“Nggak sarapan dulu, Mas,” tegurku ketika Mas Agus langsung saja memakai sepatunya di depan pintu.Aku berusaha mengabaikan amarah yang memuncak di dada, demi menjaga perasaan anak-anakku. Di depan mereka aku harus terlihat berbaikan dengan Mas Agus.“Nanti saja sarapan di pabrik. Mas buru-buru, nggak bisa antar Rafni,” timpalnya datar.Melihat Mas Agus yang tidak begitu ramah, aku menahan keinginanku untuk mengajaknya berbicara. Ingin kutanyakan siapa yang telah mencumbunya sehingga meninggalkan bekas di lehernya. “Mas ....” Aku memanggilnya ketika Mas Agus hendak melangkah.“Apa lagi? Nggak ada tambahan jatah belanja! Bersabar aja sampai lusa, puasa dulu kalau perlu,” bentak Mas Agus. Mungkin dia kesal karena aku menghentikan langkahnya.“Hmm, nggak jadi deh. Hati-hati di jalan, kalau boncengin perempuan suruh dia pegangan biar nggak jatoh, jalan ke pabrik kan lumayan jelek.” Padahal bukan itu yang ingin kusampaikan. Aku ingin menyuruh dia untuk menyembunyikan bekas cupang di lehe
“Siapa?” timpal Mbak Jum dan Tika kompak, mereka pun berbarengan menoleh padaku.“Kamu kenal orangnya, Mbak Selvi?” sambung Mbak Jum.Aku mengingat-ingat, rasanya wajah itu begitu tak asing. Namun, gagal menemukan satu wajah pun yang cocok dalam ingatanku.“Siapa, ya?” ujarku menerka-nerka.Pria berkemeja navy yang kini berdiri di depan pintu warung Mbak Jum itu terlihat gagah meski warna bajunya kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Tampilannya jauh berbeda dengan kebanyakan pria di komplek ini, bahkan di sekitaran daerah sini.“Cowok kota memang gagah, liat aja kulitnya bersih gitu. Kulit kita aja kalah jauh,” celetuk Tika berbisik sambil terus menatap pada pria yang kini mulai celingukan di dalam warung. “Permisi, mau beli ....” Kembali pria berkulit putih itu memanggil Mbak Jum yang tidak kunjung datang.Sama seperti Tika, Mbak Jum juga terpana melihat pria asing yang berdiri di dalam warungnya.“Cepat layani, Mbak. Nanti dia pergi,” desak Tika.Sementara aku tetap fokus
“Nah loh, berarti Mbak Selvi memang kenal betulan sama tuh orang. Tapi pura-pura nggak kenal. Apa takut tersaingi sama kami jadi Mbak Selvi tutupi semuanya?” Tika langsung saja menodongku.“Hah, kenal dari mana pula aku sama orangnya. Mungkin dia mencari Selvi yang lain, kan nama Selvi nggak cuma aku di daerah sini,” ujarku memaksa tertawa tapi terdengar getir. Heran juga sebenarnya ada pria mencariku. Semenjak memilih Mas Agus sebagai pendamping hidupku, aku sudah tidak tertarik lagi untuk berkenalan dengan pria lain. Apalagi Mas Agus orangnya cemburuan, yang ada mungkin aku akan dicincangnya hidup-hidup jika ketahuan berhubungan dengan pria lain.Tika seperti belum puas, dia kembali bertanya, “Nama panjang Mbak Selvi siapa?”“Selvi Yunira.”“Nah, itu kan!” serunya seakan mendapat jakpot.Dua perempuan tersebut langsung menatap curiga padaku, membuatku semakin salah tingkah saja. Jujur aku merasa tak asing dengan pria asal kota tersebut, entah kenapa pula bisa bertepatan dia bertany
“Bukan!” sanggah Mas Agus cepat. Dia segera meraih ponsel yang barusan terlepas dari genggamannya. Mas Agus kemudian memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku celana tanpa memperhatikan apakah panggilan barusan masih tersambung atau sudah terputus.“Yaelah, sudah tertangkap basah pun masih mengelak,” sindirku sinis.“Kamu apaan sih? Curiga nggak jelas gitu.” Suara Mas Agus berubah meninggi. Namun gelagatnya kian gelisah. Bukan Mas Agus sekali yang berdiri seperti cacing kepanasan begitu.“Kenapa, Mas? Ada cacing kremi di pantatmu, ya?”Mas Agus mendelik marah ke arahku, jelas dia tidak ingin bercanda di saat begini. Tapi aku justru membutuhkan bahan guyonan untuk mendinginkan dada yang membara. Istri mana yang tidak marah mendengar suaminya teleponan dengan wanita lain di sampingnya.Hilang sudah harga diriku saat Mas Agus memilih wanita lain bahkan ketika berada di sampingku.“Bergaul aja terus sama ibu-ibu mulut comberan itu. Begini jadinya, kamu tidak bisa menjaga adab pada s
Akibat obat pencuci perut yang aku kasih ke makanan dan minuman Mas Agus, hari ini Mas Agus cuti kerja. Dia meringis menahan perih karena bagian bokongnya yang terluka akibat keseringan buang air besar. Sampai sore, dia masih harus bolak balik ke kamar mandi. Sepertinya dosis yang aku berikan memang terlalu banyak. Mas Agus bahkan tidak sempat untuk makan siang karena desakan untuk buang air besar tidak mau berhenti.Kasian juga sebenarnya melihat Mas Agus yang keletihan bolak balik kamar mandi, tetapi aku merasa puas karena sudah memberi pelajaran padanya. Ponselnya beberapa kali berdering, panggilan dari orang yang sama yang tertulis dengan nama Melati. Mas Agus tidak sempat memeriksa ponselnya. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Kuberanikan diri mengangkat panggilan yang entah sudah yang ke berapa kalinya itu. “Halo,” ucapku setelah menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Mendengar bukan Mas Agus yang mengangkat telepon. Panggilan tersebut langsung dimatikan oleh
“Kamu bicara apa sih? Bidan Fitri lagi keluar, jadi nggak bisa berobat. Kamu buatkan aja teh hangat, tapi dikasih gula sedikit aja,” ujar Mas Agus saat melewatiku. ‘Apa? Mas Agus nggak bertemu Bidan Fitri? Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Engkau masih menyelamatkanku,' gumamku dalam hati kegirangan.Beruntung sekali Mas Agus tidak bertemu Bidan Fitri. Jadi, kejahatan pertama yang aku lakukan tidak ketahuan. Aku bisa bernapas lega, seenggaknya untuk saat ini.“Dengan senang hati kubuatkan kamu teh hangat, Mas,” ucapku ceria seraya memperlebar langkah ke dapur.***Dua hari Mas Agus izin tidak masuk kerja, efek obatnya masih bereaksi hingga keesokan hari. Mulesnya sudah hilang, tapi dia kehabisan tenaga karena tubuhnya kekurangan cairan akibat diare. Wajah Mas Agus pun terlihat lebih pucat, seperti seseorang kekurangan darah. Mungkin kah akibat obat pencahar itu bisa berakibat fatal pada Mas Agus? Aku bergidik ngeri membayangkan hal yang tidak-tidak. Kasihan sebenarnya, tapi aku m
Lemas lututku mendengar ancaman Yuni. Tatapannya saja sudah mengintimidasiku, seakan mampu melahapku hidup-hidup.Jika saja aku tidak berpegangan pada pinggiran meja, mungkin tubuhku sudah tersungkur ke lantai.‘Benar kata Mbak Jum, Yuni bukan tandinganku. Nyalinya terlalu besar untuk bisa kulawan sendiri,’ batinku.Refleks aku beringsut mundur untuk memberi jarak dengannya, cemas jika tiba-tiba tangannya melayang ke tubuhku.“Bukan aku yang kegatelan menggoda suami Mbak. Tapi dia sendiri yang datang merayuku. Dia bilang istrinya sudah tidak bergairah lagi,” ujar Yuni lagi membuat tubuhku kian terkunci oleh tatapannya. Dia memindai tubuhku melalui tatapannya dari ujung kepala hingga kaki.“Makanya jadi istri itu harus bisa merawat diri dan mengambil hati suami. Jangan kira karena sudah laku serta yakin cinta suami tidak akan pernah berubah jadi lupa mempercantik diri,” sambung Yuni pongah.“Me–meski pun aku tidak cantik lagi, tetap saja aku pemilik sah. Kamu ... kamu hanya perempuan p
“Masa minder dengan aroma parfum seharga 50 ribuan begitu. Apa kabarnya yang dulu pernah mempunyai parfum harga jutaan?” Pria yang mengaku wartawan asal ibukota itu kembali berbicara, dia melangkah santai mendekati kami yang berdiri di depan meja kasir.Mataku menyipit mendengar ucapannya, seakan dia mengetahui kehidupan masa laluku. Rasanya pria tersebut sedang menyindirku, atau aku hanya merasa sendiri.“Maaf, Mas-nya kenal sama aku?” tanyaku polos. Kutelisik wajahnya lebih teliti, siapa tahu bingkai di depanku ini memang seseorang di masa laluku.Pria tersebut hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, membuat rasa penasaranku kian membuncah.“Yaelah, mana mungkin orang daerah seperti kita ini kenal dengan orang kota Mbak Selvi. Terlebih dari beda pulau lagi,” celetuk Tika seraya menyikut lenganku.“Mbak Selvi ‘kan memang dari Pulau Jawa. Kamu lupa Tika?” Mbak Jum ikut menimpali. “Alamak Jang! Aku lupa.” Tika menepuk jidatnya.“Jangan-jangan Mas-nya ini salah seorang keluarga kamu, Mb
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan