,' batin Alya. Dia masih membenahi degub jantungnya karena malu sendiri. "Sayang, bilang saja seperti yang tadi kamu jelaskan padaku." Bara mengusap kepala Alya uyang terbalut jilbab.Alya mengangguk kaku. Dia bertambah gugup dengan perlakuan Bara.Ivan memainkan dasinya sambil tersenyum dan melengos. 'Tuan emang jago bikin panas hati,' batinnya.Sedang Ardi mengatup matanya sebentar untuk menguatkan hatinya.Melihat istrinya masih diam. "Sayang, ayo! Katakan saja jangan ragu."Alya tidak ragu, tapi susunan kata telah menguap, dia butuh waktu sebentar lagi. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam."Ehem! Mas Ardi ada yang mau aku bicarakan." Alya hanya melirik mantan suaminya itu.Ardi ingin mencoba negosiasi sebelum Alya yang ambil alih soal hutangnya. "Maaf, Tuan. Soal hutang perusahaan akan saya lunasi besok. Saya jamin hal itu. Jadi sepertinya tidak perlu melibatkan Aly
"Sayang, gimana masakanmu, udah siap semua? Aku yakin hasilnya pasti bakal enak?" Bara duduk di sisi Alya dan langsung menelisik wajah istrinya tampak berbeda.Alya menatap kosong suaminya yang baru saja kembali. Pikirannya masih bercabang kebanyak arah, rasa takut dan gelisah malas makin kental."Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi, kenapa wajahmu pucat?" Bara cepat dan merangkup dua pipi Alya."Oh, aku nggak apa-apa." Alya tersenyum kaku. Matanya berkaca. Sikap yang demikian itu yang membuat hatinya semakin kacau. "Sayang, katakan kamu kenapa?" Bara sangat khawatir.Alya menggeleng. "Aku hanya mendadak pusing saja. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?"Bara melebarkan mata. "Kita pulang dan aku akan memanggil dokter."Alya lemas sekali. Dia bahkan tidak menolak Bara saat dipapah berdiri.Bara hendak membawa Alya pulang, tapi saat keluar dari area dapur, Desi malah mencegat dengan bertolak pinggang. Senyumnya sangat merekah, jelas sekali kalau dia sangat bahagia. "Kamu sudah nek
"Mas Bara, maaf aku nggak bisa diam saja. Sebelum benar-benar bertahan di sisimu dan membuka hati, aku ingin memastikan seperti apa kamu." Alya berangkat dengan niat kuat membuntuti suaminya. Dia tidak mendapat informasi apa pun selain kata siang hari. Jadi dia sengaja menunggu suaminya di sisi jalan depan perusahaan. Melihat mobil suaminya setelah keluar dari area perusahaan, Alya langsung menyuruh sopir taksi melajukan mobil. "Jangan sampai kita kehilangan jejak mobil itu, Pak." Alya menuju mobil suaminya yang tepat ada di depan. "Baik, Bu." Alya duduk gelisah. Dia meremas tautan tangannya yang berkeringat di atas pangkuan. Berkali-kali dia mengatur nafas. 'Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, singkapkan keraguan dalam hati ini. Tampakkan yang putih jelas putih dan yang hitam jelas hitam. Ampuni hamba yang lemah ini.' Alya terus merapal do'a dalam hati. Hingga mobil suaminya masuk pada sebuah restoran. Setelah memastikan suaminya masuk, Alya cepat turun dari taksi. W