Mempunyai rumah impian seperti istana adalah keinginan semua orang. Ya, termasuk Lisa, bahkan gadis itu sudah memimpikannya sejak masih di bangku sekolah. Rumah besar, punya banyak mobil, punya suami tampan dan kaya. Bahkan sekarang itu semua sudah dia dapatkan. Benar-benar beruntung hidup gadis itu. Tapi masalahnya satu pertanyaan yang masih mengganjal dipikiran Lisa. Tentang pernikahan mendadak nya, jika alasan Raffa menikahinya hanya karena ingin mewujudkan ke-haluannya itu bisa di toleransi dan Lisa akan berterima kasih karena itu. Karena Raffa benar-benar mewujudkannya. Jika karena alasan lain yang selama ini Lisa takutkan? Balas dendam karena pernah menjadi penguntit?
Masuk ke dalam rumah sudah disambut oleh delapan pelayan wanita, Lisa benar-benar merasa dilayani seperti tuan puteri dirumah yang seperti istana ini.
"Mari, Nona."
"Apa yang kalian lakukan?"
"Kami akan memandikan Nona."
Lisa sudah setengah panik, dirinya tidak ingin tubuhnya dilihat dan diraba-raba oleh mereka. Melihat Raffa yang tengah mengobrol dengan Juna, Lisa segera menghampiri.
"Raffa, kau menyuruh mereka untuk memandikanku?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku sudah besar dan bisa mandi sendiri. Suruh mereka pergi kalau tidak, aku tidak akan mandi."
Lelaki itu melihat tatapan sang istri yang terlihat serius namun menggemaskan dimata Raffa. Lisa menarik kecil ujung jas yang dikenakan Raffa.
"Turuti apa kata istriku." Raffa hanya memerintah seperti itu dan mereka langsung mundur.
'nurut sekali mereka.'
"Baik, Tuan. Kami akan menyiapkan makan malam."
Suara deheman Raffa membuat para pelayan mengerti dan langsung pergi dari hadapan suami istri itu. Kini, tatapan Raffa beralih pada istrinya yang tengah menarik nafas panjang.
"Bersihkan dirimu! Saat makan malam nanti kau sudah harus siap."
Raffa mengikuti Juna masuk ke ruang kerja dan Lisa masuk ke kamar mereka. Dirinya memang sudah lelah dengan tubuh pegal-pegal dan harus berendam lebih lama dengan aroma terapi. Lumayan, hanya disini dia bisa menikmati mandi ala-ala tuan puteri setiap hari.
"Ah, nikmatnya. Apakah aku boleh tidur sebentar disini?"
*****
Juna bisa dibilang orang kepercayaan Raffa dan juga sahabat nya. Mereka bertemu pertama kali saat kuliah diluar negeri. Juna yang saat itu hanyalah seorang yang beruntung bisa bersekolah diluar negeri karena beasiswa. Bertemu dengan Raffa tanpa kesengajaan dan ketidaktahuan tentang sosok Raffa. Mereka berteman layaknya dua mahasiswa Indonesia yang sedang merantau belajar di negeri orang. Raffa pun tidak pernah memberitahukan identitas dirinya yang sebenarnya. Hanya untuk mencari teman yang setia dan lelaki itu sudah mendapatkannya.
Saat kelulusan pun Juna baru mengetahui jika Raffa adalah anak seorang yang penting dan berada. Temannya itu semakin bangga dan semakin menghormati Raffa yang selalu membantu Juna selama kuliah. Raffa menyuruh Juna untuk mengikutinya, setelah lulus Raffa harus bisa mengelola perusahaan milik sang Ayah. Demi membalas budi dan pertemanan, Juna setia mengikuti nya sampai hari ini. Lelaki itu selalu setia kepada Raffa.
"Tuan, semua yang dikerjakan mungkin akan sedikit lama." Juna berdiri disamping Raffa yang sudah duduk di sofa memberikan satu berkas yang daritadi dibawa.
"Tidak, apa-apa. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikannya."
"Yang lain sudah kamu siapkan?" bertanya seraya menyandarkan tubuh ke sofa dengan mata terpejam.
"Hampir beres, Tuan. Sebelum waktunya, semua akan diselesaikan."
"Bagus."
"Soal nona Lisa," Juna melirik Raffa yang masih terpejam. "Apa kita tidak akan.... "
"Jangan memberitahunya apapun." Juna langsung diam saat Raffa memotong ucapannya. "Kau lakukan saja apa tugasmu, dia biar aku yang mengurusnya."
Juna tahu itu tidak akan bisa dibantah lagi. Dia lantas mengangguk, "Baik, Tuan."
****
Suasana pantai yang sejuk dengan laut biru yang indah membuat Lisa ingin berlama-lama disana menikmati pemandangan. Namun, cipratan air yang tidak terasa asin membuat gadis itu mengusap wajah beberapa kali.
"Hei, bangun!" dan suara lelaki semakin menyadarkan gadis itu dari mimpi indahnya.
Merasai tangan hangat membantu mengusap wajahnya, Lisa membuka mata lebih lebar dan tentu saja kaget. Ada Raffa didepannya dengan memperhatikan dirinya.
'sial, ternyata tadi itu mimpi. Sudah berapa lama aku tertidur disini? Memalukan sekali.'
"Kau tidak ingin dilayani oleh pelayan, karena tujuanmu ini? Hanya ingin tidur disini?"
"Bukan seperti itu, Raffa."
'sudah berapa lama dia disini? Pintunya padahal aku kunci kenapa dia bisa masuk?'
"Lalu seperti apa? Kau tidur sudah satu jam. Lihat, tanganmu menjadi keriput."
'astaga, dia melihat tubuh polos ku.'
Raffa berdiri dan mengambil jubah handuk untuk Lisa. Gadis itu masih tetap diposisi dengan tangan memeluk dadanya.
"Kau tidak kedinginan? Cepat pakai handuknya."
Melihat Lisa diam saja seperti malu-malu, Raffa kemudian mencoba menggoda sedikit gadis itu.
"Kenapa masih diam? Kau menungguku untuk mandi bersamamu? Baiklah."
Mendengar itu sontak Lisa mengangkat wajahnya dan sudah melihat Raffa mulai membuka dasi dan kancing baju satu persatu-satu. Ya ampun, gadis itu bukannya segera mengambil handuknya malah terpesona melihat Raffa membuka baju. Wajahnya sudah kembali merona.
'apa yang kau pikirkan, Lisa. Sadar.'
Mengerjap beberapa kali, Lisa kemudian tersadar dan cepat mengambil handuk yang Raffa simpan dinakas dekat Lisa.
"Aku akan segera keluar, kau jangan melihatku!" Handuk sudah ditangan.
Raffa sudah membuka setengah kancing, melihat ke arah Lisa sejenak. "Kalau begitu, keluarlah!"
'hei, bagaimana aku akan memakai handuk jika kau masih disana melihatku.'
"Jangan berbicara dalam hati." Raffa tiba-tiba bersuara dan membalikkan badan.
'kenapa dia tahu?'
Lisa mulai berdiri cepat memakai handuk, takut jika lelaki dihadapannya itu akan berbalik tiba-tiba.
"Dibuku Diary mu tertulis seperti itu. Kau suka berbicara dalam hati. Seperti sinetron saja."
Tanpa ingin berlama-lama berduaan disana dengan Raffa. Lisa berjalan cepat melewatinya. Saat ingin keluar, lelaki itu menoleh.
"Setelah berpakaian, kau langsung ke bawah. Jangan menungguku."
'memang siapa yang ingin menunggumu.'
Lisa menutup pintu cepat, sedangkan Raffa dia sudah tidak tahan ingin tertawa melihat tingkah istrinya itu.
Seperti biasa, beberapa hidangan lezat sudah tersedia di meja. Padahal yang makan hanya dua orang tapi lauknya begitu banyak. Jika semua hidangan ini tersisa banyak, sayang kalau harus dibuang. Atau mungkin sisa nya akan dimakan oleh para pelayan wanita itu?
Mereka makan dalam diam, Raffa tidak bersuara sama sekali saat makan. Hanya terdengar suara piring dan sendok yang beradu. Lagi-lagi Lisa memikirkan dltentang makanan. Ah jika ada orangtuanya disini, pasti semua makan ini akan habis dam orangtua nya akan senang. Lisa tahu, dirumahnya tidak pernah ada makan aja seperti ini. Ya, makanan kampung. Tapi enaknya tiada duanya jika mamah Mia yang memasak.
Ingat orangtuanya, ingat juga orangtua Raffa. Benar, sejak mereka menikah kemarin, orangtua Raffa belum pernah datang kesini.
'apa mereka tidak tahu kalau Raffa sudah menikah? Atau jangan-jangan mereka tidak setuju jika Raffa menikah dengan gadis sepertiku? Apa orangtua Raffa jahat?'
Lisa memikirkan hal-hal buruk lainnya tentang mertua seperti di sinetron yang tidak menyukai menantu miskin. Bahkan di dalam sinteron, para mertua terang-terangan menjodohkan kembali anak mereka yang tampan kepada wanita lain walaupun anaknya sudah menikah. Kejadian seperti itu bahkan sudah banyak ditulis dalam novel-novel romance.
"Kau sedang memikirkan apa?" Raffa bertanya saat acara makan mereka selesai.
Seperti tahu Lisa ingin berkata sesuatu, Raffa memulai percakapannya.
"Orangtuamu." Lisa menjeda sebentar. "Apa mereka tidak tahu kau menikah?"
"Tahu." cepat Raffa menjawab.
"Menikah denganku?" lelaki itu mengangguk.
"Lalu, setelah menikah. Kenapa mereka tidak datang kerumahmu? Apa mereka...."
"Hei, enyahkan pikiran sinetron mu itu. Orangtua ku sedang dalam perjalanan bisnis diluar negeri."
Lisa hanya menjawab oh dan mengangguk.
"Kau bertanya hanya karena ingin menarik hati orangtua ku? Dan mengatakan bahwa kau senang menikah dengan lelaki tampan sepertiku?"
'Ya Tuhan, lelaki ini sombongnya tinggi sekali.'
"Aku hanya bertanya saja, tidak boleh?"
Raffa menarik sudut bibir, "Lain kali aku perkenalkan kau kepada orangtua ku."
"Eh, bukan itu maksudku. Aku hanya bertanya saja."
Raffa mendekat dan menarik tangan Lisa untuk di genggam. "Ayo, kita ke kamar. Kita belum sempat melakukan malam pertama kita kemarin." setengah berbisik namun berhasil membuat Lisa kaku.
'malam pertama?'
Lisa sudah duduk dipinggir tempat tidur, menunggu Raffa keluar dari kamar ganti. Gadis itu juga sudah berganti baju, namun bukan baju tidur yang kekurangan bahan. Dia memakai baju yang tadi minta dibelikan oleh pelayan. Baju tidur panjang yang menutupi semua tubuhnya. Memaki baju tidur sobek-sobek? Lisa masih belum siap.
Lamunan Lisa saat menunggu Raffa, masih tentang malam pertama. Apa yang harus dilakukan dimalam pertama? Apa dirinya harus membuka internet agar tidak terlalu memalukan saat praktek dan melakukannya? Ini benar-benar yang pertama baginya, jika lelaki itu meminta malam ini ia sudah harus siap. Dan memang harus siap, toh Raffa adalah suaminya. Lelaki yang menikahinya hanya dengan akad di KUA. Ngomong-ngomong soal pernikahan, apakah lelaki itu akan menggelar pesta pernikahannya? Kenapa sampai sekarang belum ada omongan tentang pesta?
Pikiran Lisa sudah melebar kemana-mana. Soal pesta, dia malu untuk menanyakannya pada Raffa. Lisa takut suaminya akan berpikir bahwa dirinya benar-benar ingin pesta pernikahan yang mewah seperti dalam Diary nya. Tapi itu juga Raffa kan yang bilang begitu, bahwa lelaki itu akan mewujudkan semua mimpinya. Tapi? Kapan akan menggelar pesta?
Pintu ruangan ganti terbuka, Lisa melihat Raffa yang keluar memakai baju santai? Bukan memakai baju tidur? Apa dia akan pergi lagi?
Raffa menatap Lisa lembut, mendekat lalu mencium keningnya lama dan setelah ciuman itu terlepas, mendadak hati Lisa mencelos. Entah kenapa hatinya merasa sedikit sakit.
"Maaf, aku harus pergi. Kau tidurlah!"
Raffa beranjak dan keluar dari kamarnya. Sesuatu dalam hatinya merasa robek, apa yang Lisa rasakan? Dua kali dirinya ditinggal.
'mungkin benar, dia menikahiku hanya untuk mewujudkan mimpiku saja. Bukan karena dia menyukaiku.'
Lihat dinakas tempat tidur ada Diary miliknya. Lisa menatap tajam Diary itu.
'itu semua gara-gara Diary sialan. Kenapa juga harus lelaki itu yang menemukan Diary ku. Ngomong-ngomong kemana ya dia pergi? Dengan siapa?'
Sudah seperti seorang istri yang mengkhawatirkan suaminya pergi di jam malam. Meninggalkan sang istri tidur sendirian dirumah. Mirisnya lagi, mereka belum melakukan malam pertama. Satu kewajiban yang harus mereka lakukan setelah menikah. Nafkah batin.
Akhirnya Lisa tidur seorang diri dengan hanya memeluk guling empuk dan akan bangun di pagi hari dengan keadaan seperti singa betina.
Malam pertama di malam kedua, gagal.
Pagi-pagi, Lisa kembali mendengar gemericik air yang ia tahu pasti didalam kamar mandi siapa lagi kalau bukan Raffa. Kapan suaminya pulang, gadis itu tidak tahu. Ingin menanyakan namun selalu urung dilakukan. Lisa tidak berani untuk menanyakan hal-hal seperti yang biasa suami istri lakukan. Kenapa? Padahal mereka sudah menikah walaupun baru dua hari pernikahan. Tapi itu terbilang takut terlalu buru-buru. Biarkan saja, toh suaminya itu selalu pulang ke rumah mereka. 'Oh my God, terima kasih Tuhan. Pagi-pagi aku sudah mendapatkan nikmatmu yang begitu indah sedang berdiri dihadapanku.' Lisa langsung terpesona melihat Raffa keluar dari kamar mandi memakai handuk sepinggang dengan beberapa tetesan air segar yang mengucur dari rambutnya. Otot perut yang terlihat seperti batu bata semakin membuat wanita itu ingin menyentuhnya. Walaupun yang Lisa tahu suaminya selalu sibuk bekerja tapi lelaki itu
Mall terbesar di kota itu menjadi tempat yang akan didatangi Raffa dan Lisa. Mall termewah dan terlengkap adalah milik lelaki yang menggandeng tangan Lisa disampingnya. Setelah lulus kuliah tahun lalu, selain memegang perusahaan dengan jabatan tertinggi, Raffa juga memegang bisnis lainnya. Beberapa mall di sudut kota, kafe, restoran, hotel dan apartemen, semua hampir lelaki itu pegang. Bisa dihitung, setengah pertokoan dari kota itu adalah miliknya. Lelaki itu benar-benar sukses dimasa muda nya, walaupun sebagian adalah pemberian dari sang Ayah yang dikelola balik oleh sang anak.'hanya dalam mimpi aku bisa kesini dan sekarang aku benar-benar disini.'"Kau belum pernah kesini, istriku?"Lisa menggeleng cepat masih memperhatikan area mall yang luas dengan interior mewah."Kasihan sekali hidupmu."'Hei, kau suka sekali menghina orang sepertinya.'Raffa melirik Juna yang langsung
Sudah seminggu lebih berlalu dan Lisa merasa sedikit di acuhkan. Sejak obrolan mereka terakhir, saat Lisa menanyakan reepsi. Sejak saat itu Raffa tidak pernah mengajaknya berbicara dahulu. Setiap Lisa bertanya, sang suami hanya menjawab seperlunya. Setelah itu tidak ada obrolan lain, walaupun akhir-akhir ini Raffa selalu tidur bersama dengannya. Dalam artian tidur biasa dan tidak melakukan apa-apa.Sungguh, gadis itu merasa seperti istri yang tidak dianggap sekarang. Padahal saat dirumah dirinya selalu memakai gaun dan merias diri. Belajar di beberapa sosial media tentang make up, dan Lisa berhasil. Minimal dia tahu nama-nama alat make up dan cara memakainya untuk berdandan simpel dan natural. Lisa melakukannya demi Raffa, dirinya ingin melihat sang suami senang atas kerja kerasnya. Namun bukannya diberi pujian atau kata-kata romantis, Raffa hanya menjawab dengan senyum. Ah gadis itu sudah benar-benar seperti seorang istri yang ingin membahagiakan suami. Statu
Benar ya kata orang, untuk apa semua harta yang dia punya. Untuk apa tinggal dirumah mewah bak istana jika didalamnya tidak ada perasaan cinta yang tumbuh satu sama lain, khusunya tumbuh dalam hati suaminya. Ternyata semua itu tidak menjamin kebahagiaan, harta yang sekarang dirinya miliki yang jelas itu dari sang suami, jelas tidak bisa membuatnya bahagia. Hanya sebuah perasaan cinta yang tulus dan merasa dirinya dihargai sebagai seorang istrinya lah dia mungkin akan bahagia. Istilahnya, walaupun hanya tinggal di gubuk kecil tapi kedua insan saling mencintai, itu akan merasa sangat indah. Lisa pasti akan menemukan kebahagiaan disana.Lebih baik tinggal di gubuk kecil, asal bahagia. Daripada dirumah bak istana tapi seperti orang asing, dingin dan sepi. Ungkapan semua yang ada dalam buku Diary nya dulu, ternyata salah. Gadis itu teringat pernah menuliskan beberapa kalimat dalam Diary nya yang berisi bahwa impian terbesarnya adalah menikah dengan pria kaya dan tampan.
Setelah makan malam dengan keluarga besar Raffa, mereka kembali pulang. Saat ini Lisa sedang berada di dalam kamar, setelah sebelumnya Lisa membersihkan diri terlebih dahulu masuk ke kamar mandi. Sekarang, gadis itu sedang duduk dipinggir tempat tidur masih memakai pakaian baju tidur panjang tertutup."Ternyata mertua tidak semenakutkan itu," gumam Lisa melamunkan kejadian yang tadi.Obrolan yang canggung dengan Nyonya dan Tuan Juanda, berubah menjadi obrolan santai. Kedua orangtua itu benar-benar ramah dan baik pada Lisa. Menanyakan tentang sekolah Lisa dulu yang hanya melanjutkan kuliah sebentar. Membicarakan tentang kehidupan orangtua Lisa sebagai penjual gado-gado dan sebagai buruh pabrik. Dan Lisa tidak malu untuk menyebutkan latar belakang keluarga nya, justru membuat Nyonya dan Tuan Juanda merasa bangga mempunyai menantu seperti Lisa.Mereka mengobrol tanpa ditemani Raffa yang sibuk dengan Juna. Namun di akhir obrolan, kembal
Pagi hari sudah menjadi rutinitas Raffa dan Lisa sibuk bersiap-siap bekerja. Raffa ke kantor dan Lisa ke salon. Namun suasana pagi ini yang begitu cerah dengan matahari sedikit menampakkan diri dibalik awan, berbanding terbalik dengan suasana hati Lisa. Gadis itu tidak berhenti memikirkan siapa wanita yang semalam menelpon suaminya.Lebih terkejut lagi, biasanya Raffa selalu mengantar Lisa dahulu ke salon. Tapi pagi ini dia ingin memakai mobil lain ke kantor nya dan tentu saja sendiri. Lisa hanya diantar oleh Juna. Kecurigaan Lisa semakin kuat. Selama hampir sebulan ini, baru sekarang Raffa tidak ikut mengantarnya."Lisa, hari ini kamu berangkat dengan Juna saja." berbicara setelah mereka selesai sarapan."Kamu tidak ikut?""Aku akan ke kantor lebih awal, ada pekerjaan lain."'lagi-lagi alesan pekerjaan. Bilang aja kamu ingin menemui wanita yang ditelepon semalam. Iya kan?'Ra
Raffa pulang tepat jam sembilan malam, memakai mobil yang tadi pagi ia kendarai pribadi. Masuk kerumah dengan wajah bahagia dan berseri-seri, membuat aura ketampanan sang pangeran muncul berkali-kali lipat. Entah apa dan siapa yang membuat dirinya diluaran sana bahagia seperti itu, yang jelas hanya Raffa dan Tuhan yang tahu.Para pelayan wanita yang berbaris berdiri menyambut kedatangan lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan lutut yang lemas dan bergetar akibat tidak kuat menahan senyum yang ditampilkan majikannya. Ada yang ingin menjerit, ada yang terpesona menatapnya lama, ada yang ingin pingsan dan ada yang sadar diri menunduk. Tapi semua itu sebisa mungkin mereka tahan."Apa istriku sudah makan malam?" Raffa bertanya setelah para pelayan wanita itu sudah berkumpul lengkap."Sudah, Tuan!" satu pelayan mewakili bicara dengan menunduk."Istriku tidak membicarakan aku lagi?""Tidak, Tuan. T
"Suamiku.""Ia, istriku?""Apa kita mau pindah rumah?""Tidak, kenapa?"Lisa merasa malas untuk menjawab. Jelas-jelas mereka hanya akan berkunjung ke rumah orangtua Lisa. Tapi lelaki disampingnya itu yang sejak berada didalam mobil tidak berhenti menggerayangi tubuh Lisa, membawa begitu banyak barang yang terpisah dimobil lain. Mobil box putih yang mengikuti mobil mereka dari belakang, Juna juga ikut dan seperti biasa dia berperan sebagai supir. Entah berisi apa di dalam mobil box putih itu, saat mereka akan berangkat, mobil box sudah menunggu di depan.'Hei, hentikan tanganmu. Memangnya setiap kali kau sentuh hatiku tidak berdebar apa?'"Orangtuamu pasti akan senang, aku membawakan hadiah.""Memberi satu hadiah saja mereka sudah senang, Raffa. Tidak perlu banyak seperti itu."'barang-barang yang tempo lalu kamu kirim saja sudah menyempitkan rumah o