Daya pikat. Itu hanya tergabung siapa yang menatapnya dan dari sudut pandang mana.Bara mengatur laju nafas dan detakan jantungnya. "Ehem!" Bara mencoba untuk tenang. Dia duduk tegap dan langsung menyambar cangkir kopi serta menyeruputnya."Kamu? Ehm, maaf aku lancang. Mas Bara. Oh salah lagi maaf. Tuan Bara." Alya tersenyum tipis dengan anggukan kecil.Bara mengatup matanya sebentar saat mendengar rentetan panggilan dari Alya. Saat dipanggil Mas serasa ada semilir sejuk menerpa dadanya. 'Dia selalu mengacaukan arah pikiranku!' batinnya."Oooooeee ....."Alya cepat membungkam mulut Daffa dengan ujung botol.Sedang Ivan menarik nafas dalam. "Apa kabar, Alya. Kamu juga sedang makan di sini?" Dia harus memotong pikiran Alya yang merambah pada hal yang tidak diinginkan.Alya menoleh ke arah Bara. "Alhamdulillah baik, Mas Ivan. Kebetulan aku sedang ada janji makan dengan seseorang, soal kerjaan.""Makan siang bahas kerjaan malah bawa anak, apa kamu masih jadi baby sitter anak gelap suamim
Berpalingnya hati bukan hanya sekedar karena sifat tak setia, tapi adanya sajian siap santap di depannya.---Fera menutup pintu rumahnya pelan, dia menghela nafas melepas kepenatan. Udara segar langsung menyambutnya saat dia melepas sendal di depan rumah. Pertemuan dengan ibu-ibu di lingkungannya tadi berlangsung cukup lama.Fera lantas masuk dengan langkah tanpa firasat apa pun. Namun, seketika jiwanya terguncang oleh pemandangan yang tidak terduga begitu dia masuk. 'Apa yang mereka lakukan? Kenapa bisa seperti itu?' batinnya.Reno-suaminya dan Tiara-teman dekatnya, keluar dengan ekspresi tergesa-gesa. Pakaian mereka sedikit berantakan, membuat hati Fera berdebar tidak karuan. Apa yang sedang terjadi? Pikirannya berkecamuk dengan spekulasi tak terduga, mencoba mencari tahu apa yang bisa membuat suami dan temannya keluar dari arah sama dengan kondisi seperti itu.Mata Tiara melebar, dia berusaha menyembunyikan kegugupannya dibalik senyum lebar. "Fera? Apa pertemuannya sudah selesai?"
Gemuruh di dada Tiara terus mendesak untuk meminta kepu4san dengan cara melihat Alya menderita. Wanita sampai kehilangan akal sehat dalam bertindak.Sebelum Tiara ke kantor polisi, dia datang pada seseorang dan menyuruh mereka ke tempat penitipan anak mengambil Daffa atas nama dirinya. Karena Alya sudah berpesan jika yang nanti akan mengambil atas nama Tiara atau Ardi. Setelah itu, dia akan membuat drama seolah Alya menyembunyikan anak itu dan informasi Daffa dari Alya hanya rekayasa semata.Tiara langsung masuk ke butik dan mencari sosok Alya. Dia melihatnya. "Heh, Alya!"Kebetulan Alya sedang berjalan dengan Caroline menapaki area butik. Dia lantas menoleh."Tiara, ada yang bisa aku bantu? Apa kamu ingin beli dress atau gaun di sini?" Alya mengerutkan dahi saat melihat ada polisi di belakang Tiara."Di mana Daffa? Beraninya kamu mengambil paksa anakku. Aku tahu kamu memang nggak bisa punya anak dan selalu membuat kesal mantan suamimu, hingga kamu diceraikan. Tapi jangan seperti ini
"Argh! Kenapa jadi begini? Mereka bahkan minta uang tebusan 50 juta. Semua gara-gara Alya. Dan dia harus bertanggung jawab dengan semua hal ini."Nafas Tiara menderu dengan tatapan tajam. Dia mencengkram roda stir-nya. "Aku akan hubungi Ardi dan bilang kalau Alya sengaja merencanakan semua ini. Aku lihat apa yang akan dia lakukan nanti!"Tiara menghubungi suaminya beberapa kali, tapi tidak tersambung. "Haish. Sedang apa dia? Kenapa seorang manajer tidak bisa mengangkat panggilan darurat? Apa sedang rapat?" Tiara lantas mengajukan mobilnya kembali ke rumah.-Yang terjadi di belakang Tiara pastinya ada campur tangan Bara. Pria itu menyuruh bawahannya cepat bertindak mencari tahu kebenaran bayi itu. Setelah mendapat laporan jika Tiara memanipulasi semua itu dan ingin mencelakai Alya, dia langsung membuat perintah gila semacam itu."Jadikan semuanya boomerang untuk wanita licik itu!" titah Bara.***Sedang yang terjadi di perusahaan Bara.Ardi langsung dipanggil pihak HRD dan jabatannya
Devita murka. Janji Bara hanya tinggal janji semata. Yang katanya ingin menemani pergi ke pesta dan makan malam, selalu saja beralasan sedang sibuk. Beberapa bulan berlalu, hingga persiapan pesta telah mencapai 90%. Bara bahkan belum mau diajak fitting baju pengantin, dengan segala alasan tak masuk akal.Emosi Devita-calon istri Bara memuncak. Dia merasa terhina dengan semua sikap Bara padanya."Siapa wanita yang dimaksud Bara kekasih itu?" Selama ini Devita sudah menyuruh beberapa orang untuk mengintai Bara."Jika dari pengintaian, sepertinya wanita yang memakai pakaian sangat lengkap itu, Nona."Ada beberapa foto Alya dan keterangan soal butik."Wanita ini yang selalu diikuti Tuan Bara selama ini. Beberapa kali saat menyamar sebagai warga setempat, kami melihat mobil Tuan Bara terparkir di dekat rumah wanita itu. Saat malam hari Tuan Bara akan pergi setelah lampu rumah itu dimatikan.""Dan wanita itu ternyata bekerja di sebuah butik."Devita mengepal tangan kuat hingga ototnya men
Brukkk!!"Kurang ajar, beraninya j4lang miskin sepertimu mendekati anakku!" teriak Desi-ibu Bara.Alya tersungkur di lantai sambil memegang pipinya yang memerah panas. Dia mendongak menatap wajah marah wanita paruh baya itu. Siapa dia dan kenapa bersiap seperti itu padanya?Desi mendesis remeh dengan tatapan nyalang."Ini peringatan terakhir untukmu agar tidak lagi menggoda anakku. Sebentar lagi anakku akan menikah dengan wanita terhormat, berpendidikan, dan pastinya masih single. Aku yakin jika bukan karena trik kotormu, anakku nggak akan termakan rayuanmu!" teriaknya.Alya menghela nafas sambil beranjak. Dia mulai menebak siapa wanita itu. Bara, ya pria itu bisa jadi ada kaitannya dengan wanita itu, pikir Alya."Silahkan masuk dan kita bicara di dalam, Bu." Alya mengedar sekitar telah ada beberapa warga yang sengaja menghentikan langkah untuk menyaksikan perdebatan itu.Desi tersenyum remeh. "Kamu pasti malu karena kelakuanmu terciduk banyak orang.""Saya hanya berniat menghormati t
Di rumah kontrakan Alya.Alya masih terduduk menatap amplop coklat besar berisi uang dan lembaran cek ratusan juta itu."Aku akan kembalikan pada Bara aja besok. Kalau bertemu lagi dengan ibunya, hanya akan memperpanjang masalah. Hufffff ... kenapa bisa seperti ini? Benar-benar diluar dugaan." Alya merangkup wajahnya.Sejenak dia berpikir."Besok aku harus pergi dari tempat ini. Ya, aku nggak perduli dengan perjanjian itu. Jika aku berpikir dari dua sisi. Aku memang salah menyalahi aturan, tapi aturan itu tak masuk akal. Aku akan lebih salah jika menjadi sebab rusaknya hubungan orang apalagi yang sebentar lagi akan menikah." Alya benar-benar memantapkan hati."Tapi, bagaimana uang ini? Kapan aku akan mengembalikannya? Huh, terlalu rumit.""Ya Allah, bagaimana caranya hamba bisa menjauh dari kehidupan Bara?"***Sedang di sebuah hotel."Jalan!" Mobil Bara melaju pergi dari depan hotel itu.Sedang polisi langsung berkoordinasi dengan pihak hotel. Sempat terjadi perdebatan alot karena p
Sebelum Alya masuk ke ruang rawat itu, telah terjadi kesepakatan antara Bara dan kedua orang tuanya.Bara hanya boleh menikahi Alya, tapi harus menceraikannya dalam waktu singkat. Identitas Alya tidak boleh dipublikasikan. Dan saat pesta pernikahan nanti, tidak boleh ada jurnalis karena status Alya dari keluarga miskin.Padahal Desi telah menghubungi beberapa jurnalis untuk membuat gempar media, tapi semua harus diurungkan.Bagaimana Bara menanggapi hal semacam itu? Jelas hanya tersenyum tipis saja dengan banyak ide gila di dalam otaknya. Step by step. Karena dia tahu tidak akan bisa memberikan penjelasan satu buku full soal siapa Alya dan sepantas apa Alya. Harus judul by judul. Yang penting dia bisa menikah dengan Alya dulu.Tapi satu hal yang ingin Bara tegaskan, jika Alya tidak silau akan harta dan tahtanya."Alya adalah janda saliha limited edition. Jadi lebih terhormat dari wanita single yang tak bisa menjaga kehormatannya. Dan pastinya aku nggak salah pilih.""Bara! Kamu benar-
"Kamu datang juga." Bara berdiri dengan senyum miring. Tatapannya tajam menghujam Ardi yang masih berdiri di ambang pintu."Saya nggak punya pilihan, Tuan Bara. Julia takkan membiarkanku hidup tenang kalau aku menolak." Ardi melangkah masuk, menutup pintu perlahan.Bara dan Ardi duduk berseberangan. Ada tiga orang di sana, Ivan datang mendampingi atasan."Julia." Bara menyebut nama itu dengan nada sinis. Seperti yang dia duga. "Apa lagi rencananya?"Ardi tersenyum tipis menatap Bara. "Dia ingin saya menghancurkan rumah tangga Anda."Mata Bara langsung memicing tajam. Dia menyeringai. "Lalu, kamu mau? Memangnya sudah lupa siapa aku? Selama ini aku membiarkanmu hidup tenang, karena kamu tidak muncul di depan istriku. Tapi sekarang, jangan harap kamu akan bisa melihat masa depan."Ardi menghela nafas. "Ibu mengambil uang dari Julia. Cukup banyak. Saat mereka datang, saya sudah langsung menolak. Tapi semua terjadi diluar kehendak saya. Jika saya tidak tunduk, dia akan menyeret kami ke pen
"Istriku kehilangan kebahagiaan dan lupa siapa dirinya karena kecelakaan hebat saat kami pulang dari rumah sakit pasca istriku melahirkan. Kami juga kehilangan bayi yang tampan. Namanya Zayn. Zayn ...." Benny tersenyum miris, sorot matanya ada luka yang sulit terobati.Pria itu belum pernah menceritakan kisah ini pada siapa pun. Tapi karena Bara memegang kartu As istrinya, dia harus bernegosiasi. Entah pakai cara apa pun.Bara diam, menahan emosi yang perlahan surut. Kata-kata Benny menembus pertahanannya. Dia juga punya istri yang sedang mulai bangkit dari keterpurukannya."Istriku tidak kuat menghadapi kenyataan. Dia tidak siap kehilangan." Benny melanjutkan. Suaranya lebih pelan. "Dia histeris setiap hari. Mencari anaknya, memanggil nama bayinya. Bayi itu anak pertama yang telah kami tunggu selama 5 tahun. Dia menangis tanpa henti, hingga aku tidak tega melihatnya. Hidupnya hancur dan aku tidak bisa hanya menyaksikan.""Lalu?" Bara menegakkan tubuhnya. Meski penasaran, wajahnya tet
"Mas, kamu menyuruhku bertemu dengan Mas Ardi di restoran? Jangan bercanda. Aku nggak mau." Alya melipat tangan di depan dada, raut wajahnya jelas penolakan."Sebenarnya aku kurang suka kamu menyebut pria itu 'Mas' bisakah kamu memanggil dengan sebutan lain?" Bara mengurai lipatan tangan istrinya, dan memegang dua tangan itu. Wajahnya menatap cemburu tak terima."Kayaknya sulit, Mas. Lagian aku panggil Mas bukan cuma sama Mas Ardi. Sama turir juga aku panggil Mas. Jangan berlebihan. Kita kembali ke pembahasan awal. Aku nggak mau ketemu dia.""Kamu nggak akan bertemu sama dia, Sayang. Kamu lihat saja nanti. Ikuti saja apa yang aku katakan.""Tapi jangan aneh-aneh, Mas." "Nggak akan."Bara mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan cepat untuk Ardi.[Besok, jam 8 malam, Eleven Night Restaurant, private room.]Balasan dari Ardi datang hanya beberapa detik kemudian. [Dengan senang hati.]Alya memperhatikan suaminya. Terlihat tenang, tapi gerak-geriknya mengundang tanya. "Mas, jujur saja. Ada
"Nona Julia, Anda pasti akan suka dengan kabar ini. Alya menerima kedatanganku dan sudah tidak membahas soal kesalahan masa lalu. Kami bahkan bertukar nomor telepon." Ardi berdiri menatap Julia dengan senyum tipis, tapi tatapan tajam."Duduk!" Julia memainkan gelas berkakinya.Ardi memilih kursi di depan Julia. Tidak seperti yang lain menunduk di hadapannya, Ardi duduk dengan punggung tegak, ekspresi datar tenang."Bara adalah teman masa kecilku. Aku juga sangat dekat dengan keluarganya. Orang tua Bara sering mengeluh padaku tentang bagaimana anak mereka berubah menjadi durhaka sejak Alya datang. Kamu pasti paham. Mantan istrimu tidak pantas jadi istri seorang Bara."Ardi mendengarkan tanpa banyak reaksi. Hanya mengangguk pelan, mengiyakan apa yang dikatakan Julia."Lantas kenapa dulu merestui hubungan mereka?"Julia malah tertawa. "Karena pengaruh Alya yang begitu kuat, Bara bahkan sampai hampir kehilangan nyawanya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya sekarat hanya demi seora
[Saya ingin bertemu dengan istri Anda atau Anda, Tuan Bara. Kapan dan di mana, saya yang menentukan. Ardi.] Mendapat pesan seperti itu, darah Bara mendidih. Tak sabar menanti besok atau lusa lagi, pria itu langsung menekan kontak Ardi dan .... Tersambung. Dan langsung diangkat Ardi. "Berani sekali kamu mengirim pesan seperti itu padaku! Memangnya siapa kamu, ha?!" sentak Bara, tepat setelah tersambung. "Saya? Bisa jadi saya yang akan menyelamatkan Alya saat ini, Tuan." Ardi terdengar tertawa kecil. Hingga Bara semakin marah. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari Alya sekarang?Aku tahu trik murahan seorang mantan sepertimu. Kamu datang berlagak peduli." Ardi kembali tertawa kecil, seakan puas pada sesuatu hal pada Bara. "Tuan Bara, lebih baik kita bertemu langsung. Bicara dengan kepala dingin. Tidak perlu emosi di telepon seperti ini." "Ok, besok kita akan bertemu. Dan aku pastikan kamu akan terima akibatnya setelah berani muncul di depan istriku!" Bara langsung memutus
"Aku terpaksa harus keluar kota beberapa hari, padahal ada yang harus segera kuselesaikan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar, Sayang?" Bara memeluk erat istrinya. Sungguh dia berat untuk meninggalkan Alya, tapi mau bagaimana lagi. Alya membalas pelukan itu dan mengangguk pelan. "Jangan lupa selalu kabari aku. Aku akan baik-baik saja kalau kamu juga baik-baik saja, Mas." Bara mengusap rambut pelan, dan menghirup aroma istrinya. "Aku pastikan mama nggak akan datang ke rumah selama aku pergi. Percayalah, aku akan selalu melindungimu. Tapi kalau sampai ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, jangan menunda waktu langsung hubungi aku. Jangan buat aku cemas dan merasa bersalah karena kamu sedih dan terlambat datang." "Pasti. Aku pasti akan mengadukan padamu apa yang terjadi nanti." Alya melepas pelan pelukan itu. Lalu, dia tersenyum tipis, merasa tenang dengan jaminan suaminya. Bara bergegas meninggalkan rumah. ---- Keesokan harinya, di depan rumah mewah itu, seorang
"Kalau kamu tetap mau Alya di sini, jangan sampai orang tuamu menyakitinya. Kemarin ayah dan ibu melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada anak kami. Sungguh kami tidak ridho. Kamu menikahi Alya bukan untuk direndahkan. Kalau seperti itu, ayah bisa saja membawa Alya darimu." Ayah Alya menatap tajam Bara, seolah menguliti niat di balik keteguhan menantunya.Bara merunduk sedikit, tangannya mengepal di atas lutut. "Aku minta maaf atas keteledoran itu, Yah. Sungguh tidak menyangka mama akan bertindak sejauh itu. Ini salahku dan menyesalkan sampai Alya harus menerima perlakuan tidak layak."Ibu Alya menghela nafas panjang, matanya sembab dan bengkak karena semalam banjir air mata. "Kami tahu kamu suaminya, Bara. Berhak menentukan di mana istrinya berada dan harus bagaimana. Tapi hati seorang ibu ini tidak bisa tenang setelah melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Alya sudah kehilangan anaknya. Malah dihina seperti itu."Alya menyentuh lengan ibunya. "Bu, percaya sama Mas Bara. Dia n
Flash back saat Bara ada di panti asuhan."Tuan, ternyata bukan panti asuhan yang ini." Ivan menjelaskan setelah mendapat pesan dari bawahannya.Bara menggeram, tangannya mengepal hingga kukunya memutih. "Lantas, di mana anakku?"Baru saja mereka tiba di panti asuhan terdekat sesuai informasi awal. Mobil bahkan belum sempat berhenti sempurna ketika kabar baru datang. Tawanan pria yang sempat mereka bawa ternyata memberi informasi lain sebelum kehilangan kesadaran."Sebelum dia pingsan, dia menyebutkan lokasi lain," lanjut Ivan dan menunggu arahan lebih lanjut."Cepat ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk menunggu!" Bara menghentakkan punggungnya ke sandaran kursi, rahangnya mengeras. Dia dibuat frustrasi.Mobil melaju sangat cepat di bawah arahan sopir. Bara menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dia melihat bayangan istrinya yang menangis di kuburan. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, mereka tiba di panti asuhan kedua."Ini panti asuhannya, Tuan."Begitu memastikan a
"Maksud Mama apa aku nggak bisa ketemu sama mas Bara lagi?" Alya berdiri gelisah, matanya tajam menatap Desi yang bersikap seolah tak punya rasa bersalah.Desi tersenyum culas. Tidak menjawab, malah melambaikan tangan pada dua pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan. Dengan langkah cepat, mereka maju ke arah Alya."Apa ini, Mama? Jangan main-main!" Alya mundur, tubuhnya gemetar saat kedua pria itu mulai memegang lengannya. Dia berusaha berontak."Ikut saja. Kamu tidak punya pilihan lain kalau masih mau jadi menantuku." Desi terkekeh."Hey, Alya. Kamu itu harus didaur ulang biar layak pakai layak pajang. Kamu tahu sampah, kan? Nah harus masuk ke pabrik dulu biar jadi barang berguna." Julia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.Alya menatap tajam Julia sambil terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Mas Bara pasti akan marah dengan tindakan ini, Ma. Dia nggak akan tinggal diam.""Marah? Siapa yang peduli? Bara harus tahu apa yang terbaik untuknya. Di