Share

Diary 5

Selama perjalanan Lisa masih diam merasa ini hanyalah mimpi. Namun seketika sadar, tangan lelaki disampingnya menggenggam tangan gadis itu sebentar lalu melepaskannya lagi. Ya, ini bukan mimpi.

"Kau senang, akhirnya bisa menikah denganku? Itu impianmu kan?" Raffa melirik sekilas lalu kembali menatap jalanan.

Menunggu Lisa yang tak kunjung menjawab, Raffa mulai berbicara lagi.

"Kau ingat, dibuku Diary yang kau tulis? Kau memimpikan berharap lelaki itu adalah a--"

"Iya, aku senang." Lisa menjawab cepat namun pandangannya masih menunduk menahan gugup.

Kenapa ia bisa segugup ini? Raffa menarik sudut bibirnya.

"Baguslah."

Mobil sampai, penjaga rumah memberi hormat padanya, memasuki sebuah gerbang besar dengan halaman yang luas. Ditengahnya terdapat air mancur mini yang cantik, taman bunga, juga pohon-pohon yang berjejer rapi.

'apakah ada orangtuanya dirumah?' 

Tepat di depan pintu rumah yang terhalang oleh lima anak tangga, seorang lelaki lain membukakan pintu. Raffa keluar disusul Lisa. 

"Ayo, masuklah!" Raffa menggandeng tangan Lisa yang mulai dingin akibat terlalu gugup.

Saat masuk, gadis itu disambut oleh delapan pelayan wanita yang berpakaian sama. Mereka menunduk kepada Lisa-nyonya baru rumah ini. Pandangannya mulai melihat ke segala arah. Setiap sudut dia perhatikan, warnanya, desainnya, sungguh memanjakan mata. Rumah besar dengan hanya dua lantai itu mampu menghipnotis Lisa. Seberapa kaya nya suami nya ini, membayangkannya saja Lisa tidak pernah. Hanya memimpikan dan itu pun memang hanya sebatas mimpi dan angan-angan yang ia tuliskan dalam Diary.

'apa aku benar-benar akan menjadi seorang tuan putri disini? Besar sekali rumahnya. Jika orangtua ku tahu rumah Raffa seperti ini, mereka pasti akan bahagia sekali. Bahkan mungkin akan berselfie ria dan memamerkan ke orang-orang yang ada dikampung' 

"Sudah puas mengaguminya?" Suara Raffa menyadarkan lamunan gadis itu. "Ini sudah jadi rumahmu juga, jadi biasakan nanti jangan terlalu sering bengong disini."

'ish apa sih maksudnya? Mengejek?' 

"Ikut aku!" Raffa berjalan lebih dulu menaiki anak tangga. Lisa pun mengikuti sambil sesekali melirik para pelayan yang masih menunduk.

Setelah Raffa sudah mulai menghilang dari pandangan mereka. Para pelayan kembali meneruskan pekerjaan masing.

"Ehm, orangtua mu mana? Apa mereka tinggal disini?" Lisa bertanya saat mereka masih tengah berjalan di anak tangga.

"Untuk apa orangtua ku tinggal disini? Mereka punya rumah sendiri." Raffa menjawab tanpa berhenti melangkah.

'jadi, dia tinggal sendiri disini? Bersama delapan pelayan wanita cantik? Apa jangan-jangan mereka juga istri Raffa?' 

Lisa menggeleng mencoba mengenyahkan pikiran anehnya. Tidak mungkin mereka semua istrinya, saat tuan muda nya datang mereka hanya menunduk dan tidak berani berkata sedikitpun.

Raffa membuka sebuah pintu dan masuk disusul Lisa. Gadis itu tahu, ini adalah ruangan kerja lelaki itu. Dilihat dari banyaknya buku-buku dan dokumen juga meja dengan kursi kebesarannya. Terdapat juga satu buah sofa panjang di sudut dekat rak buku yang sepertinya itu sebuah perpustakaan kecil.

"Duduklah!" Raffa sudah duduk lebih dulu di sofa panjang. 

Lisa takut, pikirannya sudah melanglang buana memikirkan apa yang akan suami istri lakukan. Ditempat tertutup dan hanya berdua. Mereka juga sudah sah.

Raffa mendesah, istrinya itu selalu melamun dan terlihat gugup. Bukankah ini yang dia inginkan.

"Aku tidak akan memakanmu sekarang."

'hei' 

"Aku hanya ingin mengobrol sebentar denganmu. Aku tidak punya banyak waktu."

Setelah mendengar penjelasan itu, Lisa kemudian duduk di sebelahnya. Raffa mengambil sebuah map biru yang ada di meja sofa dan memberikannya pada Lisa.

"Bacalah!"

"Apa ini?" Gadis itu menyentuh map yang belum dibuka.

"Itu adalah aturan dirimu selama tinggal dirumah ini. Kau sudah sah menjadi istriku jadi, turutilah."

Lisa membuka map itu dan membaca dengan teliti. Lisa takut itu adalah sebuah perjanjian sebagai penebus dirinya yang sudah lancang mengikuti tuan muda ini. Gadis itu takut jika didalamnya banyak perjanjian yang akan merugikan dirinya.

"Didalamnya tidak ada yang macam-macam yang akan membuatmu rugi."

'kenapa dia bisa baca pikiranku'

"Itu hanyalah tugas-tugas seorang istri yang harus kamu turuti. Bukan apa-apa."

Disana terdapat banyak poin yang harus Lisa baca dan turuti. Namun hanya beberapa poin saja yang baru dia baca yaitu tentang melayani suami, menemani suami saat makan, menyambut suami saat pulang bekerja. Hanya baru sampai sana dan semuanya tentang bagaimana mengurus suami. Sebelum itu, Lisa ingin menanyakan sesuatu pada Raffa. Namun sebuah ketukan di pintu menghentikannya.

Seorang pelayan wanita masuk. "Tuan, ingin minum apa?"

Lelaki itu hanya menggeleng. "Buatkan saja untuk istriku. Berikan apa yang dia mau."

Mendengar kata istri entah mengapa membuat Lisa sedikit malu. Istri?

"Nyonya, ingin saya buatkan apa?"

"Apakah disini ada jus alpukat?" bertanya dengan sedikit malu-malu.

"Mengapa kau bertanya seperti kepada pelayan cafe? Sebutkan saja apa yang kau mau. Semuanya akan memberikan semua yang kau ingin. Termasuk jika kau ingin minuman paling langka pun mereka akan menyiapkannya untukmu."

'sombong sekali orang ini. Wajar sombong, orang kaya'

"Baik nyonya, saya akan menyiapkannya." pelayan itu menunduk hendak mau keluar namun Lisa berkata lagi.

"Jangan panggil nyonya, kerjaan." Lisa nyengir setelah berkata itu.

"Baik, Nona."

Lisa sudah bersemu merah mendapatkan panggilan itu. Eh tapi dia ingat kembali apa yang ingin dikatakan kepada Raffa sebelum melanjutkan membaca poin-poin tadi.

"Aku bertanya sekali lagi padamu. Kenapa kau menikahiku? Apa alasan sebenarnya?"

Lagi-lagi wajah dengan senyum menyeringai yang dia lihat dari lelaki tampan itu. Wajahnya kian mendekat membuat Lisa reflek mundur perlahan sampai dirinya berada di sudut. Raffa sudah mengunci dirinya dengan kedua tangan kekar itu. Lagi-lagi Lisa mulai berpikiran kotor, matanya perlahan menutup saat Raffa maju lebih dekat.

"Karena kau mencintaiku." Raffa berbisik lembut lalu kembali menjauh saat sebuah pintu terbuka.

Sosok lelaki dengan aura dingin muncul.

"Tuan, kita harus segera kembali."

"Baiklah!" Raffa berdiri dan merapihkan jasnya.

Pipi gadis itu lagi-lagi merona dengan degup jantung yang masih berdetak cepat.

"Bersenang-senanglah dirumah ini. Aku akan keluar sebentar. Katakan kepada para pelayan jika kau membutuhkan sesuatu atau jika kau tersesat dirumah ini." terdengar Raffa tergelak saat menutup pintu.

Lelaki itu senang sekali melihat wajah pucat dan merona istrinya.

'tersesat? Kamu kira ini hutan?'

Lisa kembali kaget disaat dirinya ingin keluar dari ruangan kerja Raffa, Juna--asisten suaminya itu sudah berada didepannya.

"Ini dua kartu yang tuan titipkan pada saya. Pakailah sesuka nona."

Juna menyerahkan dua kartu berwarna gold. Lisa tahu itu adalah kartu tanpa batas. Gadis itu sampai terkejut, seumur-umur dia hanya mempunya kartu atm biasa bahkan isinya selalu kurang dari tiga ribu. Paling besar yang dia punya hanya dibawah satu juta. Miris sekali.

"Kalau aku memakainya terlalu berlebihan bagaimana? Apa dia akan marah?"

"Tuan justru akan senang jika nona bisa menghabiskannya."

'apa?'

"Baiklah, saya permisi, Nona." Juna meninggalkan nona muda nya ini yang masih mematung di depan pintu ruangan Raffa.

'apa yang harus aku lakukan dengan dua kartu ini? Kenapa dia bilang senang jika aku menghabiskannya? Terlalu kaya memang begini, sesuka hatinya menghabiskan uang'

Saat ingin menuruni tangga, Lisa teringat kembali dengan map yang berisi peraturan untuknya. Dia kembali ke dalam ruangan kerja Raffa lalu mengambilnya dan membawa ke luar. Lisa ingin membaca nya di sofa ruang tamu dibawah.

"Jus alpukatnya, Nona." Pelayan yang tadi tersenyum lalu menaruhnya di atas meja sofa.

Lisa mengangguk tersenyum lalu melanjutkan kembali membaca poin-poin. Semakin kesini, poin-poinnya semakin aneh. Bahkan Lisa sampai melotot tidak percaya. 

'Setiap ada atau tidak ada suami dirumah, seorang istri harus terus memakai minyak wangi. Apa aku bau?'

Lisa mencium aroma badannya sendiri.

'berdandan cantik untuk suami'

'mencium suami saat berangkat dan pulang dari kantor'

'memakai pakaian bagus saat dirumah'

'memeluk suami saat tidur'

'jika istri yang mau, maka langsung melakukannya saat itu juga tanpa harus suami yang bilang. Apa ini maksudnya? Istri mau apa?'

'Seorang istri boleh buang angin di depan suami. Hei hei hei aku masih punya rasa malu.'

Lisa memijit kening pusing dengan semua poin itu. Semuanya intinya hanya seorang istri melayani suami. Apakah Lisa bisa melakukannya dan apakah gadis itu siap melakukannya? Untuk suami yang hanya dia impikan dalam khayalannya kini menjadi suami nyata?

Lisa mencintainya? Apakah Raffa juga mencintainya?

'aku nikmati saja dulu lah semua ini. Toh sekarang aku masih baik-baik saja. Kalau dia membuatku kecewa dan menyiksaku perlahan, gampang aku bisa saja langsung meminta cerai.'

Tidak terlalu ambil pusing dengan semua poin-poin yang tadi dia baca. Lisa menyeruput jus alpukat yang manis dan segar.

'wah ini kalau dijual diluar pasti mahal. Enak sekali.' 

Lisa kemudian berkeliling rumah besar itu, baru dia sadari begitu luas dan mewah. Di taman belakang ada kolam renang dengan kebun yang indah. Dilantai dua, Lisa juga baru sadar ada begitu banyak kamar kosong. Ruang gym dan ruang menonton, seperti ruang teater mini. Lisa sampai geleng-geleng melihat semua kemewahan dan fasilitas yang ada.

Sampai capek berjalan kaki, gadis itu bahkan sampai lupa kemana dia harus turun. Banyak anak tangga yang mirip dan membuat Lisa bingung.

'benar, aku tersesat juga. Kenapa pikirannya selalu benar si.'

Beruntung, ada pelayan wanita menghampiri. Dia sepertinya tahu nona muda nya ini kebingungan dan menuntun jalan untuk kembali ke sofa.

"Mari, Nona." pelayan sudah mau pergi tapi Lisa menahannya.

"Tunggu, bolehkah saya bertemu dengan semua pelayan disini?" pertanyaan Lisa membuat pelayan di depannya langsung pucat. 

Pelayan itu takut jika pelayanannya tidak memuaskan. Takut jika pemilik rumah ini akan memecatnya.

'kenapa wajahnya jadi pucat begitu?'

Pelayan itu mengangguk dan sekarang ke delapan pelayan sudah berada di hadapannya menunduk takut dan sebagian ada yang berbisik.

'apakah aku disini terlihat seperti nyonya besar yang galak? Mereka sepertinya takut melihatku.'

"Kenapa kalian menunduk terus? Apa yang kalian lihat dibawah?"

"Itu tugas kami sebagai pelayan untuk menghormati tuannya, termasuk nona."

"Hei, kalian tidak perlu begitu padaku. Aku tidak akan marah dan melaporkan pada tuan muda kalian. Santai saja jika bersamaku."

Para pelayan tadi masih bergeming.

"Tatap aku, dan jadikan aku teman kalian."

"Maaf, Nona. Itu adalah aturan, kami tidak mau melanggarnya."

'huh mereka sepertinya patuh sekali kepada pemilik rumah ini. Saat Raffa tidak ada dirumah pun mereka masih menghormatinya.'

"Aku tadi sudah bilang sama tuan muda kalian, katanya kalian boleh memandang ku dan mengobrol santai denganku."

Satu pelayan mengangkat wajahnya pelan melihat nona muda nya yang tampak memberikan senyum tulus.

"Sumpah, aku tidak bohong."

Mendengar itu, mereka lantas mengangkat wajah mereka ragu. Lisa melihat mereka secara bergantian.

'wah wah wah, para pelayan disini bahkan cantik-cantik. Badannya juga tinggi-tinggi. Kenapa Raffa tidak memilih mereka saja untuk dia nikahi? Kenapa aku?'

"Kenalkan aku Lisa, semoga kita bisa berteman." 

"Baik, Nona." mereka menjawab serempak. Lisa hanya bisa menghela nafas.

"Kalau ada yang nona ingin, jangan sungkan bertanya." pelayan yang bernama Maria tersenyum.

Ketujuh pelayan tadi kembali mengerjakan tugas masing-masing. Walaupun Lisa melihat rumah ini sudah bersih dari debu tapi para pelayan tetap membersihkannya. Hanya satu pelayan yang masih berdiri di depannya. Maria mengatakan akan mengantarkan nona muda istirahat di kamar tuan muda sesuai pesan yang baru saja dia terima. Lisa hanya mengangguk, dirinya memang benar-benar membutuhkan istrihata karena capek dan pusing dengan semua kenyataan ini yang belum sepenuhnya gadis itu terima. Perubahan yang mendadak pada dirinya, status yang telah berganti dan kehidupan baru saat ini yang tidak pernah ia pikirkan.

Sebelum masuk kamar, Lisa kembali bertanya kepada pelayan itu.

"Apakah diantara para pelayan tadi ada salah satu istrinya Raffa?" Maria langsung melotot dan menggeleng cepat.

"Hehe, maaf aku hanya bertanya."

"Silahkan istirahat, Nona." pelayan itu langsung pergi meninggalkan Lisa saat dia sudah memasuki kamar Raffa.

Pertama yang dia lihat adalah luasnya kamar itu bahkan sepuluh kali lipat lebih luas dari kontrakan nya. 

Astaga!! Lisa teringat kontrakan tempat dia tinggal. Semua barangnya masih tersimpan disana dan ... 

Dan dia tidak membawa apa-apa kesini. Salah siapa yang mengajaknya menikah mendadak dan langsung membawa kerumahnya. Lisa tidak mau ambil pusing, soal pakaian dan barangnya nanti dia pikirkan. Untuk sekarang, tidur adalah solusi terbaik menjernihkan pikiran.

Tanpa melihat dulu seisi ruang kamar Raffa, Lisa langsung menuju tempat tidur lelaki itu yang luas. Bahkan bisa ditiduri untuk lima orang. 

"Ah enaknya, tempat tidur orang kaya memang beda. Aku akan menikmati tidurku." Lisa langsung terlelap begitu saja.

Semoga saja mimpi dan ke-haluannya yang ia tulis dalam buku Diary, terwujud.

Ya, semoga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status