'Mas Bara dipaksa memilih aku atau mamanya. Aku sendiri nggak mungkin akan semudah itu menyakiti perasaan orang tua. Dan mana mungkin aku membiarkan suamiku melawan orang tuanya. Apalagi aku, wanita yang bukan siapa-siapa. Pasti akan sangat berdosa kalau membuat hubungan anak dan ibu merenggang. Semoga ada jalan keluar, atau aku akan ...,' batin Alya."Bara! Cepat kamu pilih Mama atau wanita itu! Mama nggak sudi punya mantu janda miskin!""Bara, jangan buat keputusan konyol. Papa tidak mau melarangmu memilih masa depan, tapi jangan sekali-kali menggunakan pikiran pendek."Alya menarik nafas dalam. Dia tersenyum kaku. "Pa, Ma-""Jangan panggil aku Mama!" Desi langsung memotong ucapan Alya.Bara mengusap bahu istrinya agar tenang. Dia lantas lebih mendekat pada ibunya."Ma, jangan suruh aku memilih karena aku pasti akan memilih hal terpenting dan sangat menguntungkan. Aku adalah pengusaha dan itu rumusnya.""Bagus kalau kamu sadar." Perasaan Alya jadi tidak karuan. Tapi dia tetap terse
Aliran dar4h Bara mulai panas dengan desiran-desiran luar biasa. Letupan-letupan rasa sudah menuntut untuk membuat Alya menjadi istri seutuhnya.Alya mencengker4m selimut. Jantungnya tak mau lagi mendengar keinginannya agar tenang.Hening, mereka hanya mendengar detak jantung menggila masing-masing. Bahkan detakan weker tak masuk dalam rungu.Wajah Bara telah dekat dengan wajah Alya. Kini, kening Bara telah menempel pada kening Alya. Hembusan nafas Bara membuat desiran hebat untuk istrinya.Manik mata elang itu telah menatap sangat dalam, begitu dalam hingga .... bayangan Alya yang belum keluar dari masa lalu memupus niatnya."Ehm!" Bara menarik dirinya.Hingga Alya tercengang dan sedikit menyesalkan."Malam ini kita istirahat lebih awal." Bara lantas masuk ke kamar mandi.'Apa ini yang dinamakan cinta bukan nafsu? Seperti inikah yang namanya tulus bukan ego? Ya Allah, jika benar maka bukanlah pintu hatiku untuk Mas Bara. Dan buatlah sekat kuat untuk masa laluku,' batin Alya.Alya lan
[Aku malas di rumah. Udah suamiku ngomel terus, nggak kasih jatah uang belanja. Eh, aku pulang dicuekin.][Kebetulan besok aku ada kerjaan peninjauan proyek luar kota, tapi cuma 3 hari, nggak apa-apa?][Nggak masalah. Yang penting aku nggak stress di rumah. Sebenarnya suamiku pengen aku tukar tambah sama kamu aja.][Jangan ngomong kejauhan, Tiara. Dan jangan sampai istriku tahu soal ini. Sementara ini hubungan kita mutualisme. Kamu senang aku pun puas.]Tiara memegang erat ponselnya dengan senyum miring."Sementara ya? Ok, aku buat kata sementara itu ilang. Ardi udah nggak bisa aku andalkan lagi. Gajinya aja cuma cukup buat bayar cicilan sama urusan rumah. Aku harus upgrade suami. Sia-sia kecantikanku kalau cuma dipajang di dalam rumah."Tiara lantas keluar dan masuk ke kamar anaknya.Di dalam sedang ada Rani yang bermain dengan Daffa."Heh, kamu! Sini berikan anakku!" Tiara mendekati Daffa tanpa senyum.Rani gegas mengangkat Daffa dari tempat tidur. "Ini, Bu.""Aaaaa ...." Daffa mala
"Kamu harus atur waktunya biar sangat pas. Aku kasih jeda waktu 10 menit setelah istriku masuk.""Siap, Tuan. Akan saya bawa Ardi. Biar dia tahu siapa Alya. Hehe.""Jangan sampai salah atau tidak ada bonus bulan ini!"---Kini, mata Ardi membeliak. Wanita yang setiap hari mengganggunya, baik terjaga maupun terlelap kini sedang beradu mesra dengan pria lain. Rasanya sangat panas, meski pria itu adalah suaminya yang sekarang. Semakin hari penyesalan itu semakin dalam, Ardi terus mengatakan kata andai, andai dan andai dalam hatinya."Alya?" lirih Ardi, sesak melihat adegan itu. Sebuah sayatan sesal membuat luka menganga di hatinya."Sayang." Bara sangat puas, timing-nya tepat, dan dipastikan Ivan akan mendapat bonus besar. "Mas .... Ardi?" Alya langsung kembali menatap suaminya. Tangannya yang memegang sendok bergerak. Kenapa waktunya bisa sangat tepat? Pikirnya.Hap. Bara lantas memegang tangan Alya yang hendak menyuapinya. "Ada apa, Sayang?"Alya gegas mengatur perasaannya. "Nggak apa
"Hish!" Ardi memukul meja. Wajahnya merah, nafasnya makin berat. Dadanya nyeri dengan gumpalan emosi ingin mengamuk, tapi tidak bisa."Alya .... Secepat itu kamu melupakanku. Huh! Aku memang pantas mendapatkannya! Aku memang brengsek! Wanita sepertimu berhak bahagia, tapi .... Rasanya sakit sekali .... Al, bagaimana mengakhiri rasa ini? Kamu pergi, perasaan ini timbul dan terasa semakin berat. Kamu dan Tiara bak langit dan bumi, aku benar-benar buta telah memilih wanita licik itu."Raganya lemas, hatinya lelah, dadanya ingin meledak, pikirannya kacau. Ardi berpikir jika dirinya bisa gila jika tidak bisa keluar dari jerat lingkaran gelap itu.Di saat kacau-balau, Fera malah terus mendesak Ardi mengharuskan dirinya tiba di tempat pertemuan m3sum Tiara dan suami Fera. Dia ingin acuh pada kelakuan Tiara, rasanya lelah menghadapi istrinya itu, tapi kalau begini apa bisa menghindar?[Tadi suamiku bilang kalau mau main golf sama teman-temannya, ternyata mau main sama istrimu di atas ranjang.
"Haish! Kenapa bisa seperti ini? Aku sudah susah payah menarik Reno malah dia sangat brengsek! Kalau begini aku harus membuat Ardi memaafkanku. Ya, aku harus merayunya dengan air mata."Tiara kembali karena gagal mendapatkan Reno.Dia berdiri di depan pintu kamar Daffa untuk mencari Ardi."Mana mungkin Ardi mau tidur di kamar Daffa, lagian ada Rani yang cuma wanita kampungan. Dia jelas bukan selera Ardi, tapi aku tetep harus melihat kamar ini juga."Pintu dibuka. Kamar itu sudah diterangi sorot mentari dari celah jendela. Tapi masih sepi, penghuni kamar itu belum ada yang bangun.Tiara tercengang membelalak melihat Ardi tidur di belakang Rani sambil memeluk. Suaminya itu bahkan tidak memakai baju. Dua orang itu berada di bawah selimut yang sama. Sedang Daffa, masih terlelap di box bayi."Kurang ajar!"Dada Tiara bergejolak ingin mengamuk meluapkan emosi. Tangannya mengepal kuat. Dia melangkah cepat ke sisi ranjang dan menyibak selimut itu.Tak disangka ternyata mereka berdua ...."Ard
Apa yang tadi aku lakukan? Aku memeluk Mas Bara? Tapi nggak apa-apa kan memeluk suami sendiri. Cuma kok malu begini,' batin Alya. Dia masih membenahi degub jantungnya karena malu sendiri. "Sayang, bilang saja seperti yang tadi kamu jelaskan padaku." Bara mengusap kepala Alya uyang terbalut jilbab.Alya mengangguk kaku. Dia bertambah gugup dengan perlakuan Bara.Ivan memainkan dasinya sambil tersenyum dan melengos. 'Tuan emang jago bikin panas hati,' batinnya.Sedang Ardi mengatup matanya sebentar untuk menguatkan hatinya.Melihat istrinya masih diam. "Sayang, ayo! Katakan saja jangan ragu."Alya tidak ragu, tapi susunan kata telah menguap, dia butuh waktu sebentar lagi. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam."Ehem! Mas Ardi ada yang mau aku bicarakan." Alya hanya melirik mantan suaminya itu.Ardi ingin mencoba negosiasi sebelum Alya yang ambil alih soal hutangnya. "Maaf, Tuan. Soal hutang perusahaan akan saya lunasi besok. Saya jamin hal itu. Jadi sepertinya tidak perlu melibatkan Aly
"Sayang, gimana masakanmu, udah siap semua? Aku yakin hasilnya pasti bakal enak?" Bara duduk di sisi Alya dan langsung menelisik wajah istrinya tampak berbeda.Alya menatap kosong suaminya yang baru saja kembali. Pikirannya masih bercabang kebanyak arah, rasa takut dan gelisah malas makin kental."Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi, kenapa wajahmu pucat?" Bara cepat dan merangkup dua pipi Alya."Oh, aku nggak apa-apa." Alya tersenyum kaku. Matanya berkaca. Sikap yang demikian itu yang membuat hatinya semakin kacau. "Sayang, katakan kamu kenapa?" Bara sangat khawatir.Alya menggeleng. "Aku hanya mendadak pusing saja. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?"Bara melebarkan mata. "Kita pulang dan aku akan memanggil dokter."Alya lemas sekali. Dia bahkan tidak menolak Bara saat dipapah berdiri.Bara hendak membawa Alya pulang, tapi saat keluar dari area dapur, Desi malah mencegat dengan bertolak pinggang. Senyumnya sangat merekah, jelas sekali kalau dia sangat bahagia. "Kamu sudah nek
"Kamu datang juga." Bara berdiri dengan senyum miring. Tatapannya tajam menghujam Ardi yang masih berdiri di ambang pintu."Saya nggak punya pilihan, Tuan Bara. Julia takkan membiarkanku hidup tenang kalau aku menolak." Ardi melangkah masuk, menutup pintu perlahan.Bara dan Ardi duduk berseberangan. Ada tiga orang di sana, Ivan datang mendampingi atasan."Julia." Bara menyebut nama itu dengan nada sinis. Seperti yang dia duga. "Apa lagi rencananya?"Ardi tersenyum tipis menatap Bara. "Dia ingin saya menghancurkan rumah tangga Anda."Mata Bara langsung memicing tajam. Dia menyeringai. "Lalu, kamu mau? Memangnya sudah lupa siapa aku? Selama ini aku membiarkanmu hidup tenang, karena kamu tidak muncul di depan istriku. Tapi sekarang, jangan harap kamu akan bisa melihat masa depan."Ardi menghela nafas. "Ibu mengambil uang dari Julia. Cukup banyak. Saat mereka datang, saya sudah langsung menolak. Tapi semua terjadi diluar kehendak saya. Jika saya tidak tunduk, dia akan menyeret kami ke pen
"Istriku kehilangan kebahagiaan dan lupa siapa dirinya karena kecelakaan hebat saat kami pulang dari rumah sakit pasca istriku melahirkan. Kami juga kehilangan bayi yang tampan. Namanya Zayn. Zayn ...." Benny tersenyum miris, sorot matanya ada luka yang sulit terobati.Pria itu belum pernah menceritakan kisah ini pada siapa pun. Tapi karena Bara memegang kartu As istrinya, dia harus bernegosiasi. Entah pakai cara apa pun.Bara diam, menahan emosi yang perlahan surut. Kata-kata Benny menembus pertahanannya. Dia juga punya istri yang sedang mulai bangkit dari keterpurukannya."Istriku tidak kuat menghadapi kenyataan. Dia tidak siap kehilangan." Benny melanjutkan. Suaranya lebih pelan. "Dia histeris setiap hari. Mencari anaknya, memanggil nama bayinya. Bayi itu anak pertama yang telah kami tunggu selama 5 tahun. Dia menangis tanpa henti, hingga aku tidak tega melihatnya. Hidupnya hancur dan aku tidak bisa hanya menyaksikan.""Lalu?" Bara menegakkan tubuhnya. Meski penasaran, wajahnya tet
"Mas, kamu menyuruhku bertemu dengan Mas Ardi di restoran? Jangan bercanda. Aku nggak mau." Alya melipat tangan di depan dada, raut wajahnya jelas penolakan."Sebenarnya aku kurang suka kamu menyebut pria itu 'Mas' bisakah kamu memanggil dengan sebutan lain?" Bara mengurai lipatan tangan istrinya, dan memegang dua tangan itu. Wajahnya menatap cemburu tak terima."Kayaknya sulit, Mas. Lagian aku panggil Mas bukan cuma sama Mas Ardi. Sama turir juga aku panggil Mas. Jangan berlebihan. Kita kembali ke pembahasan awal. Aku nggak mau ketemu dia.""Kamu nggak akan bertemu sama dia, Sayang. Kamu lihat saja nanti. Ikuti saja apa yang aku katakan.""Tapi jangan aneh-aneh, Mas." "Nggak akan."Bara mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan cepat untuk Ardi.[Besok, jam 8 malam, Eleven Night Restaurant, private room.]Balasan dari Ardi datang hanya beberapa detik kemudian. [Dengan senang hati.]Alya memperhatikan suaminya. Terlihat tenang, tapi gerak-geriknya mengundang tanya. "Mas, jujur saja. Ada
"Nona Julia, Anda pasti akan suka dengan kabar ini. Alya menerima kedatanganku dan sudah tidak membahas soal kesalahan masa lalu. Kami bahkan bertukar nomor telepon." Ardi berdiri menatap Julia dengan senyum tipis, tapi tatapan tajam."Duduk!" Julia memainkan gelas berkakinya.Ardi memilih kursi di depan Julia. Tidak seperti yang lain menunduk di hadapannya, Ardi duduk dengan punggung tegak, ekspresi datar tenang."Bara adalah teman masa kecilku. Aku juga sangat dekat dengan keluarganya. Orang tua Bara sering mengeluh padaku tentang bagaimana anak mereka berubah menjadi durhaka sejak Alya datang. Kamu pasti paham. Mantan istrimu tidak pantas jadi istri seorang Bara."Ardi mendengarkan tanpa banyak reaksi. Hanya mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakan Julia."Lantas kenapa dulu merestui hubungan mereka?"Julia malah tertawa. "Karena pengaruh Alya yang begitu kuat, Bara bahkan sampai hampir kehilangan nyawanya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya sekarat hanya demi seora
[Saya ingin bertemu dengan istri Anda atau Anda, Tuan Bara. Kapan dan di mana, saya yang menentukan. Ardi.] Mendapat pesan seperti itu, darah Bara mendidih. Tak sabar menanti besok atau lusa lagi, pria itu langsung menekan kontak Ardi dan .... Tersambung. Dan langsung diangkat Ardi. "Berani sekali kamu mengirim pesan seperti itu padaku! Memangnya siapa kamu, ha?!" sentak Bara, tepat setelah tersambung. "Saya? Bisa jadi saya yang akan menyelamatkan Alya saat ini, Tuan." Ardi terdengar tertawa kecil. Hingga Bara semakin marah. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Alya sekarang?Aku tahu trik murahan seorang mantan sepertimu. Kamu datang berlagak peduli." Ardi kembali tertawa kecil, seakan puas pada sesuatu hal pada Bara. "Tuan Bara, lebih baik kita bertemu langsung. Bicara dengan kepala dingin. Tidak perlu emosi di telepon seperti ini." "Ok, besok kita akan bertemu. Dan aku pastikan kamu akan terima akibatnya setelah berani muncul di depan istriku!" Bara langsung memutus
"Aku terpaksa harus keluar kota beberapa hari, padahal ada yang harus segera kuselesaikan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar, Sayang?" Bara memeluk erat istrinya. Sungguh dia berat untuk meninggalkan Alya, tapi mau bagaimana lagi. Alya membalas pelukan itu dan mengangguk pelan. "Jangan lupa selalu kabari aku. Aku akan baik-baik saja kalau kamu juga baik-baik saja, Mas." Bara mengusap rambut pelan, dan menghirup aroma istrinya. "Aku pastikan mama nggak akan datang ke rumah selama aku pergi. Percayalah, aku akan selalu melindungimu. Tapi kalau sampai ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, jangan menunda waktu langsung hubungi aku. Jangan buat aku cemas dan merasa bersalah karena kamu sedih dan terlambat datang." "Pasti. Aku pasti akan mengadukan padamu apa yang terjadi nanti." Alya melepas pelan pelukan itu. Lalu, dia tersenyum tipis, merasa tenang dengan jaminan suaminya. Bara bergegas meninggalkan rumah. ---- Keesokan harinya, di depan rumah mewah itu, seorang
"Kalau kamu tetap mau Alya di sini, jangan sampai orang tuamu menyakitinya. Kemarin ayah dan ibu melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada anak kami. Sungguh kami tidak ridho. Kamu menikahi Alya bukan untuk direndahkan. Kalau seperti itu, ayah bisa saja membawa Alya darimu." Ayah Alya menatap tajam Bara, seolah menguliti niat di balik keteguhan menantunya.Bara merunduk sedikit, tangannya mengepal di atas lutut. "Aku minta maaf atas keteledoran itu, Yah. Sungguh tidak menyangka mama akan bertindak sejauh itu. Ini salahku dan menyesalkan sampai Alya harus menerima perlakuan tidak layak."Ibu Alya menghela nafas panjang, matanya sembab dan bengkak karena semalam banjir air mata. "Kami tahu kamu suaminya, Bara. Berhak menentukan di mana istrinya berada dan harus bagaimana. Tapi hati seorang ibu ini tidak bisa tenang setelah melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Alya sudah kehilangan anaknya. Malah dihina seperti itu."Alya menyentuh lengan ibunya. "Bu, percaya sama Mas Bara. Dia n
Flash back saat Bara ada di panti asuhan."Tuan, ternyata bukan panti asuhan yang ini." Ivan menjelaskan setelah mendapat pesan dari bawahannya.Bara menggeram, tangannya mengepal hingga kukunya memutih. "Lantas, di mana anakku?"Baru saja mereka tiba di panti asuhan terdekat sesuai informasi awal. Mobil bahkan belum sempat berhenti sempurna ketika kabar baru datang. Tawanan pria yang sempat mereka bawa ternyata memberi informasi lain sebelum kehilangan kesadaran."Sebelum dia pingsan, dia menyebutkan lokasi lain," lanjut Ivan dan menunggu arahan lebih lanjut."Cepat ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk menunggu!" Bara menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi, rahangnya mengeras. Dia dibuat frustrasi.Mobil melaju sangat cepat di bawah arahan sopir. Bara menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia melihat bayangan istrinya yang menangis di kuburan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan kedua."Ini panti asuhannya, Tuan."Begitu memastikan a
"Maksud Mama apa aku nggak bisa ketemu sama mas Bara lagi?" Alya berdiri gelisah, matanya tajam menatap Desi yang bersikap seolah tak punya rasa bersalah.Desi tersenyum culas. Tidak menjawab, malah melambaikan tangan pada dua pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Dengan langkah cepat, mereka maju ke arah Alya."Apa ini, Mama? Jangan main-main!" Alya mundur, tubuhnya gemetar saat kedua pria itu mulai memegang lengannya. Dia berusaha berontak."Ikut saja. Kamu tidak punya pilihan lain kalau masih mau jadi menantuku." Desi terkekeh."Hey, Alya. Kamu itu harus didaur ulang biar layak pakai layak pajang. Kamu tahu sampah, kan? Nah harus masuk ke pabrik dulu biar jadi barang berguna." Julia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Alya menatap tajam Julia sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Mas Bara pasti akan marah dengan tindakan ini, Ma. Dia nggak akan tinggal diam.""Marah? Siapa yang peduli? Bara harus tahu apa yang terbaik untuknya. Di