Lisa kini sudah berada di meja makan bersama Raffa. Gadis itu masih melamunkan peristiwa tadi pagi saat dirinya bangun tidur karena mendengar gemericik air di dalam kamar mandi di kamarnya. Tak berapa lama dirinya melihat Raffa keluar dengan keadaan tubuh dan wajah yang segar.
'sepertinya dia sudah mandi, jam berapa semalam dia pulang ya?'
"Kau sudah bangun?" Raffa berjalan melewatinya kearah lemari pakaian seraya mengusap-usap rambut basah dengan handuk kecil. "Aku baru tahu kalau tidurmu seperti kebo."
Lisa yang mendengar itu terlonjak kaget dan malu, dia akui memang tidurnya seperti itu. Tapi, sekarang dia sudah menikah dengan laki-laki didepannya itu. Sebisa mungkin harus jaga sikap dan terlihat untuk tidak memalukan. Raffa belum membuka lemari, lelaki itu berbalik menatap Lisa.
'astaga, tubuhnya atletis sekali. Bolehkah aku memeluknya? Hihihi'
"Tapi aku suka." lagi-lagi senyuman miring yang Lisa dapatkan. "Kau tidak lupa dengan perjanjian itu?"
'ya ya ya aku ingat. Aku harus memilihkanmu baju kan?'
"Kau ingin baju yang mana?" Lisa bertanya saat mereka berdua sudah berada dalam satu ruangan ganti baju.
"Terserah." Raffa memperhatikan Lisa memilih baju dan meletakannya di meja sebelah kiri.
"Raffa."
"Hem."
"Baju aku mana? Aku lupa tidak membawa baju. Apa aku pulang dulu ke kontrakan untuk membawa semua baju ku?" Lisa sudah memberikan semua pakaian yang suami itu pinta.
"Apa kau tidak membuka nya? Disebelah lemari pakaianku ada bajumu. Bukalah." seraya lelaki itu memakai baju.
Gadis itu beralih ke lemari di sisi kanannya dan benar saja sudah banyak baju wanita disana. Tapi semua itu bukan baju Lisa, itu semua adalah gaun bermerk dan mahal. Lisa menoleh ke arah suaminya dan ...
"Aaaa... " Lisa berteriak histeris sambil menutup wajah.
'Gila, kenapa dia memakai baju di depanku.'
Lelaki itu malah terlihat santai saat istrinya memalingkan wajah dengan pipi yang bersemu merah. Entah kenapa Raffa sangat menyukai itu.
"Kau tidak perlu menutup matamu, kita kan suami istri."
'sakarepmu'
Dengan cepat Lisa berlari keluar dan menunggu Raffa menyelesaikannya.
"Kau masih disini? Tidak mandi?" Raffa sudah rapih dengan pakaian kantor berwarna abu. Keningnya berkerut melihat Lisa masih berdiri di depan tempat tidur mereka.
"Aku ingin mengambil baju ku di kontrakan." Raffa masih diam menunggu kelanjutan ucapannya. "Aku ingin bekerja."
"Dimana?" Raffa terdiam sesaat. "Bukannya kemarin aku sudah bilang, kau tidak usah bekerja lagi. Aku bahkan sudah memberikan mu dua kartu untuk kau pakai bersenang-senang."
Lisa tahu, bahkan itu sudah tertulis dalam perjanjian kemarin. Tapi Lisa benar-benar ingin bekerja. Memang Lisa senang berada dalam istana besar ini, semuanya serba ada. Kalau ada yang diinginkan tinggal bilang, tapi Lisa berpikir panjang. Jika terus-terusan seperti itu mungkin dirinya akan bosan dan mungkin akan tua lebih cepat. Lisa ingin bekerja, dan itu adalah kesukaannya. Ya, gadis itu adalah seorang pekerja keras. Walaupun sekarang sudah mempunyai harta yang berlimpah meskipun milik suami itu juga. Tapi Lisa tidak mau sombong dan mengabaikan segala keinginanannya.
"Suamiku." Lisa menatap suaminya lembut. Yang ditatap malah diam mengerti maksud apa yang diinginkan Lisa.
"Aku hanya ingin bekerja." Lisa mendekat mencoba membenarkan dasi yang sudah mengikat di kerah baju suaminya. "Izinkan aku bekerja, hanya bekerja tidak ingin yang lain. Kalau suamiku mengizinkan, aku akan menuruti semua perintahmu."
Wajah Lisa sudah memerah menahan malu, apa yang sekarang dia lakukan adalah mencoba merayu Raffa agar di izinkan. Seperti tidak ingin menyia-nyiakan moment ini, Raffa dengan cepat menarik pinggang Lisa untuk lebih dekat dan seketika menempel dengan tubuhnya. Gerakan tangan Lisa pun berhenti karena terkejut.
Raffa mencium kening Lisa lembut. Ini adalah ciuman pertama mereka. Deg, hati Lisa bergemuruh lagi namun kali ini dengan perasaan menghangat.
"Baiklah, kau boleh bekerja. Tapi harus selalu diantar jemput."
Mendengar itu Lisa sungguh senang.
'tidak apa-apa, yang penting aku masih bisa bekerja.'
Raffa membisikkan sesuatu kepada Lisa. "Aku suka kau menggodaku seperti itu. Lakukanlah setiap hari dan setiap kau menginginkannya."
'terserah.'
Suara pelayan laki-laki yang berjaga diluar datang menghampiri Raffa dan Lisa yang sudah menghabiskan sarapannya.
"Juna sudah di depan, Tuan."
"Baiklah, suruh dia menunggu." Pelayan pergi dengan menunduk.
Raffa keluar bersama Lisa dengan bergandengan tangan. Lelaki itu menggenggam tangan istrinya lembut. Sebelumnya saat dimeja makan, Raffa memberikan ponsel keluaran baru untuk dipakai Lisa dan membuang ponsel gadis itu. Hanya ada satu nomor didalamnya siapa lagi kalau bukan nomor Raffa. Menamai nomor itu dengan nama 'My Prince' dan gadis itu dilarang menghapusnya. Lisa hanya mengangguk patuh.
Satu lagi, Raffa menyuruh dan mengingatkan Lisa untuk memakai kartu yang ia beri. Menyuruhnya agar jangan terlalu capek saat di salon. Kalau Raffa seperti itu, bisa-bisa Lisa semakin jatuh cinta padanya. Apakah boleh dia serakah? Mengagumi pria tampan dan kaya yang sekarang menjadi suaminya. Lisa semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Raffa.
"Kita ke tempat kerja istriku dulu. Dia ngeyel ingin tetap bekerja."
"Baik, Tuan." mereka sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Juna. Raffa masih belum melepas pegangan tangan mereka.
"Tapi, kita ke kontrakan dulu kan?"
"Untuk apa?" Raffa menjawab dengan melihat ke arah jendela.
"Baju bekerja ku bukan seperti ini." Raffa menoleh dan melihat baju yang dipakai Lisa.
"Memangnya bekerja di sana tidak boleh memakai gaun?" Lisa menggeleng.
Semua karyawan disana memakai baju biasa dan hanya kaos juga celana jeans.
"Siapa pemiliknya? Aku akan mengambil alih tempat salon itu." Raffa mulai menatap tajam tidak suka.
'siapa dia? Apakah dia bisa melakukannya?'
"Juna, katakan kepada pemilik salon tempat istriku bekerja. Jadwalkan pertemuan ku dengannya."
"Baik, Tuan."
Lisa menutup mulut tidak percaya.
"A-apa kau serius?"
"Iya, Nona." Ini Juna yang menjawab. "Setiap yang dikatakan oleh Tuan selalu akan menjadi kenyataan."
Suasana mulai mencekam. Lisa tidak mau terjadi masalah. Kenapa sekarang ingin bekerja saja jadi ribet begini.
"Baiklah, aku akan memakai gaun setiap hari sesuai yang kau inginkan." Lisa memang harus mengalah, dirinya sekarang tidak bisa melawan suami yang berkuasa.
Lisa sudah menikah.
'apa yang harus aku bilang sama mereka saat mereka melihatku keluar dari mobil ini?'
Dan benar saja, Icha--sesama pegawai salon melihat Lisa turun dari mobil mewah dan seketika teriak saat melihat Lisa memaki gaun cantik.
'tuh kan jadi bahan gosip nih pasti'
"Istriku, mau kemana?" Raffa menghentikan Lisa yang sudah ingin menjauh karena melihat orang-orang memperhatikannya.
Raffa tidak keluar mobil, hanya Juna yang keluar membukakan pintu untuk Lisa.
"Kerja."
"Tidak salam dulu?" Lisa menghela nafas, maju sedikit membungkuk ke arah kaca mobil yang terbuka, meminta tangan Raffa untuk dia cium.
"Bukan itu, tapi ini." Lelaki itu menunjuk pipinya.
'what?'
"Tidak mau?" Raffa sudah mulai sedikit kesal.
'bodo lah, itung-itung ini sebuah jackpot cium lelaki tampan di pagi hari. Ralat, suami tampan.'
Mendapat apa yang diinginkan Raffa, lelaki itu tersenyum dan mengusap rambut Lisa yang terburai.
Berjalan gontai, Lisa membayangkan pernikahan mereka yang baru satu hari. Belum apa-apa dirinya sudah sering mendapatkan serangan mendadak. Hati yang tidak bisa diajak kompromi, jantung yang tidak bisa diajak berdebat. Raffa, lelaki itu sukses membuat perasaan Lisa dikocok. Bahagia sih bahagia, tapi...
"Lisa, siapa tadi? Mobil siapa itu?"
"Kamu sudah punya pacar?"
"Kamu habis darimana pakai gaun seperti ini?"
"Kemarin kenapa kamu tidak masuk? Ponsel kamu juga tidak aktif? Apa batere ponselnya kamu jemur lagi?
Rentetan pertanyaan keluar saat Lisa memasuki salon tempatnya bekerja. Icha dan Sasa--dua sahabat terdekat Lisa begitu antusias ingin mendengar jawaban dari gadis itu. Sedangkan Lisa hanya garuk kepala bingung ingin menjelaskan darimana.
"Tadi itu driver ojol."
"Halah, untuk naik taksi aja kamu gak sanggup nah ini kamu naik driver ojol?" Icha menyindir Lisa yang memang itu adalah ... Kenyataan.
Lisa menyeringai, "hehe, aku dapat itu dari kupon undian berhadiah."
"Undian? Apaan?" Sasa menimpali mendengar sesuatu tentang hadiah.
Belum ingin menjawab, untungnya ada suara lain yang tidak kalah heboh.
"Awww, Lisa. Kamu bekerja memakai gaun? Daebak!! Tidak salah lagi ini gaun mahal coy."
'kalian bisa tidak sih jangan terus menanyaiku seperti itu? Aku ingin jujur, tapi takut kalian shock dan pingsan.'
Beruntungnya lagi, ada dua pelanggan masuk. Lisa bernafas lega setidaknya untuk saat ini. Dan Lisa berdoa semoga pelanggan hari ini banyak dam dapat menyibukkan mereka.
Semua pegawai kembali ke tempat masing-masing. Icha, Sasa dan Lili menatap Lisa intens.
"Kamu masih berhutang penjelasan pada kami, Lisa. Kita tunggu pengakuanmu."
Lisa hanya tersenyum dan menarik nafas. Mereka bertiga ini memang biangnya gosip. Di tempat salon ini hanya mereka yang paling riweuh, walaupun begitu mereka tidak pernah julid satu sama lain. Solidaritas mereka sungguh kuat, dan kepedulian mereka jika melihat salah satu pegawai kesusahan, dengan sigap mereka akan membantu. Pemilik tempat ini, Bu Lia juga walaupun tidak banyak bicara tapi beliau baik. Memperhatikan kesejahteraan para pegawainya. Oleh sebab itu Lisa betah dan nyaman bekerja disini.
Salon Ruby ini orang-orangnya sangat unik. Bayangkan didalam salon ini ada lima nama Lisa. Sangat kebetulan sekali. Icha, Sasa dan Lili adalah nama panggilan mereka agar bu Lia tidak salah memanggil nama mereka. Satu lagi, Lisa BP alias Lisa BlackPink. Tapi Lisa yang itu sudah keluar karena sudah menikah dan disuruh suami untuk tidak bekerja.
Suami? Saat suaminya menyuruh berhenti pun Lisa ngotot ingin tetap bekerja. Dasar istri yang tidak penurut. Tapi bagaimana lagi, keinginannya bekerja sangatlah kuat, jika dia keluar, gadis itu tidak mempunyai cadangan pekerjaan lain. Mencari kerja itu susah, sewaktu-waktu jika dirinya nanti diceraikan oleh Raffa, dia masih punya pekerjaan disini.
Benar sekali, pelanggan hari ini ramai dari biasanya. Jelas ini hari Sabtu, banyak gadis-gadis yang ingin berdandan lama hanya untuk berkencan di malam minggu. Dan kesibukan itu berhasil membuat semua temannya lupa akan dirinya. Sampai waktu pulang pun tiba. Ya, jam empat sore adalah tutupnya salon Ruby. Bu Lia tidak ingin membuka sampai malam dengan alasan keamanan para pegawainya. Baik sekali Bu Lia itu.
"Hei, nunggu siapa?" icha menghampiri Lisa yang duduk di bangku panjang yang ada diluar salon.
'aku nunggu suami tampan.'
"Biasanya juga langsung pulang." Sasa ikut duduk disampingnya. "Ngomong-ngomong itu gaun punya kamu? Untung Bu Lia hari ini tidak datang, kalau dia melihatmu bekerja memakai gaun ini pasti akan dimarahi."
"Mulai sekarang, aku mungkin akan terus memakai gaun ini." berkata dengan suara pelan agar Icha dan Sasa tidak mendengar ucapannya.
Lili yang baru keluar dari salon melihat mobil mewah tadi mendekat ke arah mereka.
"Siapa mereka?"
Juna keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Raffa. Suami tampan itu keluar dengan gagah dan tersenyum ke arah Lisa. Yang ditatap hanya malu-malu kucing.
"Bukankah itu mobil yang tadi pagi?"
"Istriku." Lisa berdiri saat namanya dipanggil.
"ISTRIKU???" ketiga wanita yang bernama Lisa itu serempak menjawab terkejut. Mata mereka langsung berfokus pada Lisa yang menyeringai.
Raffa mendekat memegang tangan istrinya dan membawa ke dalam pelukannya.
"Kau tidak mengenalkan suami mu pada mereka?" Raffa bertanya lembut seolah mereka adalah sepasang suami istri saling mencintai.
"SUAMI???" Mereka kembali kompak.
Juna hanya diam mematung disisi kiri mobil.
"Kau tidak usah malu. Baiklah, kenalkan saya Raffa, istrinya Lisa." tidak mengulurkan tangan namun hanya tersenyum.
'malu atau senang ya, dikenalkan oleh suami tampan sebagai istrinya. Kirain dia tidak akan mengakui ku sebagai istrinya.'
"Apakah aku boleh membawa Lisa ku pulang?"
Ketiga wanita itu mengangguk.
"Teman-teman aku pulang duluan ya." Lisa melambaikan tangan hendak dirinya akan memasuki mobil.
Melirik sebentar ke arah Icha. Gadis itu berkata dengan mulut gerak-gerak tanpa bersuara seperti mengatakan ...
"Besok aku jelaskan!" dengan tangan mengatup di dada meminta maaf.
"Kenapa kau menjemputku?"
"Kenapa? Tidak mau?"
"Aku malu sama teman-temanku."
Raffa menarik pinggang Lisa untuk semakin mendekat padanya. "Kau malu mempunyai pangeran tampan sepertiku?"
Lisa memutar bola malas, saat mendengar kesombongan yang di ucapkannya dan itu memang ... Kenyataan.
Mempunyai rumah impian seperti istana adalah keinginan semua orang. Ya, termasuk Lisa, bahkan gadis itu sudah memimpikannya sejak masih di bangku sekolah. Rumah besar, punya banyak mobil, punya suami tampan dan kaya. Bahkan sekarang itu semua sudah dia dapatkan. Benar-benar beruntung hidup gadis itu. Tapi masalahnya satu pertanyaan yang masih mengganjal dipikiran Lisa. Tentang pernikahan mendadak nya, jika alasan Raffa menikahinya hanya karena ingin mewujudkan ke-haluannya itu bisa di toleransi dan Lisa akan berterima kasih karena itu. Karena Raffa benar-benar mewujudkannya. Jika karena alasan lain yang selama ini Lisa takutkan? Balas dendam karena pernah menjadi penguntit?Masuk ke dalam rumah sudah disambut oleh delapan pelayan wanita, Lisa benar-benar merasa dilayani seperti tuan puteri dirumah yang seperti istana ini."Mari, Nona.""Apa yang kalian lakukan?""Kami akan memandikan Nona."
Pagi-pagi, Lisa kembali mendengar gemericik air yang ia tahu pasti didalam kamar mandi siapa lagi kalau bukan Raffa. Kapan suaminya pulang, gadis itu tidak tahu. Ingin menanyakan namun selalu urung dilakukan. Lisa tidak berani untuk menanyakan hal-hal seperti yang biasa suami istri lakukan. Kenapa? Padahal mereka sudah menikah walaupun baru dua hari pernikahan. Tapi itu terbilang takut terlalu buru-buru. Biarkan saja, toh suaminya itu selalu pulang ke rumah mereka. 'Oh my God, terima kasih Tuhan. Pagi-pagi aku sudah mendapatkan nikmatmu yang begitu indah sedang berdiri dihadapanku.' Lisa langsung terpesona melihat Raffa keluar dari kamar mandi memakai handuk sepinggang dengan beberapa tetesan air segar yang mengucur dari rambutnya. Otot perut yang terlihat seperti batu bata semakin membuat wanita itu ingin menyentuhnya. Walaupun yang Lisa tahu suaminya selalu sibuk bekerja tapi lelaki itu
Mall terbesar di kota itu menjadi tempat yang akan didatangi Raffa dan Lisa. Mall termewah dan terlengkap adalah milik lelaki yang menggandeng tangan Lisa disampingnya. Setelah lulus kuliah tahun lalu, selain memegang perusahaan dengan jabatan tertinggi, Raffa juga memegang bisnis lainnya. Beberapa mall di sudut kota, kafe, restoran, hotel dan apartemen, semua hampir lelaki itu pegang. Bisa dihitung, setengah pertokoan dari kota itu adalah miliknya. Lelaki itu benar-benar sukses dimasa muda nya, walaupun sebagian adalah pemberian dari sang Ayah yang dikelola balik oleh sang anak.'hanya dalam mimpi aku bisa kesini dan sekarang aku benar-benar disini.'"Kau belum pernah kesini, istriku?"Lisa menggeleng cepat masih memperhatikan area mall yang luas dengan interior mewah."Kasihan sekali hidupmu."'Hei, kau suka sekali menghina orang sepertinya.'Raffa melirik Juna yang langsung
Sudah seminggu lebih berlalu dan Lisa merasa sedikit di acuhkan. Sejak obrolan mereka terakhir, saat Lisa menanyakan reepsi. Sejak saat itu Raffa tidak pernah mengajaknya berbicara dahulu. Setiap Lisa bertanya, sang suami hanya menjawab seperlunya. Setelah itu tidak ada obrolan lain, walaupun akhir-akhir ini Raffa selalu tidur bersama dengannya. Dalam artian tidur biasa dan tidak melakukan apa-apa.Sungguh, gadis itu merasa seperti istri yang tidak dianggap sekarang. Padahal saat dirumah dirinya selalu memakai gaun dan merias diri. Belajar di beberapa sosial media tentang make up, dan Lisa berhasil. Minimal dia tahu nama-nama alat make up dan cara memakainya untuk berdandan simpel dan natural. Lisa melakukannya demi Raffa, dirinya ingin melihat sang suami senang atas kerja kerasnya. Namun bukannya diberi pujian atau kata-kata romantis, Raffa hanya menjawab dengan senyum. Ah gadis itu sudah benar-benar seperti seorang istri yang ingin membahagiakan suami. Statu
Benar ya kata orang, untuk apa semua harta yang dia punya. Untuk apa tinggal dirumah mewah bak istana jika didalamnya tidak ada perasaan cinta yang tumbuh satu sama lain, khusunya tumbuh dalam hati suaminya. Ternyata semua itu tidak menjamin kebahagiaan, harta yang sekarang dirinya miliki yang jelas itu dari sang suami, jelas tidak bisa membuatnya bahagia. Hanya sebuah perasaan cinta yang tulus dan merasa dirinya dihargai sebagai seorang istrinya lah dia mungkin akan bahagia. Istilahnya, walaupun hanya tinggal di gubuk kecil tapi kedua insan saling mencintai, itu akan merasa sangat indah. Lisa pasti akan menemukan kebahagiaan disana.Lebih baik tinggal di gubuk kecil, asal bahagia. Daripada dirumah bak istana tapi seperti orang asing, dingin dan sepi. Ungkapan semua yang ada dalam buku Diary nya dulu, ternyata salah. Gadis itu teringat pernah menuliskan beberapa kalimat dalam Diary nya yang berisi bahwa impian terbesarnya adalah menikah dengan pria kaya dan tampan.
Setelah makan malam dengan keluarga besar Raffa, mereka kembali pulang. Saat ini Lisa sedang berada di dalam kamar, setelah sebelumnya Lisa membersihkan diri terlebih dahulu masuk ke kamar mandi. Sekarang, gadis itu sedang duduk dipinggir tempat tidur masih memakai pakaian baju tidur panjang tertutup."Ternyata mertua tidak semenakutkan itu," gumam Lisa melamunkan kejadian yang tadi.Obrolan yang canggung dengan Nyonya dan Tuan Juanda, berubah menjadi obrolan santai. Kedua orangtua itu benar-benar ramah dan baik pada Lisa. Menanyakan tentang sekolah Lisa dulu yang hanya melanjutkan kuliah sebentar. Membicarakan tentang kehidupan orangtua Lisa sebagai penjual gado-gado dan sebagai buruh pabrik. Dan Lisa tidak malu untuk menyebutkan latar belakang keluarga nya, justru membuat Nyonya dan Tuan Juanda merasa bangga mempunyai menantu seperti Lisa.Mereka mengobrol tanpa ditemani Raffa yang sibuk dengan Juna. Namun di akhir obrolan, kembal
Pagi hari sudah menjadi rutinitas Raffa dan Lisa sibuk bersiap-siap bekerja. Raffa ke kantor dan Lisa ke salon. Namun suasana pagi ini yang begitu cerah dengan matahari sedikit menampakkan diri dibalik awan, berbanding terbalik dengan suasana hati Lisa. Gadis itu tidak berhenti memikirkan siapa wanita yang semalam menelpon suaminya.Lebih terkejut lagi, biasanya Raffa selalu mengantar Lisa dahulu ke salon. Tapi pagi ini dia ingin memakai mobil lain ke kantor nya dan tentu saja sendiri. Lisa hanya diantar oleh Juna. Kecurigaan Lisa semakin kuat. Selama hampir sebulan ini, baru sekarang Raffa tidak ikut mengantarnya."Lisa, hari ini kamu berangkat dengan Juna saja." berbicara setelah mereka selesai sarapan."Kamu tidak ikut?""Aku akan ke kantor lebih awal, ada pekerjaan lain."'lagi-lagi alesan pekerjaan. Bilang aja kamu ingin menemui wanita yang ditelepon semalam. Iya kan?'Ra
Raffa pulang tepat jam sembilan malam, memakai mobil yang tadi pagi ia kendarai pribadi. Masuk kerumah dengan wajah bahagia dan berseri-seri, membuat aura ketampanan sang pangeran muncul berkali-kali lipat. Entah apa dan siapa yang membuat dirinya diluaran sana bahagia seperti itu, yang jelas hanya Raffa dan Tuhan yang tahu.Para pelayan wanita yang berbaris berdiri menyambut kedatangan lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan lutut yang lemas dan bergetar akibat tidak kuat menahan senyum yang ditampilkan majikannya. Ada yang ingin menjerit, ada yang terpesona menatapnya lama, ada yang ingin pingsan dan ada yang sadar diri menunduk. Tapi semua itu sebisa mungkin mereka tahan."Apa istriku sudah makan malam?" Raffa bertanya setelah para pelayan wanita itu sudah berkumpul lengkap."Sudah, Tuan!" satu pelayan mewakili bicara dengan menunduk."Istriku tidak membicarakan aku lagi?""Tidak, Tuan. T