"Berikan saya kesempatan untuk membuktikan tanggung jawab sebagai suami dan membahagiakan Alya. Jika nanti setelah saya berusaha Alya tidak bahagia dan Anda masih tidak percaya ... silahkan jauhkan Alya dari saya. Karena saya juga ingin Alya bahagia." Bara mengucap itu dengan getaran dada dan rasa takut. Berharap dia mendapat kesempatan. Belum sempat dia mengutarakan perasaan, mungkinkah akan kehilangan begitu saja?Deg. Kalimat itu mampu menggetarkan hati Alya. Ya, saat bersama Ardi dia tidak pernah mendapat kata tulus yang sangat dalam seperti itu. Hanya kata bualan dan rayuan manis yang membuatnya terus berbunga-bunga dan melayang, tapi ternyata ....Bara masih memegang tangan Alya dan menatap harap.Ibu Alya menyenggol suaminya. "Bara sepertinya serius, Yah. Tapi gimana Mamanya? Ibu bingung," bisiknya.Ayah Alya mengusap bahu istrinya. "Ayah akan coba buat keputusan yang terbaik," balas bisiknya.Dua manik mata masih beradu begitu intens. Degupan jantung Alya juga semakin cepat."
'Mas Bara dipaksa memilih aku atau mamanya. Aku sendiri nggak mungkin akan semudah itu menyakiti perasaan orang tua. Dan mana mungkin aku membiarkan suamiku melawan orang tuanya. Apalagi aku, wanita yang bukan siapa-siapa. Pasti akan sangat berdosa kalau membuat hubungan anak dan ibu merenggang. Semoga ada jalan keluar, atau aku akan ...,' batin Alya."Bara! Cepat kamu pilih Mama atau wanita itu! Mama nggak sudi punya mantu janda miskin!""Bara, jangan buat keputusan konyol. Papa tidak mau melarangmu memilih masa depan, tapi jangan sekali-kali menggunakan pikiran pendek."Alya menarik nafas dalam. Dia tersenyum kaku. "Pa, Ma-""Jangan panggil aku Mama!" Desi langsung memotong ucapan Alya.Bara mengusap bahu istrinya agar tenang. Dia lantas lebih mendekat pada ibunya."Ma, jangan suruh aku memilih karena aku pasti akan memilih hal terpenting dan sangat menguntungkan. Aku adalah pengusaha dan itu rumusnya.""Bagus kalau kamu sadar." Perasaan Alya jadi tidak karuan. Tapi dia tetap terse
Aliran dar4h Bara mulai panas dengan desiran-desiran luar biasa. Letupan-letupan rasa sudah menuntut untuk membuat Alya menjadi istri seutuhnya.Alya mencengker4m selimut. Jantungnya tak mau lagi mendengar keinginannya agar tenang.Hening, mereka hanya mendengar detak jantung menggila masing-masing. Bahkan detakan weker tak masuk dalam rungu.Wajah Bara telah dekat dengan wajah Alya. Kini, kening Bara telah menempel pada kening Alya. Hembusan nafas Bara membuat desiran hebat untuk istrinya.Manik mata elang itu telah menatap sangat dalam, begitu dalam hingga .... bayangan Alya yang belum keluar dari masa lalu memupus niatnya."Ehm!" Bara menarik dirinya.Hingga Alya tercengang dan sedikit menyesalkan."Malam ini kita istirahat lebih awal." Bara lantas masuk ke kamar mandi.'Apa ini yang dinamakan cinta bukan nafsu? Seperti inikah yang namanya tulus bukan ego? Ya Allah, jika benar maka bukanlah pintu hatiku untuk Mas Bara. Dan buatlah sekat kuat untuk masa laluku,' batin Alya.Alya lan
[Aku malas di rumah. Udah suamiku ngomel terus, nggak kasih jatah uang belanja. Eh, aku pulang dicuekin.][Kebetulan besok aku ada kerjaan peninjauan proyek luar kota, tapi cuma 3 hari, nggak apa-apa?][Nggak masalah. Yang penting aku nggak stress di rumah. Sebenarnya suamiku pengen aku tukar tambah sama kamu aja.][Jangan ngomong kejauhan, Tiara. Dan jangan sampai istriku tahu soal ini. Sementara ini hubungan kita mutualisme. Kamu senang aku pun puas.]Tiara memegang erat ponselnya dengan senyum miring."Sementara ya? Ok, aku buat kata sementara itu ilang. Ardi udah nggak bisa aku andalkan lagi. Gajinya aja cuma cukup buat bayar cicilan sama urusan rumah. Aku harus upgrade suami. Sia-sia kecantikanku kalau cuma dipajang di dalam rumah."Tiara lantas keluar dan masuk ke kamar anaknya.Di dalam sedang ada Rani yang bermain dengan Daffa."Heh, kamu! Sini berikan anakku!" Tiara mendekati Daffa tanpa senyum.Rani gegas mengangkat Daffa dari tempat tidur. "Ini, Bu.""Aaaaa ...." Daffa mala
"Kamu harus atur waktunya biar sangat pas. Aku kasih jeda waktu 10 menit setelah istriku masuk.""Siap, Tuan. Akan saya bawa Ardi. Biar dia tahu siapa Alya. Hehe.""Jangan sampai salah atau tidak ada bonus bulan ini!"---Kini, mata Ardi membeliak. Wanita yang setiap hari mengganggunya, baik terjaga maupun terlelap kini sedang beradu mesra dengan pria lain. Rasanya sangat panas, meski pria itu adalah suaminya yang sekarang. Semakin hari penyesalan itu semakin dalam, Ardi terus mengatakan kata andai, andai dan andai dalam hatinya."Alya?" lirih Ardi, sesak melihat adegan itu. Sebuah sayatan sesal membuat luka menganga di hatinya."Sayang." Bara sangat puas, timing-nya tepat, dan dipastikan Ivan akan mendapat bonus besar. "Mas .... Ardi?" Alya langsung kembali menatap suaminya. Tangannya yang memegang sendok bergerak. Kenapa waktunya bisa sangat tepat? Pikirnya.Hap. Bara lantas memegang tangan Alya yang hendak menyuapinya. "Ada apa, Sayang?"Alya gegas mengatur perasaannya. "Nggak apa
"Hish!" Ardi memukul meja. Wajahnya merah, nafasnya makin berat. Dadanya nyeri dengan gumpalan emosi ingin mengamuk, tapi tidak bisa."Alya .... Secepat itu kamu melupakanku. Huh! Aku memang pantas mendapatkannya! Aku memang brengsek! Wanita sepertimu berhak bahagia, tapi .... Rasanya sakit sekali .... Al, bagaimana mengakhiri rasa ini? Kamu pergi, perasaan ini timbul dan terasa semakin berat. Kamu dan Tiara bak langit dan bumi, aku benar-benar buta telah memilih wanita licik itu."Raganya lemas, hatinya lelah, dadanya ingin meledak, pikirannya kacau. Ardi berpikir jika dirinya bisa gila jika tidak bisa keluar dari jerat lingkaran gelap itu.Di saat kacau-balau, Fera malah terus mendesak Ardi mengharuskan dirinya tiba di tempat pertemuan m3sum Tiara dan suami Fera. Dia ingin acuh pada kelakuan Tiara, rasanya lelah menghadapi istrinya itu, tapi kalau begini apa bisa menghindar?[Tadi suamiku bilang kalau mau main golf sama teman-temannya, ternyata mau main sama istrimu di atas ranjang.
"Haish! Kenapa bisa seperti ini? Aku sudah susah payah menarik Reno malah dia sangat brengsek! Kalau begini aku harus membuat Ardi memaafkanku. Ya, aku harus merayunya dengan air mata."Tiara kembali karena gagal mendapatkan Reno.Dia berdiri di depan pintu kamar Daffa untuk mencari Ardi."Mana mungkin Ardi mau tidur di kamar Daffa, lagian ada Rani yang cuma wanita kampungan. Dia jelas bukan selera Ardi, tapi aku tetep harus melihat kamar ini juga."Pintu dibuka. Kamar itu sudah diterangi sorot mentari dari celah jendela. Tapi masih sepi, penghuni kamar itu belum ada yang bangun.Tiara tercengang membelalak melihat Ardi tidur di belakang Rani sambil memeluk. Suaminya itu bahkan tidak memakai baju. Dua orang itu berada di bawah selimut yang sama. Sedang Daffa, masih terlelap di box bayi."Kurang ajar!"Dada Tiara bergejolak ingin mengamuk meluapkan emosi. Tangannya mengepal kuat. Dia melangkah cepat ke sisi ranjang dan menyibak selimut itu.Tak disangka ternyata mereka berdua ...."Ard
Apa yang tadi aku lakukan? Aku memeluk Mas Bara? Tapi nggak apa-apa kan memeluk suami sendiri. Cuma kok malu begini,' batin Alya. Dia masih membenahi degub jantungnya karena malu sendiri. "Sayang, bilang saja seperti yang tadi kamu jelaskan padaku." Bara mengusap kepala Alya uyang terbalut jilbab.Alya mengangguk kaku. Dia bertambah gugup dengan perlakuan Bara.Ivan memainkan dasinya sambil tersenyum dan melengos. 'Tuan emang jago bikin panas hati,' batinnya.Sedang Ardi mengatup matanya sebentar untuk menguatkan hatinya.Melihat istrinya masih diam. "Sayang, ayo! Katakan saja jangan ragu."Alya tidak ragu, tapi susunan kata telah menguap, dia butuh waktu sebentar lagi. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam."Ehem! Mas Ardi ada yang mau aku bicarakan." Alya hanya melirik mantan suaminya itu.Ardi ingin mencoba negosiasi sebelum Alya yang ambil alih soal hutangnya. "Maaf, Tuan. Soal hutang perusahaan akan saya lunasi besok. Saya jamin hal itu. Jadi sepertinya tidak perlu melibatkan Aly